• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRISIS EKONOMI TAHUN 1997 1998 DAN DAMPA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRISIS EKONOMI TAHUN 1997 1998 DAN DAMPA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 1

KRISIS EKONOMI TAHUN 1997-1998 DAN

DAMPAKNYA TERHADAP DUNIA PERBANKAN DI

INDONESIA

Andrew Toedjono

2013 013 010

UNIKA Atma Jaya, Ekonomi Pembangunan

ABSTRACT

Economic crisis or monetary crisis became a massive problem for developing countries. In 1997

1998 Indonesia and others Asia Pacific Nation had been chalanged by monetary crisis. The impact of this crisis is the bankruptcy of private banking sectors, and many private banks in Indonesia are closed because they can’t pay the credit and responsibility to the customers. Thus, The Government of Indonesia and Central Bank of Indonesia made such a movement to overcome the crisis. The methods to overcome the crisis are divided into three phases. First phase is policy to overcome the liquidity problem from July 1997 January 1998, Second is the extend policy from January 1998 until rush phenomenon is cooling down in August 1998, and Final phase is restructuring of banking system in Indonesia August 1998 -1999. Afterwards, the crisis made a significant improvement in banking sectors in Indonesia. New regulation has

made, but to make the sectors doesn’t get the same problems in the future the government must

make other policies such as : improvements of human resources in banking sectors, strengthening bank supervision and making a conducive banking environments.

(2)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 2

BAB I

PENDAHULUAN

Pada awal bulan Juli tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang menyebabkan lumpuhnya kegiatan perekonomian karena banyak perusahaan yang bangkrut dan meningkatnya jumlah pengangguran. Kondisi tersebut semakin memburuk dan puncaknya pada tahun 1998 dimana menyebabkan runtuhnya rezim Orde Baru.

(3)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 3

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga Negara – Negara ASEAN juga ASIA Timur pada awalnya disebabkan oleh jatuhnya nilai tukar Negara Thailand yaitu Baht terhadap Dollar sejak pertengahan 1997. Indonesia merupakan Negara yang mengalami dampak krisis yang cukup parah selain Negara Thailand dan Korea. Beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia mengalami imbas yang cukup besar dari Krisis ekonomi Thailand dibanding Negara – Negara lain salah satunya adalah besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis financial, Nasution (1997).

Sementara itu, menurut Menurut World Bank (1998) Ada 4 penyebab krisis ekonomi yang menyebabkan Negara menuju kebangkrutan, Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.

Oleh karena itu, sektor perbankan adalah salah satu sector yang terkena dampak terbesar yang disebabkan oleh krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997. Akibat paket Desember 1988 terjadi liberalisasi perbankan di Indonesia. Salah satu isi dari paket Desember 1988 adalah memeperbolehkan siapapun yang memilki uang setidaknya 10 milyar rupiah dapat mendirikan bank di Indonesia. Oleh karena itu, banyak bermunculan bank – bank swasta di Indonesia sekitar 160an bank baru lahir ditambah 200 bank swasta yang sudah ada. Hal ini adalah penyebab mengapa ada banyak bank yang mengalami kebangkrutan dan gagal kliring pada dekade 90an menuju krisis moneter tahun 1997 – 1998.

Ada lagi faktor lain juga yang menyebabkan terjadinya kebangkrutan pada dunia perbankan, yaitu suku bunga kredit yang lebih tinggi dari suku bunga pinjaman. Akibatnya terjadi negative spread, yang menyebabkan beban para banker terlalu besar. Juga ressesi ekonomi mebuat kredit – kredit yang disalurkan menjadi tidak berarti. Bisa dikatakan, Bank – bank hanya tinggal gedung saja tanpa isi.

(4)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 4

BAB II

LITERATUR

REVIEW

Krisis Keuangan

Krisis ekonomi adalah situasi dimana perekonomian suatu Negara mengalami masa penurunan atau resesi yang berkepanjangan. Penyebabnya yaitu krisis pada sektor keuangan maka, seringkali krisis ekonomi disebut juga dengan krisis moneter. Menurut Reserve Bank of Australia (2012) sebuah sistem keuangan yang stabil sebagai sistem dimana setiap kegiatan transfer dana dari pemberi pinjaman kepada peminjam dapat diakomodasi dengan baik oleh intermediasi keuangan, pasar, dan struktur pasar. Oleh sebab itu, ketidakstabilan keuangan adalah suatu kondisi di mana jatuhnya atau runtuhnya sistem keuangan karena mengganggu kegiatan-kegiatan ini dan memicu krisis keuangan.

Sesungguhnya risiko sistemik selalu melekat pada setiap sistem keuangan, yang menurut Davis (2001) berkaitan erat dengan kekayaan dan kesehatan lembaga keuangan. Dalam kasus lain, kegagalan likuiditas pasar dan kerusakan infrastruktur pasar juga dapat menginisiasi risiko. Dalam makalahnya, Davis (2001) juga menguraikan beberapa kerangka teori yang menjelaskan ketidakstabilan keuangan, yang meliputi: 1) teori debt and financial fragility, 2) teori disaster myopia, and 3) teori bank runs. Teori debt and financial fragility berpendapat bahwa perekonomian mengikuti siklus yang terdiri dari periode pertumbuhan positif dan negative (Fisher, 1933). Dengan kemajuan ekonomi, utang dan kegiatan pengambilan risiko meningkat.Ini menciptakan gelembung aset yang akan mengarah pada pertumbuhan negatif. Sementara itu, teori disaster myopia menunjukkan bahwa ketidakstabilan keuangan dapat disebabkan oleh perilaku kompetitif lembaga keuangan yang mengarah pada suatu kondisi dimana kredibilitas peminjam diabaikan dan risiko dikurangi (Herring, 1999). Di sisi lain, teori bank runs menjelaskan kondisi di mana para investor yang panik menjual aset mereka atau menarik dana mereka karena takut bahwa kondisi ekonomi akan memburuk (Diamond dan Dybvig, 1983, Davis, 1994). Sebagai konsekuensinya, hal ini akan mengakibatkan kemerosotan yang tibatiba pada harga aset dan krisis likuiditas.

(5)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 5

Selain teori-teori dasar ini, beberapa literatur menunjukkan bahwa ketidakstabilan keuangan juga bias disebabkan oleh peran arus modal internasional melalui transmisi internasional, seperti pola perdagangan, tekanan nilai tukar dan investasi asing, yang menyebabkan “efek menular” (lihat misalnya Chongvilaivan, 2010; Glock dan Rose, 1998; Davis, 2001). Sebagai contoh, Krisis Keuangan Global yang terjadi pada tahun 2008 sebenarnya dipicu oleh krisis “subprime mortgage”yang bermula di Amerika Serikat. Meskipun krisis di AS dapat dijelaskan oleh teori-teori di atas, penyebarannya ke daerah lain, termasuk kawasan Asia Timur, disebabkan efek menular dari krisis “subprimemortgage”.

BAB III

PEMBAHASAN

Kondisi Perbankan Pada Sebelum dan Awal Krisis

Sampai denga tahun pertengahan 1997, pertumbuhan sektor perbankan masih sangat baik. Mobilisasi dana dari masyarakat masih meningkat dengan pesat dan ekspnasi kredit masih kuat, terutama sector property. Ekspansi yang berlebihan juga menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khususnya pada Bank swasta nasional, meningkat tajam sebagai tercermin dari cadangan devisa neto yang memburuk dan membesarnya rekening administratif (off balance sheet) dalam rekening valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, kredit tidak lancer (non performing loans) pada beberapa cenderung menigkat dan efisiensi usaha mengalami penurunan. Perkembangan tersebut menyebabkan vulnerability perbankan nasional semakin tinggi, apa lagi ditambah dengan kondisi perekonomian yang naik turun, industry perbankan semakin rentan. Kerentanan tersebut diperparah dengan lemahnya sektor fundamental pada industri perbankan saat itu. Terdapat 5 faktor yang menyebabkan kerentanan pada sektor mikro industri perbankan yaitu:

1. Realtif lemahnya kemampuan manajerial bank telah menyebabkan penurunan kualitas asset produktif dan meningkatnya resiko yang dihadapi bank. Hal ini diperparah dengan lemahnya sistem pengawasan dan sistem informasi internal bank dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan permasalahan kredit serta posisi risiko yang berlebihan. Kelemahan ini semakin membatasi kemampuan bank dalam mengatasi gejolak keuangan yang dihadapi.

(6)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 6

menyangkut struktur perbankan nasional yang dimiliki oleh kelompok – kelompok bisnis tertentu. Masalah lain yaitu, penyaluran kredit bagi usaha yang memiliki risiko kredit yang tinggi, misalnya sector property.Pada sisi pasiva, masalah utama adalah banyaknya penggunaan sumber dana dengan masa jangka pendek dari luar negeri tanpa hedging yang ditanamkan pada proyek – proyek jangka panjang.

3. Adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral kepada suatu bank untuk menjamin kelangsungan hidup bank tetsebut dan menjaga dari kegagalan sistemik dalam industry perbankan sehingga risiko yang dihadapi bank dalam menghadapi kasus likuiditas praktis menjadi bergeser kepada bank sentral. Hal tersebut telah menyebabkan moral hazard dikalangan pengelola dan pemilik bank, yaitu tanapa kekhawatairan akan risiko kekurangan likuiditas, perbankan cenderung mengambil langkah yang kurang hati – hati dalam pengambilan hutang yang berlebihan dan member kredit ke sector- sector yang berisiko tinggi.. Kecenderungan tersebut membuat distorsi dalam pemberian kredit dan meningkatkan risiko terjadinya krisis perbankan.

4. Kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah menyebabkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi keuangan pesuatu bank juga telah melemahkan upaya untuk melakukan control sosial dan menciptakan disiplin pasar. Hal tersebut meberikan kesan negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sehingga meningkatkan risiko sistemik industry perbankan.

5. Sitem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya mampu mengimbangi kegiatan operasional yang dilakukan bank. Hal ini mendorong bank- bank mengabaikan prinsip kehati – hatian dalam kegiatan operasional mereka. Meskipun, system tentang kehati – hatian perbankan nasional telah baik dan mengikuti standar dari Bank for international Settlements, lemahnya law enforcement

dan kurangnya independensi bank sentral membuat langkah – langkah tersebut sulit dilakukan.

Awal kesulitan terjadi ketika nilai tukar rupiah mulai melemah pada Juli tahun 1997, perbankan nasional sudah terkena imbasnya. Melemahnya nilai tukar rupiah membuat meningkatnya pembayaran kewajiban bank yang harus dibayarkan dalam nilai valuta asing.Dilain pihak, tagihan bank dalam bentuk kredit valuta asing nilai ekivalennya meningkat tajam sehinggga, debitur yang bersangkutan tidak mampu membayar kewajibannya. Akibatnya, bank – bank mengalami kesulitan untuk memenuhi pengambilan dana oleh para nasabah. Melemhnya nilai tukar rupiah merupakan sebab awal gelombang kesulitan likuiditas perbankan yang kemudian berlajut sehingga kesulitan likuiditas yang dialami semakin besar.

(7)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 7

mengalami saldo negative pad rekening giro mereka pada Bank Indonesia. Pasokan dana dari PUAB sudah mulai langka dan bunganya sudah mencapai 200% per tahun untuk jangka waktu satu malam (overnight). Bank pemasok dana sudah mulai selektif dalam memasok dananya. Kesulitan dana akibat penarikan yang dilakukan oleh nasabah sudah mulai meluas sehingga terjadinya saldo debet pada rekening giro bank – bank kepada Bank Indonesia tidak dapat dihindari danjumlahnya semakin besar. Bank - bank yang sehat pun mengalami kesulitan likuiditas sehingga juga mengalami saldo debet pada rekeningnya kepada Bank Indonesia. Penarikan dana tersebut sebagian besar terjadi melalui kliring. Hingga 31 Desember 1997 terdapat saldo negatif 25 bank senilai 20,9 trilliun rupiah.

Krisis tahun 1997 – 1999 dialami dalam 3 fase yang mempunyai karakteristik berbeda satu dengan lainnya. Tahap awal kebijakan mengatasi kesulitan likuiditas terjadi pada Juli tahun 1997 sampai januari 1998. Tahap kebijakan lanjutan terjadi pada januari 1998 sampai meredanya fenomena bank rush pada agsustus 1998. Selanjutnya, restrukturisasi perbankan nasional pada agustus 1998 hingga akhir 1999.

Kebijakan Awal Mengatasi risis Likuiditas Perbankan

Untuk menghadapi kesulitan likuiditas sejak Agustus 1997 – Desember 1997 Bank Indonesia memberikan kelonggaran pemberian bantuan fasilitas likuiditas kepada bank- bank berupa : fasilitas saldo debet giro kepada Bank Indonesia,SBI- repo Khusus, Fasilitas Dsikonto(FASDIS), fasilitas surat berharga pasar uang (SBPU).

Sementara itu, untuk membantu bank – bank yang sehat tetapi mengalami kesulitan likuiditas sehingga melanggar ketentuan GWM namun bank – bank tersebut tidak memiliki SBI maka dalam rapat direksi pada 11 September 1997 diputuskan pemberian fasilitas diskonto atau (FASDIS) yaitu berupa Fasdis I, Fasdis-repo dan Fasdis II. Fasdis satu merupakan berjangka 2 hari dan dapat diperpanjang 2 kali, batas maksimum Fasdis I adalah 5%. Fasdis I repo merupakan fasilitas untuk membantu bank sehat tetapi mengalami krisis likuiditas. Fasdis II merupakan bantuan likuiditas berjangka waktu 90 hari dapat diperpanjang maksimum 2 kali dan 30 kali untuk setiap perpajangan. Batas maksimum Fasdis II adalah 3% dari dana pihak ketiga dalam rupiah.

(8)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 8

Pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi krisis. Namun, karena masalah yang menimpa perekonomian masi terus meluas maka pada 8 Oktober 1997 Pemerintah memutuskan untuk meminta bantuan kepada IMF dan menunjuk Prof Widjojo Nitisastro untuk mengkoordinasi langkah – langkah yang harus ditetapkan terhadap gejeolak masalah ekonomi yang berkembang.

Kesepakatan dengan IMF dengan Pemerintah dalam mengatasi krisis dan restrukturisasi perbankan tertuang dalam Memorandum on Economic and Financial Policies yang disampaikan dengan surat pemerintah kepada managing director IMF yang juga disebut Letter od Intent(LoI). Program restrukturisasi perbankan untuk mengembalikan terhadap perbankan yang disusun oleh pemerintah dan dibantu oleh IMF, World Bank, dan Asian Development Bank diawali dengan LoI pada tanggal 31 Oktober 1997.

Sebagai langkah awal penyehatan sector perbankan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan bantuan IMF disepakati bahwa melikuidasi bank yang tidak solvent merupakan tindakan yang wajib dilakukan dalam langka restrukturisasi perbankan. Bahkan, syarat tersebut merupakan syarat utama yang ditentukan oleh IMF. Maka, akhirnya terdapat 16 bank yang dilikuidasi : Bank Harapan Sentosa, Bank Jakarta, Sejahtera Bank Umum, Bank Astria Raya, Bank Pacifik, Bank Guna Internasional, South East Asia Bank, Bank Dwipa Semesta, Bank Pinaesan, Bank Kosagraha Semesta, Bank Anrico, Bank Citrahasta Danamanunggal, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Andromeda, Bank Industri, Bank Mataram Dhanaarta.

Kemrosotan kepercayaan kepada perbankan oleh masyarakat yang makin bertambah sejak terjadi likuidasi 16 bank mengakibatkan kebijakan yang telah diteteapkan semula untuk mencegah dan mengurangi saldo debet bank – bank kepada Bank Indonesia dengan ancaman sanksi yang berat dan bunga yang tinggi atas saldo debet serta denda yang berat atas pelanggaran GWM tidak membuahkan hasil. Setelah 1 Januari 1998 saldo debet masih terus meningkat. Meningkatnya saldo debet dengan jumlah yang besar tersebut bersumber dari kemrosotan kepercayaan masyarakat yang makin lama makin rendah dan tidak dapat dibendung lagi. Kemrosotan kepercayaan juga terjadi bukanhanya dari pihak dalam negeri melainkan juga luar negeri

Kebijakan Lanjutan Untuk Meredakan Krisis

(9)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 9

internasional serta pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Berikut langkah – langkahnya :

1. Program jaminan pemerintah

Dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, pemerintah memperkenalkan program penjaminan pemerintah atas kewajiban umum terhadap para deposan dan kreditur. Skim penjaminan pemerintah bersifat meneyeluruh (Blanket Guarantee) atas kewajiban npembayaran bank umum kepada deposan dan krediturnya baik dalam maupun luar negeri. Meskipu pada awalnya program ini cenderung mennimbulkan moral hazard namun, ternyata program ini membuat masyarakat memiliki kecenderungan untuk meredam masyarakat menarik dananya dari perbankan.

2. Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)

Pada awalnya, lembaga ini berfokus pada identifikasi upaya – upaya merehabilitasi bank – bank bermasalah yang diserahkan oleh Bank Indonesia, karena telah menikmati fasilitas likuidasi 200%, atau memiliki dana CAR kurang dari 5%. Dengan dukungan BPPN, Bank Indonesia mampu lebih efektif dalam melakukan tugasnya sebagai pengawas bank – bank.

Restrukturisasi Perbankan

Dengan meredanya kesulitan likuiditas perbankan dan berkurangnya gelombang penarikan dana, Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian menyiapkan program restrukturisasi perbankan. Program restrukturisasi perbankan tersebut meiliki 2 tujuan yaitu mengatasi dampak krisis dan menghindari krisis yang sama di masa yang akan datang. Langkah – langkah tersebut meliputi 4 langkah :

1. Rekapitalisasi Perbankan

Rekapitalisasi bank – bank merupakan langkah strategis untuk memperbaiki permodalan bank. Kebijakan ini disususun dalam 1 paket yakni:

a. Rekapitalisasi bagi bank – bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan mencapai rasio kecukupan modal (CAR) minimum sebesar 8% pada tahun 2001.

b. Pembersihan bank – bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemilik dan pengurus yang baik.

c. Penutupan bagi bank - bank yang diperkirakan tidak mampu bertahan. d. Penyelesaiaan asset bank yang ditutup

(10)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 10

2. Restrukturisasi Kredit

Aspek ini sangat penting dalam program rekapitalisasi perbankan dan program penyehatan perekonomian secara keseluruhan. Program ini didasari pada program restrukturisasi kredit pada Desember 1988 dan berlaku bagi bank – bank yang direkapitalisasi.

3. Langkah – Langkah Lainnya

Selanjutnya ditempuh langkah – langkah pengembangan infrastruktur perbankan, untuk meningkatkan daya tahan bank – bank dari berbagai gejolak. Salah satunya dengan pendirian lembaga penjamin simpanan (LPS) dan pengembangan bank syariah. Selanjutnya pula dilakukan fungsi penyempurnaan pengawasan bank, yaitu dengan mengutamakan penegakan hokum (law enforcement) dan meningkatakan frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada isiko yang dihadapi oleh setiap bank.

BAB IV

PENUTUP

Pemantapan sistem perbankan

Keberhasilan mengatasi krisis dengan berbagai upaya yang diuraikan diatas menyebabkan perbankan Indonesia siap pemulihan kondisi dan memenuhi fungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan. Awal untuk mewujudkan hal tersebut terlihat sejak Juli 1999 ditandai dengan 3 parameter utama untuk mendorong percepatan pemulihan perbankan yaitu stabilitas kurs dengan mata uang dollar sebesar Rp 7000/ US Dollar, penurunan suku bunga sebesar 15% pertahun untuk deposito berjangka 3 bulan. Perkambangan disamping ini juga menghilangkan negative spread, juga mendorong perbankan untk menyalurkan kredit yang tidak memberatkan pengusaha juga penurunan inflasi yang mendoron perbankan melakukan ekspansi kredit.

Namun, upaya pengembangan perbankan dimasa yang akan dating perlu dirancang dengan baik untuk menghindari terjadinya krisis yang sama. Berikut beberapa cara :

1. Peningkatan integritas sumber daya manusia pada sector perbankan 2. Pemantapan pengawasan bank

(11)

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan 11

DAFTAR PUSTAKA

Asian Development Bank (ADB). (1999). Asian Development Outlook 1999, Manila: Asian Development Bank.

Mishkin,F.(2004).Economic of Money Bankings and Financial Markets.New York: Pearson.

Museum, P. (2007) Dampak Krisis Moneter Terhadap Sistem Perbankan.

http://pekerjamuseum.blogspot.com/2007/10/dampak-krisis-moneter-terhadap-sistem.html. Diakses tanggal 14 Mei 2015.

Suruji, A. (1998). Laporan Akhir Tahunan Bidang Ekonomi Tahun 1998.

http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htm. Diakses tanggal 5 Mei 2015

Sejarah Bank Indonesia periode V 1997 - 1999. (1999). Bank Indonesia pada Masa Krisis Moneter.

Tarmidi, L. (1999). Krisis Moneter di Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran . Buletin ekonomi Moneter dan perbankan. Maret 1999

Museum, P. (2007) Dampak Krisis Moneter Terhadap Sistem Perbankan.

Referensi

Dokumen terkait

Teori pembangunan Chenery (2007) memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perekonomian negara

discourage a potential bully. VI There are several school bullying prevention programmes that can be 45 adapted to meet the needs of individual communities. Heroes Among Us and

The research result is the forming of data basis management that would be used to a decision support system to determine a health level of KSP/USP, the forming of decision system

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ayem dan Nugroho (2016) yang mengambil variabel

Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan, maka penulis hanya akan membahas tentang pengaruh hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang terhadap ketepatan waktu laporan

DESA MUARA TUBOQ KECAMATAN TABANG KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA RENCANA ANGGARAN BIAYA. PENYUSUNAN DOKUMEN AMDAL DAN IZIN

Menurut Utami (2010:253), Secara umum promosi penjualan yang dijalankan oleh ritel mempunyai beberapa tujuan antara lain: mempertahankan minat pelanggan untuk tetap berbelanja

Dari hasil penciptaan ini dapat disimpulkan bahwa : serat alam selain kapas, terutama yang berserat dan memiliki tekstur kasar, seperti jomok dan serat nanas dapat