• Tidak ada hasil yang ditemukan

MURYANTO AMIN

Dalam dokumen Analisa Pemikiran Politik Islam pdf (Halaman 43-55)

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965; Email:

muryanto.amin@yahoo.com

Diterima tanggal 31 April 2005/Disetujui tanggal 3 Mei 2005

The government Indonesia has ratification UU Number 32 Tahun 2004 about Local Govern- ment. Ratification of UU Number 32 Tahun 2004 changed UU Number 22 Tahun 1999. For im- plementation UU Number 32 Tahun 2004 Indonesian government has to issue PP Number 6 Tahun 2005 about election ratification local government. One of important issue in PP Number 6 Tahun 2005 and UU Number 32 Tahun 2004 about system of local government election. This article has explored this issue in political analysis. Especially has used theory of election system (Arend Lijphart). The finding is UU Number 32 Tahun 2004 have much weaknesses. Refer to the theory, its system also has contained “oddity”. This system maybe can be grouped as majo- rity run off, but this conclusion is untimely. There is no guarantee direct election for regional leader (Pilkadal) will resulting dominant candidates (get voice more than 50%). In conse- quence, classification as plurality-majority formula is more realistic, though this system is atypical in political system classification.

Keywords: Direct elections, Election system, Local politics.

Pendahuluan

Dalam UU No. 32 tahun 2004 pemilihan kepa- la daerah menggunakan sistem pemilihan “plu- rality-majority” system. Artinya, jika tidak dicapai pemenang berdasarkan suara 25 per- sen lebih, dilakukan putaran kedua. Dengan begitu, jika suatu daerah hanya ada empat ca- lon, tidak perlu harus ada dua putaran. Prob- lemnya, banyak KPUD bersama pemerintah (Bakesbang) yang menganggarkan dua kali putaran pemilihan, padahal di daerah itu ”Pil- kadal” (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) bisa diselesaikan dalam satu kali putaran. Dibandingkan RUU yang diajukan peme- rintah, UU No. 32 tahun 2004 jauh mengala- mi kemunduran. Dalam RUU yang diajukan pemerintah, calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bukan hanya berasal dari par- tai politik, tetapi bisa juga diajukan perseora- ngan, organisasi kemasyarakatan atau keaga-

maan, organisasi profesi dan organisasi oku- pasi. Ada kesempatan bagi claon independen untuk mencalonkan diri sebagai kepala dae- rah. Namun, ayat (2) pasal 56 menegaskan, bahwa “pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik” artinya, UU No. 32 tahun 2004 menutup peluang bagi calon independen (non-partai) untuk menca- lonkan diri menjadi kepala daerah.

Memang, dalam pasal 59 ayat (3) disebutkan bahwa “partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang se- luas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagimana dimaksud dalam pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan”. Bahkan, pada ayat (4) pasal yang sama disebutkan bahwa dalam proses penetapan pasangan ca- lon, partai politik atau gabungan partai poli-

Muryanto Amin Masalah Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung tik memperhatikan pendapat dan tanggapan

masyarakat”. Namun, sejauh tidak ada prose- dur yang jelas bagaimana mekanisme yang harus dilakukan oleh partai politik untuk membuka kesempatan bagi masyarakat men- jadi calon kepala daerah dari partainya: apa- kah pre-election, konvensi baik melibatkan konstituen atau hanya pengurus partai, dan sebagainya.

Problem lain adalah beratnya syarat pengaju- an calon. Dalam UU No.32/2004 disebutkan bahwa, hanya partai politik atau gabungan partai yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau 15% suara pada pileg (pemilu le- gislatif) yang mengajukan calon. Pasal 59 a- yat (2) menyebutkan bahwa partai politik a- tau gabungan partai politik sebagaimana yang dimaksud boleh mendaftarkan calon apabila memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Per- soalan, di beberapa daerah, karena besarnya perolehan suara partai tertentu, tidak dimung- kinkan adanya calon lebih dari satu. Padahal, semua peraturan perundang-undangan pemilu berisi dua calon kepala daerah.

Disamping isu-isu di atas, banyak persoalan yang harus diselesaikan melalui berbagai peraturan baik oleh pemerintah pusat mau- pun perda dan keputusan KPUD, karena tidak diatur secara dalam UU No. 32/2004. beberapa isu penting yang berkaitan dengan hal ini diantaranya adalah mekanisme seleksi panitia pengawas, prosedur pencalonan, sya- rat sebagai kandidat, seleksi panitia pemili- han di tingkat kecamatan dan di bawahnya, cara pencoblosan dan keabsahan kertas suara, dan sebagainya.

Tugas berat sekarang terletak kepada pundak KPUD, sebagai penyelenggara Pilkada. Me- rekalah yang akan “memandegani” proses pemilihan kepala daerah, yang pada pemilu legislatif dan presiden tahun lalu dilakukan oleh KPU. Harus diakui, di tingkat nasional kita memang mempunyai pengalaman me- nyelenggarakan presiden secara langsung. Namun, untuk tingkat lokal, kita belum me- miliki penglaman pemilihan kepala daerah secara langsung. Memang, proses pemilihan

kepala desa, bangsa ini mempunyai peng- alaman cukup lama untuk menyelenggarakan pemilihan secara langsung. Namun, karena ruang lingkup dan cakupan pemilih yang ter- libat sangat terbatas, sehingga tidak bisa dija- dikan acuan sepenuhnya dalam proses penye- lenggaraan pemilihan kepala daerah. Tulisan berikut dimaksudkan untuk mendiskusikan beberapa problem besar pilkada sebagai dampak dari sistem pemilihan yang dianut, implikasi-implikasi sosial politik.

Pendekatan dan Metode

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan sistem politik. Fokusnya adalah pada sistem pemilihan kepala daerah (sistem Pilkada). Metode yang digunakan adalah studi pustaka serta studi dokumen-do- kumen dengan cara analisis perbandingan dan analisis evaluatif.

Sistem Pilkada "yang Bukan-Bukan”

Jika menyimak Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang di da- lamnya mengatur penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung, sistem Pilka- da yang kita anut meggunakan sistem dua putaran. Artinya, jika pasangan calon tidak berhasil mengumpulkan 50%+1 suara atau lebih dari 25% suara, maka diadakan pilkada putaran kedua. Seperti yang tertuang dalam pasal 107 ayat (1), “Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mem- peroleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon ter- pilih”. Dan, pasal 107 ayat (2), “apabila ke- tentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon ke- pala daerah dan wakil kepala daerah yang

memperoleh suara lebih dari 25% dari jum-

lah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasang- an calon terpilih”.

Dalam konsep politik, sistem pemilihan di a- tas dikelompokkan dalam rumpun sistem pe- milihan mayoritarian. Dalam literatur ilmu politik, formula mayoritarian (majoritarian

formula), formula perwakilan berimbang

(proportional representation formula), dan formula semi proporsional (semiproportional

pemilihan dapat dikelompokkan ke dalam tiga model di atas, dalam prakteknya terdapat beberapa variasi atau perbedaan antara satu negara dengan negara lainnya. Misalnya, di beberapa negara yang tidak puas dengan model formula mayoritas dan pluralitas, menggabungkan kedua formula dalam satu model campuaran berupa formula pluralitas- mayoritas.1

Formula mayoritarian pada dasarnya terdiri dari dua bentuk. Pertama, formula pluralitas. Formula ini merupakan paling sederhana dari formula mayoritarian. Beberapa istilah yang biasa dipakai untuk menunjuk formula plura- litas adalah the first past the post, mayoritas relatif (relative majority), atau pluralitas se- derhana (simple plurality). Formula pluralitas ini biasa dipakai dalam pemilihan wakil tunggal (seperti pemilihan presiden, guber- nur, bupati/walikota, dan sebagainya) atau pemilihan badan perwakilan rakyat. Bebera- pa negara yang menerapkan pemilihan presi- den berdasarkan formula ini adalah negara Phi- lipina, Nicaragua, Venezuela, dan sebagainya. Sementara negara-ngara yang menggunakan formula ini untuk pemilihan badan perwakilan rakyat adalah negara Kanada, India, Inggris, Amerika Serikat, dan sebagainya.2

Berdasarkan aturan formula pluralitas, para kandidat atau partai politik akan dinyatakan menang apabila berhasil mengumpulkan sua- ra terbanyak dari pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu, dalam formula semacam ini, sangat mungkin seorang kandi- dat atau partai politik dapat memenangkan pemilihan tanpa harus mengumpulkan suara mayoritas. Sebagai contoh dalam pemilihan suatu distrik terdapat lima kandidat. Masing- masing kandidat berhasil mengumpilkan sua- ra 21, 20, 20, 20 dan 19% suara pemilih. Da- lam kasus semacam ini, kandidat yang ber- hasil mengumpulkan suara 21% dinyatakan sebagai pemenang dan berhak mewakili dis- trik tersebut duduk dalam kursi di lembaga perwakilan rakyat atau legislatif.

1

Arend Lijphart, “Electoral System”, in: Seymour Martin Lipset (ed), The Encyclopedia of Democracy

II, (Washington DC: Congressional Quarterly Inc,

1995).

2

Ibid., 412-422.

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa seo- rang kandidat yang memperoleh suara hanya 21% dapat menang. Jika jumlah kandidat yang ikut bertarung lebih dari lima, dan ma- sing-masing kandidat kekuatan politiknya (dukungan pemilih) hampir sama, maka da- pat diperkirakan kandidat yang menang tidak sampai memperoleh dukungan dua puluh per- sen suara pemilih. Kenyataan semacam inilah yang menjadi problem dalam sistem demokrasi yang mendewakan peranan mayoritas. Mak- sudnya, sistem demokrasi yang mengutamakan prinsip peranan mayoritas dengan mudah dapat dirubah jika seorang kandidat dapat meme- nangkan pemilihan hanya dengan mengumpul- kan suara kurang dari jumlah mayoritas pemi- lih, yang oleh karena itu berarti menentang - atau tidak dipilih oleh mayoritas suara pemilih yang menggunakan hak pilihnya.

Kedua, formula mayoritas. Bentuk paling se- derhana dari formula mayoritas ini adalah formula mayoritas absolut. Pada fomula ini seorang kandidat dinyatakan menang apabila berhasil mengumpulkan separuh suara pemi- lih ditambah satu. Rumus sederhana yang bi- asa dipakai untuk formula mayoritas absolut ini adalah 50%+1. Siapapun kandidat yang verhasil mengumpulkan suara separuh lebih dari pemilih yang menggunakan hak pilih- nya, maka ia berhak mewakili distriknya un- tuk duduk di kursi lembaga perwakilan rak- yat. Formula ini dianggap oleh beberapa pi- hak lebih demokratis, karena kandidat yang dipilih atau didukung oleh separuh pemilih. Dengan begitu, keberatan-keberatan yang di- tujukan pada formula pluralitas dapat tertutu- pi jika menggunakan formula mayoritas. Persoalannya adalah, bagaimana jika dalam pemilihan tersebut tidak ada satupun kandi- dat yang berhasil mengumpulkan separuh le- bih suara. Pengalaman banyak negara yang menerapkan formula mayoritas, kasus sema- cam ini sering terjadi. Hal ini biasanya dise- babkan oleh dua hal: (1).banyaknya jumlah kandidat yang bertarung; (2).relatif merata- nya kekuatan politik yang ikut bertarung, se- hingga menyebabkan suara pemilih habis ter- distribusi ke dalam semua kandidat atau par- tai politik (jumlah dukungan massa) masing- masing kandidat atau partai politik peserta pemilu, betapapun yang ikut bertarung hanya tiga atau empat kandidat; (3).tidak tercapai-

Muryanto Amin Masalah Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung nya koalisi di antara para kandidat yang ver-

tarung dalam pemilu.

Untuk mengatasi persoalan di atas, Lijphart mengajukan dua cara. Pertama, melalui apa yang ia sebut sebagai formula campuran plu- ralitas-mayoritas (mixed majority-plurality for-

mula). Kedua, melalui formula mayoritas pa-

da pemilihan kedua (majority-runoff formu-

la). Pada formula campuran pluralitas-mayo-

ritas mensyaratkan adanya suatu mayoritas suara untuk pemilihan atau pemberian suara pertama. Namun, jika tidak ada kandidat yang berhasil mengumpulkan suara mayori- tas pada pemberian suara pertama, maka di- gelar atau diadakan pemberian suara kedua. Pada pemberian suara kedua inilah diterap- kan prinsip formula pluralitas. Artinya, pe- nentuan pemenang pada pemberian suara ke- dua didasarkan pada kandidat yang berhasil mengumpulkan suara terbanyak. Siapa kan- didat yang berhasil mengumpulkan suara ter- banyak pada pemilihan kedua berhak mewa- kili distriknya duduk di kursi lembaga perwa- kilan rakyat. Sistem pemilihan semacam ini diterapkan oleh negara Prancis dalam pemili- han anggota legislatif nasional.3

Betapapun sistem sistem pemilihan ini tidak menjamin pemenangnya berhasil mengum- pulkan suara mayoritas, namun sistem ini lebih mungkin dapat bekerja berdasarkan tiga alasan berikut: (1).para pemilih tidak meng- inginkan suaranya hilang atau terbuang (was-

ted) maka cenderung menggunakan suaranya

untuk diberikan pada kandidat yang telah mempunyai dukungan besar; (2).kandidat yang relatif lemah pada pemberian suara per- tama biasanya akan menarik diri pada pem- berian suara kedua, yang umumnya kemudi- an diikuti dengan penggabungan pada kandi- dat kuat yang disukainya; (3).suatu sistem

threshold biasanya mampu mengeluarkan pe-

serta pilkada yang posisi atau dukungan mas- sanya lemah. Di Perancis misalnya, undang- undang pemilunya secara otomatis mendepak para kandidat dari pemilihan kedua jika me- reka tidak berhasil mengumpulkan jumlah suara minimum pada pemberian suara per- tama, yaitu 12,5 persen dari jumlah pemilih yang mempunyai hak pilih.

3

Ibid.

Sementara itu, formula majority runoff ada- lah pemilihan yang diikuti oleh hanya dua kandidat yang memperoleh suara terbesar pada pemilihan putaran pertama. Artinya, ji- ka pemilihan putaran pertama tidak ada seo- rang pun kandidat yang berhasil mengumpul- kan suara mayoritas, maka digelar pemilihan putaran kedua dengan hanya diikuti oleh dua kandidat yang pada putaran pertama berhasil memperoleh suara terbesar. Formula majori-

ty runoff ini dapat menjamin pemenang ber-

dasarkan suara mayoritas. Beberapa negara yang menerapkan formula ini adalah negara Austria, Brazil, Chili, Peru, Polandia, dan portugal dalam pemilihan presiden. Sejak ta- hun 1994, Finlandia juga menggunakan for- mula ini untuk pemilihan presiden.

Cara lain yang dapat digunakan untuk meng- atasi persoalan yang muncul akibat tidak ter- penuhinya suara mayoritas pada pemilihan putaran pertama adalah dengan metode yang ditawarkan oleh Blais dan Massicote, yang disebut sebagai formula suara alternatif (alternative vote). Formula ini dipakai di ne- gara Australia untuk memilih anggota lemba- ga perwakilan rakyat dan di negara Irlandia untuk pemilihan presiden. Prosedur pemili- han ini agak rumit, terutama pada saat penen- tuan siapa yang berhak sebagai pemenang pemilihan. Singkatnya, jika pada pemilihan putaran pertama tidak ada seorang pun kan- didat yang berhasil mengumpulkan suara ma- yoritas, jalan keluar yang ditawarkan adalah melakukan pemilihan putaran kedua dengan menggunakan prinsip preferential ballot. Pada pemilihan putaran kedua ini, para pemi- lih diminta untuk merangking kandidat sesu- ai dengan preferensinya. Misalnya, rangking pertama diberikan pada kandidat A, kemudi- an rangking berikutnya secara berturut-turut diberikan kepada B, C, D, E, dan seterusnya. Prinsip formula ini adalah mentransfer suara minoritas kemudian diberikan kepada kandi- dat yang memperoleh suara yang lebih kuat sampai tercapai satu pemenang. Namun, bisa saja model alternative vote ini langsung dila- kukan pada putaran pertama, sehingga tanpa melalui dua putaran atau tahap dapat diper- oleh pemenang yang didukung oleh 50%+1.

Sistem ini biasanya disebut dengan sistem pemilihan preferensial.4

Namun, cara ketiga di atas sebenarnya dapat dilakukan tidak melalui dua tahap tetapi melalui satu kali putaran. Caranya adalah, ji- ka dalam satu pemilihan kepala (presiden, gubernur, bupati/walikota) ada lima calon, maka pemilih diberikan kesempatan untuk memilih kandidat lebih dari satu (sebanyak calon yang ada) sesuai dengan preferensinya masing-masing. Seperti cara ketiga di atas, pemilih bisa merangking calonnya, misalnya calon A rangking 2, calon B rangking 3, calon C rangking 1, calon D rangking 5, dan calon E rangking 4. Jika ada kandidat yang memperoleh suara 50%+1 maka kandidat ter- sebut dinyatakan sebagai pemenang. Namun, jika tidak ada kandidat yang mendapat suara mayoritas, maka kandidat yang memperoleh suara terkecil disingkirkan, kemudian pilihan keduanya didistribusikan kepada para kandi- dat lainnya. Begitu juga seterusnya. Distribu- si ini juga bisa hanya dibatasi untuk diberi- kan pada dua calon terbesar.5

Dari uraian di atas, betapapun secara garis besar sistem pemilihan kepala daerah lang- sung di atas bisa dikelompokkan dalam rumpun mayoritarian, namun sedikit ada problem teoritis untuk memasukkan dalam varian apa sistem pemilihan kepala daerah yang kita anut. Misalnya, kalau dimasukan varian majority runoff, harus ada kepastian bahwa melalui sistem pemilu yang dipakai akan ada pasangan calon yang memperoleh suara 50% lebih. Namun, dalam sistem pilka- da kita, tidak ada jaminan pasangan calon da- pat suara 50% lebih kecuali terjadi ronde ke- dua atau putaran kedua. Sebab, kalau calon- nya lebih dari dua, bisa jadi akan terjadi pa- sangan calon yang menang hanya mengum- pulkan suara sekitar 26%. Mungkin, lebih tepatnya sistem pilkada kita disebut plura-

lity-majority formula. Atau, mungkin lebih

4

Andre Baliss and Louis Massicote, “Electoral System”, in: LeDuc Lawrence et al (eds),

Comparing Democracies, Election, and Voting in Global Perspective,(New York: Sage Publica-

tions, 1996), 1-9.

5

Andrew Reynolds and Ben Reilly, Electoral

System Design, (Stockholm: International IDEA,

1997), 37-39.

tepat disebut “sistem pemilihan yang bukan- bukan”.

Beberapa Masalah dan Solusi

Jika memperhatikkan sistem pemilihan kepa- la daerah dan berbagai aturan yang mengiku- tinya, ada beberapa problem, dan problem ini merupakan titik rawan dalam mengimple- mentasikannya, dari sistem pemilihan kepala daerah yang kita anut. Pertama, seperti yang disinggung pada pengantar sebelumnya, aki- bat aturan dan mekanisme proses pencalonan kepala daerah yang begitu berat persyaratan, kemungkinan hanya ada satu calon kepala daerah. Pasal 59 ayat (1) menyebutkan, “pe- serta pemilihan kepala daerah adalah pasang- an calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai poli- tik”.

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa “partai politik atau gabungan partai politik sebagai- ma-na yang dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila meme- nuhi persyaratan perolehan sekurang-kurang- nya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pe- milihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”. Dalam penjelasan pasal 59 ayat (1) disebutkan partai politik atau ga- bungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai po- litik yang memilliki kursi di DPRD.

Persyaratan inilah yang terlalu memberatkan. Sebab, dengan ketentuan semacam ini, dae- rah-daerah dimana tidak ada satu pun atau gabungan partai politik yang bisa mencalon- kan diri sebagai pasangan calon, maka akan ada hanya satu pasangan calon. Di beberapa daerah di Bali, perolehan PDIP sekitar 80% suara, sehingga di daerah-daerah ini sulit sekali mendapat dua calon. Bahkan, daerah- daerah yang perolehan suara partai tertentu cukup kuat, sekitar 70%, belum tentu ada partai politik yang berani mengajukan calon. Sebab, dengan besarnya biaya pilkada yang harus dikeluarkan oleh partai politik dan calon, kalau peluang menangnya sicalon sa- ngat kecil, bukan tidak mungkin partai poli- tik yang memenuhi syarat mengajukan calon pun akhirnya tidak mengajukan. Belum lagi,

Muryanto Amin Masalah Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung kalau ada boikot partai-partai kecil, perso-

alannya lebih rumit lagi.

Problemnya, UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005 tidak mengatur tentang hal ini. Sebab, yang diatur dalam UU dan PP tersebut adalah mekanisme pemilihan dua pasangan calon. Pasal 61 UU No. 32/2004 menyebutkan, ”berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 60 ayat (2) dan ayat (4), KPUD menetapkan pasangan calon paling kurang 2 (dua) pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan calon”. Memang dalam PP disebut- kan, “dalam hal tidak terpenuhi 2 (dua) pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPUD mengembalikan kepada par- tai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan dan partai politik atau gabung- an partai politik yang memenuhi persyaratan mengajukan kembali pasangan calon hingga sekurang-kurangnya 2 (dua) pasangan calon”. Artinya, tidak ada aturan sedikitpun yang mengatur jika tidak ada partai politik yang tidak memenuhi persyaratan mengajukan ca- lon, termasuk jika ada partai politik yang ti- dak bersedia menggunakan haknya untuk mengajukan calon sehingga hanya ada satu pasangan calon.

Untuk itu, solusi yang bisa ditawarkan ada- lah, membuat Peraturan Pemerintah Peng- ganti Undang-Undang (Perpu) yang meng- atur tentang hal ini setidaknya ada dua hal yang perlu diatur dalam perpu ini. Pertama, perpu harus memuat bahwa, untuk daerah- daerah dimana hanya ada satu calon, maka partai politik peserta pemilu 2004 mempu- nyai hak untuk mengajukan calonnya. Ke- dua, perlu harus memuat mekanisme muncul- nya calon-calon independen di daerah ini. Tentu, juga harus dimuat persyaratan-persya- ratan bagaimana prosedur pengajuan calon kepala daerah yang baik yang diajukan oleh partai-partai gurem atau calon independen. Untuk partai kecil, misalnya harus memper- oleh minimal 1% pada saat pemilu legislatif 2004. Sementara itu, untuk calon indepen- den, harus didukung oleh 1% jumlah pemilih atau 10 pemilihan yang dibuktikan dengan tanda tangan dukungan KTP.

Kedua, sistem pemilu dua putaran yang dia- nut dijadikan sarana bagi beberapa daerah

(baik melalui KPUD maupun Bakesbang) untuk mengajukan anggaran pilkada secara besar-besaran. Misalnya, dalam persyaratan pengajuan calon, disebutkan hanya partai po- litik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi 15% di DPRD atau mengum-

Dalam dokumen Analisa Pemikiran Politik Islam pdf (Halaman 43-55)

Dokumen terkait