• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK MULTIKULTURALISME DI YOGYAKARTA: Integrasi dan Akomodasi Mahasiswa Papua Asrama Deiyai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PRAKTIK MULTIKULTURALISME DI YOGYAKARTA: Integrasi dan Akomodasi Mahasiswa Papua Asrama Deiyai."

Copied!
238
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

AKHMAD MUAWAL HASAN

10413244030

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

“They laugh at me because I'm different. I laugh at them because they're all the

same.”

(6)

vi

segala latar belakang identitas dan komunitas kultural yang mau meluangkan

waktu untuk membaca isinya. Saya harap ada sedikit banyak yang bisa

direnungkan dan dibawa pulang. Atau jika ada manfaat yang terambil, baik untuk

kepentingan akademik maupun kepentingan positif lainnya, saya turut berbahagia.

Bersikap adil lah pada sesama. Bela selalu kemanusiaan dimana pun Anda

(7)

vii

Akhmad Muawal Hasan NIM. 10413244030

ABSTRAK

Multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui persamaan derajat atas elemen-elemen yang beragam yang ada pada satu masyarakat. Tumbuh pula penghargaan terhadap minoritas, keadilan yang diterima oleh semua elemen sesuai porsi dan haknya, serta terdapat interaksi sosial yang berkualitas baik dan mampu menjamin keutuhan masyarakat tersebut. Multikulturalisme di suatu tempat dinilai gagal jika berkembang persepsi negatif (prasangka, stereotip, stigma) hingga tindak intimidasi, diskriminasi, atau intoleransi dari satu atau beberapa elemen masyarakat (mayoritas) kepada satu atau beberapa elemen masyarakat atau komunitas sosial lainnya (minoritas). Penelitian ini berfokus untuk memahami proses integrasi dan akomodasi yang terjadi di Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY yang di dalamnya terdapat Asrama Deiyai untuk tempat tinggal mahasiswa Papua. Tujuannya untuk menguji seberapa berhasil praktik multikulturalisme berjalan di kawasan tersebut, serta untuk mengetahui tantangan praktik multikulturalisme di Yogyakarta di masa depan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana subjek penelitiannya dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Uji validitas data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi dan diskusi dengan ahli (expert). Teknik analisa datanya memakai analisis grounded theory.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum praktik multikulturalisme di Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY yang terdapat Asrama Deiyai—tempat tinggal mahasiswa Papua, sudah cukup berhasil. Proses integrasi dan akomodasi warga dusun kepada mahasiswa Papua yang tinggal di asrama berjalan cukup baik. Hak-hak mendasar bagi para penghuni asrama sudah terpenuhi dengan baik, termasuk kesempatan untuk melakukan aktivitas kultural khas Papua di asrama, selama bisa tetap kondusif dan tak mengganggu warga sekitar. Interaksi sosial yang terjalin cukup baik untuk menjamin kondisi di Tegalwaras tetap kondusif tanpa ada gesekan atau konflik. Pemahaman nilai-nilai multikulturalisme diterapkan oleh warga dusun maupun penghuni asrama tidak secara teoritis, tetapi langsung ke praktek. Proses integrasi penghuni asrama di Tegalwaras juga berjalan baik dan rekam jejak tersebut dilegitimasi oleh warga Tegalwaras sendiri. Persepsi negatif yang berkembang seputar orang Papua (pemabuk, perusuh, keras/kasar, tukang main perempuan, dan sebagainya) pun gugur dan tak berlaku bagi para penghuni asrama. Para penghuni asrama belajar untuk bersikap sopan khas orang Jawa dalam kesehariannya terutama saat bertemu dengan warga luar asrama. Terakhir, tantangan praktik multikulturalisme di Yogyakarta yang tersusun dari intisari pengalaman tak menyenangkan yang diterima para penghuni asrama sebelum tinggal di Tegalwaras adalah diskriminasi, intoleransi, dan pelanggaran HAM.

(8)

viii

MULTIKULTURALISME DI YOGYAKARTA: Integrasi dan Akomodasi

Mahasiswa Papua Asrama Deiyai” ini tidak lepas dari kerjasama dan bantuan dari

berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Para responden yang bersedia membagi waktu dan cerita-certa

menariknya. Untuk Agus, Mikael, Markus, Moses, Yustinus dan penghuni

Asrama Deiyai lainnya, serta para warga Dusun Tegalwaras, terima kasih

banyak atas partisipasi dan kerjasamanya.

2. Amika Wardhana, Ph.D selaku dosen pembimbing yang sudah mau

menjadi teman diskusi yang baik mulai dari awal perumusan judul hingga

proses akhir. Banyak ilmu dan referensi bagus yang saya dapat. Terima

kasih banyak.

3. Nur Hidayah, M.Si., selaku dosen narasumber dalam skripsi ini. Terima

kasih masukan-masukannya.

4. Seluruh dosen di Jurusan Pendidikan Sosiologi yang sempat membagi

ilmu dan pengalamannya kepada penulis selama kuliah.

5. Kedua orangtua dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan baik

secara moril maupun materiil—tak lupa juga kesabarannya dalam menanti

penulis lulus.

6. Untuk Ana, terima kasih suguhan-suguhan enaknya. Benar-benar

(9)

ix

Tofik, Janti, Nia, Hanif, Joseph, Sofwan, Ebma, Oktandi, Najih, Irfah,

Netty, Rahardian, Nimas, etc: jangan capek reuni ya!

8. Teman-teman Pendidikan Sosiologi UNY 2010 kelas B dan A. Terima

kasih sudah menjadi rekan perkuliahan yang baik.

9. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini secara khusus

dan menyamankan proses belajar penulis di Jogja secara umum, yang

tentu tak bisa disebutkan satu per satu. Buruh bangunan kampus, petugas

kebersihan, petugas administrasi, petugas perpustakaan, bakul buku, ibu

kantin, ibu kos, aa‟ burjo, mas-mas fotokopian, teman-teman UKM, dan

lain-lain dan lain-lain. Terima kasih. Apalah arti kerja-kerja akademik

yang luhur itu tanpa dukungan kalian semua.

Yogyakarta, 10 Desember 2015

Penulis

(10)

x

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR BAGAN.... ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN.. ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

(11)

xi

2. Multikulturalisme di Indonesia ... 26

B. Penelitian yang Relevan ... 37

C. Kerangka Pikir ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

A. Lokasi Penelitian ... 43

B. Waktu Penelitian ... 43

C. Metode Penelitian... 43

D. Teknik Pengumpulan Data ... 45

E. Teknik Pengambilan Sampel... 48

F. Validitas Data ... 49

G. Teknik Analisis Data . ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Deskripsi Umum ... 52

1. Deskripsi Umum Wilayah Penelitian... ... 52

2. Deskripsi Umum Informan. ... 59

B. Analisis Data Penelitian dan Pembahasan ... 63

1. Memahami Multikulturalisme Yogyakarta ... 63

a. Integrasi dan Akomodasi ala Dusun Tegalwaras ... 63

b. Model Multikulturalisme Akomodatif Bercorak Millet ... 68

(12)

xii

Asrama Deiyai ... 81

b. Melawan Persepsi Negatif sebagai Upaya Berintegrasi... 86

3. Tantangan-tantangan Multikulturalisme Yogyakarta ... 93

a. Diskriminasi ... 95

b. Intoleransi ... 99

c. Pelanggaran HAM ... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(13)

xiii

(14)

xiv

2. Pedoman Wawancara Asrama Deiyai ... 115

3. Pedoman Wawancara Dusun Tegalwaras ... 121

4. Kode Wawancara ... 125

5. Hasil Wawancara Responden Asrama Deiyai ... 127

6. Hasil Wawancara Responden Dusun Tegalwaras ... 186

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini bermaksud mengeksplorasi dan mengelaborasi praktik

multikulturalisme yang berkaitan dengan persepsi tentang warga asal Papua

sebagai minoritas berhadapan dengan masyarakat Yogyakarta sebagai

mayoritas di Yogyakarta dan sebaliknya, dengan memakai pendekatan

multikulturalisme yang menekankan pada keadilan sosial, kesetaraan dan

interaksi mutualisme. Sebagai ideologi yang memberi pengakuan dan

penghargaan pada kesederajatan atas perbedaan kebudayaan (Suparlan, 2002)

dan menekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk kodrati atau secara

kodrat adalah sama (Parekh, 2008), multikulturalisme juga menekankan

keadilan pada minoritas (Hardiman, 2011). Interaksi yang terjadi dalam

hubungan sosial sehari-hari idealnya bersifat saling menguntungkan alias

bercorak mutualisme, bukan merugikan salah satu pihak.

Dengan menganalisis persepsi, yang berangkat dari pengalaman

empiris, hasil penelitian diharapkan bisa mendapatkan gambaran mendalam

tentang praktik multikulturalisme dalam konteks interaksi sosial masyarakat

Yogyakarta dan masyarakat Papua di Yogyakarta.

Laboratorium multikulturalisme untuk penelitian penulis adalah

(16)

akan para pendatang dari hampir seluruh provinsi, hubungan antara dikotomi

mayoritas-minoritas atau warga asli-warga pendatang akan mudah ditemukan.

Para pemangku kebijakan di Kota Pendidikan ini, mulai dari Sri Sultan

hingga pemimpin masing-masing kabupaten dan Kota Yogyakarta juga sudah

sejak lama berusaha mempraktikkan kebijakan berlandaskan

multikulturalisme sebagai basis hubungan sosial masyarakatnya.

Sultan Hamengku Buwono X menguraikan dengan gamblang di buku

“Merajut Kembali Keindonesiaan Kita” bahwa dalam Indonesia baru berbasis

multikulturalisme adalah saat warganya mempunyai toleransi terhadap

perbedaan-perbedaan karena adanya kesetaraan derajat kemanusiaan dan

saling menghormati (Buwono, 2007). Begitu juga Herry Zudianto selaku

mantan Walikota Yogyakarta selama 2 periode yaitu 2001-2006 dan

2006-2011 dalam bukunya yang berjudul “Kekuasaan sebagai Wakaf Politik:

Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur” memaparkan bahwa sejak berdiri

di tahun 1756, Kota Gudeg tumbuh menjadi kawasan yang amat plural,

namun bisa terbuka, inklusif, dan toleran bagi kultur yang lain (Zudianto,

2008).

Multikulturalisme dalam definisi Parsudi Suparlan (2002) adalah

sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada

kesederajatan atas perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian

kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual

(17)

askriptif yaitu, suku bangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi

multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan

proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku

secara individual (HAM) saat berhadapan dengan kekuasaan dan komunitas

atau masyarakat setempat.

Dalam penelitian ini, dikotominya adalah warga Yogyakarta sebagai

penduduk asli sekaligus mayoritas berhadapan dengan warga pendatang dari

Papua sebagai minoritas. Papua disini adalah istilah yang dipakai baik untuk

warga Provinsi Papua maupun warga Provinsi Papua Barat. Papua dimaknai

sebagai satu tanah Papua secara keseluruhan dalam 1 pulau, sebab pembedaan

Papua dan Papua Barat lebih bersifat administratif hasil dari kebijakan

pemekaran. Sedangkan secara konstruksi identitas sosial mereka pada

dasarnya sama (Asyhari-Afwan, 2015).

Warga Papua dipilih karena beberapa alasan. Sebagai salah satu warga

pendatang dari luar Jawa, warga Papua secara administratif adalah yang

paling jauh sebab Papua sendiri berada di ujung Timur Indonesia, berbatasan

langsung dengan Papua Nugini. Di Yogyakarta, warga Papua seperti warga

pendatang dari luar Jawa yang lain yang secara jumlah lebih sedikit

ketimbang warga asli Yogyakarta. Sebagai minoritas dalam wacana

bagaimana masyarakat menghadapi perbedaan, warga Papua menjadi sampel

yang baik sebab secara penampilan adalah yang paling berbeda dibanding

(18)

Indonesia bagian Timur yang meliputi Maluku, NTT, NTB, dan terutama

Papua sendiri, penduduk asli provinsi-provinsi tersebut ditandai dengan

warna kulit yang gelap, hidung pesek, dan rambut keriting. Sesuai dengan

ciri-ciri fisik ras Melanesia.

Rekam jejak warga Papua di Yogyakarta memiliki dinamika sosial

yang menarik. Mas‟oud, dkk (2007) menyebutkan bahwa pertukaran kultural

antara pendatang terutama dari luar Jawa dengan warga asli Yogyakarta tak

selamanya damai. Tak sedamai slogan dan branding Daerah Istimewa

Yogyakarta yang sudah dikenal luas se-nusantara dan mancanegara. Ada

saatnya, misal, ketika hubungan-hubungan antara mahasiswa dan tuan rumah

mencerminkan ketegangan-ketegangan etnis, khususnya antara tuan rumah

Jawa dengan mahasiswa-mahasiswa dari pulau luar Jawa. Konflik memuncak

terkait dengan pandangan perilaku buruk mahasiswa-mahasiswa non-Jawa

yang menderita akibat masalah finansial. Pengalaman getir tersebut membuat

pada sekitar tahun 1960-1970an banyak keluarga Yogyakarta tidak bersedia

memberikan pondokan (tempat tinggal) pada mahasiswa non-Jawa.

Sampai sekarang masih ada banyak kos-kosan yang tak mengizinkan

mahasiswa dari Timur (Papua, Maluku, Nusa Tenggara) untuk tinggal di

tempat tersebut dengan alasan yang macam-macam. Secara umum biasanya

berangkat dari persepsi yang mengandung stereotip yang jauh dari kebenaran.

Kondisi tersebut tentu menyulitkan para mahasiswa tersebut saat mesti

(19)

menempati asrama mahasiswa daerah yang dibangun oleh pemerintah daerah

masing-masing.

Warga Papua juga unik dari segi historis-politis. Etnonasionalisme

Papua Barat tak tumbuh serta merta tanpa sejarah dan kondisi (kompleks)

yang ada. Ada beberapa penyebab. Pertama, proses menghilangkan pengaruh

kolonial Belanda, dan utamanya Pepera, pada tahun 1961–1963 dianggap

tidak pernah melibatkan rakyat Papua secara keseluruhan. Adalah wajar jika

sampai saat ini masih ada tuntutan dari beberapa pihak untuk mengkaji

kembali “aspek historis” dari proses “integrasi” wilayah Papua ke dalam

NKRI. Kedua, masyarakat Papua telah mengalami peminggiran yang

disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal lebih

disebabkan oleh kapasitas dan kultur lokal. Sementara, bersamaan dengan itu,

kehadiran faktor luar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan

Papua, baik dari sisi persaingan ekonomi, fenomena migrasi, dan disparitas

pembangunan desa dan kota. Ketiga, Papua masih menyimpan masalah

terkait hubungannya dengan pemerintah pusat. Hubungan Papua-Jakarta ini

sampai sekarang tetap didiskusikan untuk mencari solusinya (Asyhari-Afwan,

2015: 6).

Tanggapan atas citra Papua dan gerakan Papua merdekanya oleh

pemerintah Indonesia menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Apalagi

selama Orde Baru, tindakan militeristik yang sering menjadi penanggulangan

(20)

Sampai era rezim Jokowi-JK, korban sipil masih berjatuhan di Papua. Bahkan

banyak korban sipil yang tak ada hubungannya dengan hal-hal politis.

Di Yogyakarta, kasus pelanggaran HAM pada warga Papua muncul

dalam bentuk yang paling halus: berkembangnya persepsi negatif. Persepsi

negatif yang muncul beragam. Bahwa orang Papua itu kasar (dalam gestur

maupun gaya berkomunikasi), tukang bikin rusuh dan onar, pemabuk, hobi

melanggar peraturan (dalam berkendara), tak nasionalis (NKRI), dan lain

sebagainya. Kadang persepsi negatif tersebut memicu tindak diskriminasi,

intimidasi, atau intoleransi dimana warga Papua sebagai korbannya.

Persepsi negarif disebut Sutarno (2007) sebagai bentuk dari penyakit

budaya. Penyakit-penyakit budaya tersebut antara lain adalah etnosentrisme,

stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan diskriminasi, (dikutip dari

Herimanto dan Winarno, 2010).

Beragam bentuk persepsi negatif tersebut tak hanya menciderai HAM,

namun juga tak sejalan dengan semangat multikulturalisme yang

mengagung-agungkan kesederajatan dan keadilan bersikap dengan orang lain terlepas dari

bawaan identitas kultural dan ras-nya. Pandangan Will Kymlicka dalam

“Multicultural Citizenship” dirujuk Hardiman untuk politik multikulturalisme

yang diartikan sebagai politik tentang hak-hak minoritas. Kymlica sejalan

dengan pemikiran Clifford Geerzt bahwa problem kelompok-kelompok etnis

atau kultural dan kelompok sosial adalah sebab mereka dieksklusi atau

(21)

mereka. Bersikap adil adalah komitmen untuk menghargai keberlainan dan

kekhasan (Hardiman, 2011).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang diatas, bisa dipaparkan identifikasi

masalahnya antara lain sebagai berikut.

1. Dalam sebuah masyarakat multikultur seperti masyarakat Daerah istimewa

Yogyakarta (DIY), muncul dikotomi yaitu antara golongan mayoritas yang

terdiri dari warga Yogyakarta asli atau yang sudah lama mendiami wilayah

DIY secara turun-temurun, dan golongan minoritas yang bertatus sebagai

pendatang dari luar DIY ataupun luar Pulau Jawa.

2. Kondisi masyarakat multikultur yang terdiri dari elemen masyarakat yang

berbeda suku bangsa, agama, ras, dan golongan tak selamanya damai.

Kadang ada dinamika yang cenderung menghilangkan semangat

multikulturalisme tersebut dan didasarkan pada persepsi negatif berbentuk

prasangka atau stereotip negatif, sikap primordialisme dan etnosentrisme,

lalu berujung pada diskriminasi dan intimidasi dari satu kelompok (etnis)

satu ke kelompok (etnis) lain.

3. Persepsi negatif berbentuk penyakit-penyakit budaya seperti

etnosentrisme, stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan

diskriminasi kadang dialami kelompok minoritas, salah satunya elemen

(22)

4. Stereotip atau sentimen negatif yang belum jelas kebenarannya dalam

konteks sosial-budaya antara lain: warga Papua itu kasar (dalam gestur

maupun gaya berkomunikasi), tukang bikin rusuh dan onar, pemabuk, hobi

melanggar peraturan (misal, dalam berkendara), dan sebagainya.

5. Penyakit-penyakit budaya yang ada tersebut dikhawatirkan menjadi tanda

kegagalan praktik multikulturalisme di Yogyakarta.

C. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka

penulis akan menitik beratkan permasalahan tentang (1) jalinan persepsi yang

berkembang diantara warga Papua di Asrama Deiyai dan warga Yogyakarta

asli di Dusun Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY

tentang pandangan masing-masing pihak, dan (2) kualitas interaksi sosialnya.

Analisis dua poin tersebut diharapkan bisa untuk menilai seberapa berhasil

praktik multikulturalisme yang ada di Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah serta

pembatasan masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitiannya

yaitu:

1. Bagaimana praktik multikulturalisme di Yogyakarta dalam mengintegrasi

dan mengakomodasi mahasiswa Papua di Asrama Deiyai di Tegalwaras

(23)

2. Bagaimana upaya-upaya mahasiswa Papua di Asrama Deiyai dalam

berintegrasi dengan masyarakat Yogyakarta khususnya warga Tegalwaras

RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY?

3. Apa saja tantangan dan hambatan praktik multikulturalisme di Yogyakarta

khususnya yang menyangkut mahasiswa Papua yang tinggal Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai

oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Memahami praktik multikulturalisme di Yogyakarta dalam mengintegrasi

dan mengakomodasi mahasiswa Papua di Asrama Deiyai di Tegalwaras

RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY.

2. Memahami upaya-upaya mahasiswa Papua di Asrama Deiyai dalam

berintegrasi dengan masyarakat Yogyakarta khususnya warga Tegalwaras

RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY.

3. Mengetahui tantangan dan hambatan praktik multikulturalisme di

Yogyakarta khususnya yang menyangkut mahasiswa Papua yang tinggal

Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Manfaat Teoritis

(24)

b. Dapat digunakan sebagai ajang berpikir kritis, analitis, dalam

mengembangkan teknik/metode penelitian sosial.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan bagi para akademisi tentang kajian praktik

multikulturalisme di Yogyakarta.

b. Bagi Dosen

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap dosen, entah tambahan literatur untuk kepentingan mengajar,

berdiskusi, penelitian lanjutan, maupun kepentingan akademis lainnya.

c. Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat menambah

referensi sebagai bahan informasi dan menambah wawasan mengenai

kajian praktik multikulturalisme di Yogyakarta.

d. Bagi Peneliti

1) Penelitian ini digunakan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi

dan mendapat gelar sarjana pada jurusan Pendidikan Sosiologi FIS

UNY.

2) Dapat mengetahui dengan lebih mendalam mengenai kajian praktik

(25)

3) Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam

membandingkan teori yang telah di dapat peneliti di bangku kuliah

dengan praktik di lapangan, serta analisis keduanya.

4) Wahana refleksi tentang bagaimana menyikapi perbedaan di

tengah masyarakat yang majemuk, dimulai dengan membangun

persepsi yang adil tentang orang lain.

e. Bagi masyarakat luas

Memberikan pandangan yang lebih adil dan objektif tentang

elemen masyarakat Papua yang tinggal dimana saja dan menjadi

minoritas, terutama di Yogyakarta. Diharapkan stigma, prasangka,

sentimen, atau stereotip negatif yang melekat bisa menghilang dan

seluruh elemen masyarakat bisa membangun kehidupan sosial yang

(26)

12

A. Kajian Pustaka 1. Multikulturalisme

Bikhu Parekh (1997) memaparkan bahwa “as society with several

religions or languages is multi religious or multi lingual, a society

containing several cultures is multicultural” atau masyarakat yang terdiri

atas beberapa agama atau bahasa, pun banyak agama dan banyak bahasa,

sebuah masyarakat yang terdiri dari beberapa kebudayaan adalah

masyarakat multikultur (dikutip dari Azra, 2013).

Sebelum istilah multikulturalisme muncul, para ahli lebih sering

menggunakan istilah yang lebih sederhana: masyarakat majemuk, yang

dikemukakan oleh administrator dan penulis politik Inggris di Asia

Tenggara, J. S. Furnivall. Masyarakat majemuk bagi Furnivall (1944)

adalah masyarakat yang terdiri dari “dua atau lebih elemen atau tatanan

sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur, dalam satu unit

politik” (dikutip dari Hefner, 2007: 16).

Mengapa multikulturalisme selalu lekat dengan politik yang khas

adalah sebab bagi Furnivall permasalahan kondisi masyarakat majemuk

di Indonesia tak bisa ditangani sebagaimana Inggris mengelolanya

“dengan tradisi-tradisi yang konservatif dan institusinya yang stabil”.

(27)

bagaimana memfasilitasi interaksi damai dan kooperatif dalam suatu

masyarakat di mana para warganya tidak memiliki perasaan mengenai

diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau budaya (Hefner, 2007: 17). Bagi

Furnivall, tidak mungkin menyatukan beragam elemen masyarakat yang

sedemikian majemuk hanya dengan kesamaan kepentingan ekonomi yang

terwujud dalam pertukaran di pasar.

Tanpa membentuk atau dibentuk suatu unit politik, kondisi yang

demikian terasa menggelisahkan bagi Furnivall (1944).

(Masyarakat) cenderung diorganisir demi produksi, bukan demi kehidupan sosial; tuntutan sosial dikotak-kotakkan, dan dalam masing-masing kotak komunitas tuntutan sosial menjadi tercerai-berai dan tak efektif sehingga dalam masing-masing kotak itu para anggota menghadapi rintangan dalam usahanya untuk menjalani hidup sepenuhnya sebagai seorang warga negara dalam sebuah komunitas yang homogen; terakhir, reaksi menentang kondisi-kondisi abnormal ini, yang masing-masing kotak mengambil bentuk Nasionalisme, membenturkan komunitas yang satu dengan komunitas lainnya sehingga menekan sifat majemuk masyarakat itu dan memperburuk instabilitasnya sehingga meningkatkan perlunya tuntutan sosial itu dipertahankan dengan suatu kekuatan dari luar (Hefner, 2007: 18).

Masyarakat majemuk (plural society) yang belum tentu dapat

dinyatakan sebagai masyarakat multikultural (multicultural society),

karena bisa saja di dalamnya terdapat hubungan antar kekuatan

masyarakat dan varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir

dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi. Bentuk masyarakat

multikultural yang tak hanya majemuk, namun juga dalam satu unit

politik yang lepas dari segala bentuk dominasi, hegemoni, maupun

(28)

Secara sederhana, Scott Lash dan Mike Featherstone (2002)

mengartikan multikulturalisme berarti “keberagaman budaya” (dikutip

dari Salehudin, 2013: 11). Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk

menggambarkan masyarakat yang beragam, yaitu pluralitas (plurality),

keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural) (Salehudin,

2013).

Ketiganya merepresentasikan hal yang berbeda. Pluralitas

mengandaikan adanya ‟hal-hal yang lebih dari satu‟ (many), dan

keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ‟lebih dari satu‟ itu

berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Sedangkan

multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain (yang

berbeda budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama) secara sama

sebagai kesatuan (Salehudin, 2013: 11).

Menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar tahun 1970-an terminologi

“multikulturalisme” muncul pertama kali di Kanada dan Australia. Lalu

kemudian menyebar ke Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya.

Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat

ke seluruh dunia (Salehudin, 2013: 11).

Irhandayaningsih (2012) berpendapat bahwa istilah

multikuluralisme marak digunakan lebih surut lagi, yakni di tahun 1950

di Kanada. Sejarahnya adalah pemakaian istilah “multicultural” dulu

(29)

menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural

dan multilingual (banyak ragam bahasa).

Suparlan (2002) mengutip intisari pemikiran Jary, D dan J. Jay

dalam “Dictionary of Sociology”, B. Fay dalam “Contemporary

Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach”, dan

C.W.Watson dalam “Multiculturalism” untuk menerjemahkan istilah

“multikulturalisme” sendiri sebagai sebuah ideologi yang mengakui serta

mengagungkan perbedaan dalam lingkup kesederajatan, baik secara

individual maupun secara kebudayaan. Penekanannya ada pada

“kesederajatan”, yang berarti sebuah pengakuan mendasar bahwa yang

beragam itu—baik budaya maupun individu—berada dalam posisi setara

alias tak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah.

Perbedaan-perbedaan budaya layak dinilai. Tak ada kebudayaan

yang seluruhnya tidak berharga, bahwa semua pantas memperoleh

setidak-tidaknya beberapa pengormatan karena arti kebudayaan bagi para

anggotanya dan energi kreatif yang diperlihatkannya, bahwa tidak ada

kebudayaan yang sempurna dan memiliki hak untuk menghadirkan diri

pada pihak lain; dan bahwa kebudayaan paling mungkin dapat diubah

dari dalam (Parekh, 2008: 441).

Parekh mengemukakan sebuah perspektif yang menjadi prinsip

dasar masyarakat multikultur, terdiri dari satu keadaan saling

mempengaruhi yang kreatif dari ketiga wawasan yang bersifat

(30)

keharusan dan keinginan akan keanekaragaman budaya, dan ketiga adalah

dialog antar budaya (Parekh, 2008: 443). Terutama yang poin kedua,

dasar ini adalah kondisi dimana masyarakat menerima kenyataan dan

keinginan atas keanekaragaman budaya, baru kemudian mulai

menstrukturkan kehidupan politiknya (Parekh, 2008).

Karena berkenaan dengan proyek politis, maka multukulturalisme

juga lebih dari sekedar gambaran akan sebuah realitas. Multikulturalisme

juga sebuah teori sosial yang dipakai menjadi dasar dari legitimasi sebuah

diversitas kultural atau keberagaman kultural pada suatu wilayah (negara)

dan menurun pada kebijakan politiknya, terutama kebijakan multikultural

(Budiman, 2009).

Praktik dan kebijakan multikulturalisme dalam sebuah negara bagi

banyak pemikir memiliki banyak cara dan model. Hal tersebut bisa

bermula dari definisi multikulturalisme yang pada prinsipnya adalah

demografi sosial sebuah tatanan komunitas-komunitas kultural yang

berbeda dan membentuk sebuah “kehidupan bersama” sambil tetap

memelihara identitas “asli” komunitasnya masing-masing (Budiman,

2009: 13).

Bikhu Parekh menganalisis struktur politik masyarakat

multikultur yang dalam terminologi Hefner disebut “unit politik tunggal”

atau dalam konteks analisis Parekh adalah negara. Ia menyebut negara

sebagai sebuah bentuk integrasi politik. Parekh (2008) membagi 3 bentuk

(31)

hal yang dianggap bertentangan, yaitu kesatuan (unity) dan keberagaman

(diversity)—tentu dengan konsekuensi-konsekuensinya masing-masing.

Bentuk integrasi yang pertama adalah model proseduralis. Model

ini menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan kestabilan di tengah

perbedaan moral dan budaya yang tak mungkin bisa diselesaikan secara

rasional (Parekh, 2008). Secara garis besar formal dan netral negara hadir

dan memberlakukan peraturan-peraturan umum atas perilaku yang mesti

ditaati namun di sisi lain warganya bebas menjalani kehidupan pribadi

yang mereka pilih sendiri.

Negara proseduralis tak akan mengejar kepentingannya

kepentingannya sendiri dengan menegakkan peraturan tersebut

sedemikian represifnya karena negara sadar jika melakukannya ia akan

melanggar otonomi moral dan mendiskriminasikan golongan atau

komunitas kultural. Negara yang formal minimal mengombinasikan

semaksimal mungkin keanekaragaman; hal itu terbentuk karena masih

terlihat jelas ketidaksepakatan modal dan budaya warga dan tidak

membuat tuntutan-tuntutan kontroversial terhadap ketidaksepakatan

tersebut, dan juga karena hal itu memunculkan hambatan yang paling

sedikit atas pilihan mereka (Parekh, 2008: 267).

Model kedua disebut model asimilasionis kemasyarakatan yang

berkeyakinan bahwa komunitas politik membutuhkan persetujuan tidak

hanya mengenai struktur kekuasaannya, namun juga kebudayaan yang

(32)

komunitas politik pada budaya politik yang sama-sama dimiliki. Antara

lain melingkupi nilai-nilai politik dan publik, cita-cita, praktik-praktik,

institusi-institusi, bentuk wacana politik, dan pemahaman diri. Bagi

pandangan asimilasionis, wilayah publik (yang ideal) mewakili

keseragaman, sedangkan wilayah privat/pribadi (keluarga dan masyarakat

sipil) mewakili keanekaragaman. Wilayah publik merepresentasikan

kesatuan (unity) sedangkan wilayah privat adalah ranah bagi

keberagaman (diversity) (Parekh, 2008: 268).

Yang terakhir adalah model Millet yang memiliki pandangan

bahwa manusia adalah makhluk budaya yang paling penting. Manusia

adalah sumber dari segala produk budaya dan kebudayaan. Maka yang

dipentingkan adalah komunitas kultural dan ekspresi serta nilai hidup

mereka terapkan sehari-hari. Negara hanyalah lembaga administratif dan

legal esensial, namun tak memiliki status moral. Moral ada pada

komunitas kultural masing-masing dan tak masalah jika berbeda satu

sama lain. Tak ada kebudayaan bersama, dan poin ini yang kemudian

membedakan secara agak ekstrem dengan model asimilasionis. Negara

Millet memandang negara hanya bertugas untuk menegakkan dan

memelihara komunitas kultural warganya (Parekh, 2008).

Berbeda dengan pandangan asimilasionis yang meletakkan posisi

negara sebagai entitas yang paling penting, bagi pandangan Millet negara

bukanlah satu komunitas dari komunitas-komunitas, sehingga

(33)

Negara adalah kesatuan atau federasi komunitas yang sifatnya longgar

namun memiliki kerangka kerja yang jelas. Masing-masing komunitas

dibebaskan mengikuti jalan hidup tradisionalnya dan terlibat dalam

interaksi sosial, politik, dan ekonomi yang dibutuhkan (Parekh, 2008:

269). Kesetiaan individu pertama-tama adalah untuk komunitas

kulturalnya, lalu pada negara. Masyarakat dengan model Millet ini

contohnya Turki Usmaini atau masyarakat Amish di Amerika Serikat.

Masing-masing penerapan model tersebut memiliki kelebihan dan

kekurangannya masing-masing. Misal, model asimilasionis. Karena

memisahkan wilayah pribadi dan publik secara rapi, model ini tidak dapat

memberikan pertimbangan yang penting bagi lembaga yang tak memihak

keduanya, seperti lembaga pendidikan. Penerimaan atas budaya politik

negara yang lebih besar juga berpotensi mendiskriminasi budaya di

komunitas kultural sendiri di ranah pribadi. Ini berlawanan dengan

masyarakat multikultur dan semangat keberagamannya (Parekh, 2008:

276-278).

Memakai model Millet pun punya konsekuensi-konsekuensi

tertentu. Hampir mustahil negara eksis tanpa ada standar moral. Standar

tersebut dipakai juga untuk menerapkan hukum. Jika negara tak memiliki

pendirian moral yang dianggap universal dan mengikat, negara seakan

hanya menjadi penonton pertukaran dan perbenturan wacana satu

(34)

yang dipandang tak lebih beradab dari praktik kebudayaan di

komunitasnya sendiri.

Dengan memecah masyarakat menjadi beberapa komunitas

mandiri dan tak mengizinkan interaksi penuh melainkan hanya pada

tingkat minimum, tindakan tersebut berlawanan dengan perkembangan

ikatan sosial dan politik yang tanpanya komunitas politik mampu

bertindak secara efektif dan mempertahankan persatuan dan kerekatannya

(Parekh, 2008: 275).

Walaupun model prosedural dianggap sebagai jembatan diantara

kedua model tersebut, model prosedural juga punya konsekuensi yang

bisa dibilang ambivalen. Dalam menjalankan sistem politiknya, negara

hampir tak mungkin netral. Selama struktur dan pelaksanaan politik tak

pernah secara moral netral, kesatuan komunitas politik tak tidak dapat

diletakkan pada dasar prosedural itu sendiri. Karena bentuk proseduralis

tidak menjelaskan begaimana persetujuan seperti apa sesungguhnya

komunitas politik itu atau bagaimana cara memerintahnya dalam sebuah

masyarakat multikultur, pemikiran tentang kesatuan dan persatuan negara

menjadi tidak koheren (Parekh, 2008: 270).

Parekh (1997) memaparkan 5 konsep lain yang bisa saling

tumpang tindih dalam segi-segi tertentu. Pertama adalah

Multikulturalisme Isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok

(35)

minimal satu sama lain. Masyarakat ini mengadopsi sistem Millet dan ada

di Turki Usmaini atau masyarakat Amish di Amerika Serikat.

Kedua adalah Multikulturalisme Akomodatif, yaitu masyarakat

yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan

akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas.

Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum,

dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan

kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan

mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum

minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini

diterapkan di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan lain

sebagainya.

Ketiga adalah Multikulturalisme Otonomis, yaitu masyarakat

plural yang kelompok-kelompok kultural utamanya berusaha

mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan

menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara

kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk

mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama

dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan

berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa

eksis sebagai mitra sejajar. Contohnya ada di kelompok Quebecois di

(36)

menuntut untuk bisa menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka

pada sekolah Islam, dan sebagainya.

Keempat adalah Multikulturalisme Kritikal/interaktif, yakni

masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu

terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih

membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan

perspektif-perspektif khas mereka. Ada ketegangan antara kelompok

budaya dominan dan kelompok budaya minoritas baik dalam tataran

politis maupun intelektual. Contohnya adalah masyarakat kulit hitam di

Amerika atau Inggris.

Kelima adalah Multikulturalisme Kosmopolitan, yaitu masyarakat

plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk

menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat

kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam

percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan

kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme

jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan

kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan postmodernis

memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat mereka pilih

dan ambil secara bebas (dikutip dari Azra, 2013).

Kesadaran politik multikulturalisme berangkat dari pandangan

dunia tentang kemajemukan itu sendiri: sebuah pandangan yang

(37)

mempermasalahkannya. Maka multikulturalisme pada dasarnya adalah

pandangan dunia ”yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai

kebijakan kebudayaan”. Penekanannya ada pada penerimaan terhadap

realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam

kehidupan masyarakat. Sebuah politics of recognition atau politik

penerimaan (terhadap realitas yang majemuk tersebut), merujuk istilah

yang digunakan oleh Charles Taylor (Azra, 2013).

Bagi Parekh, dimensi manusia sebenarnya mendua. Antara satu

manusia satu dan yang lain memiliki persamaan, yang dicontohkan

Parekh meliputi kesamaan penciptaan sesuai dengan citra Tuhan,

memiliki jiwa, makhluk yang bisa memahami dirinya, memuliki

kebutuhan dan kemampuan umum atau satu susunan alamiah yang sama;

namun di sisi lain manusia juga bervariasi dari satu budaya ke budaya

lain, dari satu individu dan individu lain (Parekh, 2008: 317).

Manusia adalah makhluk kodrati sekaligus kultural. Mereka sama

dan berbeda, kesamaan dan perbedaan mereka tidak koeksisten secara

pasif tetapi saling menembus dan semuanya tidak mendahului secara

ontologis maupun lebih penting secara moral (Parekh, 2008).

Jika dasar kesetaraan ada pada keseragaman, maka

konsekuensinya adalah terjadi tindak penyeragaman secara kultural

seperti yang dulu dibahas oleh filsuf Yunani, Kristen, dan liberal, dimana

masyarakat mudah bergerak dari keseragaman menuju monoisme.

(38)

membentuk manusia pada satu arah tertentu. Tidak koheren secara

filosofis pun problematis secara moral (Parekh, 2008). Tak sejalan

dengan semangat multikulturalisme yang ingin merayakan perbedaan.

Tindak penyeragaman adalah konsekuensi dari lawan

multikulturalisme, yaitu monokulturalisme. Eksistensi negara-bangsa

(nation building) yang mengandung keragaman membuat penguasa

negara tersebut memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik

keseragaman budaya (monokulturalisme atau monoculturality) (Azra,

2013).

Satu teori menarik dikemukakan Parekh tentang tiga tingkatan

kesetaraan. Kesetaraan diartikulasikan pada tiga tingkatan yang saling

terkait. Pada level yang paling dasar, kesetaraan melibatkan penghargaan

dan hak. Pada level kedua yang lebih tinggi, kesetaraan melibatkan

kesempatan, kepercayaan diri, harga diri, dan lainnya. Sedangkan di

tingkatan ketiga atau pada level yang lebih tinggi lagi, kesetaraan

melibatkan kekuasaan, kesejahteraan, dan kemampuan dasar yang

diperlukan untuk pengembangan manusia (Parekh, 2008). Parekh

menambahkan, “Kita hampir tidak bisa menghormati seseorang jika

memperlakukannya dengan penistaan atau menghilangkan segala yang

memberi makna bagi hidupnya.”

Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of

Human Rights yang ditetapkan sejak tahun 1948 menyatakan bahwa

(39)

hak, antara lain: hak hidup, kemerdekaan dan keamanan badan, diakui

kepribadiannya menurut hukum, memperoleh perlakuan yang sama

dengan orang lain menurut hukum, mendapat jaminan hukum dalam

perkara pidana, masuk dan keluar wilayah suatu negara, hak atas

kepemilikan benda, bebas mengutarakan pikiran dan perasaan, memeluk

agama, rapat dan berkumpul, mendapat jaminan sosial, mendapat

pekerjaan, berdagang, mendapatkan pendidikan, turut serta dalam

gerakan kebudayaan, dan hak menikmati kesenian dan turut serta dalam

kemajuan keilmuan (Sunarso, 2006).

Problem utama dalam pengelolaan masyarakat multikultur adalah

soal keadilan, terutama keadilan bagi kelompok minoritas. Kelompok

minoritas dimanapun selalu mencari pengakuan atas identitas kolektif

mereka. Baik kelompok minoritas kultural yang berbasis bahasa, agama,

atau etnis, maupun kelompok minoritas sosial seperti kelompok feminis,

kaum cacat, homoseksual, atau kelompok berorientasi nilai lainnya

(Hardiman, 2011).

Pandangan Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship

dirujuk Hardiman (2011) untuk politik multikulturalisme yang

diartikannya sebagai politik tentang hak-hak minoritas. Kymlica sejalan

dengan pemikiran Clifford Geerzt bahwa problem kelompok-kelompok

etnis atau kultural dan kelompok sosial adalah sebab mereka dieksklusi

(40)

„keberlainan‟ mereka. Bersikap adil adalah komitmen untuk menghargai

keberlainan dan kekhasan (Hardiman, 2011).

Ada dua poin yang perlu pemahaman mendalam atasnya agar tak

berakibat fatal, yaitu antara “diskriminasi” dan “diferensiasi”.

Diskriminasi dimulai dari diferensiasi dan berakhir pada marjinalisasi,

stigmatisasi, dan isolasi. Diferensiasi tidak harus berakhir dengan

diskriminasi karena mempersepsikan perbedaan bisa juga dengan

membangun sikap adil. Di dalam masyarakat yang bersentuhan dengan

yang lain dalam rasa takut, diferensiasi bisa merosot menjadi diskriminasi

(Hardiman, 2011).

Politik multikulturalisme adalah politik diferensiasi, yakni suatu

upaya untuk adil terhadap perbedaan. Politik macam ini tidak bisa

dilaksanakan jika sebuah masyarakat memelihara heterophobia: ketakutan

akan yang lain dalam keberlainan (Hardiman, 2011: 86).

2. Multikulturalisme di Indonesia

Robert Hefner menyebut jika Amerika Serikat, Kanada, dan

Australia memiliki model “Anglo American” atau “Anglo conformist”

dalam politik masyarakat multikulturnya. Pemerintah dan masyarakat

negara tersebut di awal peradabannya tidak ragu-ragu untuk membuang

para penduduk pribumi dari tanah tumpah darah mereka. Konsisten

dengan proyek pemukimannya, negara-negara tersebut lebih bersedia

menyambut imigran asing daripada rekan-rekan mereka di Eropa

(41)

berasimilasi dengan prototipe-prototipe linguistik, kultural, dan ras

mayoritas (Hefner, 2007: 14).

Sebagai pemahaman awal, di ketiga negara tersebut stabilitas bisa

mudah dicapai sebab asimilasi menjadi syarat utama warga pendatang

jika ingin menjadi warga negara. Namun, sebagaimana Hefner mengutip

Furnival, masalah kritis dalam masyarakat-masyarakat seperti yang ada di

kepulauan Asia Tenggara adalah bagaimana memfasilitasi interaksi damai

dan kooperatif dalam suatu masyarakat dimana para warganya tak

memiliki perasaan mengenai diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau

budaya (Hefner, 2007: 17).

Beruntung, praktik perdagangan menjembatani permasalahan

tersebut. Furnivall menggambarkan seting masyarakat multikultur khas

Asia Tenggara dengan “seksi-seksi” etnis dan relijius secara keseluruhan

membentuk masyarakat yang berlainan satu sama lain sehingga mereka

tak memiliki banyak persamaan selain pertukaran pasar mereka (Hefner,

2007). Reid (1993) menilai bahwa kondisi “kota dagang Asia Tenggara

adalah titik temu pluralistis dari orang-orang dari segala penjuru Asia

maritim.” (dikutip dari Hefner, 2007: 31).

Pemersatu kultural lain yang tak kalah penting adalah bahasa.

Menurut Hefner (2007), ada dimensi linguistik yang menarik pada pola

yang disebut etnisitas yang saling merembes (permeable ethnicity). Sejak

(42)

diplomasi, dan agama yang paling terkemuka.” Praktis bahasa Melayu

digunakan di semua daerah di Asia Tenggara, mungkin kecuali Vietnam.

Hefner mengandaikan sekaligus menganalisis jika kotak-kotak

etnis di Asia Tenggara memiliki batas-batas yang tegas atau bersifat

oposional dan keras, maka penyebaran linguistis tersebut pasti akan

lambat dan kurang merata. Sebagaimana masih terjadi sekarang ini, dan

bukannya dipertentangkan secara keras, identitas-identitas etnis rupanya

dipayungi oleh suatu rasa trans-etnis peradaban Melayu-Indonesia

(Hefner, 2007: 32).

Praktik imperialisme dan kolonialisme negara-negara Eropa di

Asia Tenggara termasuk Indonesia kemudian terjadi selama beberapa

abad. Tentu saja orang-orang Eropa tidak menciptakan masyarakat

majemuk di tempat yang sebelumnya tidak ada. Namun sebagai

imperialis dan kolonialis mereka juga bukan sekedar saksi pasif yang

melihat suatu evolusi endogen yang unik (Hefner, 2007).

Furnivall pernah meramalkan bahwa jika orang-orang Eropa

melepaskan peran mereka sebagai majikan penjajah maka kemerdekaan

akan mendorong negara-negara baru ke dalam neraka anarki. Ternyata ia

keliru. Kepemimpinan pribumi yang baru ternyata lebih terampil dalam

menjalankan mesin-mesin pemerintahan daripada yang dibayangkan oleh

Furnivall (Hefner, 2007: 20).

Setelah Indonesia memprklamasikan kemerdekaannya, kasta-kasta

(43)

elemen-elemen masyarakat dihilangkan. Dengan kata lain, stratifikasi sosial yang

berbentuk vertikal dihapus, digantikan dengan diferensiasi yang

berbentuk horizontal. Menandakan sebuah semangat kesetaraan diantara

perbedaan yang (populer) didasarkan pada konsep SARA atau Suku, Ras,

Agama, dan Antar golongan, dan diwadahi dalam satu sistem politik

nasional (yang akhirnya) berbentuk negara kesatuan.

Selama 3 era besar sejarah Indonesia modern, yaitu selama

pemerintahan Soekarno di awal kemerdekaan, Orde Baru di bawah

kekuasaan Soeharto, dan di era Pasca Reformasi tahun 1998,

masing-masing rezim memiliki proyek politik multikulturalisme-nya yang khas

serta konsekuensi-konsekuensinya.

Banyaknya pemberontakan lokal di awal kemerdekaan saat

Soekarno berkuasa misalnya, membuat kondisi politik di era Orde Baru

terasa sangat otoriter dan asimilasionis (model politik multikulturalisme

ala Bikhu Parekh). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan

“khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno” dan

masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menunjukkan

kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme (Azra,

2013).

Secara restrospektif, politik monokulturalisme pada rezim Orde

Baru yang mengatasnamakan stabilitas demi melancarkan politik

pembangunan (fisik) atau developmentalism telah menghancurkan local

(44)

republik nagari di Sumatera Barat dan lain sebagainya. Selain

menghancurkan banyak kearifan lokal, politik monokulturalisme pada

akhirnya juga mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi

sosial-budaya lokal. Kekerasan dan konflik yang bernuansa etnis dan

agama yang khususnya marak sejak 1996 tak bisa dilepaskan dari

fenomena tersebut (Azra, 2013).

Klinken (2004) mengutip Ted Gurr dalam membagi konflik suku

bangsa seperti yang marak terjadi di Indonesia ke dalam lima kategori:

(1) Etnonasionalis, yaitu satuan etnik yang hidup dalam wilayah tertentu

dan ingin memisahkan diri dari negara (misalnya: Aceh, Papua); (2)

Persaingan komunal, yaitu persaingan antar kelompok untuk meraih

kekuatan politik (Kristen vs Muslim di Ambon dan Poso); (3) Etnokelas,

yaitu upaya suku bangsa tertentu untuk mencapai persamaan hak dan

mengatasi diskriminasi sebagai imigran dan minoritas; (4) Masyarakat

adat, yaitu mereka hidup dalam wilayah tertentu dan menginginkan

otonomi yang lebih besar dari negara yang memerintah untuk melindungi

tanah adat (misalnya: Papua, Dayak di Kalimantan); dan (5) Sekte agama

militan, yaitu kelompok-kelompok kecil yang berjuang untuk ideologi

agama (misalnya Laskar Jihad) (Asyhari-Afwan, 2015).

Kategori-kategori tersebut kenyataannya kadang tidak

berlangsung secara terpisah. Seringkali konflik suku bangsa berlatar

agama sebenarnya dipengaruhi persaingan komunal dari kalangan elit

(45)

Koffi Anan selaku Sekjen PBB pernah menyinggung

permasalahan konflik tipe etnonasioalis dalam pidatonya saat berkunjung

ke Indonesia pada 2005 silam, atau 7 tahun setelah reformasi

mengguncang Jakarta dan konsep tentang multikulturalisme yang

sebenar-benarnya sedang ramai diperbincangkan kembali.

Minoritas harus diyakinkan bahwa negara benar-benar milik mereka, juga milik mayoritas, dan bahwa keduanya akan menjadi pecundang kalau negara pecah. Konflik-konflik hampir pasti terjadi kalau respon negara terhadap separatisme menimbulkan penderitaan yang meluas di wilayah atau diantara kelompok etnik yang ingin memisahkan diri itu. Akibatnya adalah membuat makin banyak orang merasa bahwa negara bukanlah negara mereka, dan ini sama saja dengan memberi separatisme para pendukung baru. (dikutip dari Budiman, 2009: xvi).

Sebuah masyarakat multikultur tidak mampu stabil dan bertahan

lama tanpa adanya perasaan saling memiliki yang dirasakan para

warganya. Tak berdasarkan etnis atau karakteristik budaya atau

karakteristik tertentu. Masyarakat multikultural terlalu beranekaragam

untuk kategori tersebut. Namun secara alamiah bersifat politis dan

didasarkan pada komitmen terhadap komunitas politik (Parekh, 2008).

Ketegangan antara mayoritas dan minoritas atau konflik antar

kelompok etnis, agama, dan golongan adalah permasalahan klasik yang

hampir selalu mewarnai perjalanan negara yang multikultur. Terkadang

keduanya tumpang tindih: mayoritas yang terdiri satu etnis besar yang

berkonflik dengan minoritas yang terdiri dari satu kelompok etnis kecil.

Keluar dari era otoritarianisme Orba membawa Indonesia kepada

(46)

identitas-identitas partikular tidak akan lagi menerima represi, atau dengan kata

lain kebijakan pemerintah yang mengarah ke asimilasi serta homogenisasi

kultural harus ditinggalkan, namun di sisi lain perayaan akan diversitas

tersebut juga memunculkan “eksplosi” alias konflik SARA di sembarang

tempat (Budiman, 2009).

Sebuah tanda jika perayaan diversitas kultural tak dikelola dengan

tepat maka akan berakhir buruk, sebab berakhirnya Orba seakan turut

membuat absennya nilai-nilai yang dibagi bersama (shared value) yang

mengikat sebagai sebuah bangsa, dan bahwa negara-bangsa dan proses

demokrasi harus didasarkan denominator bersama (Budiman, 2009: 7).

Konflik berbau SARA di Indonesia berangkat dari beragam

pandangan dan sikap yang bertentangan dengan semangat

multikulturalisme. Sikap etnosentris sampai berujung ke tindakan

diskriminatif pada dasarnya berangkat dari persepsi satu orang terhadap

orang lain, atau satu kelompok terhadap kelompok lain. Persepsi

menentukan sikap atau perilaku baik perorangan maupun kelompok.

Branca (1964) dan Wordworth dan Marquis (1957) menjelaskan

jika persepsi dimulai dari proses penginderaan. Penginderaan adalah

proses diterimanya stimulus oleh individu melalui panca indera. Stimulus

tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf.

Inilah yang disebut dengan proses persepsi. Sebuah proses yang terjadi

(47)

Menurut Davidoff (1981), persepsi membuat individu menyadari

dan mengerti tentang lingkungan sekitarnya dan tentang dirinya sendiri.

Dalam konteks hubungan sosial sehari-hari, Heider (1958) menyebut

social perception atau persepsi sosial, atau sebuah persepsi yang

berkaitan dengan variabel-variabel sosial.

Definisi Lindzey dan Aronson yang merujuk Taiguri (1975)

tentang persepsi sosial adalah suatu proses seseorang untuk mengetahui,

menginterpretasikan, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi,

tentang sifat-sifatnya, kualitasnya, dan keadaan yang lain yang ada dalam

diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang

yang dipersepsi (dikutip dari Walgito, 2003).

Persepsi sosial adalah aktivitas yang integrated, merujuk temuan

Moskowitz dan Orgel (1969), pikiran, perasaan, kerangka acuan,

pengalaman-pengalaman atau dengan kata lain keadaan pribadi orang

yang mempersepsi akan berpengaruh dalam seseorang mempersepsi

orang lain (dikutip dari Walgito, 2003).

Berangkat dari persepsi yang keliru, muncul beberapa penyakit

budaya yang menjadi pemicu konflik berbau SARA di Indonesia.

Mengutip Sutarno (2007), penyakit budaya tersebut antara lain adalah

etnosentrisme, stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan

diskriminasi, (dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010).

Etnosentrisme atau sikap etnosentris adalah kecenderungan untuk

(48)

mutlak serta menggunakannya sebagai tolak ukur kebudayaan lain

(Herimanto dan Winarno, 2010: 113).

Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang

berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena ia berasal dari

kelompok lain (Herimanto dan Winarno, 2010: 112). Stereotip menurut

Allan G. Johnson (1986) adalah keyakinan seseorang untuk

menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang

orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan atau pengalaman tertentu

(dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010).

Stereotip biasanya berawal dari prasangka: pernyataan yang hanya

didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak teruji sebelumnya.

Prasangka yang menghinggapi orang akan membuatnya tak dapat berfikir

logis dan objektif (adil), dan segala dinilainya sebagai sesuatu yang

negatif (Herimanto dan Winarno, 2010).

Scape goating adalah pengkambing hitaman, atau sebuah teori

jika individu yang tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil,

maka perlakuan tersebut dapat ditangguhkan ke orang lain (Herimanto

dan Winarno, 2010). Persis seperti apa yang dilakukan Nazi terhadap

warga Yahudi yang dinilai menyebabkan kekacauan politik dan ekonomi

Jerman.

Rasisme secara sederhana adalah sikap anti terhadap ras lain atau

ras tertentu di luar ras sendiri. Rasisme adalah bentuk diskriminasi yang

(49)

membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan

terhadap kelompok subordinasinya, atau dari kelompok mayoritas

terhadap kelompok minoritas (Herimanto dan Winarno, 2010: 112-113).

Pratiwi (2010) mendefinisikan kelompok minoritas sebagai

orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau

kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya (mayoritas) sehingga

mudah mendapat perlakuan tak sederajat atau tidak adil dalam

masyarakat dimana mereka hidup. Mereka yang tergolong minoritas

mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok,

kebencian, kemarahan, dan kekerasan (Ibid).

Ada pertentangan antara kelompok mayoritas dan minoritas,

dimana kelompok mayoritas adalah golongan yang menikmati status

sosial lebih tinggi dan keistimewaan yang lebih banyak. Mereka

mengembangkan seperangkat prasangka terhadap kelompok minoritas

yang didasarkan pada (1) perasaan superioritas pada mereka yang

tergolong dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam

keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu

adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing; dan (3)

adanya klaim pada golongan dominan bawa sebagaian besar akses

sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya

ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya

(50)

Perlu diketahui bahwa Minority Group International (MRG) tak

membatasi penyebutan minoritas hanya pada unsur numerik (jumlah

kuantitatif), melainkan lebih memberi perhatian khusus pada faktor “non

-dominan” (baik etnik, agama, maupun linguistik) sebagai kategori untuk

membedakannya dari kaum mayoritas (Budiman, 2009).

Bagi Parekh, kesetaraan dalam masyarakat multikultur yang

berfungsi untuk memelihara rasa memiliki yang sama memang penting,

namun kewarganegaraan adalah mengenai status dan hak. Kepemilikan

adalah mengenai diterima dan merasa diterima (Parek, 2008).

Diskriminasi pada minoritas yang berbeda disebabkan oleh

perilaku sempit dan eksklusif. Meskipun individu-individu yang berstatus

sebagai korban masih bebas secara prinsip untuk berpartisipasi dalam

kehidupan kolektif, mereka sering memisahkan atau mengasingkan diri

mereka karena takut terhadap penolakan dan cemoohan atau karena

perasaan terasing yang mendalam (Parekh, 2008: 449).

Peluang menjadi masyarakat majemuk yang damai dalam bingkai

multikulturalisme yang ditawarkan banyak ahli idealnya bukan semacam

“butik budaya” dimana diversitas kultural dianggap ada dari tampilan luar

yang beragam (gaya berpenampilan dan berpakaian) atau terlihat pada

pertunjukan seni budaya saja. Namun bagaimana memperlakukan yang

berbeda itu dengan berlandaskan kesederajatan/kesetaraan dan keadilan

(51)

B. Penelitian yang Relevan

Penulis belum menemukan penelitian yang menguji praktik

multikulturalisme di Yogyakarta dengan bersubjek penelitian warga Papua.

Penelitian yang paling dekat adalah penelitian individual Ahmad Salehudin,

S.Th.I., MA dari UIN Sunan Kalijaga yang berjudul “Dilema Asrama Daerah

dalam Membentuk Kesadaran Multikultural Mahasiswa (Studi atas Lima

Asrama Daerah di Yogyakarta)”. Lima asrama tersebut adalah Asrama

Daerah Ikatan Pelajar dan Mahasiswa (IKPM) Sumatera Selatan (Sumsel),

Asrama Daerah Keluarga Pelajar Mahasiswa Indramayu (KAPMI), Asrama

Daerah Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa (IKPM) Lombok Tengah, Forum

Silaturrahmi Keluarga Mahasiswa Madura Jogyakarta (Fs-KMMJ), dan

Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa (IKPM) Keluarga Mahasiswa Katolik

Sumba (KMKS) Yogyakarta.

Penelitian tersebut berisi tentang kondisi dilematis asrama daerah

mahasiswa yang di satu sisi menyumbang ke-multikultur-an Yogyakarta

(juga lebih meramaikan seni budaya lokal dari beragam daerah), namun juga

menjadi tempat tumbuh kembangnya primordialisme, etnosentrisme, hingga

berujung gesekan antar etnis di Yogyakarta.

Hal positif lainnya adalah tentang terciptanya toleransi atas

perbedaan; penghargaan yang tinggi terhadap kelompok lain; kesadaran atas

persamaan derajat dan kedudukan; apresiatif dan senantiasa memberi

penghargaan terhadap kelompok lain; dan mampu menjaga kebersamaan,

(52)

meminimalisir gesekan dengan warga asli dengan sadar akan posisi dirinya

sebagai pendatang.

Kesamaan dengan penelitian penulis adalah terkait analisis hubungan

antar kelompok kultural dalam masyarakat majemuk, dikotomi hubungan

sosial antara warga asli dan warga pendatang, dan konsekuensi kondisi

masyarakat multikultur yang tak bisa lepas dari sentimen kedaerahan dan

gesekan-gesekan berbau SARA. Kesamaan lainnya adalah penelitian tersebut

adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan teknik purposive

sampling. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara observasi dan

wawancara yang mendalam kepada subjek penelitian.

Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut adalah jika

subjek penelitian tersebut memakai mahasiswa-mahasiswa dari 5 asrama

daerah, penulis menyasar beberapa mahasiswa Papua yang tinggal di sebuah

asrama mahasiswa di Yogyakarta dan beberapa warga asli Yogyakarta di

sekitar asrama tersebut.

Penelitian-penelitian lain dalam beragam jurnal yang penulis temukan

digunakan sebagai referensi dalam mendedah multikulturalisme baik secara

etimologis, ontologis, epistemologis, sampai ke aksiologisnya. Antara lain:

1. Penelitian tentang sisi teoritis dari multikulturalisme adalah penelitian

oleh Dra. Ana Irhandayaningsih, M.Si berjudul “Kajian Filosofis terhadap

Multikulturalisme Indonesia”. Isinya tentang problem asumsi dasar

multikulturalisme di Indonesia seperti ketegangan antara “satu dan

(53)

2. Penelitian pada Jurnal Sosiologi MASYARAKAT FISIP UI yang ditulis

oleh Lucia Ratih Kusumadewi dengan judul “Kembalinya Subjek:

Sosiologi Memaknai Kembali Multikulturalisme”. Sesuai judul,

penelitian tersebut bagaimana sosiologi mendedah ulang permasalahan

multikulturalisme dalam proyek penglahiran kembali “subjek” yang mati

sebagai korban ide-ide politik besar seperti negara.

3. Penelitian berjudul “Pendidikan Bagi Pendatang di Tengah Mayoritas

Masyarakat Pribumi” oleh Iwan Hermawan dari Balai Arkeologi

Bandung yang memaparkan tentang konsepsi pendidikan bagi pendatang

di tengah mayoritas masyarakat pribumi. Dalam abstraknya ia

menyinggung tentang kondisi kemajemukan masyarakat Indonesia dan

perlunya mendorong perlunya pendidikan multikultural dimana siswa

memiliki hak yang sama dalam memperoleh pengetahuan akan

budayanya. Yaitu proses pendidikan yang lebih menonjolkan ide

keberagaman kebudayaan yang mendukung sikap saling menghargai

terhadap perbedaan di tengah masyarakat. Sementara, pengenalan tentang

nilai budaya masyarakat setempat yang dominan perlu dilakukan sebagai

dasar bagi proses interaksi dan proses adaptasi dalam kehidupan bersama.

Sedangkan artikel ilmiah yang berkisar pada ide maupun kritik

tentang praktik multikulturalisme (di Indonesia) antara lain:

1. Penelitian Arie Setyaningrum selaku staf pengajar di Jurusan Sosiologi

Fisipol UGM yang berjudul “Multikulturalisme Sebagai Identitas

(54)

2. Penelitian John Habba pada Jurnal Bhinneka Tunggal Ika yang berjudul

“Pancasila dan Kemajemukan Etnis di Indonesia”. Hasil penelitiannya

adalah tentang pelaksanaan nilai-nilai Pancasila di Kupang, Makasar, dan

Denpasar, yang menunjukan bahwa sebetulnya di daerah-daerah lokal

tersebut sudah lebih dahulu memiliki nilai tentang menghargai orang lain

alias “the other”, pun menghargai keberagaman, bahkan sebelum

Pancasila dan Indonesia lahir.

C. Kerangka Pikir

Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai miniatur Indonesia

sudah sejak lama mengadopsi ide multikulturalisme. Realitanya, sejak Kraton

Yogyakarta bergabung (serta mendukung penuh) ke Republik Indonesia di era

1940-an, tingkat keberagaman budaya Yogyakarta terus meningkat. Salah satu

penyababnya adalah banyaknya perguruan tinggi yang menjadi tempat belajar

mahasiswa dari segala penjuru daerah di Indonesia. Dari Sabang sampai

Merauke. Dari luar Yogyakarta sampai luar pulau Jawa.

Menyadari kondisi yang demikian, para pemangku kebijakan di DIY,

mulai dari Sultan Hamengku Buwono hingga pemimpin masing-masing

kabupaten dan Kota Yogyakarta, sudah sejak awal kemerdekaan berusaha

untuk mempraktikkan kebijakan berlandaskan multikulturalisme ala Indonesia

sebagai basis hubungan sosial masyarakatnya. Slogan “Jogja Berhati

Nyaman” sudah cukup menggambarkan niat baik Kota Pelajar yang ingin

(55)

Hamengku Buwono dengan filosofi Jawanya juga selalu berpesan agar

Yogyakarta musti menjadi tuan rumah yang senantiasa mengayomi

tamu-tamunya.

Namun pada kenyataannya mempraktikkan kebijakan berlandaskan

multikulturalisme tak selamanya bisa berbuah kestabilan dan ketenangan.

Sebagai daerah yang disebut Mas‟oed dkk (2007) sebagai paradoks,

Yogyakarta juga kadang mengalami dinamika khas masyarakat multikultur:

muncul ketegangan antar etnis. Yang berjalan beriringan juga adalah

ketegangan antara (etnis) mayoritas (warga asli) dan (etnis) minoritas (warga

pendatang).

Warga Papua sebagai salah satu warga pendatang sekaligus minoritas di

Yogyakarta adalah contoh baik atas dinamika masyarakat multikultural

tersebut, sebab realitanya sampai mereka masih saja menjadi korban

pelanggaran HAM (nilai dalam multikulturalisme dan HAM selalu beriringan)

dalam bungkus yang paling halus: stereotip, prasangka, hingga intimidasi dan

diskriminasi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penegasan konseptual di atas maka secara operasional yang dimaksud dengan “Penanaman Sikap Disiplin dan Tanggungjawab Peserta Didik melalui Kegiatan

2) Pamong Saka Bakti Husada. 3) Instruktur Saka Bakti Husada... Dikwartir cabang, kwartir daerah dan kwartir Nasional dibentuk Pimpinan Saka Bakti Husadasebagai unsur

2. Buat rangkaian pneumatik murni dan amati pergerakan silinder 3. Buat rangakain elektropneumatik dan amati pergerakan silinder.. maju dan mundur, setelah itu dilanjutkan silinder

ide!ti@ikasi alat elektro!ik di tiap kelompok  * 2iswa me!oa memuat hasil pe!gamata!. seme!tara

9 tahun 2000, tentang Pemerintahan Nagari, LAN (Lembaga Adat Nagari) atau dengan nama lain (Kerapatan Adat Nagari) ditetapkan pula sebagai salah satu organ

Anak – anak tersebut akan dapat digunakan dalam beberapa program lainnya, oleh karena itu program usaha ini merupakan dasar dan program lainnya yang ada dalam usaha sapi potong,

Dalam rangka menjamin pasien memperoleh pelayanan asuhan tenaga kesehatan berkualitas, maka tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan harus bermutu, kompeten,

T.J Hoover dan J.C.L Fish mengungkapkan bahwa engineering adalah kegiatan profe- ssional dan sistematik dalam meng- aplikasikan ilmu untuk memanfaatkan sum- ber alam