• Tidak ada hasil yang ditemukan

Krisis Moneter 1997 1998 Sebab dan Dampa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Krisis Moneter 1997 1998 Sebab dan Dampa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Krisis Moneter 1997-1998: Sebab dan Dampaknya Terhadap

Perekonomian Indonesia

Oleh: Mulki Mulyadi

A. Latar Belakang Krisis Indonesia

Sejak awal berdirinya, Republik Indonesia sejatinya telah beberapa kali mengalami krisis yang sempat mengguncang ekonomi nasional. Pada masa Orde Lama (1945-1965/66) terjadi stagflasi1 akibat pendudukan Jepang, perang dunia kedua, perang revolusi dan akibat buruknya manajemen ekonomi makro pada saat itu. Menjelang akhir periode Orde Lama tingkat inflasi mencapai lebih dari 500 % (hyper inflasi) yang menyebabkan tingginya bahan-bahan pokok seperti beras, terjadinya defisit neraca pembayaran keuangan pemerintah sehingga kegiatan produksi pertanian dan industri terhenti. Selain itu krisis juga timbul karena adanya sikap konfrontasi pemerintah terhadap kekuatan Barat yang menyebabkan susahnya meminjam dana dari luar negeri, operasi terhadap Irian Barat, nasionalisasi perusahaan Belanda tahun 1957-1958, serta instabilitas politik pada masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno (kasus PKI).2

Ekonomi Indonesia yang buruk tersebut kemudian diwarisi oleh rezim Orde Baru. Krisis ini adalah krisis ekonomi pertama yang dialami oleh rezim Orde Baru. Warisan ekonomi Orde Lama pada masa transisi ini diantaranya adalah besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri, tingkat inflasi yang tetap tinggi serta kebijakan pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan pelarian modal besar-besaran ke luar negeri. Dalam menanggulangi krisis ini, Orde Baru mengambil langkah-langkah untuk stabilisasi fiskal, moneter dan lalu lintas devisa. Selain itu pemerintah juga melakukan program rehabilitasi infrastruktur dan membangun hubungan baik dengan lembaga donor internasional.

Krisis kedua yang menimpa orde baru adalah krisis inflasi dengan rata-rata laju inflasi pertahun adalah 20% selama tahun 1972-1980. Inflasi ini berfluktuasi dengan rata-rata 9% pada dekade 1980an dan rata-rata 41% pada tahun 1974. Penyebab krisis inflasi ini diantaranya adalah krisis pangan di dunia pada akhir 1972, jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak karena adanya oil boom yang meningkatkan pendapatan

1 Stagflasi adalah stagnasi kegiatan produksi atau kegiatan produksi yang sama sekali terhenti yang dibarengi dengan tingkat inflasi yang tinggi, yang pada umumnya berada di kisaran tiga digit atau lebih.

▸ Baca selengkapnya: jelaskan tentang krisis hukum yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru

(2)

pemerintah serta ekspor besar-besaran. Selain itu devaluasi rupiah sebesar 50% yang terjadi pada November 1978 hampir saja menimbulkan krisis ekonomi yang serius.

Begitu pula di tahun-tahun berikutnya yaitu antara tahun 1981 hingga 1995, pemerintah Orde Baru tidak pernah sepi dari masalah ekonomi. Beberapa masalah yang terjadi diantaranya adalah lemahnya permintaan minyak pada tahun 1981 dan berakhir pada jatuhnya harga minyak yang meningkatkan hutang luar negeri antara tahun 1982-1986. Tahun 1984 terjadi krisis perbankan akibat kurang baiknya manajemen bank, kurangnya modal serta kurangnya pengawasan Bank Indonesia (BI) terhadap bank lokal. Selain itu masalah yang kembali muncul dari tahun 1990 hingga 1995 adalah ketika mata uang Jepang menguat terhadap dollar sehingga utang luar negeri Indonesia kepada Jepang meningkat yang disertai dengan ancaman devaluasi rupiah akibat meningkatnya arus pembelian Dollar.3

Meskipun di dera masalah ekonomi yang berkepanjangan, secara garis besar pada pertengahan dasawarsa 1990an Indonesia dianggap sebagai salah satu negara di Asia yang tingkat pertumbuhan ekonominya dapat dikatakan memuaskan dan berpotensi besar untuk terus tumbuh. Bersama negara-negara Asia lainnya seperti Thailand, Malaysia dan Korea Selatan, Indonesia menjadi negara yang memukau para ekonom Bank Dunia dan IMF yang mengira bahwa fundamental ekonomi negara-negara tersebut kuat. Pada saat itu dari sisi indikator dasar terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat stabil dan dinamis (sekitar 8-9 %). Utang luar negeri yang besar dapat dicicil dengan baik, tingkat inflasi masih dalam kendali, investasi bertumbuh dan modal asing ramai-ramai masuk ke Indonesia, cadangan devisa cukup dan defisit transaksi dari neraca pembayaran masih dapat diatur.4 Maka sangat mengherankan ketika mata uang di Asia Tenggara terdepresiasi, Indonesia yang dianggap memiliki ekonomi yang kuat justru kelimpungan menghadapi gempuran pasar atas nilai rupiah yang terus merosot tajam dan bahkan mendapatkan dampak paling parah dari krisis Asia tersebut.

B. Krisis dan Korupsi Orde Baru

Krisis yang terjadi di Asia Tenggara bermula dari krisis ekonomi yang terjadi di Thailand. Penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi Thailand yang lamban sehingga para spekulan menarik dukungan dana investasi di bursa saham Thailand pada 2 Juli 1997, selain itu juga karena rapuhnya institusi perbankan Thailand. Bank sentral Thailand kemudian

3 Tulus Tambunan, h. 4-7

(3)

mengambangkan mata uang baht sesuai dengan mekanisme pasar yang menyebabkan turunnya nilai baht atas dollar. Akibatnya fatal dengan terjadinya efek domino (contagion effect) di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pada tanggal 11 Juli 1996 pemerintah Filipina terpaksa mengambangkan nilai peso, seminggu kemudian dollar Singapura anjlok hingga ke angka 1,46 per dollar AS. Seminggu setelahnya lagi giliran Malaysia yang terkena imbas, kurs ringgit terdepresiasi hingga 2,65. Ketika itu rupiah masih dijaga dan di devaluasi secara periodik oleh BI dengan memperlebar sedikit rentang kendali rupiah dari delapan menjadi 12 persen dan stabil pada posisi Rp. 2.430 per Dollar AS, namun ketika mata uang lainnya sudah tumbang BI ternyata tidak mampu lagi menahan gempuran pasar yang menghabiskan devisa negara. Dengan alasan itu pada 14 Agustus 1997 BI akhirnya menghapus rentang kendali rupiah dan nilainya diserahkan kepada mekanisme pasar, saat itu kurs rupiah sudah anjlok menjadi Rp. 2.820.5

Paul Krugman yang dalam majalah The Economist menyebutkan salah satu faktor mengapa ekonomi Indonesia terpuruk adalah adanya praktik yang disebut sebagai Crony Capitalism

dalam pemerintahan Orde Baru. Crony Capitalism adalah istilah yang mengacu pada adanya “kongkalingkong” antara pebisnis dan pejabat pemerintah dalam mengatur perekonomian Indonesia sehingga ekonomi Indonesia sepenuhnya dikendalikan sesuai dengan kepentingan kedua belah pihak. Senada dengan itu, Fredy B.L Tobing dalam tulisannya tentang hubungan antara relasi kekuasaan Soeharto dengan krisis yang terjadi di Indonesia, berargumen bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru tidak terjadi dengan tiba-tiba namun sebagai imbas dari berbagai kebijakan politik dan ekonomi rezim Orde Baru yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme sebelum dan ketika krisis terjadi.

Praktik Crony Capitalism terlihat dari bagaimana Presiden Soeharto sangat mengandalkan orang-orang kepercayaannya dalam membuat kebijakan negara serta mengelola ekonomi dan sumber daya alam Indonesia. Dalam hal ini Tobing menjelaskan bahwa Presiden Soeharto membiarkan timbulnya beberapa kelompok dalam pemerintahannya. Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok militer dan kelompok sipil yang diwakili oleh para teknokrat lulusan luar negeri, kelompok teknokrat ini kemudian terpecah lagi menjadi dua yaitu kelompok teknokrat ekonom yang diwakili oleh Widjojo Nitisastro dan kelompok teknokrat teknolog yang diwakili oleh Habibie dan kawan-kawan. Presiden Soeharto sendiri menciptakan mekanisme birokrasi yang menempatkan militer pada pos-pos penting dalam

(4)

pemerintahan, selain itu Soeharto juga memainkan suatu oligarki kekuasaan yang hanya sekelompok kecil elit yang dapat masuk ke lingkaran tengah. Kedua kelompok teknokrat tersebut kemudian menjadi bagian dari elit kecil di lingkaran kekuasaan Soeharto yang memberikan saran dan nasehat dan keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden.6 Faktor lainnya adalah kesalahan manajemen dalam ekonomi makro dan bobroknya manajemen perbankan yang didiamkan oleh pemerintah. Situasi ini kemudian diperburuk lagi dengan campur tangan IMF dalam pengelolaan ekonomi negara yang sudah amburadul.7

Dalam bidang politik, Presiden Soeharto pada awal berkuasanya (1965-1970) berfokus untuk melakukan konsolidasi serta mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, karena itu pemilu yang semula direncanakan pada tahun 1968 diundur menjadi tahun 1971. Kemudian setelah memenangi pemilu Soeharto mulai melakukan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat posisi militer dalam pemerintahan dan membungkam gerakan oposisi yang berpotensi membahayakan posisi rezim.8 ABRI dengan dukungan Presiden perlahan-lahan menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan yang seharusnya menjadi tempat bagi kalangan sipil. Bahkan, Presiden Soeharto sendiri yang mengawasi penempatan para perwira ABRI dalam jabatan sipil. Pengaruh kekuatan politik ABRI yang berlandaskan doktrin dwi fungsi menegaskan bahwa ABRI berhak untuk terjun dalam kehidupan politik di Indonesia. Karena itu sejak kudeta 1965 atas nama keamanan nasional ABRI telah melakukan intervensi di semua aspek sosial, politik dan ekonomi.9

Kemudian dengan dukungan kuat angkatan darat (ABRI), semua aksi protes massa segera diberangus oleh pemerintah (seperti pada tragedi Malari 1974). Kemudian dalam sekejap Soeharto berhasil mengontrol DPR dan MPR dengan memposisikan kedua lembaga tinggi itu langsung di bawah pengawasannya. Dengan undang-undang baru, Soeharto mempunyai hak untuk menunjuk seperlima dari anggota DPR dan tiga perlima anggota MPR. Karena itu lengkap sudah dominasi rezim Orde Baru dengan melanggar konstitusi UUD 1945 tentang hak perwakilan rakyat.10

6 Fredy B.L Tobing, Praktik Relasi Kekuasaan: Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997-1998, Kompas, Jakarta, 2013, h. 79

7 Shalendra D. Sharma, “The Indonesian Financial Crisis: From Banking Crisis to Financial Sector Reforms (1997-200)”, Indonesia, No. 71, April 2001, Southeast Asia Program Publication at Cornell University

8 Zainuddin Djafar, Soeharto: Mengapa Kekuasaannya Dapat Bertahan Selama 32 Tahun?, FISIP UI Press, Depok, 2005, h. 39-45

9 Zainuddin Djafar, h. 50-51

(5)

Pada tahun 1973 Presiden Soeharto membatasi partai politik menjadi tiga yang mewakili tiga ideologi yang berbeda yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Meski telah mengizinkan adanya dua partai oposisi, gerakan politik oposisi tetap saja mendapatkan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Pergerakan politik yang paling diawasi dalam sejarah Orde Baru salah satunya adalah sepak terjang partai politik Islam. Zainuddin Djafar mengemukakan bahwa sejak lama Soeharto dengan para Inner Circle nya sudah mencurigai aktivitas para pendakwah Islam dan Partai Islam sebagai ancaman politik bagi Orde Baru karena kuatnya organisasi kultural seperti NU dan Muhammadiyah dalam masyarakat karena dalam pemilu 1971 Partai Islam masih mampu mendapatkan 30-40% suara dari rakyat yang hampir sama dengan perolehan pada pemilu 1955. Salah satu strategi untuk melemahkan pergerakan politik Islam adalah dengan memaksa PPP mengubah ideologi Islam menjadi ideologi Pancasila serta melarang kampanye dengan menggunakan lambang Ka’bah yang menghilangkan identitas PPP sebagai partai Islam. Imbasnya PPP semakin kehilangan reputasi di kalangan masyarakat apalagi dengan dicabutnya dukungan dari NU maka posisi PPP dalam pemerintahan semakin terpuruk.11

Dalam bidang ekonomi, Orde Baru mengadakan perbaikan hubungan politik dengan negara-negara Barat serta memperlihatkan kesungguhan untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi sehingga penanaman modal asing dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat. Karena itu terjadi perubahan haluan ekonomi Indonesia secara menyeluruh. Meskipun secara resmi undang-undang ekonomi Indonesia berlandaskan prinsip kebersamaan atau koperasi, ekonomi Indonesia yang pada masa Orde Lama tadinya cenderung beraliran sosialis kemudian berubah kearah semi-kapitalis yang memihak ke Barat dan modal asing. Perubahan drastis ini meliputi sistem, pola perkembangan maupun hasilnya. Perlahan Rezim Orde Baru menjadikan Indonesia sebagai negara yang selalu bertumpu pada hutang luar negeri (Aid Oriented Policies) yang berbeda dengan kebijakan Orde Lama yang lebih menekankan Independence Oriented Policies.12 Hasil kongkrit dari dari kebijakan Aid

Oriented Policies adalah masuknya aliran dana dari sejumlah negara-negara maju yang mendukung pembangunan ekonomi Indonesia yang kemudian membidangi terbentuknya suatu kelompok konsorsium yang bernama Inter-Government Group On Indonesia yang disingkat sebagai IGGI (kemudian berubah menjadi CGI pada tahun 1992). Konsorsium ini bertujuan untuk membiayai pembangunan ekonomi Indonesia.13 Nilai bantuan internasional

11 Zainuddin Djafar, h. 63-64

12 Fredy B.L Tobing, h. 3

(6)

dari IGGI (1989-1992) berkisar 4.2-4.7 juta dollar per-tahun sedangkan CGI mulai tahun 1992 hingga 1997 mengucurkan bantuan senilai 4.9 hingga 5.2 juta dollar AS per-tahun.14

Ketersediaan dana luar negeri untuk menunjang program-program pembangunan nasional tersebut sayangnya tidak diimbangi dengan manajemen pengelolaan ekonomi yang baik dan menyebabkan maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam rezim Orde Baru. Hal ini muncul setelah Soeharto berhasil melenyapkan oposisi serta menerapkan sentralisasi kekuasaan yang berpusat pada dirinya dan elit-elit politik disekitar presiden utamanya militer. Demi membangun pusat-pusat bisnis penguasa dan bisnis kelompok militer, rezim Orde Baru melakukan kontrol ketat terhadap sumber daya ekonomi yang dimaksudkan untuk menjaga loyalitas militer dan birokrasi kepada Presiden. Struktur politik yang diterapkan pada masa Orde Baru dapat disebut sebagai otokrasi birokratik (bureaucratic authoritarian) yang bertentangan dengan demokrasi sebab penguasa menjadikan birokrasi sebagai alat untuk melaksanakan pemerintahan secara sewenang-wenang. Maka, tidak heran ketika akhirnya krisis moneter melanda Indonesia, banyak kalangan langsung menuding sebab utama dari terjadinya krisis adalah kegagalan kebijakan ekonomi Orde Baru yang sarat dengan KKN dan bahwa sesungguhnya fundamental ekonomi Indonesia sangat rapuh sehingga krisis ekonomi menjadi berkepanjangan.15

C. Usaha Awal Menghalau Krisis

Dalam upaya menanggulangi krisis moneter, pemerintah melakukan berbagai langkah-langkah utamanya untuk mengurangi laju inflasi yang diperkirakan akan mencapai 80 persen pada akhir tahun 1998. Diantara langkah-langkah tersebut adalah dengan mengeluarkan kebijaksanaan pengetatan moneter, kebijaksanaan penentuan kurs dan pengawasan devisa, Dalam melaksanakan pengetatan moneter pada April 1997, beberapa bulan sebelum krisis terjadi, pemerintah sudah mulai melakukan pengetatan namun masih dalam tahap meningkatkan rasio wajib minimum dari 3 persen menjadi 5 persen. Setelah krisis terjadi pemerintah Orde Baru mulai mengurangi kemampuan bank komersial untuk menciptakan kredit melalui peningkatan rasio cadangan minimum, pembatasan akses pinjaman luar negeri, penghentian pemberian Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), peningkatan suku bunga, serta mulai mengadakan intervensi terhadap pasar valas dengan melebarkan bahkan menghapus rentang kendali rupiah.

14 Zaim Saidi, Soeharto Menjaring Matahari: Tarik Ulur Reformasi Ekonomi Orde Baru pasca 1980, Mizan, Bandung, 1998, h. 20

(7)

Efek dari pengetatan moneter ini adalah terjadinya pelambatan pada roda perekonomian nasional khususnya dunia usaha yang semakin sulit untuk bergerak akibat mahalnya bahan baku serta biaya kredit yang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan antisipasi diantaranya adalah pelonggaran likuiditas dan penurunan suku bunga secara bertahap sesuai dengan perkembangan keadaan. Bahkan pemerintah juga menaikkan suku bunga SBI untuk semua jangka waktu antara 2 sampai 23 persen, kecuali dalam jangka waktu 1 hari tetap sebesar 40 persen. Kenaikan suku bunga SBI berimbas pada kenaikan suku bunga dana antar bank dan deposito.16 Secara khusus tabel kebijakan moneter penting pemerintah dari April 1997 hingga Maret 1998 akan di tampilkan di bawah ini:

Periode Kebijakan

April Peningkatan rasio wajib minimum dari 3% ke 5%

Juli - Pembatasan pemberian kredit oleh bank umum untuk pembelian atau pengolahan tanah, kecuali untuk proyek rumah sederhana (RS) dan sangat sederhana (RSS)

- Pelebaran batas ambang intervensi kurs dari Rp. 192 menjadi Rp. 304 - Melakukan intervensi penjualan pada pasar valas sebesar 1,02 miliar

Dollar AS

- 4 kali menaikkan tingkat suku bunga SBI dari 7% menjadi 30 %

Agustus - Melakukan intervensi penjualan pada transaksi spot di pasar valas sebesar 500 juta dollar AS

- Mengeluarkan instruksi kepada BUMN untuk mengkonversikan deposito mereka dalam bentuk SBI

- Mematok transaksi swap valuta yang tidak ada kaitannya dengan ekspor-impor serta investasi, dengan pihak asing sebanyak 5 juta dollar AS per nasabah.

Oktober - Dua kali intervensi di pasar valas sebesar 300 juta dollar AS

- Kembali Intervensi di pasar valas sebanyak 100 juta dollar AS melalui pelaku pasar lokal dan para pialang.

Maret - Menetapkan tingkat suku bunga bank komersial 150% di atas tingkat suku bungan SBI

- Menaikkan suku bunga SBI 2% sampai 23 %

Ternyata kebijakan pemerintah dalam mengetatkan sistem moneter pada masa krisis belum mampu menanggulangi imbas krisis yang terjadi sebab kebijakan tersebut menuai reaksi negatif dari mayarakat yakni dengan indikasi semakin naiknya permintaan terhadap dollar. Sebabnya adalah tidak adanya kepercayaan dari masyarakat dan para pelaku usaha baik di

(8)

dalam maupun di luar negeri terhadap pemerintah Orde Baru.17 Rupiah pun semakin terdepresiasi. Awal dicabutnya rentang kendali rupiah oleh BI pada 14 Agustus saja telah memerosotkan Rupiah ke angka Rp. 2.820, dua bulan kemudian pada awal Oktober dollar makin naik ke angka Rp. 3.400 sehingga ketika pemerintah terpaksa meminta bantuan dana dari IMF pada Oktober 1997, kurs dollar sudah tembus angka Rp. 3.660 yang kembali menguat sedikit di angka Rp. 3.630.18

Kebijakan kedua pemerintah dalam menanggulangi krisis moneter adalah dengan penentuan kurs dan pengawasan devisa. Pada awalnya pemerintah Indonesia menganut sistem penentuan kurs bebas terkendali (managed floating) dan sistem devisa bebas yang berarti keluar masuk modal tidak dibatasi. Pada awal krisis pemerintah masih mempertahankan sistem penentuan kurs namun ketika rupiah semakin melemah pemerintah akhirnya melepaskan intervensi atas rupiah sepenuhnya. Sejak itu sistem yang berlaku di Indonesia adalah mengambang (floating) sepenuhnya sehingga kurs rupiah bergerak bebas atas dollar. Alasannya adalah karena cadangan devisa BI dalam bentuk dollar semakin menipis sementara rupiah semakin melemah atas dollar. Kurangnya dollar akan mengancam kelanjutan impor Indonesia untuk bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat dan untuk kebutuhan produksi dalam negeri.19

Dalam pengambilan keputusan, pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab mengatasi krisis ternyata tidak cepat dan tanggap dalam mengambil keputusan karena harus melewati serangkaian prosedur yang panjang. Hal ini terlihat ketika pada awal terjadinya depresiasi rupiah, dewan moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan dan beranggotakan beberapa menteri serta direksi Bank Indonesia harus mengadakan rapat-rapat yang membahas tentang bagaimana solusi ekonomi Indonesia. Forum kemudian menghasilkan rekomendasi yang seterusnya dilaporkan kepada Presiden. Pembahasan pertama dari rapat-rapat itu adalah tentang opsi-opsi antara mengembangkan nilai rupiah secara bebas ataukah memperlebar batas atas dan bawah kurs rupiah. Menteri Keuangan kemudian menjelaskan opsi-opsi tersebut kepada Presiden yang akhirnya memilih opsi mengambangkan nilai rupiah secara bebas. Keputusan tersebut ternyata malah menambah kepanikan para pelaku usaha dan berimbas buruk pada sektor swasta termasuk mengenai ketidak-jelasan jumlah hutang korporasi.20

17 Tulus Tambunan, h. 142

18 B.E. Julianery, “Rupiah Jatuh Bebas”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, h. 6

19 Tulus Tambunan, h. 156

(9)

Perlu diketahui bahwa utang luar negeri Indonesia yang berasal dari swasta pada tahun 1997 mendominasi hutang luar negeri dengan presentase 58 persen dari keseluruhan utang Indonesia sedangkan hutang pemerintah hanya sekitar 40 persen saja,21 sehingga perusahaan swasta kesulitan dalam membayar hutang yang naik seiring jatuhnya rupiah. Anggapan para pelaku usaha bahwa pemerintah akan membantu mereka dalam kesusahan terbantahkan dengan pemerintah yang memilih menjaga devisa negara daripada menyelamatkan pengusaha yang tidak antisipatif dengan perubahan nilai kurs yang tiba-tiba itu. Imbasnya adalah kepanikan massal masyarakat yang khawatir nilai rupiah yang mereka punyai semakin merosot nilainya sehingga naiknya permintaan dollar menyebabkan nilainya meledak tak terkendali.22

D. Masuknya International Monetary Fund (IMF)

Keterlibatan IMF di Indonesia sejatinya sudah terjadi sejak awal terbentuknya Orde Baru. Dengan masuknya ekonomi Indonesia sebagai negara dengan orientasi bantuan luar negeri (Aid Oriented Policies) , peran IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga donor Internasional telah ikut berkontribusi dalam memenuhi pundi-pundi pinjaman luar negeri Indonesia. Sayangnya pinjaman luar negeri yang dimaksudkan sebagai pendamping pembiayaan pembangunan di samping devisa tersebut ternyata lambat laut menjadi sumber penerimaan utama Indonesia, sehingga Indonesia tidak kunjung mampu melepaskan diri dari hutang luar negeri. Kenyataan tersebut terlihat dari keputusan pemerintah yang segera menggandeng IMF ketika krisis semakin memburuk.

Lembaga IMF diibaratkan sebagai dokter bedah dengan seperangkat alat untuk membedah lokasi penyakit sedangkan Indonesia ibarat orang sakit yang sudah berulang kali berobat kesana kemari namun tak kunjung sembuh dan akhirnya memilih melakukan operasi. Hadirnya IMF sebagai solusi pendanaan pemerintah Orde Baru ketika itu karena memang Indonesia telah menjadi anggota IMF sejak tahun 1967 yang dengannya dapat dimanfaatkan untuk mengembalikan kepercayaan dunia internasional, terlebih lagi IMF mempunyai anggota sebanyak 183 negara, jumlah yang signifikan untuk menarik kembali para investor.

Indonesia yang tengah sakit keras memang membutuhkan dokter dengan obat yang mujarab. Kurs rupiah yang makin jatuh telah membuat Presiden Soeharto akhirnya mengutus menteri keuangan Mar’ie Muhammad untuk berunding dengan pihak IMF. Surat kesediaan

21 Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, h. 22-23

(10)

pemerintah Indonesia kemudian ditandatangani oleh Mar’ie Muhammad disertai dengan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono pada 30 Oktober 1997. Perjanjian itu kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998. Setelah resmi menjadi pasien IMF, Indonesia dipastikan harus menelan pil pahit resep dari IMF demi dana besar yang digadang-gadang akan menyehatkan kembali kondisi perekonomian Indonesia tersebut.23

Ada dua kemungkinan fasilitas pinjaman yang diajukan pemerintah Indonesia kepada IMF ketika itu yaitu, precautionary arrangement ataukah stand-by arrangement (SBA). Dewan Moneter kemudian lebih cenderung kepada fasilitas precautionary arrangement (pengaturan pencegahan) karena dana tersebut hanya akan ditarik apabila sudah sangat dibutuhkan yang berarti IMF tak dapat campur tangan selama dana belum dibutuhkan dengan begitu pemerintah dapat dengan cepat mengembalikan kepercayaan pasar dan publik dengan adanya dukungan dana IMF. Sedangkan SBA mensyaratkan adanya suatu perencanaan program penyesuaian oleh pemerintah dengan beberapa kewajiban kondisional yang harus dipenuhi oleh negara peminjam, dengan begitu barulah IMF mengucurkan dana pinjamannya. Ketatnya syarat-syarat SBA diyakini tidak akan mampu di penuhi oleh pemerintah sehingga keputusan mengambil paket precautionary arrangement lebih disukai oleh Dewan Moneter dan pihak Bank Indonesia.

Meskipun begitu, belakangan Presiden Soeharto sendiri yang memilih mengajukan SBA kepada IMF dan melakukan negosiasi serta penandatanganan kesepakatan kedua pada tanggal 15 Januari 1998. Tindakan Presiden ini menurut Djuwandono tidak melibatkan Dewan Moneter atau pihak BI namun pernyataan ini dibantah oleh Rizal Ramli dan P. Nuryadi yang menduka kuat bahwa tindakan Presiden tersebut berdasarkan saran dari Widjojo dan Ali Wardhana selaku penasehat pemerintah dari kelompok teknokrat ekonom. Hal yang pasti kemudian adalah Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad menulis surat atas nama pemerintah Indonesia dengan maksud meminta bantuan fasilitas stand-by arrangement (SBA) dan bukan

precautionary arrangement.24

Paket pemulihan yang dicanangkan oleh IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997 bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dollar AS. Praktik yang nyata dilakukan pemerintah berdasarkan paket pemulihan ekonomi ala IMF adalah dengan mencabut izin usaha 16 bank umum yang mengakibatkan bank-bank tersebut harus

23 E. Harianto Santoso, “Keterlibatan IMF di Indonesia”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, h. 13

(11)

dilikuidasi pada 1 November 1997 dan mengeluarkan paket deregulasi pada 3 November 1997 yang mencakup penghapusan tata niaga dan fasilitas ekspor, penyederhanaan perizinan dan prosedur impor, dan perbaikan iklim usaha bagi investasi asing.25

Meski begitu nilai rupiah tidak kunjung membaik bahkan sempat mencapai Rp. 15.000 per dollar. Kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri terus merosot sehingga pemerintah perlu membuat nota kesepakatan (letter of intent) yang ditandatangani oleh Presiden pada Januari 1998. Nota kesepakatan tersebut terdiri atas 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan dan reformasi struktural. Ternyata perbaikan-perbaikan yang disyaratkan oleh IMF tersebut tidak ditunaikan secara serius oleh pemerintah sehingga angsuran kedua senilai 3 Milyar dollar yang seharusnya dicairkan pada Maret 1998 terpaksa diundur, padahal Indonesia harus tetap bekerjasama dengan IMF untuk segera kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat internasional. Selain itu Indonesia juga sangat membutuhkan dollar AS untuk membayar hutang luar negeri jangka pendek yang pada pertengahan tahun 1998 akan jatuh tempo sebesar 20 Milyar dollar, membayar bunga pinjaman sebesar 0.9 Milyar Dollar, dan sisanya sebanyak 1.5 Milyar untuk kegiatan ekonomi dalam negeri.26

E. Dampak Pada Sektor Riil

Ketika inflasi melanda Indonesia hingga tahun 1998, kurs rupiah sudah menyentuh angka Rp. 8.025 sekitar tujuh kali lipat dari tahun sebelumnya, harga barang-barang langsung meroket. Secara umum kenaikan harga terjadi pada kelompok bahan makanan, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, komunikasi dan transportasi, namun yang paling terdampak adalah industri makanan. Menurut data BPS, sebuah badan yang mencatat laju inflasi bulanan berdasarkan harga sekitar 200 komoditas, harga daging sapi sebelum rupiah jatuh perkilo adalah Rp. 12.000, tahun berikutnya naik 1.5 persen, harga telur ayam yang tadinya sekilo 2.600 naik seratus persen. Begitu pula dengan harga susu kaleng yang semula 6.821 menjadi 15.523, naik 127.5 persen.27

Dalam bidang industri pengolahan, harga bahan baku dalam dollar menjadi terlampau mahal sehingga mau tidak mau perusahaan mengurangi produksi yang berimbas pada terjadinya PHK. Berdasarkan laporan Departemen Tenaga Kerja tahun 1997, terdapat 93 perusahaan

25 Zaim Saidi, h. 22

26 Tulus Tambunan, h. 211

(12)

yang secara resmi melaksanakan PHK. Hasilnya hampir 4.1 juta orang menganggur seiring dengan bertambahnya perusahaan yang merumahkan karyawannya. Jumlah ini bertambah pada tahun 1998, total sekitar 5.1 juta orang atau sekitar 5.46 persen dari angkatan kerja saat itu. Sektor yang paling banyak merumahkan karyawan adalah sektor industri pengolahan namun tidak sedikit juga yang berasal dari perusahaan konstruksi. Bahkan industri perbankan tak luput dari imbas krisis moneter dengan merumahkan sebagian besar pegawainya karena banyak bank yang ditutup pemerintah.28

Ekspor-impor komoditi non-migas pun ikut kena imbas, sebelum terjadinya krisis (1990-1996) nilai impor non-migas selalu lebih tinggi daripada ekspornya, di awal krisis nilai impor non-migas mencapai 41.5 milyar dollar AS, tapi di tahun 1998 turun hingga 41.5 persen. Ketika krisis, perolehan ekspor non-migas dari tahun 1998 hingga 2001 justru selalu lebih besar daripada impornya. Namun surplus neraca perdagangan tidak bisa dikatakan karena membaiknya kinerja ekspor non-migas. Kegiatan ekspor non-migas justru turun setelah naik 17.24 persen pada tahun 1997, selama dua tahun menurun sebesar 3.65 persen (1998) dan 4.57 persen (1999) dan baru meningkat sebesar 22.82 persen pada tahun 2000. Kesimpulannya pemerintah tak bisa mengandalkan penghasilan dari sektor non-migas selama krisis karena kegiatan perdagangan justru melambat.29

Hal ini berbanding terbalik dengan sektor pertanian dimana bahan bakunya tidak bergantung pada ekspor kecuali pupuk dan pakan ternak, sementara produk hasil pertanian di luar beras dan tanaman pangan lainnya umumnya diekspor sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sektor pertanian mencapai hasil yang positif serta relative tidak terpengaruh dengan gejolak kurs yang terjadi. Produk sub-sektor perkebunan seperti kelapa sawit, coklat, dan cengkeh menjadi primadona ekspor begitu pula dengan sub-sektor perikanan khususnya udang dan tuna. Depresiasi rupiah telah meningkatkan penghasilan petani maupun pengusaha agribisnis lainnya. Kebutuhan tenaga kerja di bidang pertanian juga semakin meningkat. Meski begitu pengaruh gangguan alam seperti kemarau panjang, kebakaran, serangan hama atau banjir telah menurunkan penghasilan dari sektor ini.30

28 B.E. Julianery, “Pekerja Indonesia: Menganggur atau Menerima Upah Rendah?”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, h, 39

29 B.E. Julianery, “Tak Bisa Mengandalkan Ekspor pada Nonmigas”, Salomo Simanungkalit (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, h, 49

(13)

Sektor keuangan yang justru mengalami peningkatan adalah pegadaian. Kesulitas likuiditas yang dialami oleh rakyat memberi kesempatan kepada Perum Pegadaian untuk mengembangkan usaha yang terbukti dengan pertumbuhan omzet dari pinjaman kepada nasabah yang melejit. Di balik keberhasilan ini memang dapat digambarkan bagaimana kesulitan rakyat pada masa krisis. Pegadaian menjadi salah satu solusi penyelamat para pengusaha karena dapat menyalurkan kredit lebih fleksibel dengan bunga lebih rendah daripada bank serta kemudahan yang bisa di dapatkan dengan menggadaikan barang ke pegadaian. Faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan rakyat kepada pegadaian diantaranya adalah meningkatnya jumlah petani yang gagal panen antara tahun 1997-1998 dan banyaknya korban PHK yang membutuhkan dana untuk membuka usaha baru. Petani menjadi nasabah tetap pegadaian karena kebijakan ekonomi yang tidak sepenuhnya berpihak kepada mereka misalnya ketika harga gabah anjlok, para petani penggadaikan alat-alat pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.31

F. Kesimpulan

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia bukan baru saja terjadi pada akhir masa kekuasaan Orde Baru, namun dapat dilihat sejak masa akhir pemerintahan Orde Lama yang ditandai oleh Stagflasi yakni berhentinya sektor-sektor produksi secara total yang disertai dengan hyper inflasi yang antara lain disebabkan oleh konfrontasi pemerintah terhadap bantuan luar negeri, operasi militer Irian Barat, nasionalisasi perusahaan Belanda tahun 1957-1958, serta instabilitas politik pada masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno. Sedangkan pada krisis moneter 1997-1998, Indonesia sedang diperintah oleh rezim yang sangat sentralistik yang menerapkan otokrasi birokratik (bureaucratic authoritarian) yakni memperalat birokrasi untuk memerintah secara sewenang-wenang, selain itu rezim Orde baru juga menjadikan Indonesia sebuah negara yang sangat bergantung kepada utang luar negeri. Pemusatan kebijakan ekonomi dan politik pada Presiden menyebabkan lahirnya Crony Capitalism

dimana kelompok-kelompok terdekat Presiden memegang posisi penting di bidang sosial, ekonomi dan politik. Hal itu pula yang menyebabkan eratnya hubungan antara pengusaha dan pejabat sehingga menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan mereka. Maka, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pun tak bisa dihindarkan lagi yang menyebabkan krisis moneter berskala kecil kemudian berubah menjadi besar dan mempunyai dampak yang panjang bagi perekonomian Indonesia.

(14)

Karena adanya praktik KKN yang marak terjadi, usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi krisis mengalami kegagalan. Ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin besar yang semakin memperburuk keadaan. Rupiah pun semakin terdepresiasi akibat permintaan dollar yang semakin besar. Karena tak sanggup lagi untuk menahan laju krisis yang semakin memburuk maka pemerintah pada akhir tahun 1997 mengundang IMF untuk ikut serta “mendikte” ekonomi Indonesia sebagai syarat agar mendapatkan dana segar demi menyehatkan kembali perekonomian nasional. Namun begitu ekonomi Indonesia tidak kunjung membaik setelah saran-saran dari IMF ditepat, di sisi lain Indonesia harus terus bergantung kepada IMF untuk memulihkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.

Kemudian akibat nilai rupiah yang terus merosot, ekonomi dalam negeri pun perlahan runtuh. Imbasnya yang terbanyak pada sektor produksi yang mlakukan PHK pada sebagian besar pegawainya. Sektor lain juga ikut terkena utamanya sektor makanan, sandang, transportasi, komunikasi dan lain-lain. Dalam sektor pertanian, nilai komoditas ekspor mengalami pertumbuhan yang signifikan karena jatuhnya rupiah khususnya beberapa komoditas seperti kelapa sawit, coklat, cengkeh dll, meski begitu menurunnya produksi gabah menjadikan Indonesia tak sanggup lagi menjadi negara yang berswasembada pangan. Kesejahteraan petani pada masa krisis tidak bisa dicarikan solusi sehingga para petani harus menggadaikan alat-alat pertanian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kondisi masyarakat Indonesia pada masa krisis boleh dikatakan berada dalam keadaan serba sulit.

G. Daftar Pustaka

B.L Tobing, Fredy, Praktik Relasi Kekuasaan: Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997-1998, Kompas, Jakarta, 2013

Boediono, Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah, Mizan, Bandung, 2016

Bourchier, David & Hadiz, Vedi R. (ed), Indonesia Politics and Society: A Reader, Routledgecurzon, London, 2003

D. Sharma, Shalendra “The Indonesian Financial Crisis: From Banking Crisis to Financial Sector Reforms (1997-200)”, Indonesia, No. 71, April 2001, Southeast Asia Program Publication at Cornell University

(15)

Saidi, Zaim, Soeharto Menjaring Matahari: Tarik Ulur Reformasi Ekonomi Orde Baru pasca 1980, Mizan, Bandung, 1998

Simanungkalit, Salomo (ed), Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, Kompas, Jakarta, 2002

Tambunan, Tulus, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1998

Yudianto, Noor & Santoso, M. Setiawan, “Dampak Krisis Moneter Terhadap Sektor Riil”,

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan hubungan damapak, dan penjelasan tentang krisis moneter juga dampaknya terhadap sector perbankan yang berperan besar memicu krisis

Oleh karena pada masa pemerintahannya, masalah yang dihadapi kebayakan merupakan warisan pemerintahan orde baru yaitu masalah krisis ekonomi dan penegakan hukum. Krisis

18. Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan

Dibandingkan negara-negara lainnya yang sama-sama terkena krisis, Indonesia termasuk negara yang cukup lama bergantung pada bantuan IMF, karena Pemerintah baru membatalkan seluruh

maka permasalahan utama yang ditelaah dan ingin dijawab dalam studi ini adalah mengapa krisis agensi politik teungku dayah di Aceh yang telah dimulai sejak paruh akhir era Orde

Rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pemah terjadi.. perubahan, selama Orde Baru hanya terjadi pada jabatan wakil presiden, sementara pemerintahan

Relevansi Pembredelan Pers pada masa Pemerintahan Orde Baru bagi Pembelajaran Mata Kuliah Sejarah Indonesia Mutakhir Pembredelan yang terjadi pada masa pemerintahan Orde

Ketentuan tersebut masih berlaku setelah Indonesia Merdeka, masa pemerintahan orde lama dan berkembangnya masa awal orde baru. Pemerintah Orde Baru bertekad ingin