• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah atau kawasan yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran air di bawah tanah. Wilayah ini dipisahkan dengan wilayah lainnya oleh pemisah topografi yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan (Linsleyet al. 1989). Arsyadet al. (1985) menyebutkan bahwa secara operasional DAS didefinisikan sebagai wilayah yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam sungai yang sama pada sungai tersebut. Kartodihardjoet al.(2004) memandang DAS sebagai sumber daya alam yang berupastockdengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat.

Kesatuan wilayah hulu dan hilir (interdependensi) DAS dapat digambarkan melalui fenomena kerusakan satu area di dalam DAS maka efeknya akan dirasakan oleh bagian lainnya dalam DAS tersebut. Jadi apabila penutupan hutan di daerah hulu DAS rusak maka akan mengganggu fungsi hidrologis DAS yang pasti akan dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah hilir. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa DAS perlu untuk dikelola dengan baik. Upaya pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan upaya penggunaan sumber daya alam di dalam DAS secara rasional untuk mendapatkan produksi maksimum dalam waktu yang tidak terbatas, menekan kerusakan (degradasi) seminimal mungkin serta diperoleh water yieldyang merata di sepanjang tahun. Tujuan dari pengelolaan DAS adalah keberlanjutan (sustainability) yang diukur dari pendapatan, produksi, teknologi, dan erosi. Teknologi yang dimaksud yang dapat dilakukan oleh petani dengan pengetahuan yang dimilikinya tanpa intervensi dari pihak luar.

Kondisi sumber daya alam DAS dalam menyangga sendi kehidupan dewasa ini mulai terancam seiring dengan terjadinya perubahan penggunaan lahan dan degradasi hutan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Penurunan luasan hutan dalam DAS telah berdampak pada meningkatnya aliran permukaan, debit puncak banjir, dan erosi (Pertiwiet al. 2011, Alwiet al. 2014, Nurrizqi dan Suyono 2012).

Erosi tanah merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dan ditemui di seluruh DAS. Pengaruhnya bersifat langsung (on site) dan tidak langsung (off site). Pengaruh langsung adalah penurunan produktivitas lahan dan produksi tanaman, sedangkan pengaruh tak langsung dapat berupa siltasi reservoir, saluran dan sungai, penurunan pasokan air, penurunan kapasitas energi listrik, banjir, kerusakan jalan akibatlandslide, dan lain-lain.

Kerugian yang ditimbulkan oleh erosi tanah cukup besar, karena mengikis dan mengangkut sebagian tanah, misalnya kehilangan tanah yang terjadi pada lahan pertanian di Amerika dan Montana yang masing-masing mencapai 1.3 juta

ton/tahun dan 5.50 ton/ha/tahun serta padang rumput di Wyoming yang telah menyebabkan erosi mencapai 5.10 ton/ha/tahun (USDA 2000).

Proses erosi terjadi melalui penghancuran, pengangkutan, dan pengendapan (Meyeret al.1991; Utomo 1987; dan Foth 1978). Di alam terdapat dua penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Pada daerah iklim tropika basah seperti Indonesia, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh berarti (Arsyad 2010). Beasley (1972) dan Hudson (1978) berpendapat, bahwa erosi adalah proses kerja fisika yang keseluruhan prosesnya menggunakan energi. Energi ini digunakan untuk menghancurkan agregat tanah (detachment), memercikan partikel tanah (splash), menyebabkan gejolak (turbulence) pada limpasan permukaan, serta menghanyutkan partikel tanah.

DAS Lawo merupakan salah satu DAS di Sulawesi Selatan yang kondisinya saat ini sangat urgen untuk di tangani, terdapat areal seluas....yang penggunaanya tidak sesuai dengan peruntukannya yaitu yang seharusnya di peruntukan untuk kawasan hutan dan areal ber vegetasi tetap telah di konversi menjadi pertanian lahan kering.

Perencanaan penggunaan lahan yang tepat di DAS Lawo sangat di butuhkan guna mereduksi permasalahan-permasalahan pengelolaan DAS, untuk perlukan suatu evaluasi kemampuan lahan, karena dalam klasifikasi kemampuan lahan diatur pola penggunaan lahan sesuai dengan daya dukungnya. (Panhalkar S 2011; Ayalew G dan Yilaket al.2014).

Klasifikasi kemampuan lahan merupakan upaya untuk mengevaluasi lahan untuk penggunaan tertentu, sedangkan evaluasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Sitorus RPS 2010). Selanjutnya Arsyad (2010) mengemukakan bahwa klasifikasi kemampuan lahan adalah interpretasi yang didasarkan pada pengaruh gabungan unsur lahan seperti iklim dan sifat-sifat tanah yang permanen seperti ancaman kerusakan tanah, faktor pembatas penggunaan, kemampuan produksi dan syarat-syarat pengelolaan tanah. Lereng, tekstur tanah, kedalaman tanah, tingkat erosi tanah yang telah terjadi, permeabilitas tanah, kapasitas menahan air, jenis mineral liat adalah kualitas dan sifat-sifat lahan yang permanen. Vegetasi berupa pohon, semak belukar atau rumput bukan sifat permanen lahan.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji karakteristik biofisik DAS Lawo (evaluasi kemampuan lahan dan prediksi erosi) untuk pengembangan usaha tani berbasis murbei berkelanjutan, serta mengkaji pengaruh tipe usaha tani berbasis murbei terhadap aliran permukaan dan erosi dilahan usaha tani. Hasil kajian dimaksudkan untuk menentukan arahan lokasi pengembangan usaha tani berbasis murbei.

Bahan dan Metode Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis tanah di laboratorium.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Seperangkat peralatan survey seperti peta kerja,Geographycal Position Sistem (GPS),abney levelatau clinometer, pisau, meteran, kompas, bor tanah, ring sample, kantong plastik, kamera,stopwatch,dll.Peralatan lain adalah seperangkat peralatan pengukur erosi dan aliran permukaan yaitu petak erosi, dan penampung air aliran permukaan dan tanah yang tererosi. Selain itu diperlukan peralatan laboratorium, alat tulis kantor (ATK), serta seperangkat komputer lengkap.

Jenis, Sumber dan Kegunaan Data

Data yang dihimpun dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder yang meliputi data biofisik dan sosial ekonomi (Tabel 9). Data sekunder berupa peta-peta digunakan untuk membuat satuan lahan. Selanjutnya dari satuan lahan tersebut ditentukan satuan lahan pengamatan dan lokasi pengambilan sampel tanah dan responden.

Tabel 9 Jenis, sumber dan kegunaan data

No. Jenis Data Sumber Data Kegunaan Data

A. Data Primer

1. Sifat-sifat tanah (bobot isi, total ruang pori, struktur, tekstur, stabilitas agregat, kedalaman tanah, drainase dan permeabilitas, lereng dan batuan di permukaan, C-organik.*).

Analisis sampel tanah di lapangan dan di laboratorium

Analisis karakteristrik lahan, kelas kemampuan dan kesesuaian lahan, analisis erodibilitas dan menduga erosi tanah 2. Penggunaan lahan Analisis Citra Landsat Tm 8.

Liputan Agustus 2013/ground cek

Peta penggunaan lahan

B. Data Sekunder

1. Peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 BAKORSURTANAL Analisis satuan lahan 2. Peta Landsistem 1 : 250.000 RePPProt (Regional Physical

Planning Programme for Trasmigration) 1987

Analisis satuan lahan

3. Peta Tanah Sulawesi Selatan 1 : 250.000

PUSLITANAK Bogor Analisis satuan lahan 4. Data Curah Hujan DAS Lawo Dinas Pekerjaan Umum

Provinsi Sulawesi Selatan

Analisis curah hujan 5. Peta Penggunaan Lahan skala 1 :

100.000

BPDAS Jeneberang Walanae Analisis satuan lahan

6. Surface radar topography

model(SRTM)/ Aster elevasi 90

M

USGS (US Geology Survey) Deliniasi Batas DAS

7. Peta RTRW Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009

BAPPEDA Provinsi Sulawesi Selatan

Analisis Pola Ruang Keterangan : *) Hasil analisa fisika tanah disajikan pada lampiran 13

Metode

Penetapan Satuan Lahan Pengamatan Intensif, Satuan lahan yang dijadikan lokasi pengamatan intensif adalah satuan lahan yang terdapat pada hulu DAS. Satuan lahan ditentukan berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) peta

lereng skala 1 : 100.000, peta jenis tanah skala 1 : 250.00 dan peta penggunaan lahan skala 1 : 100.000. Satuan lahan yang diperoleh ini dijadikan sebagai objek pengamatan dan unit analisis untuk prediksi erosi dan evaluasi kemampuan lahan.

Evaluasi Kemampuan Lahan, Penilaian kelas kemampuan lahan pada setiap satuan lahan di wilayah studi dilakukan dengan menggunakan kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Tabel 10 dan Lampiran 1) yang dikemukakan Hockensmith dan Steel pada tahun 1943, dan Klingebiel dan Montgomery pada tahun 1973 (Arsyad 2010).

Tabel 10 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan Faktor penghambat/

Pembatas1)

Kelas Kemampuan Lahan

I II III IV V VI VII VIII

1. Lereng permukaan A B C D A E F G

2. Tingkat erosi e0 e1 e2 e3 (**) e4 e5 (*)

3. Kedalaman tanah k0 k1 k2 k2 (*) k3 (*) (*)

4. Tekstur lapisan atas t1,t2, t1,t2, t1,t2, t1,t2, (*) t1,t2, t1,t2, t5

t3 t3 t3,t4 t3,t4 t3,t4 t3,t4

5. Tekstur lapisan bawah Sda sda Sda sda (*) sda sda t5

6 Permeabilitas P2,P3 P2,P3 P2,P3 P2,P3 P1 (*) (*) P5 P4 P4 7. Drainase d1 d2 d3 d4 d5 (**) (**) d0 8. Kerikil/batuan b0 b0 b1 b2 b3 (*) (*) b4 9. Ancaman banjir O0 O1 O2 O3 O4 (**) (**) (*) 10.Garam/salinitas (***) g0 g1 g2 (**) g3 g3 (*) (*)

Keterangan :1) kriteria masing-masing faktor penghambat disajikan pada Lampiran 1; * dapat

mempunyai semberang sifat ; ** tidak berlaku ; *** umumnya terdapat di daerah beriklim kering

Pengelompokan lahan ke dalam tingkat kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat, yaitu kelas I sampai kelas VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII. Tanah kelas I sampai kelas IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami.

Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman. Jadi sub kelas adalah pengelompokkan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah, relief, hidrologi dan iklim. Terdapat 4 jenis utama ancaman atau penghambat yang dikenal yaitu: (1) ancaman erosi, (2) ancaman kelebihan air, (3) erodibilitas tanah, dan (4) kelas lereng.

Prediksi Erosi pada Satuan Lahan Pengamatan,Erosi pada setiap satuan lahan pengamatan yang terpilih dihitung dengan menggunakan model Universal Soil Loss Equation (USLE) (Wischmeier dan Smith 1978). Data ini digunakan

untuk menentukan agroteknologi (tindakan) konservasi dan merencanakan lahan usaha tani berbasis murbei di DAS Lawo. Adapun rumus USLE yang akan digunakan untuk prediksi erosi adalah (Wischmeier dan Smith 1978):

A = R K L S C P Keterangan :

A : banyaknya tanah yang tererosi (ton per hektar per tahun) R : faktor indeks (erosivitas) hujan

K : faktor erodibilitas tanah L : faktor panjang lereng

S : faktor kecuraman lereng

C : faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P : faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah

Penetapan nilai faktor-faktor dalam model USLE dapat dihitung dengan menggunakan rumus-rumus atau hasil penelitian yang sudah ada.

Faktor erosivitas hujan (R),Erosivitas hujan adalah jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30) tahunan. Wischmeier dan Smith (1978) menggunakan EI30 sebagai indeks erosivitas hujan, karena hasil perkalian antara energi hujan (E) dengan intensitas maksimum selama 30 menit (I30) tersebut menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan jumlah tanah tererosi. Energi Kinetis hujan, dalam USLE dihitung dengan rumus : E = 210 + 89 log I. Di Indonesia data hujan harian untuk menghitung EI belum banyak tersedia sehingga biasanya menggunakan rumus EI yang dikembangkan oleh Bols (1978) dalam Arsyad (2010).

Menurut Bols (1978), faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai-nilai indeks erosi hujan bulanan dan dihitung berdasarkan persamaan :

R =

= 12 1

)

30

(

i

EI

Nilai EI30 dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Bols (1978) :

EI30= 6.119 + (Rain)1.21(Days)0.47(Maxp)0.53 Keterangan :

EI30 = rata-rata erosivitas hujan bulanan Rain = rata-rata hujan bulanan (cm)

Days = rata-rata jumlah hari hujan per bulan

Maxp = rata-rata maksimum hujan dalam 24 jam setiap bulan

Faktor Erodibilitas Tanah (K), Erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan untuk suatu tanah yang diperbolehkan dari petak ukuran kecil standar dengan panjang 22 m, terletak pada lereng 9% tanpa tanaman. Kepekaan erosi tanah ini sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Nilai erodibilitas tanah dihitung dengan menggunakan rumus Wischmeier dan Smith (1978) :

100K = {1,292 (2,1 M1,44(10-4)(12a) + 3,25 (b2) + 2,5 (c3)} Keterangan :

K = erodibilitas tanah

M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + % debu)(100 - % liat) a = % bahan organik

b = kode struktur tanah

c = kode permeabilitas profil tanah

Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) dihitung berdasarkan persamaan (Wischmeier dan Smith 1978):

LS = (0,0138 0,00965 0,00138 2) S S

X + +

keterangan : X = panjang lereng (m) dan S = kecuraman lereng (%)

Faktor Tanaman dan Pengelolaannya (C), Penentuan faktor C untuk berbagai jenis tanaman seperti pertanaman campuran, murbei, dan lain-lain didasarkan atas berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Lampiran 2). Faktor Tindakan Konservasi (P), Faktor tindakan konservasi juga ditentukan berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Lampiran 3).

Erosi yang dapat Ditoleransikan, Erosi yang ditoleransikan dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Wood dan Dent (1983) yang memperhitungkan kedalaman minimum tanah, laju pembentukan tanah, kedalaman ekuivalen (equivalent depth), dan umur guna tanah (resources life). Adapun persamaannya adalah sebagai berikut :

Etol= LPT

UGT D De − min + Keterangan :

De = kedalaman ekuivalen (Arsyad 2010)

= kedalaman efektif tanah (mm) x faktor kedalaman tanah (Lampiran 4) Dmin= kedalaman tanah minimum (mm) (Lampiran 5)

UGT= Umur guna tanah, yaitu 250 tahun untuk pemakaian secara terus menerus dan intensif (Sinukaban 1989)

LPT = Laju pembentukan tanah, yaitu 1.2 mm/tahun (Sinukaban 1999)

Petak Pengukuran Aliran Permukaan dan Erosi. Aliran permukaan dan erosi pada berbagai tipe usaha tani berbasis murbei diukur di lapangan menggunakan petak erosi.

Petak erosi yang dibuat berukuran 10 m x 2 m. Sekeliling petak erosi dibatasi dengan plastik, sebagian plastik (15 cm) ditanam secara vertikal ke dalam tanah. Bagian bawah lereng pada setiap petak dipasang bak penampung yang berfungsi untuk menampung aliran permukaan yang terjadi dan tanah yang tererosi. Pengukuran dilakukan setiap hari apabila hari sebelumnya terjadi hujan yang menimbulkan aliran permukaan dan erosi (Gambar 4).

Lubang pembuang Ø1 Inch

Gambar 6 Desain petak pengamatan erosi dan aliran permukaan

Tanah yang tererosi ditentukan dengan menganalisis sampel yang tertampung pada bak erosi dengan metode gravimetri. Sedangkan volume aliran permukaan dihitung dengan menakar air yang tertampung pada bagian bawah petak erosi. Selanjutnya tanah hasil erosi yang tertampung pada bak erosi diambil lalu dikeringkan dengan oven dan ditimbang berat kering tanah yang tererosi per satuan luas per satuan waktu kejadian hujan. Total aliran permukaan untuk setiap kejadian hujan dihitung dengan persamaan :

Rp = Rg + (Rcx Lp)

Untuk menghitung aliran permukaan persatuan luas (ha) dapat digunakan persamaan sebagai berikut:

RO = [10.000 m2/luas petak (m2)] x Rp (ltr) dimana:

Rp = aliran permukaan (ltr)

Rg = volume yang masuk bak penampung (ltr) Rc = volume yang masuk ke jerigen (ltr) Lp = banyaknya lubang pembuang RO = aliran permukaan (ltr ha-1) Total erosi dihitung dengan persamaan :

Ep = Pt + Sg x [Vg + (Rc x Lp)] Erosi dalam satu hektar dihitung dengan persamaan:

E = 10 000 (m2)/luas petak (m2) x Ep (g) dimana:

Ep = erosi petak (gr petak-1)

Sg = kadar erosi dalam sampel bak penampung (gr ltr-1)

Vg = volume aliran permukaan yang masuk bak penampung (ltr) Rc = volume aliran permukaan yang masuk ke jerigen (ltr) Sc = kadar erosi dalam sampel jerigen (gr ltr-1)

Lp = banyaknya lubang pembuang E = erosi (gr ha-1).

Plastik terpal lebar 40 cm, 20 cm di tanam dan 20 cm di permukaan tanah Bak/Drum Penampung Jerigen/Ember 30 liter Selang Penghubung Ø 1 Inch Terpal penutup areal tersisa (pada lantai tanah dan diatas petak erosi)

Percobaan dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok. Kelas lereng 6%, 12% dan 18% digunakan sebagai kelompok, sedangangkan perlakuan trdiri dari usaha tani berbasis murbei, usaha tani jagung dan hutan tanaman jati berumur 12 tahun (Tabel 10). Masing-masing perlakuan dibuat 2 ulangan sehingga jumlah total petak pengamatan adalah 30 petak.

Tabel 11 Perlakuan masing-masing petak erosi yang ditentukan berdasarkan tipe usaha tani berbasis murbei dan tipe usaha tani lahan kering yang dominan serta kemiringan lereng yang digunakan untuk pengukuran aliran permukaan dan erosi lapangan

No. Kode

Petak erosi

Perlakuan Kelas Lereng

(%) 1 M1 Murbei 1 6 2 M1 Murbei 1 12 3 M1 Murbei 1 18 4 M2 Murbei 2 6 5 M2 Murbei 2 12 6 M2 Murbei 2 18 7 M3 Murbei 3 6 8 M3 Murbei 3 12 9 M3 Murbei 3 18 10 Hj Hutan Jati 6 11 Hj Hutan Jati 12 12 Hj Hutan Jati 18 13 Pj Pertanian Jagung 6 14 Pj Pertanian Jagung 12 15 Pj Pertanian Jagung 18

Deskripsi masing-masing usaha tani adalah sebagai berikut: 1. Murbei 1 (M1)

Usaha tani berbasis murbei dengan jarak 1.5 m X 0.5 m, dengan sistem pertanian dan perawatan yang intensif. Tipe usaha tani M1 ini dicirikan dengan sistem panen daun murbei yang dilakukan sebanyak 10 kali dalam satu tahun, sehingga 75% dari total luas lahan murbei dalam kondisi selalu tertutup vegetasi sepanjang tahun.

2. Murbei 2 (M2)

Usaha tani berbasis murbei dengan jarak 1.5 m X 0.5 m, dengan sistem pertanian dan perawatan yang intensif. Karakteristik usaha tani M2 dicirikan dengan pola panen daun murbei yang dilakukan sebanyak 6 kali dalam satu tahun. Pola panen daun ini berdampak pada terbukanya lahan usaha tani berbasis murbei selama 6 bulan dalam satu tahun.

3. Murbei 3 (M3)

Usaha tani berbasis murbei yang tidak dirawat, usaha tani bercampur dengan berbagai tanaman buah seperti pisang, mangga, kelapa, dan rambutan secara tidak beraturan namun hasil atau produksi daun murbeinya masih digunakan untuk pemeliharaan ulat.

4. Pertanian Jagung (Pj)

Pertanian Jagung adalah pertanian lahan kering yang diusahakan petani di sekitar lokasi penelitian dan dilaksanakan pada rentang waktu penelitian ini. 5. Hutan Jati (Hj)

Hutan jati adalah hutan tanaman jati (Tectona grandis) yang tumbuh di sekitar lokasi penelitian dengan umur tanaman 12 tahun.

Sehubungan dengan penggunaan metode petak kecil dalam pengukuran aliran permukaan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Bahwa aliran alami di sekitarnya ditiadakan, dan sering aliran permukaan mengalir pada satu tempat sepanjang sekat-sekat antar plot, sehingga menimbulkan erosi parit (Gully Erosion).

2. Sesudah kejadian beberapa hujan maka plot-plot akan menjadi lebih rendah dari plat seng/plastik dan bak penampung yang dipasang segaris dengan sudut kemiringan lereng, meskipun penurunannya sedikit kondisi ini akan merubah derajat lereng.

3. Oleh karena plot mempunyai ukuran yang kecil, maka pengelolaan tanah dan perlakuan lainnya akan lebih hati- hati dan lebih cermat, sehingga tidak sesuai dengan cara bertani yang biasa dilakukan.

4. Hampir semua partikel tanah yang terangkut aliran permukaan akan tertampung di bak penampung, proses terjadinya pengendapan sangat kecil, kondisi ini tentunya berbeda dengan proses transport sedimen di lapangan yang mengalami pengendapan pada cekungan-cekungan serta batas lahan usaha tani.

5. Metode petak kecil bertujuan untuk mengetahui nilai laju erosi secara langsung pada tiap kejadian hujan pada masing-masing pola usaha tani.

Sebagai catatan dalam penelitian ini adalah penggunaan metode USLE dalam memprediksi erosi pada masing-masing satuan lahan. Nearing et al. 1994 menjelaskan bahwa metode USLE memiliki kelemahan, diantaranya adalah model tersebut dinilai tidak efektif jika diaplikasikan di luar kisaran kondisi dimana model tersebut dikembangkan. Adaptasi model tersebut pada lingkungan yang baru memerlukan investasi sumber daya dan waktu untuk mengembangkan database yang dibutuhkan untuk menjalankannya. Over estimasi yang bisa terjadi dengan penggunaan USLE dapat mencapai 2.000%, penyebabnya adalah adanya subjektivitas penggunaan data atau karena penggunaan peta skala kecil (Van der Poel dan Subagyono 1998).

Terlepas dari beberapa kelemahan metode USLE, metode ini sampai saat ini telah dan masih diaplikasikan secara luas di seluruh dunia, karena model tersebut mudah dikelola, relatif sederhana dan jumlah masukan atau parameter yang dibutuhkan relatif sedikit dibandingkan dengan model-model lainnya yang bersifat lebih kompleks (Nearinget al. 1994; Lal 1994; Schmitz dan Tameling 2000; ICRAF 2001). USLE juga berguna untuk menentukan kelayakan tindakan konservasi tanah dalam perencanaan lahan dan untuk memprediksinon-point sediment losses dalam hubungannya dengan program pengendalian polusi (Lal 1994). Pada tingkat lapangan (field scale), USLE sangat berguna untuk merumuskan rekomendasi atau perencanaan yang berkaitan dengan bidang agronomi (agronomic proposal), karena dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihanland usedan tindakan konservasi tanah yang ditujukan untuk menurunkanon-site effectdari erosi (ICRAF 2001).

Tarigan dan Sinukaban (2001) menyatakan bahwa USLE berfungsi baik untuk skala plot, sedangkan untuk skala DAS, hasil prediksi saja dapat berlebihan. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh filter sedimen yang tidak terakomodasi. Namun USLE bermanfaat dalam hubungannya dengan on-site effect dari erosi.

Tidak demikian halnya dalam hubungannya dengan off-site effect dari erosi, diantaranya meliputi pengaruh erosi terhadap lingkungan di luar lahan yang tererosi, misalnya kualitas air sungai, kerusakan dam yang disebabkan oleh hasil sedimen.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Satuan Lahan Pengamatan Intensif di DAS Lawo.

Penggunaan lahan di DAS Lawo terdiri atas pertanian seluas 18 697.7 ha (53.2%), hutan yaitu seluas 9 980.22 ha (28.4%), sawah seluas 5 040.34 ha (14.3%), semak belukar seluas 650.01 ha (1.85%), rawa seluas 682.73 ha (1.94 %) dan tanah terbuka seluas 123.67 ha (0.4 %). Lahan di DAS Lawo didominasi oleh jenis (grup) tanah Dystropepts (21 637.05 ha atau 61.5%). Hasil tumpang tindih peta jenis tanah, peta lereng dan peta penggunaan lahan, menunjukan bahwa DAS Lawo terdiri atas 25 satuan lahan (SL).

Selanjutnya yang menjadi fokus dalam analisis penelitian ini adalah sebanyak 20 satuan lahan yang terdiri dari satuan lahan nomor 1, 2, 3, 4 sampai dengan satuan lahan nomor 20. Penetapan satuan lahan nomor 1- 20 didasarkan atas pertimbangan bahwa pada satuan lahan nomor 21, 22, 23, 24, dan 25 merupakan area dengan penggunaan lahan sawah dan belukar rawa (Tabel 12 dan Gambar 5), yang penggunaan lahannya dipertahankan sebagaiman fungsinya sebagai penyangga pangan nasional dan daerah resapan air di DAS Lawo.

Karakteristik pertanian lahan kering di DAS Lawo diusahakan secara tradisional, kondisi ini terlihat dari belum adanya input teknologi pertanian modern dalam pengolahan lahan. Pertanian lahan kering di DAS Lawo dibedakan menjadi dua yaitu kebun campuran dengan komoditi meliputi kakao (Theobroma cacao), pisang (Musa sp), kelapa (Cocos nucifera), kemiri (Aleurites moluccana), kebun murbei (Morus sp) dan rambutan, serta mangga dengan komposisi yang tidak beraturan serta kerapatan tajuk jarang sampai dengan rapat. Sedangkan komoditi pertanian tanaman semusim yang diusahakan antara lain jagung (Zea mays ssp. mays), dan kacang tanah (Arachis hypogaeaL.) serta padi ladang (Oryza sativaL.). Secara umum pengelolaan lahan pada lahan pertanian di wilayah ini belum

Dokumen terkait