• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Analisis Data

1. Muatan Konformitas dalam Novel Teenlit Rahasia Bintang

Novel teenlit Rahasia Bintang karya Dyan Nuranindya merupakan novel remaja yang tidak hanya bercerita tentang kisah cinta khas remaja. Namun di dalam alur ceritannya mengandung beberapa konformitas negatif yang dilakukan oleh para remaja, khususnya anak SMA. Seperti yang telah di bahas pada bab II, konformitas adalah apabila sejumlah orang dalam kelompok

mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama. Penulisan Rahasia Bintang akan disingkat menjadi RB agar lebih memudahkan pemahaman informasi dalam analisis data.

Konformitas yang dilakukan oleh remaja bisa berbentuk positif maupun negatif. Manusia juga dapat melakukan konformitas pada bentuk-bentuk perilaku negatif. Bagaimana cara manusia dapat mengikuti norma sosial, sebenarnya tidak terlepas dari adanya tekanan-tekanan untuk bertingkah laku dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial. Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat meneggelamkan nilai-nilai personalnya. Sarwono menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja maka biasanya hal ini sering dianggap juga sebagai faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Misal saja seks bebas, perilaku agresif remaja anggota geng motor, dan perkelahian atau tawuran antar pelajar (dalam Trida, 2007: 76).

Muatan konformitas yang terdapat dalam novel teenlit Rahasia Bintang

sebagai berikut.

a. Aktif di Kegiatan Organisasi Sekolah

Berorganisasi di sekolah secara tidak langsung akan memengaruhi siswa untuk melakukan konformitas dengan mentaati dan menjalankan tata tertib yang berlaku dalam organisasi tersebut. Seorang individu yang aktif dalam organisasi akan menganut norma kelompok untuk menyesuaikan diri dengan kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Baron dan Byrne yang mengatakan, “Konformitas remaja adalah penyesuaian perilaku remaja untuk menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana remaja berperilaku.” (2005: 206). Data yang tedapat dalam RB berikut akan mendukung pernyataan di atas.

... . Meskipun termasuk anak baru, Keisha langsung masuk ke jajaran kepengurusan OSIS SMA Persada (RB, 2012: 31)

“Tob, aku mau ke ruang OSIS dulu nih. mau naruh dokumen buat bikin proposal perpisahan besok. Kamu masuk ke kelas duluan aja.” ucap Keisha ketika mereka tiba di sekolah (RB, 2012: 36).

Tasya tersenyum. “Oh... itu, aku lagi mau narikin anggota buat tim

cheerleader yang baru. Sebentar lagi kan kia udah mau lulus, jadinya aku harus nyari anggota baru biar bisa regenerasi.” (RB, 2012: 53). Tokoh Keisha dalam RB merupakan siswa yang aktif dalam organisasi. Data di atas menunjukkan keikutsertaan Keisha dalam OSIS semenjak ia pindah sekolah di Jakarta. Keisha tampak patuh dan bertanggung jawab terhadap kewajibannya sebagai salah satu staf OSIS. Sementara itu, tokoh Tasya adalah teman sekolah Keisha yang menjadi ketua organisasi cheerleader. Pada data tersebut, Tasya sedang menjalankan tugasnya sebagai ketua dalam organisasi, yaitu persiapan perekrutan anggota baru untuk regenerasi anggota pada organisasinya.

b. Merokok

Rokok tidak hanya dikonsumsi oleh orang dewasa tetapi remaja usia SMA banyak yang sudah mengonsumsi bahkan kecanduan rokok. Meniru remaja lain, agar diakui, dan merasa terikat dengan kelompok teman sebaya merupakan tindakan konformitas yang menyebabkan remaja merokok, selanjutnya remaja merasa kecanduan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Widianti yang menyatakan bahwa kegiatan merokok oleh remaja biasanya dilakukan didepan orang lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat tertarik kepada kelompok sebayanya atau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya (2007). Selanjutnya, dalam makalahnya Widianti (mengutip pendapat Al Bachri) menyatakan:

Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya bahkan teman-teman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok (2007: 7).

Banyak di antara siswa-siswa SMA yang merokok di lingkungan sekolah. Akibatnya, lingkungan sekolah menjadi tercemar dan terlihat

berantakan karena ulah siswa-siswa yang merokok. Biasanya mereka merokok secara diam-diam, baik itu dilakukan di dalam kelas pada saat istirahat maupun di toilet. Tidak jarang terdapat siswa yang ketahuan merokok oleh guru kemudian mereka diberi sanksi. Namun pemberian sanksi seakan tidak membuat jera para murid yang merokok di lingkungan sekolah. Data dari kutipan RB berikut adalah contoh realita siswa SMA merokok di lingkungan sekolah.

“Ssstt... woi! Kamtib dateng!” Udo memberi kode kepada anak-anak di kantin ketika melihat Pak Kardiman datang memeriksa anak-anak yang merokok di kantin. Anak-anak lain yang lagi asyik ngerokok buru-buru membuang puntung rokok mereka jauh-jauh (RB, 2012: 57).

Data di atas menunjukkan kejadian siswa-siswa SMA Persada yang sedang merokok di kantin sekolah, diperiksa oleh seorang guru yang bernama Pak Kardiman. Dalam kejadian itu, tokoh Udo memperingatkan kepada teman-temannya bahwa Pak Kardiman mendatangi mereka yang sedang asyik merokok di kantin sekolah. Setelah mengetahui ada guru yang memeriksa, sebagian dari mereka membuang puntung rokok untuk menghilangkan bukti agar tidak terkena hukuman karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah.

c. Perilaku Mencontek

Perilaku mencontek sudah tidak asing lagi di dunia pendidikan Indonesia. Perilaku mencontek sering dilakukan oleh beberapa pelajar, khususnya pelajar jenjang SMA. Siswa SMA yang mencontek biasanya disebabkan oleh faktor teman sekitar. Salah satunya adalah tindakan konformitas. Siswa mencontek karena ingin ikut-ikutan teman yang lain dan agar tetap dapat diterima oleh teman-temannya. Seperti yang disampaikan oleh Santrock yang menyatakan, “Konformitas kelompok bisa berarti kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh kelompoknya tersebut.” (Trida, 2007: 76).

Pada dasarnya, siswa yang diconteki tidak selalu menuruti hati nuraninya, terkadang ia sebenarnya enggan untuk memberi jawaban PR pada siswa lain ataupun pada saat ujian. Agar siswa yang diconteki tidak dimusuhi dan tetap dianggap oleh teman-temannya maka ia terpaksa memberi contekan pada siswa lain. Hal tersebut merupakan contoh tindakan konformitas agar seorang individu tetap diakui dan diterima oleh kelompok teman sebaya. Bagi siswa-siswa yang mencontek, mereka mengikuti kebiasaan teman lainnya yang gemar mencontek. Apabila terpengaruh teman-temannya yang memiliki kebiasaan mencontek, maka seorang siswa yang pada awalnya tidak pernah mencontek jadi ikut-ikutan mencontek. Data dari kutipan RB berikut merupakan contoh tindakan mencontek PR yang dilakukan siswa SMA.

... . Saat itulah anak yang biasanya nggak dianggap di lingkungan sekolah lantaran kerjaannya cuma melototi buku pelajaran di perpustakaan, mendadak jadi selebriti. Dikejar-kejar, ditraktir, bahkan baru aja sampai gerbang, udah langsung dibawain tasnya. Apalagi kalo bukan dengan imbalan dicontekin PR-nya! Soalnya biasanya anak-anak suka males ngerjain PR kalau pelajarannya terlalu susah. Makanya satu-satunya cara adalah datang lebih awal dan nyontek punya teman (RB, 2012: 35).

Data di atas menunjukkan adanya konformitas yang dilakukan oleh siswa saat mencontek. Siswa yang merasa kesulitan mengerjakan PR, enggan mengerjakan sendiri dan ikut-ikutan teman yang lain untuk mengerjakan PR di sekolah Mereka mencontek teman kelas yang dianggap pintar. Siswa yang diconteki dperlakukan spesial oleh siswa-siswa lain. Oleh karena itu, mau tidak mau siswa yang diconteki memberikan jawaban PR kepada siswa lain.

... . Meskipun setiap ulangan selalu dalam bentuk pilihan ganda, tetep aja soal dan jawabannya panjang-panjang banget. Bikin murid-murid males ngerjain. Alhasil, mereka malah sibuk dengan kegiatan masing-masing sambil menunggu kiriman jawaban dari sumber terpercaya. Dari anak paling pinter tentunya (RB, 2012: 92).

Aji malah sibuk tengok kiri-kanan dan melempar kertas pada yang lain untuk meminta kirima jawaban. Tapi apa daya salah satu lemparannya nggak sengaja mengenai Pak Sinaga, guru Sejarah yang tengah asyik membersihkan telingan dengan cotton-bud... .

“Kau itu mencontek, ya?” “Nggak, siapa bilang?” ... .

SREEK! Ketas jawaban Aji terbelah dua. Pak Sinaga merobeknya tepat di hadapan Aji (RB, 2012: 93).

Data di atas menunjukkan perilaku siswa SMA yang mencontek saat ulangan. Karena konformitas, kebanyakan siswa menggantungkan jawaban ulangannya kepada siswa lain. Keadaan tersebut dipicu karena siswa mengikuti tindakan siswa lain. Siswa yang pada awalnya mengerjakan ulangan tanpa mencontek, ikut-ikutan siswa lain untuk mencontek.

Pada tokoh Aji, disebutkan pada data di atas kepergok guru sedang mencontek. Ia diberi hukuman. Kertas jawaban ulangannya disobek dan ia dikeluarkan dari kelas. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya dari pihak guru sebagai pendidik sudah menerapkan penertiban yang cukup ketat. Namun perilaku mencontek oleh siswa masih belum bisa dihindari karena kebanyakan siswa sudah menganggap mencontek itu adalah hal yang biasa, sehingga menjadi kebiasaan.

d. Membolos Sekolah

Apabila siswa SMA merasa jenuh karena merasa terlalu berat terhadap beban pelajaran di sekolah maka ia akan melampiaskannya dengan tindakan melanggar peraturan, salah satunya dengan membolos sekolah. Selain faktor beban pelajaran yang terlalu berat, seorang siswa akan membolos sekolah jika mendapat ajakan dari siswa lain. Dengan kata lain, siswa yang membolos telah melakukan tindak konformitas, yaitu mengikuti perbuatan yang dilakukan siswa lain. Sejalan dengan pendapat Jalaludin yang mengatakan bahwa konformitas adalah apabila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama (2004).

Siswa yang diajak temannya membolos sekolah akan sulit menolak dengan alasan rasa setia kawan dan agar tidak dijauhi teman-temannya. Hal tersebut sulit dihindari oleh siswa. Apabila siswa tidak memiliki pendirian kuat maka ia akan mudah terpengaruh dan melakukan konformitas negatif,

yaitu bersama-sama membolos dan menghabiskan waktu di luar sekolah saat jam pelajaran sekolah dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat bahkan mengarah ke perilaku melanggar norma.

Dalam RB, lewat tokoh Aji dan Darren perilaku konformitas dalam hal ajakan membolos antara siswa dengan siswa lain dapat ditunjukkan pada data berikut.

“Eh.. Cabut yuk!” Naluri setan Aji mulai keluar.

Darren mengerutkan alisnya seraya berpikir. “Hmm... boleh juga.” Setelah mengendap-endap mengambil tas sekolah mereka di kelas dengan gaya prajurit perang gerilya zaman Jenderal Sudirman, akhirnya Darren dan Aji menatap penuh cinta tembok belakang sekolah.

OK, let’s do it!” Darren menggosok kedua telapak tangannya dan mulai menaiki tumpukan kursi kayu yang sengaja diletakkan di gudang belakang karena rusak. Tangannya menggapai puncak tembok dan dengan mengerahkan kekuatan ia sukses duduk di atasnya. Aji melemparkan tas sekolah mereka serta skateboard andalannya. Dengan tangkas Darren menangkapnya (RB, 2012: 95-96).

Data di atas menunjukkan bahwa tokoh Aji mengajak tokoh Darren untuk membolos sekolah. Darren yang notabene teman akrab Aji melakukan konformitas terhadap Aji, yaitu sepakat dengan ajakan Aji. Mereka berdua telah melakukan perbuatan yang melanggar peraturan sekolah. Mereka membolos sekolah dengan cara memanjat dinding belakang sekolah.

e. Aksi Balap Liar di Jalan

Pada RB terdapat peristiwa yang menunjukkan konformitas, yaitu aksi kebut-kebutan di jalan. Konformitas tersebut dilakukan oleh tokoh yang bernama Aji dan Darren, dua orang sahabat yang sering melakukan balap liar, yaitu balap mobil dengan taruhan. Pada tahap pengenalan tokoh dalam cerita digambarkan bahwa mereka berdua melakukan balap mobil hanya untuk mencari kesenangan, taruhan untuk hal sepele, dan adu kemampuan untuk membuktikan siapa yang nomor satu. Berikut data yang dapat mendukung pernyataan di atas.

Deru mesin mobil membumbung tinggi di angkasa. Dua remaja menancap gas, mengadu kecepatan di jalan panjang menuju daerah puncak. Tak peduli tikungan tajam dan curamnya jurang yang siap

menghadang. Kedua mobil itu terus ngebut tanpa sedetikpun berniat menurunkan kecepatan (RB, 2012: 24).

Ini bukan pertama kalinya kedua sahabat ini bertaruh untuk membuktikan siapa yang lebih jago urusan ngebut. Emang gila kalau dipikir, kok nyawa dibuat mainan sih? Tapi begitulah mereka, selalu mencari-cari sesuatu untuk mencari kepuasan diri mereka tanpa memedulikan bahaya yang ada di depan mata (RB, 2012: 26).

Kedua tokoh tersebut bersaing untuk menjadi nomor satu, melakukan konformitas tanpa menghiraukan resiko yang dapat mengakibatkan kematian. Apabila belum mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu menang dari balapan maka seorang remaja akan merasa penasaran dan selalu ingin mencoba hingga tujuannya tercapai. Hal tersebut dapat didukung dengan data berikut.

“Jangan panggil gue Aji kalo gue kalah sama orang macem lo!” Aji menyenderkan tubuhnya ke mobil. “Makanya, jangan pernah nantangin gue kalo elo belum yakin bisa ngalahin gue. Udah gue bilang, elo itu nggak akan bisa jadi nomor satu...”

... .

“Sialan! Gue pasti bakal ngalahin elo Ji. Liat aja nanti.”

“Oke. Kita liat nanti,” jawab Aji dengan nada meremehkan. “One glass. Sesuai perjanjian”. (RB, 2012: 25).

Aksi kebut-kebutan di jalan sering terjadi dan dilakukan oleh sekumpulan remaja. Aksi brutal itu sering terjadi di kota-kota besar dan menjadi keresahan dan rasa tidak aman bagi masyarakat setempat. Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Sarah Irawati dan Agustin Handayani yang menyatakan bahwa Salah satu bentuk agresivitas yang cukup meresahkan masyarakat adalah agresivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah geng motor, khususnya di kota Bandung. Fenomena ini cukup menyita perhatian banyak pihak, selain karena tindakan kekerasan yang dilakukannya juga karena pelakunya sebagian besar adalah remaja (2010).

Pada contoh realita, kebut-kebutan dilakukan oleh sekelompok geng

motor yang sebagian besar anggotanya adalah remaja. Selain meresahkan masyarakat, aksi brutal mereka juga melanggar ketertiban lalu lintas dan dapat ditindak pidana. Seperti pendapat Insanti yang menyatakan:

klub motor yang tidak terorganisir dengan baik dan tidak menerapkan kontrol yang ketat dapat memberi pengaruh konformitas yang tidak baik. Hal ini dapat memunculkan perilaku para anggotanya yang tidak bertanggung jawab dalam berkendara yaitu melanggar tata tertib lalu lintas, misalnya melakukan kebut-kebutan dan balapan liar. Kondisi ini juga bisa dipengaruhi oleh usia remaja yang masih dalam tahap masa perkembangan dan pencarian identitas diri sehingga kurang mampu mengontrol emosi dengan baik (2010: 8).

f. Clubbing

Konformitas lain yang dilakukan oleh remaja yang tertuang dalam RB

adalah clubbing. Emka (2003) mendefinisikan clubbing sebagai bentuk aktivitas yang dilakukan oleh remaja dengan kegiatan bersenang-senang ke tempat hiburan yang sedang menjadi trendsetter seperti kafe, diskotik atau

lounge dengan berdisko, minum alkohol sampai mencari kenalan atau teman baru (Sukmawati dkk., 2008: 4).

Dalam RB, aktivitas clubbing dapat ditunjukkan dengan data berikut. “... Udah gitu setiap kali elo putus sama cewek, pasti tuh cewek yang mohon-mohon minta balik. Nah gue? Mohon-mohon minta balik sih nggak, tapi ditampar, iya,” ucap Darren ketika ia mentraktir Aji minum di bar... (RB, 2012: 26).

... .

Suara dentuman musik terdengar keras di dalam bar. kilatan lampu warna-warni turut meramaikan suasana. Suara tawa terdengan dari mana-mana (RB, 2012: 27).

Data di atas menunjukkan bahwa beberapa tokoh dalam RB tengah berkumpul dan bersenang-senang di bar. Kegiatan clubbing dilakukan beberapa tokoh RB yang notabene masih anak SMA. Mereka gemar dengan pergaulan malam, mengkonsumsi minuman beralkohol, dan berpesta. Hal tersebut menunjukkan konformitas negatif yang dilakukan kelompok melalui tokoh Aji dan kawan-kawan.

Clubbing dipersepsikan sebagai suatu hal yang negatif karena merupakan kegiatan di tempat gelap dengan warna warni cahaya lampu, asap rokok yang memenuhi ruangan, suasana hingar bingar musik dari live band atau para disc jockey (DJ), dan meja bar dengan berbagai macam minuman beralkohol bahkan narkoba. Pelaku clubbing yang biasa disebut

menggoyangkan kepala, berteriak-teriak dan menari di lantai dansa diiringi musik dengan tempo cepat.

Berbagai aktivitas saat clubbing seperti mengkonsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan, merokok tanpa kontrol di dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik memberi dampak buruk pada kesehatan. Selain itu, aktvitas clubbing juga dapat menjeremuskan para remaja pada tindakan buruk, seperti seks bebas, narkoba, dan terbiasa dengan kehidupan malam.

Tokoh-tokoh dalam RB yang digambarkan oleh pengarang melakukan aktivitas clubbing antara lain Aji, Darren, Junet, dan Udo. Mereka berempat adalah satu kelompok remaja yang digambarkan oleh pengarang selalu bersama-sama dalam setiap aktivitas, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal tersebut didukung dengan data berikut.

Saat bel istirahat, seperti biasa Aji nongkrong bareng gengnya di kantin. Geng Aji punya meja khusus. Nggak satupun murid SMA Persada berani duduk di meja itu, kecuali mau cari gara-gara. Maklum, gengnya Aji isinya terkenal pentolan ribut semua (RB, 2012: 54).

g. Berkelahi dan Tawuran

Tawuran adalah bentuk output konformitas negatif yang sering dilakukan oleh remaja usia SMA. Selain rasa dendam dan sakit hati, anak SMA melakukan tawuran karena dipengaruhi teman-teman yang lain. Bahkan ada yang mendoktrinasi siswa baru untuk ikut serta tawuran. Karena anak baru harus menyesuaikan diri dan merasa takut dikucilkan, maka mereka harus mentaati perintah ataupun sugesti yang diberikan siswa yng sudah senior. Padahal belum tentu siswa baru tersebut setuju dengan apa yang diyakini siswa senior yang mengharuskan tawuran sebagai bentuk kesetiakawanan. Maka dari itu, siswa baru melakukan konformitas terhadap siswa yang lebih senior.

Kenakalan remaja tidak dapat dilepaskan dari konteks kondisi sosial budaya pada jamannya (Kartono, 2006: 101). Berkelahi dan tawuran merupakan tindak kekerasan yang banyak dilakukan oleh para remaja,

khususnya remaja usia SMA. Contohnya seperti yang diungkapkan dalam hasil penelitian Rambe yang menyatakan:

Pada tahun 1990-an perkelahian antar pelajar sedang marak-maraknya di Jakarta, banyak sekali siswa SMA yang melakukan tawuran. Perkelahian terjadi karena masalah sepele. Seringkali, perkelahian tersebut terjadi pada tempat-tempat yang biasa mereka lewati dengan cara saling melempar batu dan berkelahi menggunakan senjata maupun benda-benda di sekitar mereka. Selain berkelahi, mereka juga melakukan perusakan terhadap bus-bus kota dan fasilitas umum di sekitar tempat kejadian, termasuk mobil pribadi yang sedang melintas (Sarwono, dkk, 2009: 110).

Pengarang memasukkan unsur konformitas negatif lain dalam RB, yaitu perkelahian dan tawuran antar pelajar. Setting kejadian ini bertempat di Jakarta, sama halnya dengan realita sekarang bahwa tawuran antar pelajar SMA sering terjadi di kota-kota besar. Data berikut dapat mendukung pernyataan tersebut.

... Keisha melihat segerombolan anak sekolah lain berlarian. Suasana sangat gaduh. Oh... Tawuran! orang-orang di jalanan langsung menyingkir... .

... Batu-batu beterbangan di udara. Seorang anak SMA bocor kepalanya terkena lemparan batu sekolah musuh... .Pemandangan kayak gini hampir setiap hari terjadi (RB, 2012: 41).

... Kalau mobil polisi sudah datang, barulah anak-anak yang tawuran lari terbirit-birit ke tempat persembunyian... (RB, 2012: 42).

Dari data di atas dapat diketahui bahwa tokoh Keisha menyaksikan sekumpulan anak sekolah melakukan tawuran. Dalam keadaan yang tampak pada data di atas, tawuran menyebabkan terjadinya kericuhan dan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar. Tawuran berhenti ketika polisi datang dan mengkondisikan kericuhan yang terjadi.

Tawuran antar pelajar dapat dikatakan sudah menjadi hal yang biasa bahkan sudah menjadi bagian dari tradisi. Hal tersebut merupakan bentuk perilaku menyimpang dari remaja yang menjadi keresahan masyarakat setempat karena tawuran sudah termasuk tindak kriminal dan anarki. Seperti yang disampaikan oleh Kartono bahwa:

Anak-anak remaja yang melakukan aksi perkelahian antargang dan antarsekolah yang seringkali tidak sadar melakukan tindak kriminal

dan antisosial itu pada umumnya adalah remaja dari keluarga baik-baik tapi kurang mendapatkan perhatian dari keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, mereka menuntut suatu perhatian lebih untuk mendapatkan pengakuan lebih terhadap ego mereka yang merasa tersisih (2006: 104).

Berikut adalah data yang mendukung bagaimana para pelajar yang melakukan aksi tawuran yang menimbulkan rasa resah di benak Keisha, yaitu salah satu tokoh RB yang digambarkan melalui curhatannya kepada bintang-bintang di langit.

“Bintang... hari ini aku liat tawuran lagi. Kenapa sih orang-orang pada gak takut mati? Apa sekarang ini nyawa udah gak berharga lagi? Padahal di rumah sakit banyak banget orang-orang yang mati-matian bertahan hidup...”

“... Bintang, kenapa sih orang dengan gampang melakukan kekerasan hanya untuk mewujudkan keinginannya? Apa yang terjadi di dunia ini? Aku jadi takut. Aku takut kejahatan orang-orang yang menganggap hidup nggak berarti lagi itu menimpa orang-orang yang