SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
AKHMAD MUAWAL HASAN
10413244030
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL
v
“They laugh at me because I'm different. I laugh at them because they're all the
same.”
vi
segala latar belakang identitas dan komunitas kultural yang mau meluangkan
waktu untuk membaca isinya. Saya harap ada sedikit banyak yang bisa
direnungkan dan dibawa pulang. Atau jika ada manfaat yang terambil, baik untuk
kepentingan akademik maupun kepentingan positif lainnya, saya turut berbahagia.
Bersikap adil lah pada sesama. Bela selalu kemanusiaan dimana pun Anda
vii
Akhmad Muawal Hasan NIM. 10413244030
ABSTRAK
Multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui persamaan derajat atas elemen-elemen yang beragam yang ada pada satu masyarakat. Tumbuh pula penghargaan terhadap minoritas, keadilan yang diterima oleh semua elemen sesuai porsi dan haknya, serta terdapat interaksi sosial yang berkualitas baik dan mampu menjamin keutuhan masyarakat tersebut. Multikulturalisme di suatu tempat dinilai gagal jika berkembang persepsi negatif (prasangka, stereotip, stigma) hingga tindak intimidasi, diskriminasi, atau intoleransi dari satu atau beberapa elemen masyarakat (mayoritas) kepada satu atau beberapa elemen masyarakat atau komunitas sosial lainnya (minoritas). Penelitian ini berfokus untuk memahami proses integrasi dan akomodasi yang terjadi di Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY yang di dalamnya terdapat Asrama Deiyai untuk tempat tinggal mahasiswa Papua. Tujuannya untuk menguji seberapa berhasil praktik multikulturalisme berjalan di kawasan tersebut, serta untuk mengetahui tantangan praktik multikulturalisme di Yogyakarta di masa depan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana subjek penelitiannya dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Uji validitas data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi dan diskusi dengan ahli (expert). Teknik analisa datanya memakai analisis grounded theory.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum praktik multikulturalisme di Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY yang terdapat Asrama Deiyai—tempat tinggal mahasiswa Papua, sudah cukup berhasil. Proses integrasi dan akomodasi warga dusun kepada mahasiswa Papua yang tinggal di asrama berjalan cukup baik. Hak-hak mendasar bagi para penghuni asrama sudah terpenuhi dengan baik, termasuk kesempatan untuk melakukan aktivitas kultural khas Papua di asrama, selama bisa tetap kondusif dan tak mengganggu warga sekitar. Interaksi sosial yang terjalin cukup baik untuk menjamin kondisi di Tegalwaras tetap kondusif tanpa ada gesekan atau konflik. Pemahaman nilai-nilai multikulturalisme diterapkan oleh warga dusun maupun penghuni asrama tidak secara teoritis, tetapi langsung ke praktek. Proses integrasi penghuni asrama di Tegalwaras juga berjalan baik dan rekam jejak tersebut dilegitimasi oleh warga Tegalwaras sendiri. Persepsi negatif yang berkembang seputar orang Papua (pemabuk, perusuh, keras/kasar, tukang main perempuan, dan sebagainya) pun gugur dan tak berlaku bagi para penghuni asrama. Para penghuni asrama belajar untuk bersikap sopan khas orang Jawa dalam kesehariannya terutama saat bertemu dengan warga luar asrama. Terakhir, tantangan praktik multikulturalisme di Yogyakarta yang tersusun dari intisari pengalaman tak menyenangkan yang diterima para penghuni asrama sebelum tinggal di Tegalwaras adalah diskriminasi, intoleransi, dan pelanggaran HAM.
viii
MULTIKULTURALISME DI YOGYAKARTA: Integrasi dan Akomodasi
Mahasiswa Papua Asrama Deiyai” ini tidak lepas dari kerjasama dan bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Para responden yang bersedia membagi waktu dan cerita-certa
menariknya. Untuk Agus, Mikael, Markus, Moses, Yustinus dan penghuni
Asrama Deiyai lainnya, serta para warga Dusun Tegalwaras, terima kasih
banyak atas partisipasi dan kerjasamanya.
2. Amika Wardhana, Ph.D selaku dosen pembimbing yang sudah mau
menjadi teman diskusi yang baik mulai dari awal perumusan judul hingga
proses akhir. Banyak ilmu dan referensi bagus yang saya dapat. Terima
kasih banyak.
3. Nur Hidayah, M.Si., selaku dosen narasumber dalam skripsi ini. Terima
kasih masukan-masukannya.
4. Seluruh dosen di Jurusan Pendidikan Sosiologi yang sempat membagi
ilmu dan pengalamannya kepada penulis selama kuliah.
5. Kedua orangtua dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan baik
secara moril maupun materiil—tak lupa juga kesabarannya dalam menanti
penulis lulus.
6. Untuk Ana, terima kasih suguhan-suguhan enaknya. Benar-benar
ix
Tofik, Janti, Nia, Hanif, Joseph, Sofwan, Ebma, Oktandi, Najih, Irfah,
Netty, Rahardian, Nimas, etc: jangan capek reuni ya!
8. Teman-teman Pendidikan Sosiologi UNY 2010 kelas B dan A. Terima
kasih sudah menjadi rekan perkuliahan yang baik.
9. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini secara khusus
dan menyamankan proses belajar penulis di Jogja secara umum, yang
tentu tak bisa disebutkan satu per satu. Buruh bangunan kampus, petugas
kebersihan, petugas administrasi, petugas perpustakaan, bakul buku, ibu
kantin, ibu kos, aa‟ burjo, mas-mas fotokopian, teman-teman UKM, dan
lain-lain dan lain-lain. Terima kasih. Apalah arti kerja-kerja akademik
yang luhur itu tanpa dukungan kalian semua.
Yogyakarta, 10 Desember 2015
Penulis
x
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR BAGAN.... ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN.. ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 8
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 9
xi
2. Multikulturalisme di Indonesia ... 26
B. Penelitian yang Relevan ... 37
C. Kerangka Pikir ... 42
BAB III METODE PENELITIAN ... 43
A. Lokasi Penelitian ... 43
B. Waktu Penelitian ... 43
C. Metode Penelitian... 43
D. Teknik Pengumpulan Data ... 45
E. Teknik Pengambilan Sampel... 48
F. Validitas Data ... 49
G. Teknik Analisis Data . ... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52
A. Deskripsi Umum ... 52
1. Deskripsi Umum Wilayah Penelitian... ... 52
2. Deskripsi Umum Informan. ... 59
B. Analisis Data Penelitian dan Pembahasan ... 63
1. Memahami Multikulturalisme Yogyakarta ... 63
a. Integrasi dan Akomodasi ala Dusun Tegalwaras ... 63
b. Model Multikulturalisme Akomodatif Bercorak Millet ... 68
xii
Asrama Deiyai ... 81
b. Melawan Persepsi Negatif sebagai Upaya Berintegrasi... 86
3. Tantangan-tantangan Multikulturalisme Yogyakarta ... 93
a. Diskriminasi ... 95
b. Intoleransi ... 99
c. Pelanggaran HAM ... 104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 109
DAFTAR PUSTAKA ... 111
xiii
xiv
2. Pedoman Wawancara Asrama Deiyai ... 115
3. Pedoman Wawancara Dusun Tegalwaras ... 121
4. Kode Wawancara ... 125
5. Hasil Wawancara Responden Asrama Deiyai ... 127
6. Hasil Wawancara Responden Dusun Tegalwaras ... 186
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini bermaksud mengeksplorasi dan mengelaborasi praktik
multikulturalisme yang berkaitan dengan persepsi tentang warga asal Papua
sebagai minoritas berhadapan dengan masyarakat Yogyakarta sebagai
mayoritas di Yogyakarta dan sebaliknya, dengan memakai pendekatan
multikulturalisme yang menekankan pada keadilan sosial, kesetaraan dan
interaksi mutualisme. Sebagai ideologi yang memberi pengakuan dan
penghargaan pada kesederajatan atas perbedaan kebudayaan (Suparlan, 2002)
dan menekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk kodrati atau secara
kodrat adalah sama (Parekh, 2008), multikulturalisme juga menekankan
keadilan pada minoritas (Hardiman, 2011). Interaksi yang terjadi dalam
hubungan sosial sehari-hari idealnya bersifat saling menguntungkan alias
bercorak mutualisme, bukan merugikan salah satu pihak.
Dengan menganalisis persepsi, yang berangkat dari pengalaman
empiris, hasil penelitian diharapkan bisa mendapatkan gambaran mendalam
tentang praktik multikulturalisme dalam konteks interaksi sosial masyarakat
Yogyakarta dan masyarakat Papua di Yogyakarta.
Laboratorium multikulturalisme untuk penelitian penulis adalah
akan para pendatang dari hampir seluruh provinsi, hubungan antara dikotomi
mayoritas-minoritas atau warga asli-warga pendatang akan mudah ditemukan.
Para pemangku kebijakan di Kota Pendidikan ini, mulai dari Sri Sultan
hingga pemimpin masing-masing kabupaten dan Kota Yogyakarta juga sudah
sejak lama berusaha mempraktikkan kebijakan berlandaskan
multikulturalisme sebagai basis hubungan sosial masyarakatnya.
Sultan Hamengku Buwono X menguraikan dengan gamblang di buku
“Merajut Kembali Keindonesiaan Kita” bahwa dalam Indonesia baru berbasis
multikulturalisme adalah saat warganya mempunyai toleransi terhadap
perbedaan-perbedaan karena adanya kesetaraan derajat kemanusiaan dan
saling menghormati (Buwono, 2007). Begitu juga Herry Zudianto selaku
mantan Walikota Yogyakarta selama 2 periode yaitu 2001-2006 dan
2006-2011 dalam bukunya yang berjudul “Kekuasaan sebagai Wakaf Politik:
Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur” memaparkan bahwa sejak berdiri
di tahun 1756, Kota Gudeg tumbuh menjadi kawasan yang amat plural,
namun bisa terbuka, inklusif, dan toleran bagi kultur yang lain (Zudianto,
2008).
Multikulturalisme dalam definisi Parsudi Suparlan (2002) adalah
sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan atas perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian
kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual
askriptif yaitu, suku bangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi
multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan
proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku
secara individual (HAM) saat berhadapan dengan kekuasaan dan komunitas
atau masyarakat setempat.
Dalam penelitian ini, dikotominya adalah warga Yogyakarta sebagai
penduduk asli sekaligus mayoritas berhadapan dengan warga pendatang dari
Papua sebagai minoritas. Papua disini adalah istilah yang dipakai baik untuk
warga Provinsi Papua maupun warga Provinsi Papua Barat. Papua dimaknai
sebagai satu tanah Papua secara keseluruhan dalam 1 pulau, sebab pembedaan
Papua dan Papua Barat lebih bersifat administratif hasil dari kebijakan
pemekaran. Sedangkan secara konstruksi identitas sosial mereka pada
dasarnya sama (Asyhari-Afwan, 2015).
Warga Papua dipilih karena beberapa alasan. Sebagai salah satu warga
pendatang dari luar Jawa, warga Papua secara administratif adalah yang
paling jauh sebab Papua sendiri berada di ujung Timur Indonesia, berbatasan
langsung dengan Papua Nugini. Di Yogyakarta, warga Papua seperti warga
pendatang dari luar Jawa yang lain yang secara jumlah lebih sedikit
ketimbang warga asli Yogyakarta. Sebagai minoritas dalam wacana
bagaimana masyarakat menghadapi perbedaan, warga Papua menjadi sampel
yang baik sebab secara penampilan adalah yang paling berbeda dibanding
Indonesia bagian Timur yang meliputi Maluku, NTT, NTB, dan terutama
Papua sendiri, penduduk asli provinsi-provinsi tersebut ditandai dengan
warna kulit yang gelap, hidung pesek, dan rambut keriting. Sesuai dengan
ciri-ciri fisik ras Melanesia.
Rekam jejak warga Papua di Yogyakarta memiliki dinamika sosial
yang menarik. Mas‟oud, dkk (2007) menyebutkan bahwa pertukaran kultural
antara pendatang terutama dari luar Jawa dengan warga asli Yogyakarta tak
selamanya damai. Tak sedamai slogan dan branding Daerah Istimewa
Yogyakarta yang sudah dikenal luas se-nusantara dan mancanegara. Ada
saatnya, misal, ketika hubungan-hubungan antara mahasiswa dan tuan rumah
mencerminkan ketegangan-ketegangan etnis, khususnya antara tuan rumah
Jawa dengan mahasiswa-mahasiswa dari pulau luar Jawa. Konflik memuncak
terkait dengan pandangan perilaku buruk mahasiswa-mahasiswa non-Jawa
yang menderita akibat masalah finansial. Pengalaman getir tersebut membuat
pada sekitar tahun 1960-1970an banyak keluarga Yogyakarta tidak bersedia
memberikan pondokan (tempat tinggal) pada mahasiswa non-Jawa.
Sampai sekarang masih ada banyak kos-kosan yang tak mengizinkan
mahasiswa dari Timur (Papua, Maluku, Nusa Tenggara) untuk tinggal di
tempat tersebut dengan alasan yang macam-macam. Secara umum biasanya
berangkat dari persepsi yang mengandung stereotip yang jauh dari kebenaran.
Kondisi tersebut tentu menyulitkan para mahasiswa tersebut saat mesti
menempati asrama mahasiswa daerah yang dibangun oleh pemerintah daerah
masing-masing.
Warga Papua juga unik dari segi historis-politis. Etnonasionalisme
Papua Barat tak tumbuh serta merta tanpa sejarah dan kondisi (kompleks)
yang ada. Ada beberapa penyebab. Pertama, proses menghilangkan pengaruh
kolonial Belanda, dan utamanya Pepera, pada tahun 1961–1963 dianggap
tidak pernah melibatkan rakyat Papua secara keseluruhan. Adalah wajar jika
sampai saat ini masih ada tuntutan dari beberapa pihak untuk mengkaji
kembali “aspek historis” dari proses “integrasi” wilayah Papua ke dalam
NKRI. Kedua, masyarakat Papua telah mengalami peminggiran yang
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal lebih
disebabkan oleh kapasitas dan kultur lokal. Sementara, bersamaan dengan itu,
kehadiran faktor luar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
Papua, baik dari sisi persaingan ekonomi, fenomena migrasi, dan disparitas
pembangunan desa dan kota. Ketiga, Papua masih menyimpan masalah
terkait hubungannya dengan pemerintah pusat. Hubungan Papua-Jakarta ini
sampai sekarang tetap didiskusikan untuk mencari solusinya (Asyhari-Afwan,
2015: 6).
Tanggapan atas citra Papua dan gerakan Papua merdekanya oleh
pemerintah Indonesia menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Apalagi
selama Orde Baru, tindakan militeristik yang sering menjadi penanggulangan
Sampai era rezim Jokowi-JK, korban sipil masih berjatuhan di Papua. Bahkan
banyak korban sipil yang tak ada hubungannya dengan hal-hal politis.
Di Yogyakarta, kasus pelanggaran HAM pada warga Papua muncul
dalam bentuk yang paling halus: berkembangnya persepsi negatif. Persepsi
negatif yang muncul beragam. Bahwa orang Papua itu kasar (dalam gestur
maupun gaya berkomunikasi), tukang bikin rusuh dan onar, pemabuk, hobi
melanggar peraturan (dalam berkendara), tak nasionalis (NKRI), dan lain
sebagainya. Kadang persepsi negatif tersebut memicu tindak diskriminasi,
intimidasi, atau intoleransi dimana warga Papua sebagai korbannya.
Persepsi negarif disebut Sutarno (2007) sebagai bentuk dari penyakit
budaya. Penyakit-penyakit budaya tersebut antara lain adalah etnosentrisme,
stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan diskriminasi, (dikutip dari
Herimanto dan Winarno, 2010).
Beragam bentuk persepsi negatif tersebut tak hanya menciderai HAM,
namun juga tak sejalan dengan semangat multikulturalisme yang
mengagung-agungkan kesederajatan dan keadilan bersikap dengan orang lain terlepas dari
bawaan identitas kultural dan ras-nya. Pandangan Will Kymlicka dalam
“Multicultural Citizenship” dirujuk Hardiman untuk politik multikulturalisme
yang diartikan sebagai politik tentang hak-hak minoritas. Kymlica sejalan
dengan pemikiran Clifford Geerzt bahwa problem kelompok-kelompok etnis
atau kultural dan kelompok sosial adalah sebab mereka dieksklusi atau
mereka. Bersikap adil adalah komitmen untuk menghargai keberlainan dan
kekhasan (Hardiman, 2011).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang diatas, bisa dipaparkan identifikasi
masalahnya antara lain sebagai berikut.
1. Dalam sebuah masyarakat multikultur seperti masyarakat Daerah istimewa
Yogyakarta (DIY), muncul dikotomi yaitu antara golongan mayoritas yang
terdiri dari warga Yogyakarta asli atau yang sudah lama mendiami wilayah
DIY secara turun-temurun, dan golongan minoritas yang bertatus sebagai
pendatang dari luar DIY ataupun luar Pulau Jawa.
2. Kondisi masyarakat multikultur yang terdiri dari elemen masyarakat yang
berbeda suku bangsa, agama, ras, dan golongan tak selamanya damai.
Kadang ada dinamika yang cenderung menghilangkan semangat
multikulturalisme tersebut dan didasarkan pada persepsi negatif berbentuk
prasangka atau stereotip negatif, sikap primordialisme dan etnosentrisme,
lalu berujung pada diskriminasi dan intimidasi dari satu kelompok (etnis)
satu ke kelompok (etnis) lain.
3. Persepsi negatif berbentuk penyakit-penyakit budaya seperti
etnosentrisme, stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan
diskriminasi kadang dialami kelompok minoritas, salah satunya elemen
4. Stereotip atau sentimen negatif yang belum jelas kebenarannya dalam
konteks sosial-budaya antara lain: warga Papua itu kasar (dalam gestur
maupun gaya berkomunikasi), tukang bikin rusuh dan onar, pemabuk, hobi
melanggar peraturan (misal, dalam berkendara), dan sebagainya.
5. Penyakit-penyakit budaya yang ada tersebut dikhawatirkan menjadi tanda
kegagalan praktik multikulturalisme di Yogyakarta.
C. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka
penulis akan menitik beratkan permasalahan tentang (1) jalinan persepsi yang
berkembang diantara warga Papua di Asrama Deiyai dan warga Yogyakarta
asli di Dusun Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY
tentang pandangan masing-masing pihak, dan (2) kualitas interaksi sosialnya.
Analisis dua poin tersebut diharapkan bisa untuk menilai seberapa berhasil
praktik multikulturalisme yang ada di Yogyakarta.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah serta
pembatasan masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitiannya
yaitu:
1. Bagaimana praktik multikulturalisme di Yogyakarta dalam mengintegrasi
dan mengakomodasi mahasiswa Papua di Asrama Deiyai di Tegalwaras
2. Bagaimana upaya-upaya mahasiswa Papua di Asrama Deiyai dalam
berintegrasi dengan masyarakat Yogyakarta khususnya warga Tegalwaras
RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY?
3. Apa saja tantangan dan hambatan praktik multikulturalisme di Yogyakarta
khususnya yang menyangkut mahasiswa Papua yang tinggal Yogyakarta?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai
oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah:
1. Memahami praktik multikulturalisme di Yogyakarta dalam mengintegrasi
dan mengakomodasi mahasiswa Papua di Asrama Deiyai di Tegalwaras
RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY.
2. Memahami upaya-upaya mahasiswa Papua di Asrama Deiyai dalam
berintegrasi dengan masyarakat Yogyakarta khususnya warga Tegalwaras
RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY.
3. Mengetahui tantangan dan hambatan praktik multikulturalisme di
Yogyakarta khususnya yang menyangkut mahasiswa Papua yang tinggal
Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Manfaat Teoritis
b. Dapat digunakan sebagai ajang berpikir kritis, analitis, dalam
mengembangkan teknik/metode penelitian sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan bagi para akademisi tentang kajian praktik
multikulturalisme di Yogyakarta.
b. Bagi Dosen
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
terhadap dosen, entah tambahan literatur untuk kepentingan mengajar,
berdiskusi, penelitian lanjutan, maupun kepentingan akademis lainnya.
c. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat menambah
referensi sebagai bahan informasi dan menambah wawasan mengenai
kajian praktik multikulturalisme di Yogyakarta.
d. Bagi Peneliti
1) Penelitian ini digunakan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi
dan mendapat gelar sarjana pada jurusan Pendidikan Sosiologi FIS
UNY.
2) Dapat mengetahui dengan lebih mendalam mengenai kajian praktik
3) Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam
membandingkan teori yang telah di dapat peneliti di bangku kuliah
dengan praktik di lapangan, serta analisis keduanya.
4) Wahana refleksi tentang bagaimana menyikapi perbedaan di
tengah masyarakat yang majemuk, dimulai dengan membangun
persepsi yang adil tentang orang lain.
e. Bagi masyarakat luas
Memberikan pandangan yang lebih adil dan objektif tentang
elemen masyarakat Papua yang tinggal dimana saja dan menjadi
minoritas, terutama di Yogyakarta. Diharapkan stigma, prasangka,
sentimen, atau stereotip negatif yang melekat bisa menghilang dan
seluruh elemen masyarakat bisa membangun kehidupan sosial yang
12
A. Kajian Pustaka 1. Multikulturalisme
Bikhu Parekh (1997) memaparkan bahwa “as society with several
religions or languages is multi religious or multi lingual, a society
containing several cultures is multicultural” atau masyarakat yang terdiri
atas beberapa agama atau bahasa, pun banyak agama dan banyak bahasa,
sebuah masyarakat yang terdiri dari beberapa kebudayaan adalah
masyarakat multikultur (dikutip dari Azra, 2013).
Sebelum istilah multikulturalisme muncul, para ahli lebih sering
menggunakan istilah yang lebih sederhana: masyarakat majemuk, yang
dikemukakan oleh administrator dan penulis politik Inggris di Asia
Tenggara, J. S. Furnivall. Masyarakat majemuk bagi Furnivall (1944)
adalah masyarakat yang terdiri dari “dua atau lebih elemen atau tatanan
sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur, dalam satu unit
politik” (dikutip dari Hefner, 2007: 16).
Mengapa multikulturalisme selalu lekat dengan politik yang khas
adalah sebab bagi Furnivall permasalahan kondisi masyarakat majemuk
di Indonesia tak bisa ditangani sebagaimana Inggris mengelolanya
“dengan tradisi-tradisi yang konservatif dan institusinya yang stabil”.
bagaimana memfasilitasi interaksi damai dan kooperatif dalam suatu
masyarakat di mana para warganya tidak memiliki perasaan mengenai
diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau budaya (Hefner, 2007: 17). Bagi
Furnivall, tidak mungkin menyatukan beragam elemen masyarakat yang
sedemikian majemuk hanya dengan kesamaan kepentingan ekonomi yang
terwujud dalam pertukaran di pasar.
Tanpa membentuk atau dibentuk suatu unit politik, kondisi yang
demikian terasa menggelisahkan bagi Furnivall (1944).
(Masyarakat) cenderung diorganisir demi produksi, bukan demi kehidupan sosial; tuntutan sosial dikotak-kotakkan, dan dalam masing-masing kotak komunitas tuntutan sosial menjadi tercerai-berai dan tak efektif sehingga dalam masing-masing kotak itu para anggota menghadapi rintangan dalam usahanya untuk menjalani hidup sepenuhnya sebagai seorang warga negara dalam sebuah komunitas yang homogen; terakhir, reaksi menentang kondisi-kondisi abnormal ini, yang masing-masing kotak mengambil bentuk Nasionalisme, membenturkan komunitas yang satu dengan komunitas lainnya sehingga menekan sifat majemuk masyarakat itu dan memperburuk instabilitasnya sehingga meningkatkan perlunya tuntutan sosial itu dipertahankan dengan suatu kekuatan dari luar (Hefner, 2007: 18).
Masyarakat majemuk (plural society) yang belum tentu dapat
dinyatakan sebagai masyarakat multikultural (multicultural society),
karena bisa saja di dalamnya terdapat hubungan antar kekuatan
masyarakat dan varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir
dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi. Bentuk masyarakat
multikultural yang tak hanya majemuk, namun juga dalam satu unit
politik yang lepas dari segala bentuk dominasi, hegemoni, maupun
Secara sederhana, Scott Lash dan Mike Featherstone (2002)
mengartikan multikulturalisme berarti “keberagaman budaya” (dikutip
dari Salehudin, 2013: 11). Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk
menggambarkan masyarakat yang beragam, yaitu pluralitas (plurality),
keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural) (Salehudin,
2013).
Ketiganya merepresentasikan hal yang berbeda. Pluralitas
mengandaikan adanya ‟hal-hal yang lebih dari satu‟ (many), dan
keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ‟lebih dari satu‟ itu
berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Sedangkan
multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain (yang
berbeda budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama) secara sama
sebagai kesatuan (Salehudin, 2013: 11).
Menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar tahun 1970-an terminologi
“multikulturalisme” muncul pertama kali di Kanada dan Australia. Lalu
kemudian menyebar ke Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya.
Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat
ke seluruh dunia (Salehudin, 2013: 11).
Irhandayaningsih (2012) berpendapat bahwa istilah
multikuluralisme marak digunakan lebih surut lagi, yakni di tahun 1950
di Kanada. Sejarahnya adalah pemakaian istilah “multicultural” dulu
menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural
dan multilingual (banyak ragam bahasa).
Suparlan (2002) mengutip intisari pemikiran Jary, D dan J. Jay
dalam “Dictionary of Sociology”, B. Fay dalam “Contemporary
Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach”, dan
C.W.Watson dalam “Multiculturalism” untuk menerjemahkan istilah
“multikulturalisme” sendiri sebagai sebuah ideologi yang mengakui serta
mengagungkan perbedaan dalam lingkup kesederajatan, baik secara
individual maupun secara kebudayaan. Penekanannya ada pada
“kesederajatan”, yang berarti sebuah pengakuan mendasar bahwa yang
beragam itu—baik budaya maupun individu—berada dalam posisi setara
alias tak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah.
Perbedaan-perbedaan budaya layak dinilai. Tak ada kebudayaan
yang seluruhnya tidak berharga, bahwa semua pantas memperoleh
setidak-tidaknya beberapa pengormatan karena arti kebudayaan bagi para
anggotanya dan energi kreatif yang diperlihatkannya, bahwa tidak ada
kebudayaan yang sempurna dan memiliki hak untuk menghadirkan diri
pada pihak lain; dan bahwa kebudayaan paling mungkin dapat diubah
dari dalam (Parekh, 2008: 441).
Parekh mengemukakan sebuah perspektif yang menjadi prinsip
dasar masyarakat multikultur, terdiri dari satu keadaan saling
mempengaruhi yang kreatif dari ketiga wawasan yang bersifat
keharusan dan keinginan akan keanekaragaman budaya, dan ketiga adalah
dialog antar budaya (Parekh, 2008: 443). Terutama yang poin kedua,
dasar ini adalah kondisi dimana masyarakat menerima kenyataan dan
keinginan atas keanekaragaman budaya, baru kemudian mulai
menstrukturkan kehidupan politiknya (Parekh, 2008).
Karena berkenaan dengan proyek politis, maka multukulturalisme
juga lebih dari sekedar gambaran akan sebuah realitas. Multikulturalisme
juga sebuah teori sosial yang dipakai menjadi dasar dari legitimasi sebuah
diversitas kultural atau keberagaman kultural pada suatu wilayah (negara)
dan menurun pada kebijakan politiknya, terutama kebijakan multikultural
(Budiman, 2009).
Praktik dan kebijakan multikulturalisme dalam sebuah negara bagi
banyak pemikir memiliki banyak cara dan model. Hal tersebut bisa
bermula dari definisi multikulturalisme yang pada prinsipnya adalah
demografi sosial sebuah tatanan komunitas-komunitas kultural yang
berbeda dan membentuk sebuah “kehidupan bersama” sambil tetap
memelihara identitas “asli” komunitasnya masing-masing (Budiman,
2009: 13).
Bikhu Parekh menganalisis struktur politik masyarakat
multikultur yang dalam terminologi Hefner disebut “unit politik tunggal”
atau dalam konteks analisis Parekh adalah negara. Ia menyebut negara
sebagai sebuah bentuk integrasi politik. Parekh (2008) membagi 3 bentuk
hal yang dianggap bertentangan, yaitu kesatuan (unity) dan keberagaman
(diversity)—tentu dengan konsekuensi-konsekuensinya masing-masing.
Bentuk integrasi yang pertama adalah model proseduralis. Model
ini menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan kestabilan di tengah
perbedaan moral dan budaya yang tak mungkin bisa diselesaikan secara
rasional (Parekh, 2008). Secara garis besar formal dan netral negara hadir
dan memberlakukan peraturan-peraturan umum atas perilaku yang mesti
ditaati namun di sisi lain warganya bebas menjalani kehidupan pribadi
yang mereka pilih sendiri.
Negara proseduralis tak akan mengejar kepentingannya
kepentingannya sendiri dengan menegakkan peraturan tersebut
sedemikian represifnya karena negara sadar jika melakukannya ia akan
melanggar otonomi moral dan mendiskriminasikan golongan atau
komunitas kultural. Negara yang formal minimal mengombinasikan
semaksimal mungkin keanekaragaman; hal itu terbentuk karena masih
terlihat jelas ketidaksepakatan modal dan budaya warga dan tidak
membuat tuntutan-tuntutan kontroversial terhadap ketidaksepakatan
tersebut, dan juga karena hal itu memunculkan hambatan yang paling
sedikit atas pilihan mereka (Parekh, 2008: 267).
Model kedua disebut model asimilasionis kemasyarakatan yang
berkeyakinan bahwa komunitas politik membutuhkan persetujuan tidak
hanya mengenai struktur kekuasaannya, namun juga kebudayaan yang
komunitas politik pada budaya politik yang sama-sama dimiliki. Antara
lain melingkupi nilai-nilai politik dan publik, cita-cita, praktik-praktik,
institusi-institusi, bentuk wacana politik, dan pemahaman diri. Bagi
pandangan asimilasionis, wilayah publik (yang ideal) mewakili
keseragaman, sedangkan wilayah privat/pribadi (keluarga dan masyarakat
sipil) mewakili keanekaragaman. Wilayah publik merepresentasikan
kesatuan (unity) sedangkan wilayah privat adalah ranah bagi
keberagaman (diversity) (Parekh, 2008: 268).
Yang terakhir adalah model Millet yang memiliki pandangan
bahwa manusia adalah makhluk budaya yang paling penting. Manusia
adalah sumber dari segala produk budaya dan kebudayaan. Maka yang
dipentingkan adalah komunitas kultural dan ekspresi serta nilai hidup
mereka terapkan sehari-hari. Negara hanyalah lembaga administratif dan
legal esensial, namun tak memiliki status moral. Moral ada pada
komunitas kultural masing-masing dan tak masalah jika berbeda satu
sama lain. Tak ada kebudayaan bersama, dan poin ini yang kemudian
membedakan secara agak ekstrem dengan model asimilasionis. Negara
Millet memandang negara hanya bertugas untuk menegakkan dan
memelihara komunitas kultural warganya (Parekh, 2008).
Berbeda dengan pandangan asimilasionis yang meletakkan posisi
negara sebagai entitas yang paling penting, bagi pandangan Millet negara
bukanlah satu komunitas dari komunitas-komunitas, sehingga
Negara adalah kesatuan atau federasi komunitas yang sifatnya longgar
namun memiliki kerangka kerja yang jelas. Masing-masing komunitas
dibebaskan mengikuti jalan hidup tradisionalnya dan terlibat dalam
interaksi sosial, politik, dan ekonomi yang dibutuhkan (Parekh, 2008:
269). Kesetiaan individu pertama-tama adalah untuk komunitas
kulturalnya, lalu pada negara. Masyarakat dengan model Millet ini
contohnya Turki Usmaini atau masyarakat Amish di Amerika Serikat.
Masing-masing penerapan model tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Misal, model asimilasionis. Karena
memisahkan wilayah pribadi dan publik secara rapi, model ini tidak dapat
memberikan pertimbangan yang penting bagi lembaga yang tak memihak
keduanya, seperti lembaga pendidikan. Penerimaan atas budaya politik
negara yang lebih besar juga berpotensi mendiskriminasi budaya di
komunitas kultural sendiri di ranah pribadi. Ini berlawanan dengan
masyarakat multikultur dan semangat keberagamannya (Parekh, 2008:
276-278).
Memakai model Millet pun punya konsekuensi-konsekuensi
tertentu. Hampir mustahil negara eksis tanpa ada standar moral. Standar
tersebut dipakai juga untuk menerapkan hukum. Jika negara tak memiliki
pendirian moral yang dianggap universal dan mengikat, negara seakan
hanya menjadi penonton pertukaran dan perbenturan wacana satu
yang dipandang tak lebih beradab dari praktik kebudayaan di
komunitasnya sendiri.
Dengan memecah masyarakat menjadi beberapa komunitas
mandiri dan tak mengizinkan interaksi penuh melainkan hanya pada
tingkat minimum, tindakan tersebut berlawanan dengan perkembangan
ikatan sosial dan politik yang tanpanya komunitas politik mampu
bertindak secara efektif dan mempertahankan persatuan dan kerekatannya
(Parekh, 2008: 275).
Walaupun model prosedural dianggap sebagai jembatan diantara
kedua model tersebut, model prosedural juga punya konsekuensi yang
bisa dibilang ambivalen. Dalam menjalankan sistem politiknya, negara
hampir tak mungkin netral. Selama struktur dan pelaksanaan politik tak
pernah secara moral netral, kesatuan komunitas politik tak tidak dapat
diletakkan pada dasar prosedural itu sendiri. Karena bentuk proseduralis
tidak menjelaskan begaimana persetujuan seperti apa sesungguhnya
komunitas politik itu atau bagaimana cara memerintahnya dalam sebuah
masyarakat multikultur, pemikiran tentang kesatuan dan persatuan negara
menjadi tidak koheren (Parekh, 2008: 270).
Parekh (1997) memaparkan 5 konsep lain yang bisa saling
tumpang tindih dalam segi-segi tertentu. Pertama adalah
Multikulturalisme Isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok
minimal satu sama lain. Masyarakat ini mengadopsi sistem Millet dan ada
di Turki Usmaini atau masyarakat Amish di Amerika Serikat.
Kedua adalah Multikulturalisme Akomodatif, yaitu masyarakat
yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan
akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas.
Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum,
dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan
kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum
minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini
diterapkan di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan lain
sebagainya.
Ketiga adalah Multikulturalisme Otonomis, yaitu masyarakat
plural yang kelompok-kelompok kultural utamanya berusaha
mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara
kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk
mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama
dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan
berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa
eksis sebagai mitra sejajar. Contohnya ada di kelompok Quebecois di
menuntut untuk bisa menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka
pada sekolah Islam, dan sebagainya.
Keempat adalah Multikulturalisme Kritikal/interaktif, yakni
masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu
terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih
membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan
perspektif-perspektif khas mereka. Ada ketegangan antara kelompok
budaya dominan dan kelompok budaya minoritas baik dalam tataran
politis maupun intelektual. Contohnya adalah masyarakat kulit hitam di
Amerika atau Inggris.
Kelima adalah Multikulturalisme Kosmopolitan, yaitu masyarakat
plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk
menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat
kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam
percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan
kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme
jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan
kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernis
memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih
dan ambil secara bebas (dikutip dari Azra, 2013).
Kesadaran politik multikulturalisme berangkat dari pandangan
dunia tentang kemajemukan itu sendiri: sebuah pandangan yang
mempermasalahkannya. Maka multikulturalisme pada dasarnya adalah
pandangan dunia ”yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai
kebijakan kebudayaan”. Penekanannya ada pada penerimaan terhadap
realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat. Sebuah politics of recognition atau politik
penerimaan (terhadap realitas yang majemuk tersebut), merujuk istilah
yang digunakan oleh Charles Taylor (Azra, 2013).
Bagi Parekh, dimensi manusia sebenarnya mendua. Antara satu
manusia satu dan yang lain memiliki persamaan, yang dicontohkan
Parekh meliputi kesamaan penciptaan sesuai dengan citra Tuhan,
memiliki jiwa, makhluk yang bisa memahami dirinya, memuliki
kebutuhan dan kemampuan umum atau satu susunan alamiah yang sama;
namun di sisi lain manusia juga bervariasi dari satu budaya ke budaya
lain, dari satu individu dan individu lain (Parekh, 2008: 317).
Manusia adalah makhluk kodrati sekaligus kultural. Mereka sama
dan berbeda, kesamaan dan perbedaan mereka tidak koeksisten secara
pasif tetapi saling menembus dan semuanya tidak mendahului secara
ontologis maupun lebih penting secara moral (Parekh, 2008).
Jika dasar kesetaraan ada pada keseragaman, maka
konsekuensinya adalah terjadi tindak penyeragaman secara kultural
seperti yang dulu dibahas oleh filsuf Yunani, Kristen, dan liberal, dimana
masyarakat mudah bergerak dari keseragaman menuju monoisme.
membentuk manusia pada satu arah tertentu. Tidak koheren secara
filosofis pun problematis secara moral (Parekh, 2008). Tak sejalan
dengan semangat multikulturalisme yang ingin merayakan perbedaan.
Tindak penyeragaman adalah konsekuensi dari lawan
multikulturalisme, yaitu monokulturalisme. Eksistensi negara-bangsa
(nation building) yang mengandung keragaman membuat penguasa
negara tersebut memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik
keseragaman budaya (monokulturalisme atau monoculturality) (Azra,
2013).
Satu teori menarik dikemukakan Parekh tentang tiga tingkatan
kesetaraan. Kesetaraan diartikulasikan pada tiga tingkatan yang saling
terkait. Pada level yang paling dasar, kesetaraan melibatkan penghargaan
dan hak. Pada level kedua yang lebih tinggi, kesetaraan melibatkan
kesempatan, kepercayaan diri, harga diri, dan lainnya. Sedangkan di
tingkatan ketiga atau pada level yang lebih tinggi lagi, kesetaraan
melibatkan kekuasaan, kesejahteraan, dan kemampuan dasar yang
diperlukan untuk pengembangan manusia (Parekh, 2008). Parekh
menambahkan, “Kita hampir tidak bisa menghormati seseorang jika
memperlakukannya dengan penistaan atau menghilangkan segala yang
memberi makna bagi hidupnya.”
Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of
Human Rights yang ditetapkan sejak tahun 1948 menyatakan bahwa
hak, antara lain: hak hidup, kemerdekaan dan keamanan badan, diakui
kepribadiannya menurut hukum, memperoleh perlakuan yang sama
dengan orang lain menurut hukum, mendapat jaminan hukum dalam
perkara pidana, masuk dan keluar wilayah suatu negara, hak atas
kepemilikan benda, bebas mengutarakan pikiran dan perasaan, memeluk
agama, rapat dan berkumpul, mendapat jaminan sosial, mendapat
pekerjaan, berdagang, mendapatkan pendidikan, turut serta dalam
gerakan kebudayaan, dan hak menikmati kesenian dan turut serta dalam
kemajuan keilmuan (Sunarso, 2006).
Problem utama dalam pengelolaan masyarakat multikultur adalah
soal keadilan, terutama keadilan bagi kelompok minoritas. Kelompok
minoritas dimanapun selalu mencari pengakuan atas identitas kolektif
mereka. Baik kelompok minoritas kultural yang berbasis bahasa, agama,
atau etnis, maupun kelompok minoritas sosial seperti kelompok feminis,
kaum cacat, homoseksual, atau kelompok berorientasi nilai lainnya
(Hardiman, 2011).
Pandangan Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship
dirujuk Hardiman (2011) untuk politik multikulturalisme yang
diartikannya sebagai politik tentang hak-hak minoritas. Kymlica sejalan
dengan pemikiran Clifford Geerzt bahwa problem kelompok-kelompok
etnis atau kultural dan kelompok sosial adalah sebab mereka dieksklusi
„keberlainan‟ mereka. Bersikap adil adalah komitmen untuk menghargai
keberlainan dan kekhasan (Hardiman, 2011).
Ada dua poin yang perlu pemahaman mendalam atasnya agar tak
berakibat fatal, yaitu antara “diskriminasi” dan “diferensiasi”.
Diskriminasi dimulai dari diferensiasi dan berakhir pada marjinalisasi,
stigmatisasi, dan isolasi. Diferensiasi tidak harus berakhir dengan
diskriminasi karena mempersepsikan perbedaan bisa juga dengan
membangun sikap adil. Di dalam masyarakat yang bersentuhan dengan
yang lain dalam rasa takut, diferensiasi bisa merosot menjadi diskriminasi
(Hardiman, 2011).
Politik multikulturalisme adalah politik diferensiasi, yakni suatu
upaya untuk adil terhadap perbedaan. Politik macam ini tidak bisa
dilaksanakan jika sebuah masyarakat memelihara heterophobia: ketakutan
akan yang lain dalam keberlainan (Hardiman, 2011: 86).
2. Multikulturalisme di Indonesia
Robert Hefner menyebut jika Amerika Serikat, Kanada, dan
Australia memiliki model “Anglo American” atau “Anglo conformist”
dalam politik masyarakat multikulturnya. Pemerintah dan masyarakat
negara tersebut di awal peradabannya tidak ragu-ragu untuk membuang
para penduduk pribumi dari tanah tumpah darah mereka. Konsisten
dengan proyek pemukimannya, negara-negara tersebut lebih bersedia
menyambut imigran asing daripada rekan-rekan mereka di Eropa
berasimilasi dengan prototipe-prototipe linguistik, kultural, dan ras
mayoritas (Hefner, 2007: 14).
Sebagai pemahaman awal, di ketiga negara tersebut stabilitas bisa
mudah dicapai sebab asimilasi menjadi syarat utama warga pendatang
jika ingin menjadi warga negara. Namun, sebagaimana Hefner mengutip
Furnival, masalah kritis dalam masyarakat-masyarakat seperti yang ada di
kepulauan Asia Tenggara adalah bagaimana memfasilitasi interaksi damai
dan kooperatif dalam suatu masyarakat dimana para warganya tak
memiliki perasaan mengenai diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau
budaya (Hefner, 2007: 17).
Beruntung, praktik perdagangan menjembatani permasalahan
tersebut. Furnivall menggambarkan seting masyarakat multikultur khas
Asia Tenggara dengan “seksi-seksi” etnis dan relijius secara keseluruhan
membentuk masyarakat yang berlainan satu sama lain sehingga mereka
tak memiliki banyak persamaan selain pertukaran pasar mereka (Hefner,
2007). Reid (1993) menilai bahwa kondisi “kota dagang Asia Tenggara
adalah titik temu pluralistis dari orang-orang dari segala penjuru Asia
maritim.” (dikutip dari Hefner, 2007: 31).
Pemersatu kultural lain yang tak kalah penting adalah bahasa.
Menurut Hefner (2007), ada dimensi linguistik yang menarik pada pola
yang disebut etnisitas yang saling merembes (permeable ethnicity). Sejak
diplomasi, dan agama yang paling terkemuka.” Praktis bahasa Melayu
digunakan di semua daerah di Asia Tenggara, mungkin kecuali Vietnam.
Hefner mengandaikan sekaligus menganalisis jika kotak-kotak
etnis di Asia Tenggara memiliki batas-batas yang tegas atau bersifat
oposional dan keras, maka penyebaran linguistis tersebut pasti akan
lambat dan kurang merata. Sebagaimana masih terjadi sekarang ini, dan
bukannya dipertentangkan secara keras, identitas-identitas etnis rupanya
dipayungi oleh suatu rasa trans-etnis peradaban Melayu-Indonesia
(Hefner, 2007: 32).
Praktik imperialisme dan kolonialisme negara-negara Eropa di
Asia Tenggara termasuk Indonesia kemudian terjadi selama beberapa
abad. Tentu saja orang-orang Eropa tidak menciptakan masyarakat
majemuk di tempat yang sebelumnya tidak ada. Namun sebagai
imperialis dan kolonialis mereka juga bukan sekedar saksi pasif yang
melihat suatu evolusi endogen yang unik (Hefner, 2007).
Furnivall pernah meramalkan bahwa jika orang-orang Eropa
melepaskan peran mereka sebagai majikan penjajah maka kemerdekaan
akan mendorong negara-negara baru ke dalam neraka anarki. Ternyata ia
keliru. Kepemimpinan pribumi yang baru ternyata lebih terampil dalam
menjalankan mesin-mesin pemerintahan daripada yang dibayangkan oleh
Furnivall (Hefner, 2007: 20).
Setelah Indonesia memprklamasikan kemerdekaannya, kasta-kasta
elemen-elemen masyarakat dihilangkan. Dengan kata lain, stratifikasi sosial yang
berbentuk vertikal dihapus, digantikan dengan diferensiasi yang
berbentuk horizontal. Menandakan sebuah semangat kesetaraan diantara
perbedaan yang (populer) didasarkan pada konsep SARA atau Suku, Ras,
Agama, dan Antar golongan, dan diwadahi dalam satu sistem politik
nasional (yang akhirnya) berbentuk negara kesatuan.
Selama 3 era besar sejarah Indonesia modern, yaitu selama
pemerintahan Soekarno di awal kemerdekaan, Orde Baru di bawah
kekuasaan Soeharto, dan di era Pasca Reformasi tahun 1998,
masing-masing rezim memiliki proyek politik multikulturalisme-nya yang khas
serta konsekuensi-konsekuensinya.
Banyaknya pemberontakan lokal di awal kemerdekaan saat
Soekarno berkuasa misalnya, membuat kondisi politik di era Orde Baru
terasa sangat otoriter dan asimilasionis (model politik multikulturalisme
ala Bikhu Parekh). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan
“khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno” dan
masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menunjukkan
kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme (Azra,
2013).
Secara restrospektif, politik monokulturalisme pada rezim Orde
Baru yang mengatasnamakan stabilitas demi melancarkan politik
pembangunan (fisik) atau developmentalism telah menghancurkan local
republik nagari di Sumatera Barat dan lain sebagainya. Selain
menghancurkan banyak kearifan lokal, politik monokulturalisme pada
akhirnya juga mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi
sosial-budaya lokal. Kekerasan dan konflik yang bernuansa etnis dan
agama yang khususnya marak sejak 1996 tak bisa dilepaskan dari
fenomena tersebut (Azra, 2013).
Klinken (2004) mengutip Ted Gurr dalam membagi konflik suku
bangsa seperti yang marak terjadi di Indonesia ke dalam lima kategori:
(1) Etnonasionalis, yaitu satuan etnik yang hidup dalam wilayah tertentu
dan ingin memisahkan diri dari negara (misalnya: Aceh, Papua); (2)
Persaingan komunal, yaitu persaingan antar kelompok untuk meraih
kekuatan politik (Kristen vs Muslim di Ambon dan Poso); (3) Etnokelas,
yaitu upaya suku bangsa tertentu untuk mencapai persamaan hak dan
mengatasi diskriminasi sebagai imigran dan minoritas; (4) Masyarakat
adat, yaitu mereka hidup dalam wilayah tertentu dan menginginkan
otonomi yang lebih besar dari negara yang memerintah untuk melindungi
tanah adat (misalnya: Papua, Dayak di Kalimantan); dan (5) Sekte agama
militan, yaitu kelompok-kelompok kecil yang berjuang untuk ideologi
agama (misalnya Laskar Jihad) (Asyhari-Afwan, 2015).
Kategori-kategori tersebut kenyataannya kadang tidak
berlangsung secara terpisah. Seringkali konflik suku bangsa berlatar
agama sebenarnya dipengaruhi persaingan komunal dari kalangan elit
Koffi Anan selaku Sekjen PBB pernah menyinggung
permasalahan konflik tipe etnonasioalis dalam pidatonya saat berkunjung
ke Indonesia pada 2005 silam, atau 7 tahun setelah reformasi
mengguncang Jakarta dan konsep tentang multikulturalisme yang
sebenar-benarnya sedang ramai diperbincangkan kembali.
Minoritas harus diyakinkan bahwa negara benar-benar milik mereka, juga milik mayoritas, dan bahwa keduanya akan menjadi pecundang kalau negara pecah. Konflik-konflik hampir pasti terjadi kalau respon negara terhadap separatisme menimbulkan penderitaan yang meluas di wilayah atau diantara kelompok etnik yang ingin memisahkan diri itu. Akibatnya adalah membuat makin banyak orang merasa bahwa negara bukanlah negara mereka, dan ini sama saja dengan memberi separatisme para pendukung baru. (dikutip dari Budiman, 2009: xvi).
Sebuah masyarakat multikultur tidak mampu stabil dan bertahan
lama tanpa adanya perasaan saling memiliki yang dirasakan para
warganya. Tak berdasarkan etnis atau karakteristik budaya atau
karakteristik tertentu. Masyarakat multikultural terlalu beranekaragam
untuk kategori tersebut. Namun secara alamiah bersifat politis dan
didasarkan pada komitmen terhadap komunitas politik (Parekh, 2008).
Ketegangan antara mayoritas dan minoritas atau konflik antar
kelompok etnis, agama, dan golongan adalah permasalahan klasik yang
hampir selalu mewarnai perjalanan negara yang multikultur. Terkadang
keduanya tumpang tindih: mayoritas yang terdiri satu etnis besar yang
berkonflik dengan minoritas yang terdiri dari satu kelompok etnis kecil.
Keluar dari era otoritarianisme Orba membawa Indonesia kepada
identitas-identitas partikular tidak akan lagi menerima represi, atau dengan kata
lain kebijakan pemerintah yang mengarah ke asimilasi serta homogenisasi
kultural harus ditinggalkan, namun di sisi lain perayaan akan diversitas
tersebut juga memunculkan “eksplosi” alias konflik SARA di sembarang
tempat (Budiman, 2009).
Sebuah tanda jika perayaan diversitas kultural tak dikelola dengan
tepat maka akan berakhir buruk, sebab berakhirnya Orba seakan turut
membuat absennya nilai-nilai yang dibagi bersama (shared value) yang
mengikat sebagai sebuah bangsa, dan bahwa negara-bangsa dan proses
demokrasi harus didasarkan denominator bersama (Budiman, 2009: 7).
Konflik berbau SARA di Indonesia berangkat dari beragam
pandangan dan sikap yang bertentangan dengan semangat
multikulturalisme. Sikap etnosentris sampai berujung ke tindakan
diskriminatif pada dasarnya berangkat dari persepsi satu orang terhadap
orang lain, atau satu kelompok terhadap kelompok lain. Persepsi
menentukan sikap atau perilaku baik perorangan maupun kelompok.
Branca (1964) dan Wordworth dan Marquis (1957) menjelaskan
jika persepsi dimulai dari proses penginderaan. Penginderaan adalah
proses diterimanya stimulus oleh individu melalui panca indera. Stimulus
tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf.
Inilah yang disebut dengan proses persepsi. Sebuah proses yang terjadi
Menurut Davidoff (1981), persepsi membuat individu menyadari
dan mengerti tentang lingkungan sekitarnya dan tentang dirinya sendiri.
Dalam konteks hubungan sosial sehari-hari, Heider (1958) menyebut
social perception atau persepsi sosial, atau sebuah persepsi yang
berkaitan dengan variabel-variabel sosial.
Definisi Lindzey dan Aronson yang merujuk Taiguri (1975)
tentang persepsi sosial adalah suatu proses seseorang untuk mengetahui,
menginterpretasikan, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi,
tentang sifat-sifatnya, kualitasnya, dan keadaan yang lain yang ada dalam
diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang
yang dipersepsi (dikutip dari Walgito, 2003).
Persepsi sosial adalah aktivitas yang integrated, merujuk temuan
Moskowitz dan Orgel (1969), pikiran, perasaan, kerangka acuan,
pengalaman-pengalaman atau dengan kata lain keadaan pribadi orang
yang mempersepsi akan berpengaruh dalam seseorang mempersepsi
orang lain (dikutip dari Walgito, 2003).
Berangkat dari persepsi yang keliru, muncul beberapa penyakit
budaya yang menjadi pemicu konflik berbau SARA di Indonesia.
Mengutip Sutarno (2007), penyakit budaya tersebut antara lain adalah
etnosentrisme, stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan
diskriminasi, (dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010).
Etnosentrisme atau sikap etnosentris adalah kecenderungan untuk
mutlak serta menggunakannya sebagai tolak ukur kebudayaan lain
(Herimanto dan Winarno, 2010: 113).
Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang
berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena ia berasal dari
kelompok lain (Herimanto dan Winarno, 2010: 112). Stereotip menurut
Allan G. Johnson (1986) adalah keyakinan seseorang untuk
menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang
orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan atau pengalaman tertentu
(dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010).
Stereotip biasanya berawal dari prasangka: pernyataan yang hanya
didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak teruji sebelumnya.
Prasangka yang menghinggapi orang akan membuatnya tak dapat berfikir
logis dan objektif (adil), dan segala dinilainya sebagai sesuatu yang
negatif (Herimanto dan Winarno, 2010).
Scape goating adalah pengkambing hitaman, atau sebuah teori
jika individu yang tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil,
maka perlakuan tersebut dapat ditangguhkan ke orang lain (Herimanto
dan Winarno, 2010). Persis seperti apa yang dilakukan Nazi terhadap
warga Yahudi yang dinilai menyebabkan kekacauan politik dan ekonomi
Jerman.
Rasisme secara sederhana adalah sikap anti terhadap ras lain atau
ras tertentu di luar ras sendiri. Rasisme adalah bentuk diskriminasi yang
membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan
terhadap kelompok subordinasinya, atau dari kelompok mayoritas
terhadap kelompok minoritas (Herimanto dan Winarno, 2010: 112-113).
Pratiwi (2010) mendefinisikan kelompok minoritas sebagai
orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau
kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya (mayoritas) sehingga
mudah mendapat perlakuan tak sederajat atau tidak adil dalam
masyarakat dimana mereka hidup. Mereka yang tergolong minoritas
mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok,
kebencian, kemarahan, dan kekerasan (Ibid).
Ada pertentangan antara kelompok mayoritas dan minoritas,
dimana kelompok mayoritas adalah golongan yang menikmati status
sosial lebih tinggi dan keistimewaan yang lebih banyak. Mereka
mengembangkan seperangkat prasangka terhadap kelompok minoritas
yang didasarkan pada (1) perasaan superioritas pada mereka yang
tergolong dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam
keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu
adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing; dan (3)
adanya klaim pada golongan dominan bawa sebagaian besar akses
sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya
ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya
Perlu diketahui bahwa Minority Group International (MRG) tak
membatasi penyebutan minoritas hanya pada unsur numerik (jumlah
kuantitatif), melainkan lebih memberi perhatian khusus pada faktor “non
-dominan” (baik etnik, agama, maupun linguistik) sebagai kategori untuk
membedakannya dari kaum mayoritas (Budiman, 2009).
Bagi Parekh, kesetaraan dalam masyarakat multikultur yang
berfungsi untuk memelihara rasa memiliki yang sama memang penting,
namun kewarganegaraan adalah mengenai status dan hak. Kepemilikan
adalah mengenai diterima dan merasa diterima (Parek, 2008).
Diskriminasi pada minoritas yang berbeda disebabkan oleh
perilaku sempit dan eksklusif. Meskipun individu-individu yang berstatus
sebagai korban masih bebas secara prinsip untuk berpartisipasi dalam
kehidupan kolektif, mereka sering memisahkan atau mengasingkan diri
mereka karena takut terhadap penolakan dan cemoohan atau karena
perasaan terasing yang mendalam (Parekh, 2008: 449).
Peluang menjadi masyarakat majemuk yang damai dalam bingkai
multikulturalisme yang ditawarkan banyak ahli idealnya bukan semacam
“butik budaya” dimana diversitas kultural dianggap ada dari tampilan luar
yang beragam (gaya berpenampilan dan berpakaian) atau terlihat pada
pertunjukan seni budaya saja. Namun bagaimana memperlakukan yang
berbeda itu dengan berlandaskan kesederajatan/kesetaraan dan keadilan
B. Penelitian yang Relevan
Penulis belum menemukan penelitian yang menguji praktik
multikulturalisme di Yogyakarta dengan bersubjek penelitian warga Papua.
Penelitian yang paling dekat adalah penelitian individual Ahmad Salehudin,
S.Th.I., MA dari UIN Sunan Kalijaga yang berjudul “Dilema Asrama Daerah
dalam Membentuk Kesadaran Multikultural Mahasiswa (Studi atas Lima
Asrama Daerah di Yogyakarta)”. Lima asrama tersebut adalah Asrama
Daerah Ikatan Pelajar dan Mahasiswa (IKPM) Sumatera Selatan (Sumsel),
Asrama Daerah Keluarga Pelajar Mahasiswa Indramayu (KAPMI), Asrama
Daerah Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa (IKPM) Lombok Tengah, Forum
Silaturrahmi Keluarga Mahasiswa Madura Jogyakarta (Fs-KMMJ), dan
Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa (IKPM) Keluarga Mahasiswa Katolik
Sumba (KMKS) Yogyakarta.
Penelitian tersebut berisi tentang kondisi dilematis asrama daerah
mahasiswa yang di satu sisi menyumbang ke-multikultur-an Yogyakarta
(juga lebih meramaikan seni budaya lokal dari beragam daerah), namun juga
menjadi tempat tumbuh kembangnya primordialisme, etnosentrisme, hingga
berujung gesekan antar etnis di Yogyakarta.
Hal positif lainnya adalah tentang terciptanya toleransi atas
perbedaan; penghargaan yang tinggi terhadap kelompok lain; kesadaran atas
persamaan derajat dan kedudukan; apresiatif dan senantiasa memberi
penghargaan terhadap kelompok lain; dan mampu menjaga kebersamaan,
meminimalisir gesekan dengan warga asli dengan sadar akan posisi dirinya
sebagai pendatang.
Kesamaan dengan penelitian penulis adalah terkait analisis hubungan
antar kelompok kultural dalam masyarakat majemuk, dikotomi hubungan
sosial antara warga asli dan warga pendatang, dan konsekuensi kondisi
masyarakat multikultur yang tak bisa lepas dari sentimen kedaerahan dan
gesekan-gesekan berbau SARA. Kesamaan lainnya adalah penelitian tersebut
adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan teknik purposive
sampling. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara observasi dan
wawancara yang mendalam kepada subjek penelitian.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut adalah jika
subjek penelitian tersebut memakai mahasiswa-mahasiswa dari 5 asrama
daerah, penulis menyasar beberapa mahasiswa Papua yang tinggal di sebuah
asrama mahasiswa di Yogyakarta dan beberapa warga asli Yogyakarta di
sekitar asrama tersebut.
Penelitian-penelitian lain dalam beragam jurnal yang penulis temukan
digunakan sebagai referensi dalam mendedah multikulturalisme baik secara
etimologis, ontologis, epistemologis, sampai ke aksiologisnya. Antara lain:
1. Penelitian tentang sisi teoritis dari multikulturalisme adalah penelitian
oleh Dra. Ana Irhandayaningsih, M.Si berjudul “Kajian Filosofis terhadap
Multikulturalisme Indonesia”. Isinya tentang problem asumsi dasar
multikulturalisme di Indonesia seperti ketegangan antara “satu dan
2. Penelitian pada Jurnal Sosiologi MASYARAKAT FISIP UI yang ditulis
oleh Lucia Ratih Kusumadewi dengan judul “Kembalinya Subjek:
Sosiologi Memaknai Kembali Multikulturalisme”. Sesuai judul,
penelitian tersebut bagaimana sosiologi mendedah ulang permasalahan
multikulturalisme dalam proyek penglahiran kembali “subjek” yang mati
sebagai korban ide-ide politik besar seperti negara.
3. Penelitian berjudul “Pendidikan Bagi Pendatang di Tengah Mayoritas
Masyarakat Pribumi” oleh Iwan Hermawan dari Balai Arkeologi
Bandung yang memaparkan tentang konsepsi pendidikan bagi pendatang
di tengah mayoritas masyarakat pribumi. Dalam abstraknya ia
menyinggung tentang kondisi kemajemukan masyarakat Indonesia dan
perlunya mendorong perlunya pendidikan multikultural dimana siswa
memiliki hak yang sama dalam memperoleh pengetahuan akan
budayanya. Yaitu proses pendidikan yang lebih menonjolkan ide
keberagaman kebudayaan yang mendukung sikap saling menghargai
terhadap perbedaan di tengah masyarakat. Sementara, pengenalan tentang
nilai budaya masyarakat setempat yang dominan perlu dilakukan sebagai
dasar bagi proses interaksi dan proses adaptasi dalam kehidupan bersama.
Sedangkan artikel ilmiah yang berkisar pada ide maupun kritik
tentang praktik multikulturalisme (di Indonesia) antara lain:
1. Penelitian Arie Setyaningrum selaku staf pengajar di Jurusan Sosiologi
Fisipol UGM yang berjudul “Multikulturalisme Sebagai Identitas
2. Penelitian John Habba pada Jurnal Bhinneka Tunggal Ika yang berjudul
“Pancasila dan Kemajemukan Etnis di Indonesia”. Hasil penelitiannya
adalah tentang pelaksanaan nilai-nilai Pancasila di Kupang, Makasar, dan
Denpasar, yang menunjukan bahwa sebetulnya di daerah-daerah lokal
tersebut sudah lebih dahulu memiliki nilai tentang menghargai orang lain
alias “the other”, pun menghargai keberagaman, bahkan sebelum
Pancasila dan Indonesia lahir.
C. Kerangka Pikir
Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai miniatur Indonesia
sudah sejak lama mengadopsi ide multikulturalisme. Realitanya, sejak Kraton
Yogyakarta bergabung (serta mendukung penuh) ke Republik Indonesia di era
1940-an, tingkat keberagaman budaya Yogyakarta terus meningkat. Salah satu
penyababnya adalah banyaknya perguruan tinggi yang menjadi tempat belajar
mahasiswa dari segala penjuru daerah di Indonesia. Dari Sabang sampai
Merauke. Dari luar Yogyakarta sampai luar pulau Jawa.
Menyadari kondisi yang demikian, para pemangku kebijakan di DIY,
mulai dari Sultan Hamengku Buwono hingga pemimpin masing-masing
kabupaten dan Kota Yogyakarta, sudah sejak awal kemerdekaan berusaha
untuk mempraktikkan kebijakan berlandaskan multikulturalisme ala Indonesia
sebagai basis hubungan sosial masyarakatnya. Slogan “Jogja Berhati
Nyaman” sudah cukup menggambarkan niat baik Kota Pelajar yang ingin
Hamengku Buwono dengan filosofi Jawanya juga selalu berpesan agar
Yogyakarta musti menjadi tuan rumah yang senantiasa mengayomi
tamu-tamunya.
Namun pada kenyataannya mempraktikkan kebijakan berlandaskan
multikulturalisme tak selamanya bisa berbuah kestabilan dan ketenangan.
Sebagai daerah yang disebut Mas‟oed dkk (2007) sebagai paradoks,
Yogyakarta juga kadang mengalami dinamika khas masyarakat multikultur:
muncul ketegangan antar etnis. Yang berjalan beriringan juga adalah
ketegangan antara (etnis) mayoritas (warga asli) dan (etnis) minoritas (warga
pendatang).
Warga Papua sebagai salah satu warga pendatang sekaligus minoritas di
Yogyakarta adalah contoh baik atas dinamika masyarakat multikultural
tersebut, sebab realitanya sampai mereka masih saja menjadi korban
pelanggaran HAM (nilai dalam multikulturalisme dan HAM selalu beriringan)
dalam bungkus yang paling halus: stereotip, prasangka, hingga intimidasi dan
diskriminasi.