• Tidak ada hasil yang ditemukan

Munculnya Semangat Keterbukaan di Masyarakat

Makalah ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai Tragedi

NARASI TRAGEDI 1965 PASCA ORDE BARU

A. Munculnya Semangat Keterbukaan di Masyarakat

Pasca Orde Baru, banyak buku-buku yang membahas tentang Tragedi 1965 yang diterbitkan. Sejarawan dan akademisi banyak menulis buku tentang tragedi tersebut. Romo Baskara T Wardaya, Eros Djarot, Asvi Warman, dan Hersri Setiawan adalah beberapa akademisi yang banyak menulis tentang topik tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Romo Baskara T. Wardaya dalam bukunya

Suara di Balik Prahara, beliau mengatakan “diharapkan kita bisa melihat secara lebih utuh sejarah seputar Tragedi Kemanusiaan 1965, serta bagaimana selama ini sejarah tentang tragedi itu dinarasikan dan dipahami oleh masyarakat pada umumnya”.23 Masih menurut Romo Baskara T. Wardaya narasi yang selama 32 tahun ini beredar di masyarakat adalah narasi yang diproduksi oleh pemerintah guna menunjang kepentingan-kepentingan sendiri.24

Pasca Orde Baru runtuh, sejarawan terutama ingin mengajak melihat tragedi kemanusiaan 1965 dari berbagai sudut, seperti disebutkan diatas, sejarah ditulis guna menunjang kepentingan-kepentingan tertentu, jika kita tarik ke tragedi 1965 maka sejarah dibuat demi “pembenaran” atas pembantaian yang terjadi pada masa-masa tersebut. Sejarawan mengajak masyarakat Indonesia melihat hal-hal kecil maupun peristiwa-peristiwa kecil yang terkadang luput dari

23

Baskara T. Wardaya, Suara di Balik Prahara :Berbagi Narasi Tentang Tragedi 1965, Yogyakarta, Galangpress, 2011, hal. 29

24

23

perhatian namun memberi dampak besar bagi perjalanan sebuah bangsa, seperti penyebutan “lubang buaya” pada kalimat “PKI memasukkan jenazah para jendral ke sumur lubang buaya” adalah kalimat yang jika tidak paham dengan konteksnya maka yang ditangkap oleh masyarakat awam, terutama di luar jakarta secara harafiah akan menangkap kebengisan PKI dengan memasukkan mayat para jendral ke lubang buaya, padahal Lubang Buaya itu sendiri adalah nama tempat/daerah/kampung di Jakarta yang kebetulan bernama Desa Lubang Buaya.

Hal lain yang dapat kita lihat dan perlu dikritisi dan jarang diperhatikan menurut Romo Baskara T. Wardaya adalah sebenarnya tragedi 1965 terdiri dari dua peristiwa yang tak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Peristiwa pertama adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari di Jakarta. Peristiwa kedua adalah peristiwa pembantaian massal yang dimulai dari Jawa Tengah pada pekan ketiga bulan Oktober 1965, yang berlanjut pada bulan November 1965 di Jawa Timur dan pada bulan Desember 1965 di Bali.25

Kedua peristiwa diatas jarang ditampilkan dalam satu frameagar kita lebih jujur melihat perjalanan bangsa kita. Narasi-narasi yang ditawarkan oleh rezim Orde Baru berhenti pada PKI dalang peristiwa penjemputan paksa para jendral dan membunuhnya dengan kejam, maka layak ditumpas, tidak pernah menyinggung bagaimana penumpasan PKI juga merupakan tindakan yang lebih

25

brutal dari kekejaman PKI yang digambarkan lewat film penghianatan G30S/PKI (yang kebenarannya pun masih diragukan).26

Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 dengan berani memberikan laporan tentang “sesuatu” yang jarang diketahui tentang tragedi 1965, yakni pengakuan para algojo yang membunuh simpatisan PKI diseputaran tahun 1965 hingga 1966. Banyak yang memprotes isi majalah ini, karena dianggap mendeskreditkan kiai-kiai dan santri yang ikut serta membantai anggota PKI.27Majalah Tempo ini juga memperlihatkan peran ABRI dalam mengorganisir massa guna membasmi PKI.28 Laporan khusus Tempo ini juga memberikan narasi lain mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di seputaran tragedi kemanusiaan di tahun 1965 tersebut.

Selain buku-buku yang terbit, beberapa hal yang lebih leluasa dilakukan pasca Orde Baru runtuh yang dinilai sebagai kemajuan dalam memandang tragedi 1965 antara lain :

(a) Diselenggarakannya forum-forum publik tentang Tragedi 1965

Selain buku-buku tentang Tragedi kemanusiaan 1965 relatif lebih mudah terbit jika dibanding dengan dikala Orde Baru sedang berkuasa, forum-forum publik yang membahas tentang Tragedi kemanusiaan tersebut juga relatif lebih mudah dilaksanakan. Beberapa forum tempat survivor Tragedi 1965 dibentuk, ada yang menamakan dirinya YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan

26

Simak pernyataan pemain film Jagalyang menyatakan bahwa sesungguhnya kita (pembasmi PKI) lebih kejam dari mereka (PKI).

27

Baca Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 halaman 74 salah satu pelaku pembantaian terhadap anggota PKI

28

Hampir disemua judul laporan khusus Tempo peran ABRI begitu terlihat dalam memobilisasi massa, dari menyediakan truk untuk mengangkut massa yang akan membasmi PKI, memberikan daftar nama yang harus dibunuh, menyiapkan senjata untuk membunuh, hingga memberikan pelatihan membunuh.

25

1965/1966), LPKP (Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965), LPRKROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru), PAKORBA ( Paguyuban Korban Orde Baru), Sekber ’65 (SEKRETARIAT BERSAMA KORBAN 1965) dan sebagainya. Forum-forum tersebut mewadahi para survivor dan sering melakukan diskusi-diskusi publik membicarakan tentang Tragedi 1965.

Salah satu forum, yakni sekber ’65 pernah beberapa kali melakukan kegiatan diskusi tentang Tragedi 1965 ini, diantaranya pada tanggal 2 Juli 2012, dari pukul 09.00-13.00 WIB SekBer’ 65 mengadakan Diskusidengan dua peneliti sejarah dari School of Historical Studies, The University of Melbourne Australia yaitu Kathrin Mc Gregor dan Vanessa Hearman, membahas mengenai perkembangan RUU KKR (Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan pernyataan tentang wacana permohonan maaf presiden terhadap para korban HAM berat.29Tanggal 19 Juli 2012 jam 09.00-11.30 Sekertariat Bersama ’65 ( Sekber’65 ) melakukan audiensi dengan DPRD Solo, membahas tentang penyelesaian dan penuntasan tragedi 1965/1966 yang diamanatkan dalam TAP MPR NO. V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Pada 15 September 2010 penulis, Romo Bakskara T Wardaya dan beberapa teman mahasiswa dari Yogyakarta ikut serta dalam diskusi para survivor untuk melihat langsung dinamika para mereka dalam memperjuangkan hak haknya yang sudah puluhan tahun hilang. Diskusi ini juga dimuat oleh Solo Pos:

Puluhan korban Tragedi 1965 yang tergabung dalam Sekber ’65 menemui jajaran DPRD Kota Solo di Gedung DPRD Solo, Kamis

29

(19/7/2012). Mereka mendesak agar DPRD Solo menyampaikan aspirasi kepada DPR RI tentang penetapan RUU KKR.30

Pada tanggal 20 Nopember 2012, bertempat di aula Monumens Pers Surakarta Sekretariat Bersama ’65 ( SekBer’65 ) bekerjasama dengan Pemkot Suarakarta dan Kemenkominfo menggelar acara diskusi bersama dengan tema“Menyimak Suara di Balik Prahara”Diskusi Bersama demi Masa Depan Bangsa yang Lebih Baik. Diskusi ini bertolak dari buku yang disusun oleh Romo Baskara T. Wardaya SJ dkk yang berjudul“Suara di Balik Prahara: Berbagai Narasi tentang Tragedi ’65. Acara diskusi dihadiri sekitar 220 orang dari berbagai kota di Jawa Tengah terdiri dari korban’65, tokoh masyarakat dan tokoh agama di Surakarta, budayawan, kaum muda, ormas kepemudaan dan civitas akademis, tenaga pendidik, PKL, kelompok lintas agama serta praktisi hukum. Sedangkan narasumber yang hadir adalah Dr. Yosef Djakababa (CSEASI/Center for Southeast Asian Studies-Indonesia, Jakarta), Dr. Baskara T. Wardaya SJ (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ) dan Ashoka Siahaan (Budayawan). Diskusi yang cukup dinamis ini dipandu oleh Jlitheng Suparman (Seniman Suarakarta) yang juga seorang dalang wayang kampung sebelah.

Pada tanggal 13 Desember 2012 pukul 09.00-14.00 wib, bertempat di Pendopo Rumah Dinas Wakil Walikota Surakarta, acara ini dipandu oleh Majelis Warga (MW) yang berjumlah 5 orang terdiri dari : M.Z. Tammaka (direktur Pondok Pesantren Baitul Musthofa Mojosongo), Imam Aziz (wakil PB NU), Abdullah Faishol ( Dosen IAIN Surakarta, tokoh lintas agama), Vera Kartika Giantari ( Pengacara dan Freelancer Gender dan HAM) dan Nani Nurrachman ( Staf Pengajar /Kepala Bagian Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya Jakarta). Pada kesempatan tersebut Majelis Warga memberi waktu 30 menit untuk setiap testifier dalam memberi kesaksiannya. Kesaksian pertama diawali oleh kesaksian Ibu Budiarti (ibu Fatah) dari kasus’98 yang menyampaikan tentang penculikan dan pembunuhan Gilang, anaknya. Kesaksian kedua oleh Ibu Kastinah korban’65 yang pernah dipenjara di beberapa tahanan di Purwokerto, Semarang, Bukit Duri dan Plantungan, total lamanya penahanan ada 14 tahun. Kesaksian ketiga adalah Bapak Sugeng Yulianto atau pak Yuli korban Talangsari yang mendapat vonis seumur hidup, namun setelah Reformasi dibebaskan dan telah menjalani hukuman selama 10 tahun. Kesaksian keempat Bapak Djasmono korban’65 ditahan di Gresik, Surabaya dan Pulau Buru selama 13 tahun. Kesaksian kelima adalah bapak Sanusi korban’65 ditahan di kamp. Kota dan Pulau Nusakambangan selama 8 tahun. Dan kesaksian keenam atau terakhir yaitu Bapak Sudiharjo, ditahan di kamp. Kota Solo selama 7 tahun.31

Diskusi-diskusi yang dilakukan oleh para survivor dengan orang-orang yang peduli kepada mereka dan kemanusiaan (sejarawan, akademisi,

30

http://www.solopos.com/2012/07/19/korban-tragedi-1965-temui-dprd-203041diakses tanggal 2 Juni 20123

31

27

politisi dan lain-lain) menunjukkan bahwa masyarakat semakin terbuka menyikapi peristiwa Tragedi kemanusian yang terjadi di sepanjang tahun 1965 sampai 1966 tersebut. Meskipun tidak jarang mendapat penolakan dari kelompok-kelompok tertentu yang menentang forum-forum dan diskusi semacam ini, namun pada kenyataannya duskusi-diskusi tersebut berhasil digelar dan peserta diskusi mendapat persfektif lain tentang Taragedi 1965 adalah satu hal yang baik untuk pencerahan sejarah bangsa Indonesia.

(b) Diterbitkannya memoir para survivor

Angin reformasi memberikan kesempatan kepada para survivor untuk memberikan narasi lain mengenai Tragedi 1965. Mereka yang disalahkan, mereka yang selama ini dibungkam kemudian mendapatkan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi diseputar tragedi tersebut. Buku-buku dari para survivor yang selama ini dilarang terbit, kemudian dapat kita baca sebagai pembanding narasi yang disuguhkan secara “resmi” oleh pemerintah Orde Baru. Memoir para survivor yang dapat kita baca antara lain yang ditulis oleh Perhimpunan Purnawirawan AURI32 yang berjudul “Menyingkap Kabut Halim 1965”, buku tulisan Kolonel Abadul Latief yang diambil dari pledoi sidangnya yang berjudul “Pledoi Kol. A. Latief : Soeharto Terlibat G30S, serta artikel Prof Dr Arief Budianto yang berjudul “Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi”,33kesemuanya membalikkan narasi tentang peristiwa tanggal 1 Oktober dan tragedi kemanusiaan yang mengikutinya yang dinarasikan di masa Orde Baru.

Dikutip oleh James Luhulima, dalam bukunya, para purnawirawan AURI menulis :

32

Markas AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dituduh sebagai markas G30S lihat Luhulima James Op. Cit, hal. 33

33

Selama 33 tahun sejak peristiwa G30S/PKI, opini publik yang terbentuk oleh pernyataan elit pimpinan militer dan pemerintahan Orde Baru, telah menyudutkan AURI. Pernyataan mereka bagaikan memvonis, seakan-akan Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma menjadi markas pusat G30S/PKI dan seolah-olah AURI terlibat.

Juga diuraikan

Berdiam diri pada posisi tersudut, tanpa keberanian, itulah kondisi AURI selama ini, seakan-akan menghadapi kabut tebal yang menutup angkasa.34

Dalam bukunya ini, para purnawirawan AURI tidak menyangkal adanya anggota mereka yang terlibat dalam peristiwa penjemputan paksa para Jendral, namun mereka ingin menggarisbawahi bahwa AURI secara institusi tidak terlibat. Dalam buku ini, para purnawirawan menjelaskan alasan-alasan mengapa ketua PKI DN Aidit bisa berada di lingkungan PAU Halim Perdana Kusuma, serta indikasi-indikasi bahwa AURI secara institusi tidak terlibat. Sebab, karena keberadaan DN Aidit di PAU Halimperdanakusuma lah AURI secara institusi di persalahkan dan PAU Halimperdanakusuma dianggap sebagai markas pusat G30S.

Menurut Pledoi Kolonel Abdul Latief, dalam bukunya mengungkapkan kepada masyarakat luas bahwa Panglima Kostrad Mayjen Soeharto telah diberi tahu bahwa para Jendral akan dijemput paksa, beberapa jam sebelum aksi penjemputan itu dilaksanakan.35 Diungkapkan pula bahwa ia dua kali bertemu dengan Soeharto sebelum pelaksanaan penjemputan paksa, yang pertama terjadi pada tanggal 28 September 1965 dirumah Mayjen Soeharto, membicarakan tentang informasi adanya Dewan Jendral yang akan mengkudeta presiden Sukarno

34

James Luhulima menulis narasi dari para purnawirawan AURI yang menolak pernyataan bahwa Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma sebagai markas PKI

35

29

dan Soeharto menurut Latief sudah mendengar informasi tersebut dari anak buahnya. Pertemuan kedua di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat), jam 22.00 WIB tanggal 30 September 1965, beberapa jam sebelum penjemputan paksa itu dilakukan. Kolonel Abdul Latief menuturkan bahwa ia memberi tahu Soeharto yang sedang menunggu anaknya yang sedang di rumah sakit karena tersiram sop panas itu bahwa ia dan teman-temannya akan menjemput paksa para Jendral beberapa jam lagi. Soeharto, kata Latief, tidak memberikan komentar apa-apa, ia hanya mengagangguk-angguk. Oleh Latief, hal itu diartikan sebagai sebuah dukungan.36

Pernyataan kolonel Abdul Latief ini memberi narasi baru terhadap peran Soeharto dalam peristiwa dinihari 1 Oktober 1965 yang menyebabkan 7 Jendral meregang nyawa tersebut, kenyataan bahwa Soeharto tidak melakukan apa-apa padahal dia tahu bahwa akan terjadi penjemputan paksa memberikan persfektif lain dalam melihat peristiwa dini hari tersebut. Apalagi melihat Soeharto yang tidak melaporkan kepada atasannya Men/Pangad Letjen Ahmad Yani yang namanya termasuk dalam daftar jendral yang akan dijemput.37

Tidak lama setelah Orde Baru runtuh mei 1998, di bulan Oktober 1998 Prof Dr. Arief Budianto menulis sebuah artikel yang berjudul Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi. Atikel ini juga memberi persfektif lain dalam melihat narasi Tragedi kemanusiaan tahun 1965 tersebut dimasa Orde Baru tidak lagi berkuasa. Dalam Artikelnya ini, Prof Dr Arief Budianto mengungkapkan, sempat ada kekhawatiran di antara tim dokter yang mengotopsi 7 Pahlawan

36

Ibid, hal. 48 37

Revolusi sewaktu akan menyelesaikan laporan visum et repertum sesuai dengan kenyataan yang ditemui, sebab diluar santer diberitakan bahwa para jendral mengalami penyiksaan biadab. “Kami sampai waswas karena setelah selesai memeriksa, kami tidak menemukan penis yang dipotong,” selanjutnya ia menyatakan “kami memeriksa penis-penis korban dengan teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja tidak ada”.38Narasi ini penting karena kemarahan masyarakat kepada PKI dan simpatisannya tersulut karena adanya desas desus yang menyatakan adanya penyiksaan yang luar bisa terhadap para jendral sebelum mereka dibunuh.

Dalam buku “Aku Eks Tapol” Hersri Setiawan, muncul ula narasi lain mengenai tragedi 1965, ia menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang juga menjadi mantan tahan politik yang mencoba hidup kembali di masyarakat yang memberinya cap “bengis” karena ke-PKI-an nya.39 Narasi lain yang ia sampaikan adalah bagaimana seorang mantan napi politik begitu sulit diterima di masyarakat karena sistem yang dibuat memang memangkas hak para eks tapol untuk berkarya dan bekerja. Eks tapol tidak boleh menjadi PNS (hingga dicabut oleh Gus Dur), di KTP nya diberi tanda e-t yang berarti eks tapol dan berarti “sampah masyarakat” yang harus dijauhi. Pada pasca Orde Baru inilah dimensi-dimensi yang tidak akan terlihat pada narasi-narasi yang disampaikan oleh rezim Orde Baru.

(c) Diproduksinya film-film di sekitar topik Tragedi 1965

Pasca Orde baru runtuh, film-film seputaran Tragedi 1965 banyak bermunculan. Dengan semangat menggebu, modal pas-pasan, dan bantuan minim

38

Ibid, hal. 13 39

31

dari penderma, para sineas film indie mendirikan jaringan. Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan pimpinan Putu Oka Sukanta, penyair, mantan pegiat Lekra, dan korban politik 1965, menjadi salah satu produser paling rajin. Film mereka antara lain berjudul Menyemai Terang dalam Kelam (2006), Perempuan yang Tertuduh

(2007), Tumbuh dalam Badai (2007), Seni Ditating Jaman (2008), Tjidurian 19

(2009), dan Plantungan: Potret Derita dan Kekuatan Perempuan (2011).40

Film bertema 1965 juga diproduksi organisasi non-pemerintah dalam bidang hak asasi manusia: Bunga-tembok (2003), Kawan Tiba Senja: Bali seputar 1965 (2004), Kado untuk Ibu (2004), Putih Abu-abu: Masa lalu Perempuan

(2006), dan Sinengker: Sesuatu yang Dirahasiakan (2007). Karya-karya di atas menekankan advokasi gugatan keadilan.41 Semua karya itu menarasikan Tragedi 1965 dan memberikan suara serta simpati bagi para korban yang selama ini dibungkam.

Film dokumenter karya sineas asing dengan tema serupa: The Shadow Play

(2001), Terlena: Breaking of a Nation(2004), 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy (2009), dan The Act of Killing (Jagal) (2012).42 Kesemua film ini pun menarasikan Tragedi 1965 dengan sudut pandang yang berbeda dengan yang disuguhkan pada saat Orde Baru sedang berkuasa. Sebagai contoh, jika kita metonton film 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy43 kita akan diperlihatkan pola pembantaian massal yang bermula dari ujung barat pulau jawa semakin ke timur sampai akhirnya di Bali yang kesemuanya memiliki pola yang

40

Baca Majalah Tempo Edisi 1-7 Oktober 2012, hal. 121 41

Idem

42

Idem

43

Sebuah film dokumenter bertema Tragedi 1965 yang diproduseri oleh Robert Lemelson, baca wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/40_Years_of_Silence:_An_Indonesian_Tragedy

sama, yakni didahului oleh kedatangan pasukan angkatan darat. Hal-hal semacam inilah yang tidak diperlihatkan kepada kita pada narasi yang disampaikan oleh penguasa Orde Baru dimasa lalu.

(d) Permintaan maaf Gus Dur

Sewaktu menjabat sebagai presiden RI, Ketua Umum PBNU KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), dalam sebuah dialog interaktif Secangkir kopi

yang disiarkan TVRI tanggal 14 Maret (2000), menyatakan permintaan maafnya kepada mereka yang menjadi korban mengingat banyak di antaranya yang tidak bersalah dalam Tragedi 1965. Gus Dur mengakui, banyak warga NU terlibat dalam pembantaian terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI itu.44

Dalam pernyataan Gus Dur itu (menurut Kompas 15/3-2000) disebutkannya bahwa sejak dulu, ketika masih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU), dirinya sudah meminta maaf terhadap para korban G30S. Pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya. Dari dulu pun, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis.

Menurut Gus Dur, belum tentu orang-orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. "Buktikan dong secara pengadilan, nggak begitu saja terjadi. Dan, maaf ya, hal semacam itu terjadi,

44

http://www.republika.co.id/berita/event/jalan-bareng-abah-alwi/12/10/01/mb7j2z-kenangan-peristiwa-g30s-di-mata-abah-alwidiakses tanggal 31 Mei 2013

33

justru banyak pembunuhan dilakukan oleh anggota NU.” Gus Dur mengatakan, kalau masalah G30S/PKI dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. “Karena banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar”, paparnya.45

Pernyataan Gus Dur ini memberikan pemahaman lain mengenai Tragedi 1965, bahwa peristiwa tersebut tidak hanya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, namun lebih luas lagi melihat sisi di mana ada kelompok yang dipersalahkan, dalam hal ini PKI, di lain pihak, ada juga kelompok yang merasa benar dan melakukan “pembasmian” terhadap anggota PKI dan simpatisannya, meskipun banyak di antara mereka yang tidak bersalah, bahkan tidak tahu-menahu tentang Gerakan September 30.

Saat menjabat Presiden, Gus Dur melontarkan gagasan pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966. Pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966 menyangkut tiga hal, yaitu (1) mengakhiri diskriminasi terhadap keluarga korban yang diduga sebagai anggota atau terkait PKI dan organisasi onderbouw, (2) pelarangan ajaran komunis, dan (3) pelarangan terhadap PKI.46

(e) Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM tahun 2012

Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) pada tahun 2012 mengeluarkan rekomendasi menyangkut Tragedi 1965. Laporan hasil Penyelidikan pro justisia oleh Komnas HAM atas rangkaian massal kekerasan

45

http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Fw-GELORA45-ISNU-Sejarah-G30S-PKI-Dijungkirbalikkan-td55666.htmldiakses tanggal 31 Mei 2013

46

http://regional.kompas.com/read/2012/09/25/03504362/Seribu.Hari.Gus.Durdiakses tanggal 31 Mei 2013

pada masa awal berkuasanya pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, 1965-1967 hingga tahun 1970an. Dalam laporannya, Komnas HAM menyatakan telah ditemukan adanya indikasi atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, berupa pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, kerja paksa, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa proses hukum dan berbagai tindakan lainnya.47

Laporan penyelidikan KOMNAS HAM ini telah membukakan pintu bagi berbagai tindakan Negara untuk melakukan pengungkapan kebenaran, memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban serta membawa perubahan dalam pelurusan sejarah melalui pengakuan atas berbagai praktek kekerasan dimasa lalu, terutama dimasa rezim politik Orde Baru.Sampai saat ini, korban dari berbagai peristiwa yang berbeda secara umum masih terus mengalami diskriminasi hukum maupun stigma sosial. Hal ini menunjukan bahwa sampai detik-detik akhir dikeluarkannya laporan ini, para korban masih terus mengalami dampak yang berlanjut akibat peristiwa yang terjadi di masa lalu tersebut.

Adapun isi dari rekomendasi komnas HAM antara lain:

1. Presiden bersama DPR segera mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan Adhoc sehingga Kejaksaan Agung tanpa penundaan dapat melakukan penyidikan atas laporan penyelidikan awal KOMNAS HAM 2. Jaksa Agung harus segera menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan

langkah-langkah penyidikan yang patut, baik memanggil para saksi, maupun tersangka yang masih hidup

3. DPR melakukan pengawasan yang efektif kepada Jaksa Agung dan Pemerintah untuk memastikan dijalankannya rekomendasi dari laporan Komnas HAM

4. Presiden, berdasarkan temuan dalam laporan ini, segera mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyusun kebijakan pemulihan bagi korban yang bersifat segera, baik terkait dengan reparasi, rehabilitasi dan penghentian diskriminasi terhadap korban

47

35

5. Komnas HAM untuk menyerahkan juga laporan tersebut secara langsung kepada Presiden dan DPR, mengingat sifat dan karakter khusus dari perisitiwa yang dicakup dalam penyelidikan 1965-1967. 6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memaksimalkan

dukungan pemulihan korban dengan mengacu pada Laporan hasil penyelidikan Komnas HAM.48

Dengan kata lain, Komnas HAM dan juga yang lainya (penulis, sejarawan, dan juga saksi “pelaku”) melihat adanyapembohongan publik yang luar biasa tentang tragedi 1965 oleh rezim Orde Baru.Pembohongan dilakukan diantaranya

Dokumen terkait