• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Sumber daya Perikanan

Pengelolaan perikanan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber daya dan implementasinya (dengan enforcement apabila diperlukan) dalam upaya menjamin kelangsungan produktifitas serta pencapaian tujuan pengelolaan. Dalam pengelolaan sumber daya ikan diperlukan adanya beberapa batasan yang perlu mendapat perhatian antara lain : 1) besaran daerah pengelolaan, 2) siapa pengelolanya, dan 3) bagaimana cara pengelolaannya.

Pengelolaan perikanan meliputi beberapa aspek termasuk sumberdaya ikan, habitat atau lingkungan, dan manusia serta berbagai faktor eksternalnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungannya secara bijaksana, yakni dengan upaya pembangunan secara berkelanjutan. Namun demikian, upaya pengelolaan perikanan memiliki beberapa keterbatasan (constraint) karena umum sumberdaya ikan dan pemanfaatnya. Permasalahan dalam pengelolaan perikanan akan ditemui pada tiap bagian atau fungsi manajemen. Kondisi seperti ini membutuhkan berbagai upaya inovasi agar tujuan pengelolaan secara efektif dan efesien dapat tercapai (Widodo & Suadi 2006).

Umumnya kegiatan pengelolaan perikanan mulai bekerja ketika isu-isu ini berkembang. Jarang ditemui upaya pengelolaan diberlakukan sejak awal pengembangan perikanan di suatu wilayah tertentu. Sehingga konsep overfishing sering menjadi acuan akan perlunya berbagai tindakan pengelolaan melalui pengaturan perikanan. Overfishing secara sederhana dapat kita pahami sebagai penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Beberapa ciri-ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini antara lain, waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip, CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil dan biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 2006).

Beberapa contoh pengelolaan perikanan telah diusulkan untuk diterapkan di Indonesia. Satu diantaranya adalah Syamsudin et al (2007) yang menyarankan urutan prioritas strategi yang dapat dikembangkan pada pengelolaan sumber daya perikanan tangkap cakalang di Kabupaten/kota kupang adalah (1) Pengembangan sarana dan prasarana yang menunjang produksi perikanan tangkap cakalang; (2) Peningkatan kapasitas dan iklim usaha untuk menarik minat investasi; (3) Peningkatan kualitas SDM untuk mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang secara berkelanjutan; (4) pengembangan bantuan modal usaha; (5) Pengembangan jaringan pemasaran produksi perikanan cakalang; (6) Peningkatan peran serta pemerintah, masyarakat, LSM dan perguruan tinggi dalam wilayah perikanan tangkap cakalang; (7) Penataan ruang pada kawasan

zona perikanan tangkap cakalang; (8) Pengadaan database sumberdaya perikanan cakalang; (9) Optimalisasi kerjasama dengan dengan investor/pihak swasta untuk pemasaran produk perikanan tangkap cakalang.

Selain itu, Susilo (2011), menyampaikan pemikirannya tentang pengelolaan sumber daya ikan pelagis besar termasuk cakalang di perairan Bontang adalah : 1. Pemerintah daerah segera mengatur jumlah upaya tangkap (effort) dari

sumberdaya ikan pelagis besar ke tingkat eksploitasi optimal sehingga kelestarian sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan.

2. Sistem pengawasan (monitoring), evaluasi (evaluation) dan pendataan hasil perikanan yang sistematis harus dilaksanakan secara konsisten serta ditegakkannya hukum dan peraturan sehingga tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat terwujud.

Sementara di Palabuhanratu sendiri Fadhilah (2010) mengungkapkan Laju mortalitas total (Z) ikan cakalang sebesar 3,2390 dengan mortalitas alami (M) sebesar 0,1934, mortalitas penangkapan (F) sebesar 3,0456 serta laju eksploitasi sebesar 0,94, dari hasil analisis tersebut menunjukkan telah terjadi overfishing (laju eksploitasi ikan cakalang melebihi laju eksploitasi optimum), yaitu growth overfishing. Alternatif pengelolaan yang disarankan yaitu pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan dan penutupan musim penangkapan.

Kondisi Umum Palabuhanratu

Teluk Palabuhanratu, Kelurahan Palabuhanratu, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat berjarak dengan Ibukota Provinsi Jawa Barat sejauh 130 km, dengan Ibukota Kabupaten Sukabumi sejauh 60 km dan berjarak 5 km dari Ibukota Kecamatan Sukabumi. Secara geografis, PPN Palabuhanratu ini berada pada koodinat 03⁰15‟00” - 11⁰51‟55” LS, 108⁰18‟00” - 109⁰41‟34” BT. Adapun batas PPN Palabuhanratu, yaitu:

Sebelah Utara : Kelurahan Citepus Sebelah Selatan : Kelurahan Cipatuguran Sebelah Timur : Desa Slamaran

Sebelah Barat : Samudera Hindia.

Wilayah pesisir Teluk Palabuhanratu secara geografis terletak pada posisi 6º

50‟– 6º 55‟ lintang selatan dan 106º 25‟ – 106º 50‟ bujur timur. Panjang pantai

laut Sukabumi adalah 117 km di wilayah kewenangan daerah seluas 702 km2 yang dimulai dari ujung barat Kecamatan Cisolok sampai dengan ujung timur Kecamatan Tegal Buled yang melintasi 9 kecamatan pesisir (65 desa) dengan dihampari terumbu karang dan rumput laut yang tumbuh dengan indah diterpa oleh ketinggian sapuan ombak yang berkisar antara 1,8m-3m (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, 2006). Aksesibilitas dari dan ke Palabuhanratu termasuk mudah baik ke wilayah kabupaten lainnya, ibukota propinsi maupun ibukota negara.

Berdasarkan data iklim yang tersedia dari Stasiun Meteorologi Maranginan Palabuhanratu parameter-parameter iklim dapat diuraikan sebagai berikut; temperatur udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,8-28,8º C dengan temperatur maksimum harian rata-rata berkisar antara 30-33º C dan minimum 22,5-24,5º C.

Temperatur maksimum tertinggi dan terendah berlangsung pada bulan Juli dan Januari. Sementara kelembaban nisbi udara rata-rata bulanan di Palabuhanratu relatif tinggi yaitu berkisar antara 81-91%, dengan rata-rata bulanan maksimum terjadi pada bulan Februari dan minimum bulan September. Nilai kelembaban rata-rata pada pagi hari sekitar 94%, pada siang hari 72% dan 86% pada malam hari.

Kecepatan angin yang bertiup melalui Teluk Palabuhanratu pada umumnya relatif tinggi, terutama pada musim angin Barat Laut yang berlangsung dari bulan November sampai Maret dengan kecepatan mencapai 20 knots. Pada bulan Mei sampai September arah angin terutama bertiup dari arah Tenggara, kecepatan angin pada periode ini biasanya relatif rendah hingga sedang. Nilai kecepatan angin rata-rata bulanan sangat bervariasi dan berkisar antara 4,4-23,5 km/jam. Sedangkan musim hujan di Palabuhanratu biasanya berlangsung dari bulan November sampai April, dengan curah hujan bulanan rata-rata sebesar 192 mm. Curah hujan di Palabuhanratu sangat dipengaruhi oleh musim angin Barat.

Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi cakalang adalah sebagai berikut :

Kelas : Chordata Subkelas : Pisces Ordo : Perciformes Subordo : Scombroidei Famili : Scrombridae Subfamili : Thunninae Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsuwonus pelamis (Linnaeus, 1758) Nama umum : Skipjack tuna

Nama lokal : Cakalang, salur (Palabuhanratu)

Gambar 2. Ikan cakalang (sumber : http//www.fishbase.org)

Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae, species Katsuwonus pelamis. Collete (1983) menjelaskan ciri-ciri morfologi cakalang yaitu tubuh berbentuk fusiform, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gillnet) berjumlah 53-63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-

titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan.

Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang hampir bersamaan melakukan ruaya di sekitar pulau maupun jarak jauh dan senang melawan arus, ikan ini biasa bergerombol diperairan pelagis hingga kedalaman 200 m. Ikan ini mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya.

Daerah Penyebaran dan Musim Penangkapan

Penyebaran dan kelimpahan ikan cakalang sangat dipengaruhi oleh variasi suhu perairan, karena variasi suhu perairan sangat penting di dalam menentukan penyebaran ikan cakalang dan tuna secara spesial. Selain itu ikan cakalang juga menyebar di perairan Indonesia bagian Timur dan di perairan sebelah Barat dan Timur Sumatera, Selatan Jawa sampai dengan Selatan Timor Timur.Menurut Gunarso (1996), suhu yang ideal untuk ikan cakalang antara 260C – 320C, dan suhu yang ideal untuk melakukan pemijahan 280C – 290C dengan salinitas 33% . Sedangkan menurut Jones dan Silas (1962) cakalang hidup pada temperature antara 160C – 300C dengan temperature optimum 280C.

Penyebaran cakalang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan. Penyebaran Tuna dan Cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus garis konvergensi diantara arus dingin dan arus panas merupakan daerah yang kaya akan organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang sangat baik untuk perikanan Tuna dan Cakalang. Menurut Uktolseja et al (1989), penyebaran cakalang di perairan Indonesia meliputi Samudra Hindia (perairan Barat Sumatra, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Perairan Indonesia bagian Timur (Laut Sulawesi, Maluku, Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan Samudra Fasifik (perairan Utara Irian Jaya).

Daerah penangkapan ikan cakalang di Pelabuhanratu berbeda berdasarkan jangkauan alat penangkapannya yang didaratkan, Payang memiliki jangkauan hanya di sekitar teluk, sedangkan gillnet dapat menjangkau daerah penangkapan di luar teluk atau di perairan Selatan Jawa.

Payang dioperasikan tiap hari dari pagi hari pukul 06.00 sampai dengan petang hari pukul 19.00 dengan daerah penangkapan di teluk Pelabuhanratu yang tidak jauh dari tempat pelelangan ikan yaitu daerah Lawang Jampang, Cibanteng, Ujung Genteng, Sukawayana bahkan hanya di mulut teluk. Daerah penangkapan yang terjauh adalah Lawang Jampang atau tidak jauh dari Ujung Genteng yang merupakan ujung sebelah Timur dari teluk Pelabuhanratu.

Daerah operasi penangkapan gillnet berada di perairan Selatan Jawa terbentang dari Selatan Binuangeun di bagian Barat sampai ke perairan sebelah Selatan Ujung Genteng di sebelah Timur, meliputi wilayah laut yang dibatasi oleh garis lintang antara 07000` dan 07020` LS dan garis bujur antara 105010` dan

106000` BT. Daerah penangkapan tersebut memiliki banyak sumberdaya ikan pelagis besar seperti cakalang, tuna dan tongkol yang memang hidup di perairan dengan kedalaman berkisar antara 50 sampai dengan 200 meter

Musim penangkapan cakalang di perairan Indonesia bervariasi. Musim penangkapan cakalang di suatu perairan belum tentu sama dengan perairan yang lain. Nikijuluw (1986), menyatakan bahwa penangkapan cakalang dan tuna di perairan Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun dan hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Bila hasil tangkapan lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan apabila dihasilkan lebih sedikit dari biasanya disebut musim paceklik.

Cakalang merupakan ikan yang sangat menyenangi daerah pertemuan antara arus atau air (convergence) yang umumnya terdapat dimana banyak pulau, selain itu ikan cakalang bersifat epipelagis dan oseanis, dan merupakan peruaya jarak jauh. Suhu air yang disenanginya berkisar antara 14,7-300 C. Cakalang juga menyukai batas perairan dimana terjadi pertemuan antara massa air panas dan dingin, penaikkan air dan parameter hidrografi dimana terdapat percampuran yang tidak tetap (biasanya di bawah lapisan homogen). Penyebaran vertikal mulai dari permukaan sampai kedalaman 260 m pada siang hari, sedangkan pada malam hari akan menuju ke permukaan (diurnal migration). Sebaran geografis terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang sedang. Cakalang selalu terdapat hidup secara bergerombol kelompok besar sehingga memudahkan para nelayan untuk menangkapnya

Pertumbuhan

Menurut Effendie (1997) pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satu ukuran waktu, sedangkan bagi populasi adalah pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan proses biologi kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor dalam maupun faktor luar. Faktor dalam adalah faktor yang sukar untuk dikontrol, seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air. Faktor ketersedian makanan sangat berperan dalam proses pertumbuhan. Pertama ikan memanfaatkan makanan untuk memelihara tubuh dan menggantikan sel-sel tubuh yang rusak, kemudian kelebihan makanan yang tersisa baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi (King 1995).

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Mortalitas merupakan aspek negatif dari suatu dinamika stok ikan. Dalam suatu stok yang dieksploitasi perlu dibedakan antara mortalitas alami dengan mortalitas penangkapan. Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi akibat selain penangkapan meliputi berbagai peristiwa seperti kematian, predasi, penyakit, dan usia tua. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Pada kenyataannya mortalitas biasanya berubah sesuai dengan umur kohort. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang paling mempengaruhi kematian ikan. Ikan kecil (muda) akan mengalami mortalitas alami yang lebih besar karena banyaknya ikan yang lebih besar (tua) yang akan memangsanya. Namun di sisi lain, ikan kecil akan mengalami mortalitas penangkapan yang lebih kecil dibandingkan ikan besar karena dapat lolos dari mata jaring saat adanya upaya penangkapan.

Nilai laju mortalitas alami memiliki keterkaitan dengan parameter pertumbuhan von Bertalanffy, yaitu nilai K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (K tinggi) akan mempunyai nilai M yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Ikan yang pertumbuhannya lambat jika mendapat mortalitas yang tinggi, maka dapat mengalami kepunahan. Nilai M juga berkaitan dengan L∞ dimana ikan yang berukuran lebih besar akan lebih memiliki sedikit pemangsa dibandingkan ikan kecil. Rikhter & Efanov (1976) in Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa ikan yang memiliki mortalitas alami yang tinggi akan memperoleh kompensasi dengan masa reproduksi yang lebih awal atau dengan memproduksi telur yang lebih banyak. Selain K dan L∞, mortalitas alami juga berkaitan dengan suhu lingkungan, karena sebagian besar proses biologi akan berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi (dengan batasan tertentu) (Pauly 1980 in Sparre & Venema 1999).

Laju eksploitasi dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang mati karena penangkapan dibagi dengan jumlah total ikan yang mati baik karena faktor alami ataupun penangkapan (Sparre & Venema 1999). Gulland (1971) in Pauly (1980) in Syakila (2009) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimal maka laju mortalitas penangkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya (M) atau dapat dinyatakan bahwa laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Adapun laju eksploitasi penting untuk diketahui sehingga dapat diduga kondisi dari perikanannya.

Bio-ekonomi

Model bio-ekonomi perikanan pertama kali ditulis oleh Scott Gordon (1954) dalam artikelnya menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak seorangpun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun melarang orang lain untuk ikut memanfaatkan (Common property). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena selama ini permasalahan perikanan terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dengan permasalahan tersebut maka Gordon melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon- Schaefer.

Model biologi menurut Schaefer (1957) menganut asumsi semua unit upaya tangkap hanya menangkap satu jenis ikan, unit penangkapan yang digunakan sama, populasi menyebar secara merata. Sedangkan model ekonomi asumsi yang digunakan adalah harga ikan konstan, biaya operasional sama, dana masing-

masing unit penangkapan beroperasi aktif melakukan kegiatan penangkapan dengan persaingan sempurna satu sama lain.

Dalam kondisi open access, tingkat keseimbangan akan tercapai pada saat penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), dengan tingkat upaya = E- OA (Gambar 1). Menurut Gordon kondisi tersebut disebut juga sebagai

bioeconomic equilibrium of open access fishery”. Pada tingkat upaya di bawah E-OA, penerimaan total lebih besar dari biaya totalnya, sehingga pelaku perikanan akan lebih banyak tertarik untuk meningkatkan upaya panangkapan ikannya. Pada tingkat upaya di atas E-OA, biaya total lebih besar dari penerimaan total, sehingga mendorong pelaku perikanan untuk mengurangi upaya, dengan demikian hanya pada tingkat upaya E-OA, keseimbangan akan tercapai.

Gambar 3. Kurva keseimbangan bio-ekonomi model Gordon-Schaefer. Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa keuntungan maksimum akan dicapai pada tingkat upaya E-MESY, dimana jarak vertikal antara peneriman total dan biaya total mencapai tingkat yang paling tinggi. Tingkat E-MESY disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY). Apabila tingkat upaya pada keseimbangan open access (E-OA) dibandingkan dengan tingkat upaya pada saat MEY (E-MEY), ternyata tingkat upaya yang dibutuhkan pada keseimbangan open access, jauh lebih banyak dari pada tingkat upaya pada saat MEY, ini berarti bahwa pada keseimbangan open access telah terjadi penggunaan sumberdaya yang berlebihan, yang menurut Gordon disebut sebagai economic overfishing.

Teori Optimasi

Optimasi adalah suatu kata kerja yang berarti menghitung atau mencari titik optimum. Kata benda optimisasi merupakan peristiwa atau kejadian proses optimasi. Jadi teori optimisasi adalah mencakup studi kuantitatif tentang titik optimum dan cara-cara untuk mencarinya (Haluan, 1985). Ilmu dalam teori ini

mempelajari bagaimana mendapatkan dan menjelaskan sesuatu yang terbaik, terjadi setelah orang dapat mengenali dan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk. Optimasi adalah suatu proses pencarian hasil terbaik. Proses ini dalam analisis sistem diterapkan terhadap alternatif yang dipertimbangkan, kemudian dari hasil itu dipilih alternatif yang menghasilkan keadaan terbaik (Gaspersz, 1992).

Optimasi pengelolaan sumberdaya perikanan pada prinsipnya merupakan kajian terhadap konsep tingkat penangkapan optimum. Sejauh ini, perkembangan

pengertian atas konsep „tingkat penangkapan optimum‟ dalam pengelolaan

sumberdaya perikanan telah melewati tiga tahapan (Cunningham, 1985; Copes, 1981; Christy, 1973):

1) Tahap pertama, dimana kegiatan penangkapan stok perikanan diarahkan pada pencapaian tingkat produksi lestari tertinggi (maximum sustainable yield, MSY). Pendekatan dalam konsep ini didasarkan sepenuhnya pada variabel dan parameter biologis.

2) Tahap kedua, dimana arah kegiatan penangkapan dititikberatkan bukan pada pencapaian tingkat produksi tertinggi, melainkan pada tingkat produksi lestari yang memberikan efisiensi tertinggi (maximum economic yield, MEY). Dengan demikian, selain mempertimbangkan variabel dan parameter biologi, konsep ini juga memasukkan variabel dan parameter ekonomi.

3) Tahap ketiga, dimana kegiatan penangkapan diarahkan pada pencapaian produksi lestari yang memberikan nilai sosial tertinggi (socially optimum yield, OSY).

3. METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi Penelitian adalah kawasan perairan sekitar Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat (WPP 573), dengan waktu penelitian sekitar satu tahun, dari tahap persiapan sampai survey lapangan dilakukan pada bulan Desember 2012, pengumpulan data primer/sekunder Januari hingga Mei 2013 dan pengolahan data sampai penulisan dilakukan pada bulan Agustus – Desember 2013.

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian Pengelolaan Sumber Daya Ikan Cakalang (sumber: www.dishidros.go.id)

Metode Pengumpulan Data

Aspek perikanan ikan cakalang di perairan Teluk Pelabuhanratu dianalisis dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan mengikuti langsung kegiatan penangkapan ikan cakalang yang dilakukan

oleh nelayan, meliputi : data aspek perikanan yaitu jumlah hasil tangkapan per trip dan per pemancingan, ukuran ikan tangkapan, posisi daerah penangkapan, konstruksi alat dan kapal penangkapan. Data sekunder meliputi : data aspek perikanan yang dikumpulkan melalui desk study yaitu data tahunan jenis dan jumlah alat tangkap ikan cakalang, produksi tahunan ikan cakalang, produksi ikan cakalang, dan upaya penangkapan dari buku statistik PPN Palabuhanratu 2002 hingga 2011.

Adapun jenis data yang dikumpulkan sebagaimana Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Jenis Dan Sumber Data Penelitian

No Jenis Data Sumber Data Keterangan

1. Data Biologi - Panjang - Berat - TKG - Fekunditas - Diameter telur - Data primer di

lapangan diambil pada bulan Januari-Mei 2013 - Lab ekobiologi FPIK

IPB 2. Bioekonomi

- Produksi hasil tangkapan

- Upaya penangkapan - Jenis alat tangkap & metode penangkapan - Tingkat pemnafaatan - Kapal penangkap - Tenaga kerja - Buku statistik PPN Palabuhanratu 2002 – 2011 - Wawancara dan kuisioner Dikelompokkan berdasarkan alat tangkap selama 10 tahun terakhir.

3. Informasi sosial, ekonomi & budaya - Nelayan - Pendidikan - Jumlah keluarga - PPN Palabuhanratu - Wawancara nelayan - Kuisioner

4. Pengelolaan Perikanan DKP Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Sukabumi

(1) Data primer: data yang diperoleh dari nelayan pemilik/ABK dengan observasi, wawancara dan diskusi berdasarkan kuisioner yang telah disusun, sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan menyangkut kegiatan usaha penangkapan ikan yang meliputi : investasi, kegiatan operasi penangkapan, bahan bakar, produksi hasil tangkapan,jumlah dan lama trip penangkapan, tenaga kerja, yang digunakan, pemeliharaan dan perawatan kapal dan alat penangkap ikan, pemasaran hasil serta serta sumber pendanaan dan lain sebagainya.

(2) Data sekunder: data penunjang yang dikumpulkan yang berasal dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu diantaranya: nama-nama nelayan dan tempat tinggal, jumlah alat tangkap yang ada, data produksi, sarana dan prasarana serta harga ikan dan lain-lain yang berhubungan dengan penelitian.

Responden dikumpulkan secara purposive sampling, yaitu dengan cara memastikan diperolehnya sejumlah sampel yang mewakili populasi yang akan diteliti (Mangkusbroto dan Trisnadi 1985). Jumlah responden sebesar 10 % dari jumlah populasi yang ada yaitu sebanyak 45 orang (15 orang nelayan tonda, 15 orang nelayan gillnet dan 15 orang nelayan payang).

Prosedur Analisis Data 1. Pertumbuhan

Data biologi yang dikumpulkan adalah data panjang dan berat ikan. Data ini diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di lokasi penelitian. Data panjang dan berat ikan diukur dari sampel ikan yang dipilih secara acak dari tempat penampungan ikan untuk menduga populasi (Potier & Sadhotomo 1991; Supranto 2007). Jumlah sampel ikan yang diukur panjang dan beratnya adalah sebanyak 25 ekor per minggu. Untuk mengetahui apakah sampel merupakan representasi dari populasi, maka dilakukan uji satu sampel untuk rata-rata dengan menggunakan uji t (Santoso & Ashari 2005; Wibisono 2005).

Pengukuran panjang ikan dilakukan dengan menggunakan measuring board dengan ketelitian 0,1 cm. Batas pengukuran panjang dimulai dari ujung mulut

Dokumen terkait