Krisis Hukum Pada Masa Orde Baru
Pendahuluan
Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden Republik Indonesia yang telah ia duduki selama 32 tahun. Pengunduran dirinya menandakan berakhirnya Orde Baru dan dimulainya Masa Reformasi. Presiden kedua Indonesia yang dijuluki sebagai “The Smiling General” itu mundur setelah terjadi unjuk rasa mahasiswa besar besaran yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia.
Tuntutan Mahasiswa
Ada beberapa tuntutan mahasiswa dalam unjuk rasa yang berlangsung pada Mei 1998 tersebut, yaitu :
• Amandemen UUD 1945
• Penghapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI
• Penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN • Otonomi Daerah
• Kebebasan Pers
• Mewujudkan kehidupan demokrasi
Dalam poin poin tuntutan tersebut, terdapat poin mengenai penegakan hukum, HAM dan pemberantasan KKN. Hal ini disebabkan mahasiswa menilai pada zaman Orde Baru, hukum dan HAM tidak ditegakkan dengan baik.
Kondisi Hukum di Zaman Orde Baru
Dapat dibilang, telah terjadi krisis hukum di zaman Orde Baru. Krisis tersebut terjadi akibat terdapat banyak ketidakadilan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru. Seperti kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif). Namun pada saat itu, kekuasaan kehakiman dibawah kekuasaan eksekutif. Hakim juga sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabat, atau para pejabat negara.
Kondisi HAM di Zaman Orde Baru
Orde Baru membawa banyak perubahan positif pada penegakan HAM. Dalam aspek ekonomi, Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Dalam hal ekonomi, masyarakat mendapatkan hak-hak mereka untuk mendapatkan hidup yang layak. Program transmigrasi, repelita, dan swasembada pangan mendorong masyarakat untuk memperoleh kemakmuran dan hak hidup secara layak. Dalam bidang
demikian, masyarakat Indonesia mendapatkan hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan.
Walaupun ada kemajuan dalam pemenuhan HAM dibidang ekonomi dan pendidikan, kenyataannya pemerintahan Orde Baru juga melakukan beberapa pelanggaran HAM berat. Di bawah ini adalah garis waktu beberapa pelanggaran HAM pada masa Orde Baru :
1966
Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
Sekolah-sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967
Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
April, gereja-gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta .
Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969
Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana .
Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970
Pelarangan demo mahasiswa.
Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971
Usaha peleburan partai- partai.
Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi
yang layak.
1972
Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973
Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .
1974
Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran-pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975
Invansi tentara Indonesia ke Timor-Timur.
Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977
Tuduhan subversi terhadap Suwito. Kasus tanah Siria-ria.
Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
Kasus subversi komando Jihad.
1978
Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf Cina di setiap barang/media cetak di Indonesia.
Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980
Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negeri.
1982
Kasus Tanah Rawa Bilal.
Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983
Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
Pelanggaran gencatan senjata di Timtim oleh ABRI.
1984
Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priok terjadi. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur
1985
Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.
1986
Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta. Kasus subversi terhadap Sanusi.
Eksekusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989
Kasus tanah Kedung Ombo.
Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf. Kasus tanah Kemayoran.
Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talangsari.
Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991
Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap
pemuda-pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaan-nya Tommy Suharto.
Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994
Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberita-an kapal perang bekas oleh Habibie.
1995
Kasus Tanah Koja. Kerusuhan di Flores.
1996
Kerusuhan anti Kristen di Tasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996.
Kasus tanah Balongan.
Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
Sengketa tanah Manis Mata.
Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamung-kas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkun-jung di sana. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
Penyerangan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1997
Kasus tanah Kemayoran.
Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998
Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
Pemberantasan KKN di Zaman Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata
ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi