• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK AGRARIA MASA ORDE BARU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK AGRARIA MASA ORDE BARU"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK AGRARIA MASA ORDE BARU

Makalah ini disiapkan guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Sejarah Politik Dosen Pengampu:

Dr. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd. Drs. Ibnu Sodiq, M.hum.

Oleh:

Bagas Yusuf Kausan NIM 3111414034

JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

▸ Baca selengkapnya: contoh krisis hukum pada masa orde baru

(2)

A. Pendahuluan

Ada sebuah pepatah yang menyatakan semacam ini, “Sak dumuk bathuk,

sak nyari bumi” yang jika dikonversi ke dalam bahasa Indonesia, akan berbunyi

“Walau demi sejengkal tanah, nyawa bisa menjadi taruhannya”. Kiranya, perkataan semacam ini banyak benarnya. Tanah sebagai panggung sejarah—tempat dimana manusia lahir, tumbuh, berkembang, dan mati, tentu merupakan hal yang sangat melekat dengan entitas manusia itu sendiri. Hampir segala tindak-laku dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, berasal-muasal dari tanah. Menjadi wajar ketika dalam banyak contoh kasus dan persoalan, manusia rela mempertaruhkan nyawa untuk sepetak tanah tempat tinggalnya. Hal tersebut belum termasuk dengan pertaruhan nyawa demi akses terhadap air, sumber daya alam, dan apa-apa saja

yang tumbuh diatas tanah sebagai pembentuk diskurs tentang ‘Agraria’ secara

keseluruhan.

Namun meski tanah secara jelas sangat berkaitan dengan diri manusia disatu sisi, dan agraria sebagai elemen yang dekat dengan hajat hidup orang banyak disisi lainya, persoalan mengenai agraria sangat tergantung dengan cara pikir dan pola kebijakan yang diambil oleh pemerintahan setempat. Dalam satu lintasan sejarah tertentu, bangsa Indonesia secara khusus pernah merasakan sebuah keberpihakan

pemerintah terhadap rakyatnya melalui usaha untuk menjadikan ‘Agraria’ sebagai titik pijak menuju keadilan sosial yang telah dicita-citakan bersama. Akan tetapi dalam lintasan sejarah tertentu pula, bangsa Indonesia pernah mengami suatu fase

ketika ‘Agraria’ menjadi faktor terjadinya konflik dan kemiskinan struktural yang dirasakan masyarakat.

(3)

pengambilan keputusan politik terkait masalah agraria. Berangkat dari sana, makalah ini mula-mula hendak dibuat. Secara khusus, makalah ini akan mencoba menelisik kebijakan politik agraria pasca rezim pemerintahan Soekarno, atau ketika rezim Orde Baru berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun lamanya. Kemudian akan dicari pula dampak-dampak apa saja yang turut menyertai pilihan politik agraria yang diyakini Pemerintahan Orde Baru.

B. Menjernihkan Definisi Agraria

Ketika kita mendengar pembendaharaan kata ‘agraria’, kita akan segera

terkoneksikan dengan jawaban bahwa agraria merupakan sebuah kata ganti dari tanah. Hal tersebut berlaku ketika penulis mencoba melempar kata ‘agraria’ ke hadapan teman, dan jawaban diatas pun berlaku pula dilingkungan teman-teman penulis. Kenyataan semacam ini mengandung beberapa dampak yang cukup signifikan. Ketika agraria hanya dipahami sebagai sebuah kata ganti dari tanah, maka dengan sendirinya ‘agraria’ telah mengalami degradasi maknanya, dan tereduksi dimensi yang terkandung didalamnya. Padahal, agraria merupakan sebuah wacana, kata, gagasan, dan studi yang sangat luas dan tidak hanya menyoal masalah tanah.

Agraria, sebagimana yang dinyatakan oleh Ahmad Nashi Luthfi, bukan hanya menyangkut tanah, namun termasuk apa-apa saja yang ada di bawah dan di atasnya. Apa yang tumbuh diatasnya dapat berupa tanaman, pertanian, perkebunan, dan kehutanan, lengkap dengan bangunan sosialnya. Sedangkan materi dibawahnya adalah air dan berbagai bahan tambang dan mineralnya.1

Definisi yang bergitu luas dari ‘Agraria’ diatas, sebenarnya, tidaklah

bersifat baku. Karena pendefinisian tersebut mengalami pula perubahan-perubahan pada masa-masa tertentu. Namun jika mengacu pada UUPA 1960, agraria didefinisikan sebagai seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya; baik di bumi, air, dan ruang angkasa, yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa2. Sedangkan perubahan-perbedaan

1 Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Madzhab

Bogor, (Yogyakarta:2011, STPN Press) hlm. 2.

2 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

(4)

pendifinsian agraria, sangat terkait dengan bagaimana agraria dipersepsi, serta bagaimana konteks politik-ekonomi yang menghela pendefinisian agraria tersebut. Dalam konteks tertentu, agraria dianggap serupa dengan tanah. Sementara dalam konteks lainya, agraria hanya disinonimkan dengan pertanian. Bahkan, tak jarang pula agraria ditautkan dengan pertumbuhan-pembangunan pedesaan yang berkelindan dengan perluasan ala kapitalisme. Atau, tak jarang pula agraria hanya diletakan dalam konteks pedesaan, dan meminggirkan agraria dari konteksnya di perkotaan; baik terkait sulitnya akses mendapat sumber air yang telah diprivatisasi, ataupun dalam kaitannya dengan laju konversi lahan pertanian menjadi lahan industri.

Melalui kacamata diatas, agraria tidak mutlak secara ekslusif berlatar pedesaan, namun termasuk pula dalam konteksnya di perkotaan. Selain itu, agraria tidak serta-merta didudukan sebagai sinonim dari tanah atau pertanian semata, lebih luas, agraria menyangkut pula ihwal-ihwal segala sumber daya alam yang terkandung di atas tanah, segala hal yang tumbuh dari tanah, dan segala rupa kandungan alam yang berasal dari bawah tanah. Termasuk dalam hal ini, agraria mencakup pula kondisi sosio-kultural dan ekonomi-politik manusia-manusia yang hidup, serta menghidupi tempatnya berpijak.

C. Kilas Balik Politik Agraria Sebelum Era Orde Baru

Modus kebijakan atau Politik Agraria dari Setiap Periode Sejarah3:

3Andi Achdian, “Kilas Sejarah Masalah Agraria”, dalam buku Pembentukan Kebijakan Agraria

Tahun 2006-2007: Bunga Rampai Perdebatan, (Yogyakarta: 2009, STPN Press) hlm. 26.

- Pra-colonial Society  Tributary System or Pajeg

- Colonial  Modern Taxation  Labor force for states enterprise  Money Economy  Free peasant enterprise  Colonial reform - Japanese Occupation  Peasant mobilization for war economy - Republic of Indonesia  From Colonial to National Land System 

(5)

Pada masa berkuasanya raja-raja, kebijakan hukum mengenai tanah didasari oleh sistem feodalisme yang berlaku di seluruh penjuru negeri. Potret agraria ketika dibawah bayang-bayang feodalisme ialah bahwa; tanah adalah milik raja; atau raja adalah pemilik tanah dalam kerajaannya. Disamping itu, rakyat pun adalah milik raja juga yang dapat dipergunakan untuk kepentingan dan kehormatan sang raja4. Konsekuensi dari praktik politik agraria semacam ini ialah bahwa akses-akses terhadap agraria, semuanya dimonopoli oleh sang raja. Sedangkan masyarakat biasa, dapat mengakses tanah dengan prasyarat bahwa dia memang diperintah oleh sang raja, ataupun karena diberi hadiah tanah oleh sang raja karena berstatus sebagai pejabat atau elit desa. Pada masa akhir Kerajaan Mataram, konsep semacam ini disebut dengan sistem appanage, yaitu suatu bentuk penguasaan dan penggunaan atas tanah itu dihadiahkan kepada para pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti kepada penguasa pusat, dalam bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpulkan dari para petani5.

Bersamaan dengan kedatangan VOC dan menancapnya kolonialisme di Nusantara, terjadi pula pergeseran pola penguasaan sumber-sumber agraria. Ketika VOC memperoleh kekuasaan monopoli perdagangan, Belanda berfungsi sebagai perantara antara berbagai pejabat daerah dengan raja, karena para penguasa daerah itulah yang menjamin penyerahan hasil bumi dari rakyat6. Lebih jauh, bahkan pada akhir abad ke 19, VOC mengklaim atas hasil tanah, pengerahan tenaga kerja, pengumpulan pajak, dan penaklukan atas wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh bumiputera7. Setelah mendapatkan teritorial yang ditaklukan, VOC mengangkat pula para pejabat pribumi untuk bekerja di distrik-distrik bentukan VOC, sebari mewajibkan para pribumi untuk menanam tanaman yang sesuai dengan komoditi yang diperlukan pihak VOC. Penguasaan tanah semacam itu, tidak jarang dibarengi pula dengan praktik kekerasan yang dilakukan oleh VOC kepada rakyat pribumi.

4 Moch. Tauhid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat

Indonesia, (Yogyakarta: 2009, STPN Press) hlm. 15.

5 Gunawan Wirardi, Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: 2000, Insist

Press) hlm. 66.

6 Ibid. Hlm. 68.

(6)

Namun demikian, meski VOC telah menerapkan kebijakan agraria nya sendiri, tonggak peraturan dan kebijakan yang terkait dengan masalah agraria baru dimulai secara formal pada masa pemerintahan Gubernur Raffles. Kebijakan politik Raffles di sektor agraria, dikenal dengan teori domein-nya. Teori tersebut merupakan aktualisasi dari serangkaian pengalaman Raffles ketika berkuasa di India. Dengan asumsi bahwa Hindia Belanda secara mendasar memiliki kemiripan dengan India, Raffles menerapkan sebuah sistem pertanahan yang memposisikan tanah secara keseluruhan merupakan milik penguasa atau raja. Dengan sistem ini pula, maka berlaku pajak bumi (Landrente) yang mewajibkan setiap petani untuk membayar pajak sebesar 2/5 (dua per lima) dari hasil garapannya kepada pemerintah.

Ketika Nusantara kembali jatuh ke tangan Belanda—melalui Jenderal Van den Bosch—bangsa pribumi kembali dihadapkan dengan corak kebijakan politik agraria yang tidak berpihak kepadanya. Kali ini, Belanda menerapkan apa yang dinamakan dengan kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Kebijakan ini diambil sebagai langkah guna mengisi kekosongan kas Kerajaan Belanda dan terilhami pula oleh Teori Domein yang diperkenalkan oleh Raffles. Bedanya, jika pada masa Raffles petani wajib membayar 2/5 (dua per lima) hasil garapannya, maka dalam kebijakan cultuurstelsel petani tidak perlu membayar pajak tersebut dan digantikan dengan kewajiban untuk meluangkan 1/5 (satu per lima) tanah garapannya untuk ditanami tanaman-tanaman tertentu yang dikhendaki oleh pemerintah, seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu, dan sebagainya, dan kemudian harus diserahkan kepada pemerintah (untuk selanjutnya diekspor ke Eropa)8.

Meski kebijakan cultuurstelsel merupakan keputusan politik agraria yang dibuat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, terjadi pertentangan ditubuh parlemen Belanda antara kalangan liberal dan konservatif terkait penerapan kebijakan cultuurstelsel. Secara ringkas, tujuan kalangan liberal menolak kebijakan tersebut

ialah penguasaan tanah yang teramat mutlak yang dikuasai oleh penguasa dan pemimpin tanah jajahan. Selanjutnya, tujuan utama kalangan liberal dalam masalah agraria yaitu; mendorong pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan

(7)

tanah pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) yang memungkinkan penjualan dan penyewaan atas tanah milik tersebut; pemerintah perlu memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk dapat menyewa tanah dalam jangka panjang dan murah (efpacht)9. Gagasan kalangan liberal tersebut pada akhirnya diajukan

menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh seorang Menteri Jajahan, Frans van de Putte, pada tahun 1865.

Meski gagal disahkan menjadi Undang-Undang, gagasan yang coba dibawa oleh kalangan liberal di parlemen Belanda telah mendorong Pemerintahan Kerajaan Belanda guna melakukan sebuah penelitian lebih lanjut terkait situasi-kondisi masalah agraria di Hindia Belanda. Penelitian tersebut, terdongkrak akibat persepsi yang mengatakan bahwa Menteri Jajahan Frans van de Putte telah terlalu tergesa-gesa dalam memberikan hak eigendom bagi masyarakat pribumi. Maka dalam penelitian tersebut, yang menjadi titik fokus penelitian ialah tentang hak-hak penduduk Jawa atas tanah, yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Kelak, hasil penelitian ini diterbitkan dalam tiga jilid laporan penelitian (1876, 1880, 1896), dengan judul: Eindresume10.

Namun sebelum penelitian tersebut diterbitkan, ternyata Pemerintah Belanda telah terlebih dahulu mengesahkan sebuah produk undang-undang dan produk kebijakan agraria yang dikenal dengan Agrarische Wet 1870, yang diundangkan dalam Lembaran Negara (staatsblad) No. 55 tahun 1870. Salah satu poin penting produk undang-undang tersebut ialah dengan keluarnya sebuah pernyataan yang cukup dikenal yaitu Domein Verklaring. Pernyataan ini termuat dalam Pasal 1 dari Agrarisch Besluit, yang menyatakan bahwa; semua tanah yang tidak terbukti bahwa tanah tersebut merupakan milik mutlak (eigendom), adalah domein negara11. Selain itu, Agrarische Wet 1870 berisi mengenai kewenangan Gubernur Jenderal untuk menyewakan tanah kepada swasta, dan juga ketentuan hak erfpacht selama 75 tahun12. Dengan diberlakukannya Agrarische Wet 1870, maka

9 Ibid. Hlm. 72.

10 Pembahasan lebih lanjut terkait eindresume, lihat Hiroyoshi Kano, “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa”, dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah, (Jakarta:2008, Yayasan Obor).

11 Loc.cit. Hlm.73.

(8)

bangsa pribumi menapaki persimpangan penting dari sejarah agraria negara-bangsa Indonesia. Pemberlakuan produk hukum tersebut merupakan gerbang awal dari ekspansi kapitalisme guna menjarah kekayaan alam Indonesia secara terang-terangan. Pada mula nya, perkebunan-perkebunan swasta mulai berdiri di Jawa dan Sumatera. Kemudian perkebunan-perkebunan tersebut, untuk pertama kalinya, telah menggeser petani menjadi buruh perkebunan. Meski demikian, ekspansi kapital swasta perkebunan tidak akan berjalan dengan baik, tanpa bantuan dan jasa dari orang-orang pribumi itu sendiri. Di banyak kasus, dalam masa-masa awal penerapan UU Agraria 1870, banyak para sultan dan elit pribumi lainya yang melepas konsensi lahannya guna berdirinya perkebunan-perkebunan tersebut, tanpa menimbang ketersediaan lahan bagi masyarakat di sekitarnya.

Segera setelah pemberlakuan UU Agraria 1870, pihak Pemerintahan Belanda mendapat banyak kecaman dari kalangan orang Belanda sendiri. Salah satu bentuk kecaman yang cukup terkenal ialah yang terlontar dari mantan pejabat di

Hindia Belanda, Ir. Van Kol, yang menyatakan; “Pemerasan kekayaan di Jawa itulah, dulu oleh pemerintah kemudian oleh kaum modal swasta, menyebabkan

daerah itu kurus miskin,...semua itu adalah kesalahan pemerintah Belanda.

Namun, tuan-tuan wakil rakyat, kesalahan itu adalah kesalahan tuan-tuan

sekalian”13. Dari kecaman-kecaman itulah yang pada akhirnya membawa Pemerintah Kolonial Belanda untuk membentuk sebuah pantia penyelidik kemiskinan (Mindere Welvaart Commissie) pada tahun 190214. Lebih lanjut, atas desakan dan kecaman-kecaman semacam itu lah yang pada akhirnya mendorong Pemerintah Belanda membuat politik balas-budi, yang dikenal dengan Politik Etis, beserta tokoh utamanya yang bernama van Deventer, pada permulaan Abad ke 20. Lepas dari cengkraman Belanda, Indonesia memasuki zaman kependudukan Jepang. Meski kerap mendaku sebagai saudara, ternyata Jepang sama menindasnya dengan ketika Belanda menjajah. Situasi Agraria pada masa pendudukan Jepang, sangat terkait dengan kepentingan perang Jepang di Asia Pasifik. Berpuluh-puluh onderneming dengan berpuluh-puluh ribu hektar tanah,

13 Ibid. Hlm. 9.

(9)

disulap seketika menjadi lahan pertanian rakyat15. Tanaman semacam; padi, jagung, kapas, huma, dan jarak mulai menggantikan berhektar-hektar lahan perkebunan Belanda. Namun demikian, hasilnya lebih diperuntukan bagi kepentingan perang Jepang. Hal ini sejalan dengan tujuan utama Jepang menduduki Indonesia, yaitu guna menguasai sumber minyak, sumber energi, beserta sumber daya alam lainya bagi keberlangsungan perang yang sedang dilakoni Jepang. Maka di sektor agraria, sebenarnya, baik Jepang ataupun Belanda, pada hakekatnya sama-sama menampilkan sejarah eksploitasi sumber-sumber agraria di Nusantara.

Pembongkaran ordeneming, hutan-hutan, dan perkebunan milik Belanda, berlanjut ketika Indonesia baru merdeka. Lahan-lahan yang dibongkar tersebut, kemudian beralihfungsi menjadi lahan pertanian rakyat, yang memang sudah sangat lama terampas dari aksesnya terhadap tanah. Tak jarang, banyak pula rakyat yang mulai mendirikan gubuk-gubuk di bekas lahan pembongkaran. Siasat pembongkaran dan pembumihangusan terus berjalan hingga masa-masa Agresi Belanda pertama dan kedua. Di daerah-daerah yang tidak diganggu oleh Agresi Militer Belanda, ordeneming-ordeneming modal asing segera “di-Indonesia-kan”. Meski demikian, nasionalisasi ordeneming-ordeneming milik modal swasta pun, memiliki sejumlah persoalan. Yaitu ketika para petani penggarap dan buruh tani— yang sebelumnya menjadi buruh perkebunan Belanda—hanya berganti majikan, dengan muncul nya elit-elit republik yang menguasai akses terhadap tanah-tanah rakyat16. Disamping itu, melalui UU No.1/1958, terjadi penghapusan tanah-tanah partikelir di beberapa daerah, yang diiringi dengan pendistribusian tanah-tanah tersebut kepada rakyat. Hal demikian pula yang terjadi di Yogyakarta dan Surakarta, dimana 40 perusahaan gula Belanda telah disediakan bagi para petani Indonesia, dengan dorongan dari UU Darurat No.13 tahun 194817.

Di tataran Pemerintahan Indonesia, sebenarnya para pendiri bangsa Indonesia menyadari bahwa UU Agraria 1870 tidak bisa dipergunakan untuk bangsa yang membebaskan dari penjajahan18. Untuk itu, guna membuat sebuah

15 Ahmad Nashi Luthfi, Kronik Agraria..., op.cit. hlm 10. 16 Moch. Tauhid, Masalah Agraria..., op.cit. hlm. 261-262.

(10)

regulasi mengenai hukum agraria dan untuk mengganti sistem agraria warisan kolonial yang eksploitatif, mulai dirumuskan oleh rezim Orde Lama sebuah peraturan pokok yang berkaitan dengan masalah agraria. Dalam prosesnya, terdapat lima (5) buah kepanitiaan yang khusus mengurusi dan merumuskan tentang formulasi sistem keagrariaan yang baru, yaitu; Panitia Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunarjo (1958), dan akhirnya rancangan Sudjarwo (1960)19.

Melalui kerjasama antara tim Ad Hoc DPR dan seksi Agraria UGM, naskah baru mengenai sistem pertanahan nasional, berubah menjadi RUU Agraria yang baru dan kemudian disahkan oleh DPR-GR yang terbentuk pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Selanjutnya pada tanggal 24 September 1960, disahkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal sebagai UUPA 1960. Pada hakikatnya, pengesahan UUPA 1960 tersebut merupakan Anti-Thesa dari Agrarische Wet tahun 1870 yang dikukuhkan Belanda. Selain itu, UUPA

1960 merupakan perwujudan nyata terhadap konten UUD 1945 Pasal 33, yang mengatur tentang kedaulatan masyarakat atas Sumber Daya Alam beserta seluruh isinya.

Namun dalam perkembangannya, Landreform atau redistribusi lahan yang menjadi tonggak pengaplikasian UUPA 196020, mengalami begitu banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan dalam penataan struktur agraria dan redistribusi lahan, terutama sekali disebabkan oleh tentangan keras dari elit masyarakat yang memiliki lahan yang luas, dan kerap pula menjadi agenda partai politik tertentu (mobilisasi Pro-Landreform dan Mobilisasi Kontra-Landreform)21—yang dalam tataran akar rumputnya, menciptakan apa yang disebut

19 Gunawan Wirardi, Reforma Agraria: Perjalanan...., op.cit. hlm. 82.

20Pembahasan lebih lanjut, lihat Selo Soemardjan “Land Reform di Indonesia”, dalam buku Dua

Abad..., op.cit. hlm.123-169.

21 Tujuan landreform pada umumnya adalah untuk mengapus feodalisme yang berarti penyingkiran

(11)

dengan “aksi sepihak” yang dilakukan oleh elit pedesaan yang tak mau tanahnya

masuk dalam data pembagian tanah, ataupun yang dilakukan oleh petani tak bertanah untuk mendapat hak kepemilikan lahan yang dibagi22.

Berhubung segala kebijakan nasional akan senantiasa berkaitan dengan sikap politik, yakni sikap kepemihakan; untuk kepentingan siapakah setiap kebijakan itu diambil, maka sejatinya para pendiri bangsa Indonesia telah mencoba menampilkan keberpihakannya secara jelas kepada rakyat, melalui sebuah regulasi keagrariaan yang memihak rakyat kecil (UUPA 1960). Karena suatu program pembangunan, terutama yang memihak rakyat banyak, perlu dilandasi lebih dahulu

dengan “penataan kembali masalah pertanahan”, sebelum jauh menjangkau

industrialisasi. Itulah sebabnya, walaupun umur Republik Indonesia masih sangat

muda (ibarat “balita”), toh pada tahun 1948 sudah mulai dibentuk “Panitia Agraria”,

untuk memikirkan secara serius masalah pertanahan23.

Melalui produk kebijakan politik agraria era Bung Karno, seyogyanya kita dapat menilai sikap populisme yang dimiliki oleh Presiden Pertama Indonesia. Melalui UUPA 1960, para pendiri bangsa mencoba mengaktualisasikan bunyi-bunyi dalam Pancasila, serta mewujudkan mimpi-mimpi yang termaktub dalam konstitusi bangsa Indonesia. Meskipun UUPA 1960 hanya merupakan aturan-aturan dasar, yang penjabaran dan peraturan-aturan-peraturan-aturan pelaksanaan beserta ketentuan-ketentuannya perlu diurai dalam produk Undang-Undang turunannya. Sayangnya, produk UU turunan tersebut tak sempat tergarap, tersusul oleh peristiwa gejolak 1965 yang berujung pada tumbangnya Orde Lama dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan lahirnya pemerintahan Orde Baru24.

Agraria dalam Dinamika Panggung Politik”, dalam buku Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wirardi, (Bandung:2002. Yayasan Akatiga) hlm. 229.

22 Bagas Yusuf Kausan, “Menautkan Tani dan Tragedi”, dalam Kumpulan Tulisan Edisi I

Kalamkopi, (Semarang:2016, kalamkopi) hlm. 18-19.

(12)

D. Praktik Kebijakan Politik Agraria Era Orde Baru

Seiring dengan pergantian tampuk kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, terjadi pula perubahan dalam hal kebijakan politik agraria. Di masa pemerintahan Orde Baru, UUPA 1960 yang sebelumnya diciptakan guna membuat tata keagrariaan yang lebih adil, serta untuk menjangkau petani-petani penggarap dan buruh tani, dimasukan ke dalam peti. Artinya, meski UUPA 1960 tidak dihapus, namun keberadaannya seolah tidak dihiraukan. Bahkan, rezim pemerintahan Orde Baru justru banyak menerbitkan UU sektoral lain yang sebenarnya memiliki pondasi dan maksud yang berlainan dengan semangat yang dibawa oleh UUPA 1960. Dengan jalan penerbitan UU Sektoral itu lah, Orde Baru dengan leluasa dapat melakukan pengadaan tanah dalam skala besar untuk kepentingan modal. Bahkan, melalui UU Sektoral tersebut, praktik penetapan berbagai jenis hak tertentu atas sebidang tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, mulai gencar dilakukan dan disponsori langsung oleh negara. Hal tersebut dapat terlihat dalam pengenalan dan penetapan Hak Guna Usaha, Hak Penguasaan Hutan, Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan, dan lain-lain25. Salah satu bentuk UU sektoral yang justru menistakan UUPA 1960 ialah dengan keluarnya Undang-Undang penanaman Modal Asing tahun 1967, yang dari berbagai sisinya justru banyak merugikan masyarakat Indonesia.

Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari corak politik agraria era Orde Baru ialah tumbuh kembangnya ideologi Developmentalism dan hadirnya proyek Revolusi Hijau yang sedang gencar menerpa banyak negara-negara dunia ketiga— yang tidak bisa dilepaskan dalam konteks perang dingin yang sedang berkecamuk pada akhir tahun 1960an. Developmentalism sendiri merupakan sebuah diskurs pembangunan yang diciptakan negara maju untuk mendominasi negara-negara berkembang. Mereka menggunakan alasan untuk memecahkan masalah

‘keterbelakangan’ yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Setelah dilontarkan

(13)

diskurs pembangunan, tidak saja mereka melanggengkan dominasi dan eksploitasi ekonomi pada dunia ketiga, tetapi diskurs pembangunan itu sendiri justru menjadi media penghancur segenap gagasan alternatif rakyat Dunia Ketiga terhadap kapitalisme26. Lebih lanjut, strategi yang digunakan oleh negara-negara maju dalam melanggengkan dominasi mereka pada dunia ketiga ialah; pertama, adalah discourse of underdevelopment, ini berkaitan dengan aparat pembangunan (dari organisasi Internasional, Bank Dunia, IMF, dan badan pembangunan lokal) dan berbagai teori pembangunan yang diproduksi oleh organisasi Internasional, ahli di berbagai universitas Amerika dan Eropa. Kedua, strategi untuk penetrasi dan kontrol dunia ketiga melalui teknologi komunikasi dan informasi, khususnya media massa, TV dan film27.

Satu lagi bentuk politik agraria masa Orde Baru yang paling kentara ialah dengan bergulirnya proyek Revolusi Hijau. Sebagai bagian dari politik Perang Dingin, Revolusi Hijau di beberapa kawasan Asia Tenggara dipilih sebagai strategi untuk menggantikan landreform yang selama beberapa tahun sebelumnya (di)identik(kan) dengan kebijakan komunis28. Stempel komunis dari kebijakan landreform terkait dengan beberapa peristiwa sebelum meletusnya peristiwa 1965,

yang disebut dengan aksi-aksi sepihak. Selain itu, kuat pula prasangka yang menyatakan bahwa UUPA 1960 merupakan produk Partai Komunis Indonesia sehingga stempel demikian menjalar ketika Pemerintahan Orde Baru berkuasa. Stempel komunis pada UUPA 1960 baru terjernihkan secara legal formal setelah keluarnya TAP MPR No. IV/197829.

Dalam pelaksanaan Revolusi Hijau, didirikan lembaga-lembaga riset pangan sesuai dengan komoditasnya. Sementara yang berkaitan dengan Indonesia adalah sebuah lembaga riset International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina. Lembaga IRRI sebenarnya pernah ditawarkan terlebih dahulu kepada Presiden Soekarno. Hanya saja, Presiden Soekarno menolak tawaran tersebut dengan dalih bahwa pihak Rockefeller sebagai penyokong dana riset, kerap

26 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan, (Yogyakarta:2011, Insist Press) hlm. 186. 27 Ibid. Hlm. 188.

(14)

melakukukan berbagai macam tuntutan yang sifatnya intervensif. Selain itu, Bung Karno pun merasa bahwa Indonesia telah mampu mengembangkan riset pembenihan sendiri di Lembaga Penelitian Benih, Bogor30.

Proyek Revolusi Hijau yang dijalankan di Indonesia, dibiayai dengan dana hutang dari Bank Dunia, beserta lembaga-lembaga keuangan Internasional lainya. Meski program Revolusi Hijau menuai keberhasilan, terlebih mampu membuat Indonesia berswasembada beras, program tersebut tidak bisa dilepaskan pula dalam konteks pencegahan atas efek domino tentang pengaruh komunisme, dan mencegah keresahan agraria di pedesaan-pedesaan Asia Tenggara pasca-kolonial. Dalam konteks sejarah kapitalisme, program Revolusi Hijau merupakan representasi Politik Perang Dingin bagi salah satu pihak untuk melangsungkan visi kontrol atas dunia, dan juga memberikan arahan bagaimana previous accumulation terjadi. Sementara di pedesaan, massa rakyat dipaksa sebagai floating mass, dan dijauhkan dari hal-hal yang bersifat menguatkan (mengorganisir diri) guna memberi jalan mulus bagi masuknya kapital ke desa-desa di Indonesia31.

Dari uraian diatas, menjadi jelas bahwa ciri utama kebijakan politik Agraria masa Orde Baru ialah pembangunan industri padat modal, intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau), yang hampir semuanya dibiayai oleh lembaga-lembaga keuangan Internasional. Selain itu, adanya sikap “ambivalent” dari pemerintah, yang disatu sisi secara legal-formal “di atas kertas” UUPA 1960 sebagai landasan hukum pertanahan dan keagrariaan masih dinyatakan sah berlaku, namun di sisi lainya kebijakan agraria dan penerapannya tidak sesuai dengan semangat UUPA 1960. Alih-alih mendistribusikan tanah kepada masyarakat kecil, kebijakan politik agraria Orde Baru justru lebih mengutamakan pembukaan konsensi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang cenderung menyingkirkan masyarakat dari alat produksinya; tanah. Pemerintahan Orde Baru dalam hal kebijakan agraria, mengambil jalan apa yang sekarang dikenal sebagai by-pass approach, atau

30 Loc.cit. hlm. 60.

(15)

pendekatan jalan pintas dengan bentuk Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria dan disebut sebagai development without social transition32.

Corak politik agraria Orde Baru seperti yang disinggung diatas, secara tidak langsung telah menimbulkan aneka macam konflik agraria yang berkepanjangan, hingga detik ini. Bisa dikatakan, konflik-konflik tersebut tidak lain adalah akibat by-pass approach yang bercirikan: mengandalkan bantuan asing, hutang, dan investasi dari luar negeri, serta bertumpu pada yang besar (betting on the strong)33. Logika ekonomi semacam trickle down effect pun tidak lain merupakan wujud kecenderungan rezim Orde Baru yang terlanjur bertumpu pada hal-hal yang besar tersebut. Pengaplikasian UU sektoral yang menabrak semangat UUPA 1960, yaitu ketika sumber-sumber agraria (tanah) dirubrikasi untuk kepentingan pertambangan, perhutanan, pertanian padat modal, dan pembangunan perkotaan melalui pemahaman yang salah akan “hak menguasai negara”, alat produksi itu semakin jauh dari massa rakyat. Perubahan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan pada gilirannya menuju ke arah kapitalisme34. Potret politik agraria semacam ini lah yang diwariskan pada rezim-rezim pemerintahan selanjutnya, yang terus-menerus menggusur angin pembaharuan yang sempat terhembus melalui semangat neo-populisme Undang-Undang Pokok Pembaharuan Agraria (UUPA) 1960. Dampak dari wajah politik agraria semacam ini ialah ketimpangan dan kesenjangan sosial yang semakin melebar serta semakin meningginya angka konflik agraria, yang terjadi di banyak sektor, melibatkan berbagai macam lapisan masyarakat, dan tak jarang menimbulkan pula korban jiwa.

E. Penutup

Perjalanan politik agraria di Indonesia merupakan sebuah lintasan sejarah yang sangat panjang. Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, terdapat banyak sekali corak politik agraria yang beririsan dengan fase-fase dalam rentang sejarah bangsa Indonesia. Sejak era kolonial, bangsa Indonesia telah terlebih dahulu merasakan kepahitan politik agraria yang dijalankan oleh

32 Gunawan Wirardi, Reforma Agraria..., op.cit. hlm. 92. 33 Ibid. Hlm. 93.

(16)

Pemerintahan Belanda. Ketika Jepang menduduki Indonesia, hal demikian masih nampak terjadi. Masyarakat Indonesia terus-menerus kehilangan hak dan aksesnya terhadap sumber-sumber agraria secara lebih adil, guna mewujudkan apa yang disebut dengan kesejahteraan.

Memasuki era kemerdekaan, para pendiri bangsa telah mengusahakan untuk membuat sebuah regulasi dan tata peraturan keagrariaan yang berpihak kepada masyarakat kecil. Kelak regulasi tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Pokok Pembaharuan Agraria 1960, yang merupakan bentuk pengaplikasian amanat konsistusi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta merupakan anti-thesis dari sistem perundang-undangan agraria era kolonial yang cenderung bersifat dominatif dan eksploitatif. Sayangnya, sebelum UUPA 1960 tersebut dijalankan secara lebih luas dan dikembangkan dalam bentuk UU turunannya, bangsa Indonesia terlanjur memasuki fase paling kelam dalam sejarahnya, yang ditandai dengan huru-hara politik tahun 1965, lengkap beserta praktik pembunuhan massal besar-besaran terhadap masyarakat yang terduga komunis, simpatisan komunis, eksponen kelompok kiri, kalangan nasionalisme-kiri, dan pendukung rezim Pemerintah Soekarno. Peristiwa 1965 pun menandai sebuah fase pergantian presiden paling berdarah, dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.

Pergeseran kursi kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto—yang dimulai pasca Tragedi ’65, berakibat pula pada politik kebijakan agraria. Bersamaan dengan hancurnya semangat UUPA 1960, kawasan Asia Tenggara dihinggapi ideologi “pembangunanisme” yang dalam ranah pertanian—bertransformasi menjadi logika pertanian padat modal—yang berorientasi pada intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian—yang bertujuan untuk memproduksi pangan secara cepat dengan bantuan teknologi. Hal ini umum disebut

sebagai “Revolusi Hijau”, yang dalam perkembangannya—telah membuat Orde Baru membusungkan dada dengan keberhasilannya melakukan swasembada beras.

Namun demikian, meski “Revolusi Hijau” dirasa menuai keberhasilan, program

(17)

ini35. Bisa dikatakan, “Revolusi Hijau” merupakan lawan dari agenda reforma agraria, yang tak dapat dipisahkan dari konstelasi politik global saat itu (Perang Dingin). Sebagai produk negara-negara maju yang didanai beragam lembaga donor—”Revolusi Hijau” pada intinya, semakin memastikan dan menegaskan keberpihakan, kepatuhan, dan ketergantungan rezim Orde Baru kepada pihak-pihak asing—yang semakin menciptakan jurang yang dalam atas ketimpangan sosial yang terjadi.

Maka, sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan agraria Orde Baru, yang menjauhi semangat UUPA 1960 yang telah dirintis Pemerintahan Presiden Soekarno, dan kecenderungan politik agraria Orde Baru yang pro-modal dan investasi—maka proses diferensiasi sosial dan proletarisasi yang sudah terjadi pada masa kolonial—dan hendak dipotong melalui semangat UUPA 1960—menjadi kian berkembang, meluas, dan mendalam menjadi serangkaian konflik agraria yang tak kunjung selesai, hingga detik ini36. Kenyataan tersebut, telah membuktikan bahwa politik agraria yang dijalankan oleh rezim Orde Baru, justru telah menciptakan persoalan-persoalan struktural keagrariaan yang akut, dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat.

3535Dampak negatif dari program “Revolusi Hijau”, setidaknya terdiri dari; Diferensiasi sosial,

marjinalisasi perempuan, migrasi sebagai bentuk nyata deagrarianisasi, keresahan pedesaan, dan punahnya keragaman hayati. Lengkapnya, lihat Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran...., op.cit. hlm. 73-79.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 2013. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.

Kausan, Bagas Yusuf. 2016. “Menautkan Tani dan Tragedi” dalam Kumpulan Tulisan Jilid I Kalamkopi. Semarang: Kalamkopi.

Luthfi, Ahmad Nashi. 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Madzhab Bogor. Yogyakarta: STPN Press.

---. 2011. Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor, dan Aktor. Yogyakarta: STPN Press.

Mulyani, Lilis. 2011. Strategi Pembaharuan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Shoibuddin, Mohamad dan M. Nazir Salim (Ed). 2012. Pembentukan Kebijakan Agraria Tahun 2006-2007: Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta: STPN Press.

Soetarto, Endriatmo dan Moh. Shohibuddin. 2004. “Reforma Agraria Sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan” dalam Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria Volume 01/Tahun I/2004. Bogor: Lapera.

Suhendar, Endang, Dkk (Ed). 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wirardi. Bandung: Yayasan Akatiga.

Tauhid, Moch. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN Press.

Tjondronegoro, Soediono M.P dan Gunawan Wirardi. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wirardi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press.

Referensi

Dokumen terkait

Seebagaimana partai-partai yang lain, awal Orde Soeharto tidak ada pemilu, dan pemerintahan dikendalikan banyak orang militer yang dikaryakan dan para teknokrat didikan AS yang

Dan kebijakan landreform pada masa orde laina maupun reformasi tentu merupakan suatu cara untuk menciptakan kebijakan yang responsive yang dapat inengakomodir

Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai-

• Sistem Demokrasi Pancasila di era Orde Baru ini mampu menstabilkan pemerintahan melalui berbagai strategi kebijakan, seperti fusi partai politik, penerapan azas tunggal

Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR.. Selain

Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar

Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas

Pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Negara diadakan Sidang Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dengan tujuan untuk mencari