• Tidak ada hasil yang ditemukan

MPLEMENTAS฀ PEND฀D฀KAN KARAKTER DALAM PEND฀D฀KAN ฀SLAM

A.฀Pendidikan ฀slam Membentuk Manusia Berkarakter

Pendidikan dalam upaya pembentukan dan pengembangan karakter sangatlah penting dewasa ini, sehingga sangat perlu mendapatkan perhatian dalam penyelenggaraannya. Peranan lembaga pendidikan, masyarakat dan negara dalam mengerahkan segenap perhatiannya terhadap implementasi pendidikan karakter sangatlah penting. Jika kita mencermati dengan seksama akan kita dapatkan bahwa dalam ajaran agama apa pun, filsafat dan teori pendidikan apapun, kebudayaan dan peradaban manapun, serta negara dan bangsa mana pun, proses pendidikan senantiasa diperuntukkan bagi pembentukan karakter dan intelektualitas peserta didik.

1

Pendidikan dalam Islam bukan hanya sekedar proses transfer ilmu pengetahuan (knowledge) dan informasi, namun lebih dari itu, yakni proses mendidik dalam upaya mentransformasi nilai (value) dan kearifan (wisdom)

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

1Rasiyo, Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa; Pijar-pijar Pemikiran dan Tindakan, (Jakarta: Pustaka Kayutangan, 2005), h. 67.฀

kepada peserta didik. Transfer ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan, keterangan menarik dan contoh-contoh konkret yang sederhana, sehingga peserta didik bisa memahami konsep ilmu pengetahuan yang diajarkan dengan cepat dan mudah. Proses transfer ilmu pengetahuan dianggap sudah berhasil apabila peserta didik telah memahami teori-teori yang diajarkan atau mereka mengalami perubahan secara kognitif, dari “tidak tahu” menjadi “tahu”.

Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? ฀alam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia beradab lainnya. Manusia beradab juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah swt.2

Butir kedua pancasila berbunyi, yaitu: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Jauh enam puluh lima tahun lalu para ฀ounding ฀ather bangsa ini merumuskan butir tersebut, dengan kejernihan berpikir mereka dan berharap nilai-nilai luhur tersebut dapat terimplementasikan dengan baik di dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. Namun faktanya, jauh panggang dari api internalisasi nilai-nilai luhur yang diwarisi pendiri bangsa masih jauh dari harapan akan mewujud nyata, dekadensi moral yang tinggi, sikap keberagamaan yang sinkretistik, budaya hedonis dan gaya hidup individualistik makin membuat jembatan penghubung keadilan dan keberadaban bangsa ada di depan mata.

Pengembangan pendidikan karakter didasarkan pada nilai-nilai dasar etika yang mengakar dan membudaya dalam masyarakat sebagai ruang lingkupnya. ฀an pendidikan memiliki peranan yang besar dalam penanaman benih dan nilai-nilai karakter tersebut, penanaman nilai-nilai kebaikan tersebut harus mewujud nyata dalam proses kehidupan di lingkungan pendidikan, keluarga dan masyarakat. Karena jika nilai-nilai kebaikan tersebut diajarkan hanya

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

2Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2010), h. vii.฀

untuk membedakan yang baik dan buruk, maka proses pendidikan baru sampai pada pendidikan moral, sedangkan penanaman nilai-nilai tersebut hingga menjadi sebuah kebiasan (habbit) sehingga siswa memahami, merasakan dan mau melakukan hal-hal baik, maka pendidikan karakter telah menuai hasilnya.

Pendidikan Islam secara implementatif telah menanamkan nilai-nilai utama pilar pembentukan karakter di sekolah, keluarga dan masyarakat, dengan memperhatikan aspek pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik fase-fase pertumbuhan secara fisik dan psikologis untuk kemudian menganalisis nilai-nilai pembetukan karakter yang ditanamkan pada fase-fase perkembangan tersebut.

Kajian psikologi pendidikan mengenai periodisasi perkembangan individu pada pembahasan ini penulis sajikan untuk memperjelas arah perkembangan individu tersebut, baik perkembangan berdasarkan biologis maupun didaktis.

Pertama, periodisasi perkembangan individu berdasarkan biologis. Sekelompok ahli psikologi membuat periodisasi mendasarkan diri pada keadaan atau proses biologis tertentu. ฀i antara pendapat yang mengemukakan periodisasi perkembangan tersebut adalah3: a) pendapat Aristoteles, b) pendapat Kretschmer, c) pendapat Sigmund Freud, d) pendapat Montessori, e) Pendapat Buhler.

Kedua, periodisasi perkembangan berdasarkan didaktis, dasar didaktis yang dipergunakan oleh para ahli psikologi ada beberapa kemungkinan, yaitu: a) apa yang harus diberikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu, b) bagaimana cara mengajar atau mendidik anak-anak pada masa tertentu, c) melakukan kedua hal tersebut secara bersama-sama.

Ada 4 (empat) nilai yang menjadi pilar utama pembentukan karakter (per฀ormance character) yang penulis simpulkan dari pengkajian penulis terhadap 4 (empat) karakter utama Rasulullah dengan memperbandingkan

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

3Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.186-191.฀

nilai-nilai pembentukan karakter yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan karakter, yaitu:

1)฀ Shiddiq (kejujuran) memupuk nilai pembentukan karakter untuk tidak berbohong atau tidak berdusta kepada diri sendiri dan orang lain. 2)฀ Amanah (bertanggungjawab) memupuk nilai pembentukan karakter

keadilan dan kepemimpinan yang baik, integritas, disiplin dan tanggungjawab yang tinggi terhadap kepercayaan yang diberikan. 3)฀ Tabligh (menyampaikan) memupuk nilai-nilai pembentukan karakter

percaya diri, bijaksana, toleransi, cinta damai dan saling menghargai pendapat orang lain.

4)฀ Fathonah (cerdas) memupuk nilai-nilai pembentukan karakter keberanian, mandiri, kreatif, arif, rendah hati.

Adapun penanaman nilai-nilai pembentukan karakter tersebut dalam fase perkembangan individu baik secara biologis maupun didaktis, penulis membagi fase pertumbuhan dan perkembangan individu menjadi 4 (empat) fase perkembangan, yaitu:

a.฀ Fase Pertama usia 0-4 tahun

Pada fase pertumbuhan awal seorang individu, maka nilai kejujuran menjadi dasar pembentukan karakter seorang individu. Karena pada fase ini seorang individu menggunakan potensi inderanya untuk menangkap hal-hal yang berada di sekitarnya dalam lingkungan asuhan orang tua.

b.฀ Fase Kedua usia 4-8 tahun

Pada fase pertumbuhan usia awal pertama seorang individu, nilai pembentukan karakter disiplin dan tanggungjawab dan membangun rasa keadilan. Mengingat pada usia ini seorang individu mulai berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

c.฀ Fase Ketiga usia 8-13 tahun

Pada fase pertumbuhan ini seorang individu butuh akan nilai-nilai pembentukan karakter yaitu, sikap saling menghargai, toleransi, cinta

damai dan rasa percaya diri yang baik. Karena pada fase perkembangan ini seorang individu mulai menemukan arti ke-akuannya yang berbeda dari orang lain.

d.฀ Fase Keempat usia 13-20 tahun

Pada fase terakhir seorang individu menuju kematangan kepribadian, maka nilai-nilai pembentukan karakter yang lebih luas dibutuhkan yaitu, keberanian, mandiri, kreatif, bijaksana, sehingga memiliki penginderaan intelektual yang matang, terhadap keadaanya dan lingkungan sosial.

Penanaman nilai-nilai pembentukan karakter yang dikembangkan dalam kegiatan pendidikan juga harus memperhatikan konsep ฀itrah yang menjadi pembawan manusia sejak dilahirkan. Mendidik manusia agar menjadi bagian dari keadilan dan keindahan Tuhan di muka bumi.

B.฀ Pendidikan Karakter dan Pembentukan Manusia Beradab

Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah, tetapi mencakup proses pembiasaan (habituation) tentang perilaku yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik. Sehingga tebentuklah tabi’at yang baik. Menurut ajaran Islam, pendidikan karakter identik dengan pendidikan ahklak. Walaupun pendidikan akhlak sering disebut tidak ilmiah karena terkesan bukan sekuler, namun sesungguhnya anatara karakter dengan spiritualitas memiliki keterkaitan yang erat. ฀alam prakteknya, pendidikan akhlak berkenaan dengan kriteria ideal dan sumber karakter yang baik dan buruk, sedangkan pendidikan karakter berkaitan dengan metode, strategi, dan teknik pengajaran secara operasional.

Pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh melalui interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan bersifat relatif konstan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai sikap.

฀alam proses interaksi dengan lingkungan itu, baik lingkungan alam maupun personal, peran sensasi dan persepsi sangat dominan. Apa yang ditangkap oleh indera diolah disimpan di dalam memori untuk kemudian

diolah menjadi pengetahuan yang siap dikembangkan dengan berbagai kejadian yang dialami dalam kehidupan.

Interaksi manusia dengan lingkungan di awal kehidupan sangat berpengaruh dan berperan dalam mentrasformasikan sikap, pengetahuan dan tingkah laku. Pendidikan pada pelaksanaannya menjadi tanggungjawab semua pihak, mulai dari keluarga sebagai sekolah pertama (madrasah al-ula’), masyarakat dan lembaga-lembanga pendidikan serta negara. Mendidik berarti membangun karakter untuk mempersiapkan pengetahuan dan nilai-nilai luhur kehidupan. Pendidikan dalam Islam bersifat berkelanjutan sejak manusia dilahirkan hingga manusia wafat.4

Berbeda dengan transfer Ilmu pengetahuan yang dapat berlangsung secara sederhana, maka transfer nilai membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses yang agak rumit. Sebuah nilai baru akan “hidup” dalam diri seorang peserta didik jika mereka mengalami nilai-nilai yang diajarkan tersebut secara berulang-ulang dalam konteks kehidupan yang nyata.

Proses transfer nilai tidak dapat dilakukan hanya dengan menghafal konsep nilai tersebut, tetapi peserta didik perlu mengalaminya secara langsung dengan melibatkan seluruh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Transfer nilai membutuhkan suatu proses yang membutuhkan pelibatan seluruh anggota keluarga hingga lingkungan masyarakat.

Karena manusia adalah makhluk yang berpotensi untuk diberikan pendidikan, berbeda dengan binatang atau tumbuhan. Lewat potensi akalnya, manusia mampu untuk diberikan pendidikan secara baik dan berkelanjutan. Karena manusia memiliki kesempurnaan di antara makhluk tuhan yang lainnya, yang memiliki potensi yang siap diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pendidikan dalam keluarga, di sekolah dan masyarakat sangat penting bagi keberlangsungan sebuah Negara. ฀an Negara sebagai penyelenggara pendidikan bertanggungjawab terhadap pemenuhan kegiatan pendidikan bagi

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

4Kementerian Agama RI, Ta฀sir Al-Quran Tematik: Pendidikan, Penegmbangan Karakterdan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lajnah Pentashih al-Quran Badan Litbang dan ฀iklat, 2010), h. 3.฀

warganya. Menurut Ibnu Sina pendidikan keluarga dan rumah tangga adalah sumber utama dan inspirasi terbesar sebuah Negara. Sebuah Negara yang baik dibangun oleh tatanan nilai keluarga dan masyarakatnya yang baik.

Pengembangan pendidikan karakter tentu harus memperhatikan aspek dasar potensi manusia dan proses pendidikan yang berkelanjutan (li฀elong education), agar internalisasi nilai-nilai karakter dapat tertanam dengan baik dan menghasilkan bibit-unggul generasi bangsa.

1.฀ Potensi Manusia

Ketika manusia lahir ia dianugrahi Allah dengan berbagai instrumen untuk menjalankan dan mengembangkan kehidupannya di dunia. Seperti instink (garizah), indera, akal (kecerdasan), nurani (kalbu), dll. Manusia tidak memiliki pengetahuan apapun dalam arti kognitif, kecuali potensi-potensi yang siap . ฀engan instrumen dan potensi-potensi tersebut manusia mampu berinteraksi dengan lingkungannya baik personal, sosial maupun dengan lingkungan alam.

฀ari interaksi tersebut manusia kemudian mengamati, menyerap, meniru dan memodifikasi berbagai pengalaman yang diterimanya sehingga menjadi kumpulan pengetahuan dan keterampilan. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia lahir membawa potensi-potensi yang siap diaktualisasikan dalam kehidupannya setelah manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Potensi manusia ini umumnya sering dikaitkan dengan “Fitrah” dalam istilah al-Qur’an dan Hadith.

Sebagian orang menerjemahkan kata ฀itrah dengan arti “suci”, ฀itrah merupakan suatu kemampuan dasar perkembangan manusia yang dianugrahkan Allah kepadanya. ฀i dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.5 Pengertian tersebut sama seperti yang dikemukan oleh John Locke dengan teori tabularasa

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

5

HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), Cet. IV, h. 59.

yang mengemukakan bahwa manusia itu laksana kertas putih yang siap menerima grafiti yang dikehendaki oleh penulisnya.

Adapun komponen psikologis dalam konsep “fitrah”, HM. Arifin mengklasifikasikannya ke dalam lima komponen, yaitu6: Pertama, Kemampuan dasar untuk beragama Islam (ad-dinul Qoyyimah), di mana faktor iman merupakan inti beragama manusia. Kedua, mawahib (bakat) dan qabiliyat (tendensi atau kecendrungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah s.w.t. dengan demikian ฀itrah mengandung komponen psikologis yang berupa keimanan tersebut.

Ketiga, naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia. Potensi ฀itrah berkembang kepada dua kemampuan, yaitu potensi yang mengembangkan sifat-sifat Tuhan dan kemampuan menerima wahyu Tuhan yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya. Keempat, kemampuan dasar beragama secara umum, tidak hanya terbatas pada agama Islam, dengan kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi beragama Yahudi atau Nasrani. Kelima, dalam ฀itrah tidak terdapat komponen psikologis apa pun, karena ฀itrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci, bersih dan terbuka kepada pengaruh eksternal, termasuk pendidikan.

฀iagram 4.1

Konsep Fitrah dan Komponen-Komponennya7

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

6

HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner…,h. 48.

7

HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner…,h. 50.

Sebagian yang lain mengartikan istilah ฀itrah sebagai potensi-potensi manusia yang menjadi pembawaannya sejak lahir, dan siap diaktualisasikan dalam kehidupan setelah adanya persinggungan manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Interaksi tersebut kemudian yang membuat potensi-potensi bawaan lahir manusia berkembang dan teraktualisasikan sebagian atau seluruhnya. Pertumbuhan dan perkembangan aktualisasi potensi tersebut sangat bergantung pada kreativitas dan intensitas antara potensi yang bersifat bawaan dengan apa yang diterima dari lingkungan sosial masyarakat.

Potensi-potensi bawaan manusia yang siap dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan antara lain adalah: potensi perkembangan moral-spiritual, potensi perkembangan jasad, potensi perkembangan sosial, dan potensi perkembangan intelektual.

a.฀ Potensi Perkembangan Moral-Spiritual

Para ahli tafsir berpendapat bahwa manusia memiliki potensi moral-spiritual sejak dari dari masa konsepsi, roh manusia telah mengalami kesadaran spiritual ketika berada di alam rahim bahwa ia menuhankan Allah s.w.t. tanpa yang lainnya hal itu dijelaskan dalam al-Qurán surat al-A’raf ayat 172: Kesadar an Karakter (watak) Hereditas atau (keturuan an) Nafsu (drives) Intuisi Instink Potensi dasar Manusia

฀

















฀฀













฀







฀













“dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya ber฀irman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",(QS. Al-A’raf: 172).8

Kecendrungan kebertuhanan telah ditanamkan ke dalam jiwa manusia secara innate dan dibawa sejak lahir, dari sini kemudian kehidupan moral dan spiritual dipelihara dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Kecendrungan manusia untuk bertuhan satu yang dibawa sejak lahir tersebut kemudian dikenal dengan istilah ฀itrah.

b.฀ Potensi Perkembangan Jasad

Pertumbuhan dan perkembangan adalah dua istilah yang sering digunakan untuk menandai sesuatu yang sering berubah. Pertumbuhan mengarah kepada arti dalam bentuk fisik, sedangkan perkembangan mencakup pertumbuhan fisik, psikologis dan mental sekaligus.

Secara fisik, perkembangan manusia berawal dari kondisi sangat lemah ketika ia dilahirkan kemudian berkembang

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

8฀epartemen Agama RI, al-Qurán dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), h. 250.฀

menjadi kuat saat dewasa, dan kembali menjadi lemah tak berdaya di penghujung usianya.

Aktualisasi potensi perkembangan fisik manusia sangat nyata dalam progres pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Sepanjang manusia mendapatkan asupan gizi yang baik maka pertumbuhan dan perkembangan fisik teraktualisasikan dengan baik. Kemampuan dan kekuatan fisik manusia harus dimanfaatkan untuk potensi kebaikan, bekerja dan mencari nafkah untuk hidup dan beribadah kepada Allah.

c.฀ Potensi Perkembangan Sosial

Manusia adalah makhluk sosial, karena keberadaannya sebagai makhluk sosial maka ia wajib untuk terus menerus melakukan interaksi sosial, saling membantu dalam kebaikan. ฀an hal-hal yang membawa kepada pengukuhan ketaqwaan kepada Allah s.w.t.

฀an untuk melatih kepekaan sosial tersebut, manusia dihimbau untuk senantiasa menghargai sesamanya, memberikan pertolongan bagi yang memerlukannya baik dalam dalam bentuk moril maupun materil.

d.฀ Potensi Perkembangan Intelektual

Salah satu potensi terpenting manusia yang harus mendapatkan perhatian adalah perkembangan intelektual, dengan potensi intelektualnya lah pemuliah manusia dari makhluk-makhluk lainnya. Firman Allah s.w.t:

฀ ฀       ฀   ฀  ฀฀ ฀    ฀  ฀     ฀      ฀

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan

mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. Al-Isra: 70).9

2.฀ Pendidikan Berkelanjutan

Pendidikan dimulai sejak awal kehidupan dan berakhir saat kematian datang. Pendidikan dapat berlangsung kapan dan dimana pun saja, baik secara formal, informal maupun non formal. Begitu manusia mampu berinteraksi dengan lingkungannya maka saat itu pula ia siap untuk melakukan proses pendidikan secara berkelanjutan.

Ajaran Islam menekankan betapa pentingnya pendidikan dan proses tersebut berlangsung sepanjang hayat. Pioner pendidikan Islam adalah Muhammad s.a.w yang telah bersama sahabat-sahabatnya lalu disampaikan kepada umatnya untuk direaliasasikan dan dikembangkan sesuai dengan zamannya.

Karakter merupakan aktualisasi potensi diri dari dalam dan internalisasi nilai-nilai moral dari luar yang menjadi kepribadian seseorang. Karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri seseorang melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan yang menjadi nilai intrinstik dalam diri yang akan melandasi sikap dan perilaku. Tentu karakter tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dibangun dan ditumbuhkembangkan.

Keterkaitan antara ฀itrah, karakter dan perilaku sebagai suatu proses bisa digambarkan sebagai berikut: “berasal dari ฀itrah manusia yang mengandung sifat dasar yang diberikan oleh Tuhan merupakan potensi yang dapat memancar dan terus berkembang. Konsep ฀itrah dalam Islam ibarat batu permata yang belum terbentuk, yang perlu dipotong, diasah dan digosok agar mengeluarkan pancaran sinarnya. Proses menggosok, memotong dan mengasah adalah bagian atau wujud dari pengembangan karakter, karena ada pengaruh lingkungan

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

dan ada upaya mengaktualisasikan potensi dari dalam. Serta adanya internalisasi nilai-nilai dari luar.

Seseorang yang berkarakter tidak cukup hanya sebagai orang yang baik saja, melainkan harus mampu menggunakan nilai-nilai tersebut melalui suatu daya juang untuk mencapai tujuan mulia yang diharapkan. Karakter terpuji sejatinya merupakan hasil internaliasasi nilai-nilai Agama dan moral, pada diri seseorang yang ditandai dengan sikap dan perilaku positif. Ilmu tidak dapat membentuk akhlak dan iman, hanya ia mampu mengukuhkan dan mengokohkan karakter seseorang.

C.฀Pribadi yang ฀deal dalam Konsep Pendidikan ฀slam

Perkembangan pertumbuhan individu atau seseorang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya pembentukan manusia yang berkarakter. Perdebatan rumusan dalam penanaman nilai-nilai moralitas pada pendidikan. Psikologi kepribadian menjadi landasan mengklasifikasikan perkembangan individu dan memetakan nilai-nilai karakter yang dikembangkan dengan melihat dan memperhatikan proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut.

Terdapat dua mazhab dalam merumuskan dasar-dasar moral, yaitu mazhab absolutism dan relativisme. Secara umum relativisme didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Penganut paham ini berkeyakinan bahwa moralitas bersifat realatif terhadap prinsip tertentu dan menolak bahwa prinsip tersebut mutlak benar atau paling sahih. Realitivme etika berpandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal. Kebenaran semua prinsip moral bersifat relative terhadap budaya dan pilihan individu. 10

Ada tiga tahapan yang harus ditempuh oleh pendidikan Islam dalam mewujudkan pribadi individu yang ideal dalam pembentukan karakter. Ketiga

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

10R. Marpu Muhidin Ilyas, Teologi Pembentukan Karakter dan Penerapannya Dalam Pendidikan, (Tesis S2 Pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 36.฀

tahapan tersebut adalah tahaqquq, ta’alluq, dan takhalluq yang dikombinasikan dengan moral knowing, moral ฀eeling, moral doing11, yaitu:

1.฀ Tahaqquq (moral knowing)

Kesadaran moral dibutuhkan akan keberadaan nilai-nilai baik Tuhan yang merupakan sumber segala kebaikan. Pada tahap ini siswa mulai menyadari bahwa bermoral adalah perlu untuk kebaikan hidupnya. ฀engan kesadaran pengetahuan seorang siswa akan sifat terbaik Tuhan, maka secara sadar ia akan mengetahui bahwa sifat-sifat terbaik tersebut menjadi nilai dasar karakter.

฀ari kesadarannya untuk menjawab mengapa harus berbuat baik?, maka penalaran dan keyakinannya terhadap sifat-sifat Tuhan yang menjadi sumber segala kebaikan, maka akan tersuplai jawaban bahwa pembetukan karakter bagi dirinya penting dari hasil peniruannya terhadap sifat-sifat baik tuhan.

2.฀ Ta’alluq (moral ฀eeling)

Ketergantungan kepada Tuhan melalui nilai-nilai baik dalam merealisasikan pembentukan karakter dalam tahapan ta’alluq, yakni dengan menanamkan rasa butuh terhadap manifestasi sifat-sifat Allah bagi diri dan orang lain, akan bersentuhan dengan sisi emosional siswa. penanaman nilai tersebut guna mewujudkan kepekaan moral terhadap aktivitas pribadi dan orang lain.

฀engan memiliki kepekaan terhadap sifat-sifat baik Tuhan, maka seorang siswa atau individu akan mencintai kebenaran dan mampu mengendalikan diri dengan baik, meskipun dia sendiri memberikan kebaikan kepada orang lain dengan menolong atau membantu, namun karena dengan kesadaran kepekaannya tentang segala kebaikan yang bersumber dari Tuhan, maka ta’alluq menjadi pupuk dalam pembentukan karakter seorang individu yang rendah hati.

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

11Udin Saripudin Winataputra, “Peranan Perguruan Tinggi dalam Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan”, Kumpulan makalah pada seminar nasional dan launching Himpunan Sarjana PAI se-Indonesia, Jakarta 05 Juni 2010, h. 4.

3.฀ Takhalluq (moral doing)

Setelah tahaqquq dan ta’aaluq terbentuk sebagai kekuatan nalar dan emosional karakter, maka siswa akan mampu memanifestasikan karakter-karakter baik dalam dirinya. Manifestasi karakter perwujudan dari kedua unsur tersebut adalah menunjukkan integritasi spiritualitas dalam pembentukan karakter. Kepedulian terhadap sesama akan memiliki makna yang kuat pembentukannya yang dipengaruhi dengan meneladai sifat Allah dan Rasul-Nya. Ia akan merasakan kepeduliannya bernilai, meski tidak ada orang lain yang memberikan penilaian.

Jadi, karakter Insan kamil merupakan perwujudan tahapan pembentukan karakter tersebut secara matang, baik dalam lingkungan

Dokumen terkait