• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Manfaat Penelitian

2. Multikulturalisme di Indonesia

Robert Hefner menyebut jika Amerika Serikat, Kanada, dan

Australia memiliki model “Anglo American” atau “Anglo conformist”

dalam politik masyarakat multikulturnya. Pemerintah dan masyarakat negara tersebut di awal peradabannya tidak ragu-ragu untuk membuang para penduduk pribumi dari tanah tumpah darah mereka. Konsisten dengan proyek pemukimannya, negara-negara tersebut lebih bersedia menyambut imigran asing daripada rekan-rekan mereka di Eropa daratan—selama para pendatang baru itu bersedia dan mampu

berasimilasi dengan prototipe-prototipe linguistik, kultural, dan ras mayoritas (Hefner, 2007: 14).

Sebagai pemahaman awal, di ketiga negara tersebut stabilitas bisa mudah dicapai sebab asimilasi menjadi syarat utama warga pendatang jika ingin menjadi warga negara. Namun, sebagaimana Hefner mengutip Furnival, masalah kritis dalam masyarakat-masyarakat seperti yang ada di kepulauan Asia Tenggara adalah bagaimana memfasilitasi interaksi damai dan kooperatif dalam suatu masyarakat dimana para warganya tak memiliki perasaan mengenai diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau budaya (Hefner, 2007: 17).

Beruntung, praktik perdagangan menjembatani permasalahan tersebut. Furnivall menggambarkan seting masyarakat multikultur khas

Asia Tenggara dengan “seksi-seksi” etnis dan relijius secara keseluruhan

membentuk masyarakat yang berlainan satu sama lain sehingga mereka tak memiliki banyak persamaan selain pertukaran pasar mereka (Hefner, 2007). Reid (1993) menilai bahwa kondisi “kota dagang Asia Tenggara

adalah titik temu pluralistis dari orang-orang dari segala penjuru Asia

maritim.” (dikutip dari Hefner, 2007: 31).

Pemersatu kultural lain yang tak kalah penting adalah bahasa. Menurut Hefner (2007), ada dimensi linguistik yang menarik pada pola yang disebut etnisitas yang saling merembes (permeable ethnicity). Sejak abad ke-16 bahasa Melayu menjadi “bahasa kecendikiaan, niaga,

diplomasi, dan agama yang paling terkemuka.” Praktis bahasa Melayu

digunakan di semua daerah di Asia Tenggara, mungkin kecuali Vietnam. Hefner mengandaikan sekaligus menganalisis jika kotak-kotak etnis di Asia Tenggara memiliki batas-batas yang tegas atau bersifat oposional dan keras, maka penyebaran linguistis tersebut pasti akan lambat dan kurang merata. Sebagaimana masih terjadi sekarang ini, dan bukannya dipertentangkan secara keras, identitas-identitas etnis rupanya dipayungi oleh suatu rasa trans-etnis peradaban Melayu-Indonesia (Hefner, 2007: 32).

Praktik imperialisme dan kolonialisme negara-negara Eropa di Asia Tenggara termasuk Indonesia kemudian terjadi selama beberapa abad. Tentu saja orang-orang Eropa tidak menciptakan masyarakat majemuk di tempat yang sebelumnya tidak ada. Namun sebagai imperialis dan kolonialis mereka juga bukan sekedar saksi pasif yang melihat suatu evolusi endogen yang unik (Hefner, 2007).

Furnivall pernah meramalkan bahwa jika orang-orang Eropa melepaskan peran mereka sebagai majikan penjajah maka kemerdekaan akan mendorong negara-negara baru ke dalam neraka anarki. Ternyata ia keliru. Kepemimpinan pribumi yang baru ternyata lebih terampil dalam menjalankan mesin-mesin pemerintahan daripada yang dibayangkan oleh Furnivall (Hefner, 2007: 20).

Setelah Indonesia memprklamasikan kemerdekaannya, kasta-kasta rasial yang digunakan kaum kolonialis untuk membedakan

elemen-elemen masyarakat dihilangkan. Dengan kata lain, stratifikasi sosial yang berbentuk vertikal dihapus, digantikan dengan diferensiasi yang berbentuk horizontal. Menandakan sebuah semangat kesetaraan diantara perbedaan yang (populer) didasarkan pada konsep SARA atau Suku, Ras, Agama, dan Antar golongan, dan diwadahi dalam satu sistem politik nasional (yang akhirnya) berbentuk negara kesatuan.

Selama 3 era besar sejarah Indonesia modern, yaitu selama pemerintahan Soekarno di awal kemerdekaan, Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, dan di era Pasca Reformasi tahun 1998, masing-masing rezim memiliki proyek politik multikulturalisme-nya yang khas serta konsekuensi-konsekuensinya.

Banyaknya pemberontakan lokal di awal kemerdekaan saat Soekarno berkuasa misalnya, membuat kondisi politik di era Orde Baru terasa sangat otoriter dan asimilasionis (model politik multikulturalisme ala Bikhu Parekh). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan

“khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno” dan

masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menunjukkan kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme (Azra, 2013).

Secara restrospektif, politik monokulturalisme pada rezim Orde Baru yang mengatasnamakan stabilitas demi melancarkan politik pembangunan (fisik) atau developmentalism telah menghancurkan local

republik nagari di Sumatera Barat dan lain sebagainya. Selain menghancurkan banyak kearifan lokal, politik monokulturalisme pada akhirnya juga mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal. Kekerasan dan konflik yang bernuansa etnis dan agama yang khususnya marak sejak 1996 tak bisa dilepaskan dari fenomena tersebut (Azra, 2013).

Klinken (2004) mengutip Ted Gurr dalam membagi konflik suku bangsa seperti yang marak terjadi di Indonesia ke dalam lima kategori: (1) Etnonasionalis, yaitu satuan etnik yang hidup dalam wilayah tertentu dan ingin memisahkan diri dari negara (misalnya: Aceh, Papua); (2) Persaingan komunal, yaitu persaingan antar kelompok untuk meraih kekuatan politik (Kristen vs Muslim di Ambon dan Poso); (3) Etnokelas, yaitu upaya suku bangsa tertentu untuk mencapai persamaan hak dan mengatasi diskriminasi sebagai imigran dan minoritas; (4) Masyarakat adat, yaitu mereka hidup dalam wilayah tertentu dan menginginkan otonomi yang lebih besar dari negara yang memerintah untuk melindungi tanah adat (misalnya: Papua, Dayak di Kalimantan); dan (5) Sekte agama militan, yaitu kelompok-kelompok kecil yang berjuang untuk ideologi agama (misalnya Laskar Jihad) (Asyhari-Afwan, 2015).

Kategori-kategori tersebut kenyataannya kadang tidak berlangsung secara terpisah. Seringkali konflik suku bangsa berlatar agama sebenarnya dipengaruhi persaingan komunal dari kalangan elit tertentu untuk merebut kekuasaan (Asyhari-Afwan, 2015: 8).

Koffi Anan selaku Sekjen PBB pernah menyinggung permasalahan konflik tipe etnonasioalis dalam pidatonya saat berkunjung ke Indonesia pada 2005 silam, atau 7 tahun setelah reformasi mengguncang Jakarta dan konsep tentang multikulturalisme yang sebenar-benarnya sedang ramai diperbincangkan kembali.

Minoritas harus diyakinkan bahwa negara benar-benar milik mereka, juga milik mayoritas, dan bahwa keduanya akan menjadi pecundang kalau negara pecah. Konflik-konflik hampir pasti terjadi kalau respon negara terhadap separatisme menimbulkan penderitaan yang meluas di wilayah atau diantara kelompok etnik yang ingin memisahkan diri itu. Akibatnya adalah membuat makin banyak orang merasa bahwa negara bukanlah negara mereka, dan ini sama saja dengan memberi separatisme para pendukung baru. (dikutip dari Budiman, 2009: xvi).

Sebuah masyarakat multikultur tidak mampu stabil dan bertahan lama tanpa adanya perasaan saling memiliki yang dirasakan para warganya. Tak berdasarkan etnis atau karakteristik budaya atau karakteristik tertentu. Masyarakat multikultural terlalu beranekaragam untuk kategori tersebut. Namun secara alamiah bersifat politis dan didasarkan pada komitmen terhadap komunitas politik (Parekh, 2008).

Ketegangan antara mayoritas dan minoritas atau konflik antar kelompok etnis, agama, dan golongan adalah permasalahan klasik yang hampir selalu mewarnai perjalanan negara yang multikultur. Terkadang keduanya tumpang tindih: mayoritas yang terdiri satu etnis besar yang berkonflik dengan minoritas yang terdiri dari satu kelompok etnis kecil.

Keluar dari era otoritarianisme Orba membawa Indonesia kepada dilema: di satu sisi ada tuntutan untuk agar kemajemukan dan

identitas-identitas partikular tidak akan lagi menerima represi, atau dengan kata lain kebijakan pemerintah yang mengarah ke asimilasi serta homogenisasi kultural harus ditinggalkan, namun di sisi lain perayaan akan diversitas

tersebut juga memunculkan “eksplosi” alias konflik SARA di sembarang

tempat (Budiman, 2009).

Sebuah tanda jika perayaan diversitas kultural tak dikelola dengan tepat maka akan berakhir buruk, sebab berakhirnya Orba seakan turut membuat absennya nilai-nilai yang dibagi bersama (shared value) yang mengikat sebagai sebuah bangsa, dan bahwa negara-bangsa dan proses demokrasi harus didasarkan denominator bersama (Budiman, 2009: 7).

Konflik berbau SARA di Indonesia berangkat dari beragam pandangan dan sikap yang bertentangan dengan semangat multikulturalisme. Sikap etnosentris sampai berujung ke tindakan diskriminatif pada dasarnya berangkat dari persepsi satu orang terhadap orang lain, atau satu kelompok terhadap kelompok lain. Persepsi menentukan sikap atau perilaku baik perorangan maupun kelompok.

Branca (1964) dan Wordworth dan Marquis (1957) menjelaskan jika persepsi dimulai dari proses penginderaan. Penginderaan adalah proses diterimanya stimulus oleh individu melalui panca indera. Stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf. Inilah yang disebut dengan proses persepsi. Sebuah proses yang terjadi setiap saat (dikutip dari Walgito, 2003: 53).

Menurut Davidoff (1981), persepsi membuat individu menyadari dan mengerti tentang lingkungan sekitarnya dan tentang dirinya sendiri. Dalam konteks hubungan sosial sehari-hari, Heider (1958) menyebut social perception atau persepsi sosial, atau sebuah persepsi yang berkaitan dengan variabel-variabel sosial.

Definisi Lindzey dan Aronson yang merujuk Taiguri (1975) tentang persepsi sosial adalah suatu proses seseorang untuk mengetahui, menginterpretasikan, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya, dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi (dikutip dari Walgito, 2003).

Persepsi sosial adalah aktivitas yang integrated, merujuk temuan Moskowitz dan Orgel (1969), pikiran, perasaan, kerangka acuan, pengalaman-pengalaman atau dengan kata lain keadaan pribadi orang yang mempersepsi akan berpengaruh dalam seseorang mempersepsi orang lain (dikutip dari Walgito, 2003).

Berangkat dari persepsi yang keliru, muncul beberapa penyakit budaya yang menjadi pemicu konflik berbau SARA di Indonesia. Mengutip Sutarno (2007), penyakit budaya tersebut antara lain adalah etnosentrisme, stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan diskriminasi, (dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010).

Etnosentrisme atau sikap etnosentris adalah kecenderungan untuk melihat nilai atau norma kebudayaannya sendiri sebagai sesuatu yang

mutlak serta menggunakannya sebagai tolak ukur kebudayaan lain (Herimanto dan Winarno, 2010: 113).

Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena ia berasal dari kelompok lain (Herimanto dan Winarno, 2010: 112). Stereotip menurut Allan G. Johnson (1986) adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan atau pengalaman tertentu (dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010).

Stereotip biasanya berawal dari prasangka: pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak teruji sebelumnya. Prasangka yang menghinggapi orang akan membuatnya tak dapat berfikir logis dan objektif (adil), dan segala dinilainya sebagai sesuatu yang negatif (Herimanto dan Winarno, 2010).

Scape goating adalah pengkambing hitaman, atau sebuah teori jika individu yang tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan tersebut dapat ditangguhkan ke orang lain (Herimanto dan Winarno, 2010). Persis seperti apa yang dilakukan Nazi terhadap warga Yahudi yang dinilai menyebabkan kekacauan politik dan ekonomi Jerman.

Rasisme secara sederhana adalah sikap anti terhadap ras lain atau ras tertentu di luar ras sendiri. Rasisme adalah bentuk diskriminasi yang didasarkan atas perbedaan ras. Diskriminasi sendiri adalah tindakan

membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya, atau dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas (Herimanto dan Winarno, 2010: 112-113).

Pratiwi (2010) mendefinisikan kelompok minoritas sebagai orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya (mayoritas) sehingga mudah mendapat perlakuan tak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup. Mereka yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan (Ibid).

Ada pertentangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, dimana kelompok mayoritas adalah golongan yang menikmati status sosial lebih tinggi dan keistimewaan yang lebih banyak. Mereka mengembangkan seperangkat prasangka terhadap kelompok minoritas yang didasarkan pada (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing; dan (3) adanya klaim pada golongan dominan bawa sebagaian besar akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya-sumber daya tersebut (Pratiwi, 2010: 5).

Perlu diketahui bahwa Minority Group International (MRG) tak membatasi penyebutan minoritas hanya pada unsur numerik (jumlah

kuantitatif), melainkan lebih memberi perhatian khusus pada faktor “non

-dominan” (baik etnik, agama, maupun linguistik) sebagai kategori untuk

membedakannya dari kaum mayoritas (Budiman, 2009).

Bagi Parekh, kesetaraan dalam masyarakat multikultur yang berfungsi untuk memelihara rasa memiliki yang sama memang penting, namun kewarganegaraan adalah mengenai status dan hak. Kepemilikan adalah mengenai diterima dan merasa diterima (Parek, 2008).

Diskriminasi pada minoritas yang berbeda disebabkan oleh perilaku sempit dan eksklusif. Meskipun individu-individu yang berstatus sebagai korban masih bebas secara prinsip untuk berpartisipasi dalam kehidupan kolektif, mereka sering memisahkan atau mengasingkan diri mereka karena takut terhadap penolakan dan cemoohan atau karena perasaan terasing yang mendalam (Parekh, 2008: 449).

Peluang menjadi masyarakat majemuk yang damai dalam bingkai multikulturalisme yang ditawarkan banyak ahli idealnya bukan semacam

“butik budaya” dimana diversitas kultural dianggap ada dari tampilan luar

yang beragam (gaya berpenampilan dan berpakaian) atau terlihat pada pertunjukan seni budaya saja. Namun bagaimana memperlakukan yang berbeda itu dengan berlandaskan kesederajatan/kesetaraan dan keadilan yang terwujud dalam hubungan sosial sehari-hari.

Dokumen terkait