• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

Gambar 12 TKG ikan cakalang jantan pada bulan April

4.2.1 Mortalitas dan Laju Eksploitas

Laju mortalitas total ikan cakalang jantan (Z) yaitu sebesar 2,10 per tahun, laju mortalitas alami (M) 0,15 dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 1,95. Sementara itu laju mortalitas total ikan betina jantan (Z) yaitu sebesar 0,84 per tahun, laju mortalitas alami (M) 0,07 dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 0,77. Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit, dan usia. Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, selain itu panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan (K). Apabila dibandingkan nilai mortalitas penangkapan cakalang jantan dan betina lebih besar dari nilai mortalitas alami. Selanjutnya, Perbandingan antara nilai mortalitas penangkapan (F) dengan nilai mortalitas total (Z) menghasilkan nilai laju

eksploitasi (E). Laju eksploitasi ikan cakalang jantan yang didapat sebesar 0,93 artinya 93% kematian ikan cakalang jantan diakibatkan oleh penangkapan, sedangkan untuk betina sebesar 0,91 artinya 91% kematian cakalang betina juga akibat aktifitas penangkapan ikan.

Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 (F. optimum = M atau E. optimum = 0,5). Apabila dibandingkan dengan laju eksploitasi optimum, laju eksploitasi ikan cakalang sudah melebihi nilai optimum. Oleh karenanya, menjadi indikasi adanya penangkapan yang tinggi dan berlebih (overfishing) terhadap ikan cakalang. Implikasi dari tingginya penangkapan tersebut mengakibatkan nilai panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap lebih kecil. Apabila kita memperhatikan data hasil tangkapan ikan cakalang 2002-2011 juga dapat dijadikan indikasi laju eksploitasi yang telah melebihi nilai optimum.

Penelitian terdahulu terhadap mortalitas dan laju eksploitasi cakalang di palabuhanratu tahun 2010 diketahui bahwa Laju mortalitas total ikan cakalang (Z) yaitu sebesar 3,2390 per tahun, laju mortalitas alami (M) 0,1934 dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 3,0456 dan Laju eksploitasi ikan cakalang yang didapat sebesar 0,94 artinya 94% kematian ikan cakalang diakibatkan oleh penangkapan.

Sementara Amir et al (2013), mendapatkan data mortaliltas dan laju eksploitasi cakalang di perairan Laut Flores adalah Kematian alami (M) 0,632 per tahun. Kematian karena penangkapan (F) sebesar 1,32 per tahun memberikan hasil dugaan laju eksploitasi sebesar 0,68. Dugaan model hasil-per-rekruit relatif

dan biomassa per rekrut relatif (B/R‟) Beverton dan Holt menunjukkan bahwa tingkat eksploitasi telah memperlihatkan lebih tangkap dengan nilai dugaan sebesar 54,5% dari nilai E optimumnya dengan Lc = 20,9 cm

4.2.3 Reproduksi

a. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan cakalang jantan, untuk TKG berada pada selang kelas 426 hingga 509 mm dan TKG 4 ada pada slang kelas 510 hingga 593 mm. Sedangkan, betina TKG 4 berada pada selang kelas 468 hingga 551 mm dan TKG 3 pada selang kelas 510 mm.

Mengacu kepada trend yang berkembang, cakalang dengan TKG III selalu di dapat dengan presentase yang tinggi. Selain itu, TKG II dan V juga hampir selalu di dapat, meskipun dengan presentase yang kecil. Fase intermediate dan TKG I dijumpai pada cakalang berukuran lebih pendek dari 35 Cm. Ikan cakalang mengalami masa berpijah sepanjang tahun dengan puncaknya pada bulan juli. Selama penelitian sedikit sekali ditemukan cakalang pada TKG IV, hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan – bulan tersebut aktifitas pemijahan sedang berlangsung atau mungkin sudah berakhir. Tidak tertangkapnya cakalang TKG IV di berbagai perairan sudah banyak dilaporkan, antara lain oleh wilson (1982), yang menyatakan bahwa ikan cakalang akan bermigrasi jauh ke laut dalam apabila melakukan pemijahan sehingga kemungkinan tertangkap kecil sekali.

Penelitian ini masih merupakan tahap awal, maka belum dapat diketahui puncak-puncak pemijahan yang tepat. Walaupun demikian menurut wouthuyzen et al. (1990), puncak pemijahan cakalang di Laut Banda dan sekitarnya, terjadi pada bulan Juni dan Desember dengan karakteristik sebagai ikan pemijah majemuk (multi spawner) berbeda dengan pola pemijahan cakalang yang ditemukan dalam penelitian ini (total spawner). Dalam penelitian ini ditemukan cakalang terkecil yang sudah matang gonad (TKG III) berukuran 46,8 cm FL jantan dan 42,6 cm FL betina.

Manik (2007), menemukan ikan cakalang di Pulau Seram Selatan dan Pulau Nusa Laut terkecil yang sudah matang gonad (TKG III) berukuran 43,6 cm FL jantan dan 42,8 cm FL betina. Sementara Merta (1992), menemukan di perairan sebelah Selatan Bali dan sebelah Barat Sumatera adalah cakalang jantan dan betina terkecil yang sudah matang gonad berukuran 41,7 cm FL dan 42,8 cm FL. Sedangkan yang ditemukan di perairan Sorong berukuran 49 cm FL jantan dan 47 cm FL betina (Suhendra & Merta 1986). Di perairan Philipina, cakalang betina yang pertama kali matang gonad hanya berukuran 34 cm FL, tetapi kebanyakan di atas 40 cm FL. Adanya diferensiasi panjang cakalang pertama kali matang gonad diduga karena adanya perbedaan kecepatan tumbuh sehingga ikan – ikan yang di tetaskan pada waktu yang sama akan mencapai tingkat kematangan gonad pada umur yang berbeda.

b. Ukuran layak tangkap (Lm)

Ukuran panjang rata-rata tertangkap merupakan hal yang penting untuk dipelajari karena dengan menghubungkan ukuran rata-rata tertangkap dengan ukuran pertama kali matang gonad maka dapat disimpulkan apakah sumberdaya tersebut merupakan sumberdaya yang lestari atau tidak, artinya dapat diketahui apakah pada ukuran tertangkap tersebut ikan tersebut telah mengalami pemijahan atau belum mengalami pemijahan.

Ukuran Ikan layak tangkap didefenisikan sebagai ikan yang memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan matang gonad (length at frirst maturity, Lm). Nilai (Lm) ikan cakalang di Pelabuhanratu diperoleh sebesar 52 cm. Nilai Lm ikan cakalang berbeda pada setiap tempat, namun umumnya lebih besar dari 40 cm.

Besarnya jumlah hasil tangkapan nelayan dengan ukuran ikan yang tidak layak menggambarkan bahwa nelayan belum mengetahui bulan-bulan penangkapan yang tidak berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan usaha penangkapan mereka. Ikan yang tertangkap sebelum matang gonad, diduga ikan tersebut belum sempat memijah sehingga hal ini akan mempengaruhi rekruitmen di daerah penangkapan tersebut.

Selanjutnya, berdasarkan penetapan ukuran ikan layak tangkap tersebut, maka spesifikasi alat untuk menangkap cakalang dapat ditentukan untuk mendukung keberlanjutan perikanan tangkap. Salah satunya misalnya, dengan menetapkan ukuran mata jaring untuk jaring insang dan pancing untuk pancing tonda. Pengaturan spesifikasi alat tangkap ini merupakan jenis pengendalian input perikanan (King 1995).

Tujuan mengatur spesifikasi alat penangkap cakalang adalah untuk melindungi cakalang yang telah matang gonad tidak tertangkap, sehingga berkesempatan untuk bereproduksi. Hal ini berarti mengurangi peluang terjadinya growth overfishing di perairan tersebut. Growth overfishing terjadi apabila hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan kecil atau ikan muda. Demikian juga apabila dilihat dari komposisi TKG hasil tangkapan, peluang terjadinya recruitment overfishing juga kecil. Recruitment overfishing atau tangkap lebih peremajaan terjadi apabila kegiatan perikanan tangkap banyak tertangkap ikan yang siap memijah (spawning stock). Sumberdaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), terhadap sumberdaya tersebut nelayan dapat memperoleh manfaat berkelanjutan tanpa merusak kelestariannya. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali akan mengakibatkan menipisnya stok, punahnya populasi ikan, akumulasi modal yang berlebih, penurunan per satuan upaya (CPUE), dan kecilnya keuntungan yang didapat. Oleh karena itu untuk mewujudkan perikanan yang sustainable diperlukan suatu upaya untuk menyusun konsep pengelolaan lingkungan perairan.

Memperhatikan aspek-aspek biologi cakalang selama penelitian maka dapat diketahui bahwa usaha penangkapan cakalang di perairan Palabuhanratu masih sustainable. Hal ini dapat dilihat dari ukuran ikan yang tertangkap dengan masih berada pada ukuran yang layak tangkap karena cakalang yang tertangkap adalah masuk kategori ikan dewasa dan bukan merupakan ikan muda. Pada saat yang sama, ikan tertangkap pada saat matang gonad juga tidak mendominasi komposisi hasil tangkapan. Berdasarkan fakta di atas dapat disusun konsep pengelolaan cakalang yang perlu dilakukan adalah dengan cara mempertahankan ukuran mata jaring agar ukurannya tidah diubah menjadi lebih kecil dari ukuran semula agar tidak mengarah pada growth overfishing. Mengacu hal tersebut juga bisa membatasi intensitas penangkapan cakalang agar tidak mengarah pada recruitment overfishing, yaitu apabila intensiatas kegiatan perikanan semakin ditingkatkan maka peluang ikan-ikan yang telah matang gonad tertangkap semakin besar sehingga sama artinya ikan cakalang tersebut tidak memiliki kesempatan untuk bereproduksi.

c. Fekunditas dan Diameter Telur

Data hasil perhitungan jumlah fekunditas ikan yang diperoleh dapat dikatakan bahwa ikan cakalang mempunyai fekunditas tinggi dan tergolong ikan yang mempunyai tingkat produktivitas cukup tinggi. Sampel cakalang yang didaratkan di PPN Pelabuhanratu mempunyai nilai fekunditas berkisar antara 710.672 – 3.598.489 butir per ekor pada TKG III dan IV. Bila sampel ikan cakalang tersebut dipijahkan secara bertahap selama musim pemijahan dalam satu tahun maka, ikan cakalang mempunyai fekunditas tahunan yang cukup tinggi yaitu, lebih besar dari 10.000. Selain kriteria di atas, ada kriteria lain yang juga harus dipenuhi. Kriteria tersebut adalah mempunyai koefisiein pertumbuhan von Bertalanfy > 0,30, umur kematangan < 1 tahun, dan umur maksimum 1 – 3 tahun (Music, 1999 in Ali, 2005). Webber et al. (1991 in Fahmi, 2001), menyatakan bahwa telur-telur ikan laut pada umumnya memiliki ukuran kecil yang berdiameter telur hanya sekitar 1 mm, namun mempunyai fekunditas yang tinggi bisa mencapai 1 juta telur tiap betina.

Fekunditas mempunyai hubungan atau keterpautan dengan umur, panjang, atau bobot tubuh total ikan cakalang. Hal ini sejalan dengan Effendie (2002) yang menyatakan bahwa fekunditas mutlak kerap kali dihubungkan dengan bobot, mengingat bobot lebih mendekati kondisi ikan tersebut dari pada panjang. Lebih lanjut disebutkan bahwa Fekunditas pada suatu spesies ikan dapat berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Selanjutnya, Ali (2005) menyatakan bahwa jumlah fekunditas pada spesies yang sejenis dapat dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur, lingkungan, dan ukuran diameter telur. Seiring dengan hal tersebut di atas, fekunditas ikan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran badan ikan, yang dipengaruhi oleh jumlah makanan dan faktor-faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan musim.

Untuk melakukan perhitungan fekunditas, ikan cakalang yang dijadikan sampel harus telah mencapai tingkat kematangan gonad III. Hasil perhitungan fekunditas pada cakalang yang berukuran 45,9 – 55,6 cm FL berkisar antara 90.000 – 348.000 butir. Di lokasi penelitian yang lain, Wouthuyzen et al. (1990) mendapatkan fekunditas 186.000 – 718.000 butir pada cakalang yang berukuran 43,3 – 65,5 cm FL. Di Papua New Guinea, fekunditas cakalang yang berukuran 43.7 – 72 cm FL sekitar 120.000 – 1.450.000 butir (Wilson 1982). Suhendrata & Merta (1986) mendapatkan fekunditas 120.000 – 570.000 butir pada cakalang yang berukuran 47,6 cm FL di perairan Sorong.

Pola pemijahan ikan cakalang di Palabuhanratu adalah total spawner. Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan Manik (2007), puncak pemijahan cakalang di Laut Banda dan sekitarnya, terjadi pada bulan Juni dan Desember dengan karakteristik sebagai ikan pemijah majemuk (multi spawner).

Selanjutnya, diketahui bahwa Diameter telur ikan memiliki hubungan dengan fekunditas ikan. Semakin banyak telur yang dipijahkan (fekunditas), maka ukuran diameter telurnya makin kecil, demikian pula sebaliknya (Tang dan Affandi, 2001). Sejalan dengan Wootton (1998) yang menyatakan bahwa ikan yang memiliki diameter telur lebih kecil biasanya mempunyai fekunditas yang lebih banyak, sedangkan yang memiliki diameter telur yang besar cenderung memiliki fekunditas rendah. Semakin besar ukuran diameter telur semakin baik, karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan sehingga larva ikan akan dapat bertahan lebih lama.

Larva ikan yang berasal dari telur yang berukuran besar tentunya akan memiliki keuntungan karena memiliki cadangan kuning telur yang lebih banyak sebagai sumber energi sebelum memperoleh makanan dari luar. Selain itu, ukuran diameter telur dapat menentukan kualitas yang berhubungan dengan kandungan kuning telur dimana telur yang berukuran besar juga dapat menghasilkan laeva yang berukuran besar. Dikatakan oleh Effendie (1997) bahwa semakin berkembang gonad, maka ukuran diameter telur yang ada didalamnya semakin besar sebagai hasil pengendapan kuning telur, hidrasi, dan pembentukan butir- butir minyak.

Dokumen terkait