• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Pemikiran Politik Islam pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisa Pemikiran Politik Islam pdf"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

POLITEIA

JURNAL ILMU POLITIK

Volume 1|Nomor 1|Januari 2009

MANAGEMENT DIRECTOR

P. Anthonius Sitepu

CHIEF EDITOR

Muryanto Amin

VICE CHIEF/SENIOR EDITOR

Husnul Isa Harahap

JUNIOR EDITORS

Fuad Hasan Lubis, Didi Rahmadi, Walid Mustafa, Dana Permana

EDITORIAL BOARD

Heri Kusmanto Subhilhar T. Irmayani Tonny P. Situmorang

Rosmeri Sabri Zakaria Taher Ahmad Taufan Damanik

Evi Novida Ginting Warjio

Indra Kesuma Nasution Indra Fauzan Faisal Andri Mahrawa

MARKETING OFFICER

Arrohman Putra Sinaga

Diterbitkan atas kerjasama:

ASOSIASI ILMU POLITIK CABANG MEDAN DAN

LABORATORIUM ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Untuk berlangganan:

Satu tahun (2 Edisi) Rp.80.000,- (belum termasuk biaya pengiriman)

Jurnal Politeia adalah wadah bagi para ilmuan atau peminat masalah-masalah politik dalam menuangkan pemikiran ilmiah. Jurnal Politeia menyampaikan undangan berpartisipasi menulis

kepada siapa saja dengan kriteria tulisan yang sesuai dengan tema politik.

Alamat:

POLITEIA Jurnal Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

(2)

Medan ©Copy Right 2007

Dilarang menggandakan, menerbitkan kembali seluruh atau sebahagian isi jurnal tanpa seizin dari penerbit

(3)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... iii

Analisa Pemikiran Politik Islam

M. SYAMINAN ... 1-6

PAS dan Kerusuhan Etnis di Malaysia

WARJIO ... 7-17

Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

P. ANTHONIUS SITEPU ... 18-28

Partisipasi Pemilih di Kota Binjai pada Pilpres Tahap I Tahun 2004

HUSNUL ISA HARAHAP ... 29-38

Masalah Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung

MURYANTO AMIN ... 39-50

Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

HERI KUSMANTO, RUSTAM EFFENDI DAN LISTIANI ... 51-62

(4)
(5)

Anal i sa Pem i ki r an Pol i ti k Isl am

M. SYAMINAN

Jurusan Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara, Jl. William Iskandar Pasar 5 Medan Estate Medan, 20371, Telepon: 061-6615483/6622925, Fax: 061-6615683.

Diterima tanggal 31 April 2005/Disetujui tanggal 3 Mei 2005

This short article focused on Islamic political thinking. A relation between state and religion is the main theme. Debate about this has created many thinkers like Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Abul A’la al Maududi, Ahmad Lutfi Sayyid (1872-1963), M. Thaha Husein (1889-1973), M. Ali Abd. Al Raziq (1888-1966). Islamic political thinking based Al-Qur’an and Sunnah. But in reality, Islamic political thinking has influenced method of interpreting. This situation can be done because there is different interpreting on Al-Qur’an and Sunnah. This article explores this using interpreting of political history. It’s finding there are three reasoning why it is happened. Firstly the thinkers understanding about history since a period of prophet till a period of Caliph is different. Secondly the way of life’s between text and context also not in parallel. The thinkers made interpreting by see its society growth and others; And, thirdly the experience, knowledge, and ideology is diverse. This differentiations factor has formed pattern of different thinker’s views.

Keywords: Islamic political philosophy, Caliph.

Pendahuluan

Kondisi dunia Islam abad ke-20 tidak ter-lepas dari rangkaian situasi dari abad-abad sebelumnya, bahkan jauh lagi ke masa-masa pertengahan Islam dan klasik Islam dimana bentuk-bentuk pemikiran Islam, sosial, po-litik masih tumbuh di dunia Islam abad ke-20. Meski dalam beberapa hal dari fenomena yang terlihat mensintessa, atau hilang dari tradisi umat bahkan mengambil bentuk-ben-tuk baru yang tidak ada sebelumnya.

Sejarah Islam terangkai dengan kekhususan-nya dengan perkembangan yang mengagumkan di masa klasik, di masa pertengahan mundur secara mengejutkan dan bahkan jatuh di ba-wah kekuasaan kolonial sejak abad 18 hingga akhir abad 19. Dengan sentuhan pikiran Barat umat Islam melihat dunia Islam yang sangat mundur dalam lapangan sosial, ekono-mi, budaya, agama khususnya politik sehing-ga isu besar yang mencuat pada abad ke 19 adalah masalah Islam dan politik (Nasio-nalisme) disamping aktivitas Islam yang menggalang persatuan dan upaya

memisah-kan diri dari kolonialisme dan imperialisme Barat.

Abad ke-18 sering dipandang sebagai abad kegelapan sejarah Islam, gambaran ini ber-pangkal pada perpecahan yang terjadi dalam pemerintahan kesultanan serta kemerosotan secara umum dunia Islam. Persepsi ini dipe-ngaruhi oleh pengetahuan mengenai sebahagi-an dari pengalaman Islam, karena abad ke-19 merupakan periode hilangnya kekuasaan Is-lam dan mereka berada di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Barat.1 Studi ini akan menjelaskan mengapa terjadi perbedaan pan-dangan para pemikir politik Islam dalam melihat hubungan negara dan agama.

Pendekatan dan Metode

Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan tradisional. Artinya pen-dekatan ini menggunakan penpen-dekatan filsafat

1

John Obert Voll, Politik Islam: Kelangsungan dan

Perubahan di Dunia Modern, (Titian Ilahi Press,

(6)

M. Syaminan Analisa Pemikiran Politik Islam

dan etika. Metode pengumpulan data meng-gunakan studi pustaka dan dokumen-dokumen. Analisis data menggunakan metode analisis sejarah. Fokus analisis adalah melihat perbe-daan pandangan-pandangan para pemikir po-litik Islam dan melihat apa yang menyebab-kan munculnya perbedaan pandangan-pan-dangan tersebut.

Perkembangan Pemikiran

Kesadaran eksistensi umat Islam memperoleh momentumnya meski berada dalam tekanan politik di negerinya sendiri, umat Islam ter-obsesi dengan sejarahnya di masa klasik Islam, dengan meneliti sebab-sebab kemerosotan u-mat Islam dan sebab-sebab kemajuan Barat yang spektakuler, sehingga bangsa-bangsa Barat mampu menaklukkan dunia Islam dan menguasainya dengan kuat secara politik. Keprihatinan in melahirkan pemikir Islam yang melihat betapa seriusnya persoalan umat Islam dalam tekanan politik kaum kolonial Barat.

Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) menya-takan keadaan itu merupakan malapetaka ba-gi umat Islam. Bangsa-bangsa Barat melaku-kan campur tangan terhadap masalah-mas-alah umat Islam di negerinya sendiri. Al Af-ghani melihat hal ini pertama kali di negeri-nya Afghanistan, kemudian India, Mesir dan Iran, ia menyaksikan hal yang serupa, yang menebalkan keyakinannya bahwa dunia Is-lam sedang menjadi permainan politik bangsa penjajah dari Barat, khususnya Inggris dan merupakan ancaman yang serius bagi dunia Islam.2

Kekhawatiran Al-Afghan cukup beralasan di-lihat dari posisi umat Islam yang dalam bebe-rapa hal sangat lemah dan merupakan aspek kemunduran kaum muslimin. Para tokoh ke-bangkitan Islam menyebutkan empat sebab utama keadaan tersebut, yaitu, pertama, erosi nilai-nilai Islam dan ketidakpedulian peme-rintah untuk menerapkan peraturan sosio-e-konomi dan etika Islam. Kedua, sikap diam dan kerjasama lembaga ulama dengan peme-rintah yang pada hakikatnya tidak Islami. Ketiga korupsi dan kezaliman kelas penguasa dengan ketergantungannya pada

2

Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove, 1999), hal. 80.

kekuatan imperialis yang tidak Islami.3 Ru-musan-rumusan yang muncul pada fase per-tama kebangkitan Islam dilanjutkan dengan upaya-upaya bagaimana menumbuhkan ke-kuatan politik Islam yang mampu mengang-kat isu-isu sosial politik dan agama dalam kondisi ketertekanan Islam itu sendiri. Hal ini kemudian menumbuhkan kesadaran ideo-logi. Kebangkitan Islam di negeri-negeri Is-lam, selama fase pertama manifestasinya di-tandai dengan bangkitnya perhatian terhadap Islam sebagai ideologi yang memiliki kekua-tan pembebas. Fase penyiapan pondasi ini di-ikuti dorongan untuk menyatakan kembali Is-lam sebagai mekanisme utama yang mengko-ordinasikan masyarakat. Berdirinya negara Islam barangkali merupakan tujuan paling penting bagi para tokoh kebangkitan Islam. Namun ini tidaklah berarti bahwa semua to-koh kebangkitan Islam berpandangan sama mengenai apa itu negara Islam dan bagaima-na menjalankannya.4

Perkembangan sosial politik dan agama yang demikian luar biasa, ditandai dengan serente-tan upaya modernisasi pemikiran Islam, usaha pemikiran dan reformasi pandangan Islam ini tumbuh dan berkembang di dunia Islam dengan keterlibatan sejumlah tokoh dan pemikir ser-ta gagasan mereka. Gagasan itu lahir sebagai reaksi dan keprihatinan yang mendalam ter-hadap situasi sosial, politik dan agama yang telah terkubur dan hampir tidak memiliki di-namika lagi. Sejak abad 1920 itu muncul ide-ide baru yang diinspirasikan semangat pemi-kiran Barat,5

3

Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru

Islam, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 11.

namun tetap konsekwen terhadap Islam. Para pemimpin telah bekerja keras un-tuk menghadapi berbagai tantangan dengan memperbaiki struktur pemerintah dan me-ningkatkan peranannya dalam masyarakat un-tuk mengatasi masalah-masalah baru. Teknik-teknik dan metode digunakan oleh para pengu-asa yang tidak dilakukan oleh tradisi mpengu-asa lalu, mereka ingin melakukan penyesuaian dan mengadopsi segala sesuatu yang potensial un-tuk memperkuat pemerintahan mereka dan da-lam mencapai tujuan-tujuannya. Pada abad 19, sumber-sumber pemikiran bagi tipe pembaha-ruan ini adalah Barat. Pemikiran-pemikiran dan teknik-teknik yang relatif baru baik bagi para

4

Ibid., hal. 10. 5

(7)

pembaharu dan masyarakat, tetapi peran elit politik secara mendasar merupakan kelanjutan dari bentuk Islam adaptif. Tidak satupun pem-baharu yang meninggalkan Islam.6

Analisis Pemikiran

Selama abad ke 19 sampai abad ke 20-an du-nia Islam menampakkan pergolakan dengan corak-corak pemikiran, baik yang mengacu kepada periode awal (klasik) Islam yang menginginkan akomodasi antara Islam dan pemikiran Barat (modern) yang bercorak se-kuler. Khususnya dalam masalah politik (ne-gara) dan agama. Dalam hubungan ini, dike-nal bentuk simbiosis mutualisme, yakni ada-nya hubungan dan ketergantungan yang kuat antara agama dan negara, demikian sebalik-nya. Hubungan yang di dalamnya terdapat kontradiktif–antagonistik dan hubungan yang bersifat lentur, fleksibel, akomodatif atau resiprokal-kritis, hubungan yang saling mema-hami antara posisi keduanya (agama-negara). Dalam konteks dunia Islam muncul tripologi politik Islam dalam tiga tipologi sebagaimana yang disebutkan Ma’mun Murod Al-Brebesy.

Pertama, aliran pemikiran politik yang

ber-pendirian bahwa Islam bukanlah agama seba-gaimana dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi Islam merupakan agama yang paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan ma-nusia, termasuk menyangkut kehidupan ber-negara. Di dalamnya terdapat pula sistem ke-tatanegaraan. Karenanya menurut aliran ini dalam bernegara umat Islam hendaknya kem-bali kepada sistem tata negara Islam dan ti-dak perlu atau bahkan jangan meniru sistem tata negara yang pernah dijalankan Rasulullah Muhammad Saw, dan keempat sahabatnya.

Kedua, aliran pemikiran politik yang

berpen-dirian Islam sebagai agama dalam pengertian Barat yang tidak berkaitan dengan urusan ke-negaraan. Kehadiran Muhammad sebagai Rasul tidak pernah dimaksudkan untuk men-dirikan ataupun mengepalai suatu negara,

6

Munculnya gerakan baru dalam pemikiran Islam tidaklah semata-mata karena sentuhan Barat, tetapi juga didorong oleh ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Lihat John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: Rajawali Press, 1989), hal. xii.

disebut dengan sekularisme yaitu suatu fa-ham yang berusaha untuk memisahkan persoal-an-persoalan keagamaan dan persoalan kenega-raan atau politik. Ketiga, aliran pemikiran poli-tik yang menolak pandangan Islam sebagai agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan, namun berbeda dengan aliran kedua, aliran ini meno-lak Islam sebagaimana agama dalam penger-tian Barat. Aliran ini berpendirian bahwa da-lam Alquran tidak terdapat sistem politik tet-api terdapat seperangkat nilai, etika bagi ke-hidupan dan keberlangsungan suatu sistem politik.7

Tipologi pemikiran tersebut terlihat di berba-gai wilayah kekuasaan Islam, Mesir, Turki, India/Pakistan. Adapun beberapa wilayah se-perti Tunisia, Marokko, Al-Jazair tampaknya mengacu ke wawasan di atas, dan Asia Teng-gara khususnya Indonesia tampak lebih bera-gam dalam menanggapi perkembangan poli-tik dunia Islam. Tipologi pemikiran polipoli-tik pertama terwakili oleh beberapa pemikir seperti Muhammad Rasyid Ridha, Abu A’la al Maududi serta Muhammad Qutb dengan Ikhwanul Muslimin meski perumusannya di antara tokoh memiliki perbedaan-perbedaan tetapi tampak ada kesamaan arah. Muhammad Rasyid Ridha misalnya, tampak masih mem-punyai keinginan untuk mengikat umat Islam lewat Jama’ah Islamiyah (Pan-Islamisme). Sementara Abul A’la al Maududi mendasar-kan pemikirannya pada tiga hal. Pertama, Is-lam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur kehidupan manusia termasuk kehidupan politik. Kedua, kekuasa-an atau kedaulatkekuasa-an tertinggi hkekuasa-anya di tkekuasa-angkekuasa-an Allah dan umat Islam hanyalah pelaksana ke-khasaan Allah atau khalifah Allah di bumi. Ketiga, sistem politik Islam ialah sistem poli-tik yang universal dan tidak mengenai batas wilayah ikatan geografis, bahasa dan kebang-saan.8

7

Ma’mun Murod al Brebesy, Menyingkap

Pemiki-ran Politik Gusdur dan Amin Rais Tentang Nega-ra, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999),

hal. 4-8

Maududi memandang Islam sebagai ideologi holistis seperti ideologi Barat yang dianut pemimpin intelektual muslim. Bukan saja ideologi Barat itu asing bagi pandangan

8

(8)

M. Syaminan Analisa Pemikiran Politik Islam

dunia muslim, tapi juga tidak memadai bagi kepentingan muslim dan lebih-lebih mengan-cam kepentingan muslim,9 tampaknya pemi-kiran Al-Maududi berakar kepada Tauhid.

Ia menganggap bahwa konsepsi itu merupakan konsepsi tentang Tuhan yang benar dan asli sebagaimana yang diterangkan semua Nabi dan Rasul Allah. Bagian pertama dari keper-cayaan Islam adalah “tidak ada Tuhan me-lainkan Allah” suatu pernyataan yang tam-paknya mengakui dengan kukuh tentang ke Esaan Sang Pencipta. Konsepsi tentang Tu-han dengan penekanan sebagai satu-satunnya zat yang berkuasa dan memberi hukum, mem-berikan prinsip pokok otoritas tunduk dan pa-tuh kepada Tuhan berarti membawa seantero hidup manusia ini sesuai dengan kemauan Tuhan yang diwahyukan. Namun dalam tuli-sannya di kemudian hari Sayyid Qutb sema-kin bergerak ke posisi dimana keadaan posisi ini dan otoritas yang mendukung eksistensi-nya harus lebih diutamakan atas pertimbang-an lainnya. Di bawah logika argumennya sen-diri pada saat dia menulis “Ma’alim fi ath

Thariq”, Sayyid Qutb meninggalkan gagasan

individual yang pada mulanya dianutnya. Dan semakin bergerak ke posisi dimana umat se-cara logis dan etis mendahului semua indivi-du yang membentuk umat itu. Hal ini berim-plikasi bagi visi politik Qutb dalam dua hal. Pertama, politik kini kira-kira tak kurang dari menciptakan keserasian ilahiyah di dunia. Kedua, berpolitik berarti menangkap secara intuitif pengetahuan tentang kebenaran mut-lak ini, pola dan keselarasannya diikuti de-ngan pembentukan kembali secara radikal masyarakat manusia yang sesuai dengan rit-menya.10

Tipologi pemikiran politik kedua terlihat da-lam pemikiran-pemikiran seperti; Ahmad Lutfi Sayyid (1872-1963), M. Thaha Husein (1889-1973), M. Ali Abd. Al Raziq (1888-1966). Mesir yang dikenal sebagai kampiun demok-rasi sejak awal kedatangan Barat telah me-ngenal pemikiran-pemikiran Barat yang se-kuler, sehingga pemikir-pemikir yang mun-cul bersifat west oriented sejak masa peme-rintahan Muhammad Ali, telah mengirimkan mahasiswa ke Barat. Taha Husein sendiri be-lajar ke Paris dan Ali Abd al Raziq bebe-lajar di

9

Ali Rahmena, op.cit., hal. 109

10

Ibid., hal. 165-166.

Universitas Oxford, Inggris. Taha Husein melihat Alquran tidak mengatur sistem pe-merintahan, baik secara umum maupun khu-sus. Dengan demikian baik pemerintahan pa-da masa Rasulullah maupun khalifah-khali-fah sesudahnya bukanlah pemerintahan yang didasarkan pada wahyu, melainkan pemerin-tahan insani, sehingga tidak pantas dianggap sakral. Seandainya pemerintahan itu berda-sarkan wahyu Allah, tentunya tidak seorang-pun akan diajak musyawarah oleh Nabi mau-pun keempat khalifah penggantinya.11 Umat Islam sadar terhadap suatu prinsip yang seka-rang in telah diakui secara universal bahwa sistem politik dan agama itu dua hal yang ter-pisah.12 Thaha Husein melihat sistem peme-rintahan merupakan suatu hal yang bersifat rasional dan praktis dengan memisahkan pe-merintahan dari agama merupakan kebutuhan alamiah. Adapun agama adalah sesuatu yang lain begitupun pemerintahan sesuatu yang lain-nya.13 Dalam hal ini umat Islam tidak harus mencontoh pola pemerintahan klasik Islam, melainkan kebebasan untuk memilih sistem pemerintahan yang memajukan, untuk itu perlu memisahkan antara agama dan negara sebagai solusi terhadap persoalan-persoalan antara ke-duanya.

Adapun Ali Abd Al-Raziq, melihat bahwa pe-merintahan dalam Islam bersifat duniawi, temporal, yang berbeda dari pemerintahan Nabi. Adapun pemerintahan Nabi menurut al-Raziq memiliki keutamaan antara lain sifat kereligiusan, berupa atribut terhadap misi ke-nabiannya. Sedang misi kenabian berakhir bersamaan dengan wafatnya Nabi, dalam waktu yang sama keutamaan itu terhenti. Ke-utamaan itu tidak akan diberikan kepada o-rang untuk melanjutkan kenabiannya, dan ti-dak untuk misi kenabiannya.14

11

Ma’mun Murod al Brebesy, op.cit., hal. 67.

Hal ini meru-pakan bukti bahwa kekhalifahan sesudah Na-bi, seperti Khalifah Abu Bakar, Umar, Us-man dan Ali, adalah bersifat politik yang

ter-12

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara

Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1998),

hal. 138-139. Lihat juga, Tesis Doktor Syharin Harahap.

13

John L. Esposito, Islmic Tread: Mythos or

Reality, (New York, 1992). 14

John. J. Donohue and John. L. Esposito (ed),

Islam in Transition Muslim Perspektives, (New

(9)

lepas dari agama, sama halnya perang-perang yang mereka lakukan adalah murni politik. Umat Islam tidak harus mencontoh pemerin-tahan Islam klasik, tetapi yang lebih sesuai dengan kondisi sosio-politik mereka. Lemba-ga politik tidak ditetapkan menurut syar’i melainkan bersifat rasional, duniawi dan temporal. Sementara tipologi ke-tiga diwakili oleh Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Husein Haikal (1888-1956 M) visi politik Abduh terlihat bahwa dalam Is-lam tak ada otoritas final selain otoritas Allah kepada orang-orang yang paling rendah hati di antara kaum muslimin. Dengan otoritas ini mereka menghadapi orang yang paling ang-kuh. Otoritas ini juga diberikan kepada orang terkemuka di antara mereka.

Bingkai pemikiran Abduh ini masih menciri-kan pemerintahan Islam dari pemikiran guru-nya al-Afghani. Melihat Alquran tidak meng-konsepsikan bentuk pemerintahan, melainkan seperangkat nilai-nilai yang termuat di da-lamnya tetapi tidak pula memisahkan agama dari negara seperti yang dipraktekkan bang-sa-bangsa Barat. Ciri pemerintahan Islam ada-lah bersifat simbiosis adanya saling ketergan-tungan antara keduanya.

Dalam hal ini tidak pula berbentuk pemerin-tahan agama, semacam Paus yang dalam ja-batannya berpadu peranan keagamaan dan sipil, syariat menggariskan hak maupun ba-tasan bagi kekuasaan otoritas tertinggi dalam Islam, seperti penguasa entah itu khalifah ataupun sultan. Pemikiran politik Abduh ter-lihat berada di antara klaim yang meter-lihat adanya bentuk pemerintahan agama dan ben-tuk sekuler. Pemikiran Haikal tentang politik (kenegaraan) sebagaimana yang dikutip Mu-nawir Sjadzali, kita dapat melihat dalam buku “al-Hukumiyah al Islamiyah” (Peme-rintahan Islam) bahwa prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan dapat dilihat da-lam dua ayat Alquran yang memerintahkan agar umat Islam berkonsultasi satu sama lain dalam soal-soal bersama (surat Ali Imran a-yat 159 dan al Syura aa-yat 38) itu tidak ditu-runkan dalam kaitan sistem pemerintahan.

Pemikiran Haikal tentang politik bercorak li-beral, umat Islam tidak perlu kembali melihat bentuk pemerintahan klasik Islam, sebab

sa-ngat beragam dan bersifat situasional (kon-tekstual). Umat Islam harus melihat yang ter-baik bagi dirinya pada saat ini, yang menja-min hak-hak dan kewajiban dengan prinsip-prinsip Islam yang berangkat dari ketauhid-an, keadilketauhid-an, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dengan kata lain menurut Haikal: sis-tem pemerintahan yang sesuai dengan keten-tuan-ketentuan Islam adalah sistem yang men-jamin kebebasan dan berasaskan prinsip, bah-wa pengangkatan kepala negara dan kebijak-sanaannya harus persetujuan rakyat, bahwa rakyat berhak mengawasi pelaksanaan peme-rintahan dan meminta pertanggungjawaban.15

Penutup

Tipologi pemikiran politik sebagaimana yang telah dipaparkan, secara umum menggambar-kan ideologi yang sama dalam konsistensi-nya terhadap Islam. Perbedaankonsistensi-nya terletak pada hubungan antara Islam dan politik (ne-gara), dan bagaimana posisi agama (Islam) sebagai pandangan hidup antara tekstual dan kontekstual. Begitu juga pandangan mereka terhadap sejarah politik Islam, sejak masa Nabi hingga di masa-masa kekhalifahan Is-lam, khususnya Khalifah Rasyidah yang me-nunjukkan perbedaan-perbedaan dalam pe-mikirannya, tetapi tidak melepaskan unsur syuro (musyawarah). Setelah masa Daulat Bani Umaiyah dan Abbasiyah hingga kesul-tanan Turki, sampai terjadinya disintegrasi yaitu tidak adanya kesatuan politik Islam. Hal itu menggambarkan hilangnya acuan po-litik Islam yang asasi. Sumber ajaran Islam tidak lagi menjadi acuan kenegaraan, melain-kan kehendak dan kebijamelain-kan sultan. Jika ke-munduran Islam disebabkan hal demikian dan kemajuan Barat dengan sistem demokra-si dan bentuk nademokra-sionalisme, bukan tidak mus-tahil umat Islam menirunya jika hal itu dapat memajukan ummat Islam. Karena itu pemiki-ran politik yang dianggap sekulerpun, seperti Mustafa Kemal, Ali Abdur Raziq dan Thoha Husein tidaklah dapat dikatakan tidak Islam, karena mereka masih teguh pendirian terha-dap Islam. Pemisahan keduanya terletak pada sistem penataan dan pengelolaan pemerinta-han, sedangkan pelaksananya adalah orang Islam. Meskipun demikian tetap menjadi

15

(10)

M. Syaminan Analisa Pemikiran Politik Islam

bincangan yang tidak habis-habisnya dan mengalir hingga kebelahan dunia lainnya sam-pai ke Asia Tenggara khususnya Indonesia.

Daftar Pustaka

Ali, Mukti. 1996. Alam Pikiran Islam Modern di

India dan Pakistan. Bandung: Mizan.

Brebesy, Ma’mun Murod al. 1999. Menyingkap

Pemikiran Politik Gusdur dan Amin Rais Tentang Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Dewan Redaksi. 1999. Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove.

Donohue, John. J. and John. L. Esposito (ed). 1992.

Islam in Transition Muslim Perspektives. New

York: Oxford University Press.

Esposito, John L.. 1994. Ancaman Islam Mitos atau

Realiktas. Bandung: Mizan.

Sjadzali, Munawir. 1998. Islam dan Tata Negara

Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Voll, John Obert. 1997. Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern. Titian Ilahi Press.

_______. 1989. Islam in Transition Muslim

Perspektive.

_______. 1996. Pioner of Islamic revival. Bandung:

(11)

PAS dan Ker usuhan Etni s di Mal aysi a

WARJIO

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965; Email:

mywarjio@yahoo.com

Diterima tanggal 31 April 2005/Disetujui tanggal 3 Mei 2005

The Malaysian General Elections of 1969 is worst general election that ever conducted in Malaysia. That happened because of political problem in Malaysia is highly complex. But actually political reason is main reason. This article explores relation between general election, ethnic riot May 13 1969 and Islamic Political Party (PAS) in Malaysia. As we has been known, when general election 1969 (10 May), the power of UMNO (United Malays Nation Organization), leading party in Malaysia has failed. This has very surprised and not in line with political history general election in Malays. Many Malay people and elite UMNO has disagree. The other side, oppositon party like DAP (Democration Action Party) and PAS got many chairs. This situation has made political situation be hot. Finally, the tragedy 13 May has done. Many people: Malay, China and India has killed. This study has found that in perspective politics, PAS have come to party that exploited by political opponent its (UMNO).

Keywords: General elections, Political parties, Ethnical riot.

Pendahuluan

Politik Malaysia sejak pemilu 1955, 1959 dan 1964 penuh dengan polemik, khususnya di dalam usaha menetapkan identitas kebang-saan. Polemik dan proses penetapan identitas kebangsaan itu terus berlangsung sampai de-ngan pelaksanaan pemilu 1969. Yang mena-rik bahwa pemilu 1969 merupakan satu pun-cak dari polemik dan proses penetapan iden-titas kebangsaan itu. Isu-isu perkauman dan agama yang melibatkan partai-partai politik dalam pemilu 1969 menjadi satu perkara se-rius yang kemudian melahirkan tragedi. Pe-milu 1969 adalah pePe-milu yang paling banyak mendatangkan kerugian baik secara materil maupun jiwa. Ia merupakan pemilu yang pa-ling berdarah-darah. Secara psikologis bahkan pengaruhnya masih dapat dirasakan hingga se-karang ini. Di samping itu, monopoli politik yang selama ini diperlihatkan oleh Perikatan Pemerintah berkuasa dalam pemilu sebelum-nya, telah bergeser pada partai-partai oposisi. Hal ini dikarenakan jumlah suara dan

pero-lehan kursi bagi Perikatan mengalami penu-runan, berbagi dengan partai-partai oposisi.

Sebagaimana diketahui dalam pemilu 1969, Perikatan, yang peneraju utamanya adalah UMNO, mendapat 48.4 persen suara, dan partai oposisi mendapat 51.6 persen suara. Perikatan telah kehilangan 10.1 persen suara jika dibandingkan dengan pemilu 1964.1 Pe-milu 1969 juga merupakan satu babak baru bagi demokrasi yang dijalankan oleh pemerin-tah Perikatan. Dalam kaitan ini, demokrasi yang dijalankan pemerintah Perikatan telah mengalami krisis kepercayaan pada tingkat yang paling rendah. Padahal seluruh partai-par-tai politik peserta pemilu 1969, telah sepakat menyokong demokrasi dan secara tertib melak-sanakan rukun tata tertib pemilu sebagaimana yang telah disepakati bersama. Harapan dari 3,843,782 pemilih2

1

K. J. Ratnam and R.S. Milne, “The 1969 Parliament Election West Malaysia”, Pacific Affairs 2 (Summer, 1970), hal. 203.

(negeri-negeri Tanah

Me-2

(12)

Warjio PAS dan Kerusuhan Etnis di Malaysia

layu; 3,302,184; Sabah; 208,861; dan Sera-wak; 332,737) dari pelaksanaan pemilu 1969 agar pemilu berjalan tertib, aman lancar dan demokratis seakan menjadi harapan yang hampa. Puncak daripada politik perkauman yang dijalankan partai-partai peserta pemilu 1969 ini menyebabkan pemilu ini berakhir dengan tragedi. Sebagaimana dinyatakan o-leh R.K. Vasil,3 isu masa depan bukan Mela-yu dan MelaMela-yu, bahasa, kebudayaan dan pen-didikan merupakan tema-tema yang berkem-bang dan kemudian memanas dalam pemilu 1969. Partai-partai peserta Pemilu 1969 ini memainkan peranan penting dalam proses pe-mantapan identitas mereka melalui isu-isu ini. Padahal pengaruh dari politik polarisasi kaum ini menyebabkan terjadinya bencana bagi mereka. Sikap yang terlalu berlebihan, atau sebagaimana yang disebut Perdana Menteri Malaysia sebagai “ultra”, yang ditunjukkan partai peserta pemilu menyebabkan pemilu berakhir dengan kerusuhan berdarah.4

Jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya pemilu 1969 yang menghasilkan kerusuhan atau tra-gedi merupakan “buah” dari kebijakan yang dijalankan pemerintah menjelang pemilu. Dari aspek politik, kebijakan pemerintah menge-luarkan kertas putih (white papers) yang ber-isi tentang ancaman bahaya komunisme di Malaysia telah mempengaruhi ramai golongan politik dan menimbulkan keresahan. Beberapa kalangan menyikapi “white paper” itu sebagai usaha pemerintah untuk mencari dukungan ser-ta keuangan dari kelompok kapiser-talis internasio-nal.5 Pengeluaran kertas putih yang berpenga-ruh pada penangkapan-penangkapan aktivis politik yang dianggap menjalin hubungan de-ngan pihak komunis, juga ditanggapi sebagai usaha pemerintah untuk mengalih perhatian rakyat dari kegagalan kebijakan-kebijakan pe-merintah dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. Ini merupakan taktik kerajan menjelang pemilu.6

Masalah pengangguran juga menjadi masalah

3

R.K. Vasil, The Malaysian General Elections of

1969, (Singapore: Oxford University Press,

1972).

4

Majalah Opinion (April-May, 1969).

5

Kassim Ahmad, “The White Paper”, Majalah

Opinion (September, 1968). 6

Majalah Banteng (November, 1968).

serius. Dalam tahun 1968 saja lebih dari 50.000 orang Melayu menganggur. Sementara di Ma-laysia sendiri lebih dari 50.000 lapangan peker-jaan telah diisi rakyat asing, Inggeris dan China.7 Sedangkan di tahun 1969 orang Mela-yu hanya mendapatkan 1.0 persentase bagian dari kesempatan mendapatkan pekerjaan dari-pada kompeni-kompeni di seluruh Semenan-jung Malaysia. Sementara orang China menda-pat 22.8 persen, dan sisa sebahagian besarnya dikuasai oleh orang-orang British.8 Kondisi sosial, ekonomi, dan politik Malaysia menje-lang kerusuhan 13 Mei, benar-benar dalam kondisi yang “mengkhawatirkan”. Dalam kai-tan ini, seorang sasterawan, Usman Awang, saat ia berada di Kuala Lumpur telah meng-abadikan keadaan sosial, ekonomi dan poli-tik. Usman Awang menuliskan kondisi itu melalui puisinya yang berjudul “Kambing

Hitam”: Sebelum dan Sesudah 13 Mei. Di

bawah ini sepenggal puisinya itu mengenai keadaan sebelum 13 Mei.

Sepinggan nasi di Stadium Negara Lima belas ringgit cuma

Sengeh para menteri goncang-goncang tangan Senyum para diplomat luar negeri

Ada komentar dalam hati Para tauke gendut bibir lemak Bersama menyanyikan lagu berjaya Untuk mereka yang BERJAYA.K.K.9

Inilah sebuah realitas sosial, ekonomi dan politik Malaysia menjelang pemilu 1969. Se-buah realitas yang akan membawanya ke da-lam sejarah hitam Malaysia.

Pendekatan dan Metode

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan prilaku politik. Atau dapat disebutkan juga sebagai pendekatan prilaku partai politik. Adapun pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dan studi dokumen. Fokus analisis penelitian ini melihat hubungan antara pemilihan umum, PAS serta kerusuhan etnis yang terjadi di Malaysia tahun 1969.

7

Majalah Banteng (Julai-Ogos, 1968).

8

Leon Comber, 13 May 1969: Historical Survey

of Sino-Malay Relation, (Kuala Lumpur:

Heinemann Asia, 1983), hal. 57.

9

(13)

PAS dan Pemilu

Pihak Pemerintah menuduh bahwa tragedi 13 Mei 1969 disebabkan oleh pihak partai oposi-si yang terlalu melampau dalam kampanye pe-milu 1969, khususnya yang menyangkut soal perkauman. Keadaan ini juga mulai membu-ruk ketika pihak komunis mempengaruhi par-tai-partai politik ini. Menurut Funston, 13 Mei 1969 terjadi karena puncak polarisasi etnik yang kian meningkat antara orang Melayu dan bukan Melayu dalam tahun 1960-an terutama disebabkan oleh Partai Tindakan Rakyat (PAP) Singapura dalam arena politik negara pada 1963-1965, (apabila Singapura masuk sebagai komponen dalam negara Malaysia), konflik isu bahasa, serta keadaan orang Mela-yu betapa keadaan mereka jauh tertinggal be-gitu jauh dari proses modernisasi, dan kempen pemilu yang berbau perkauman.10 Ditinjau da-ri sudut politik, tokoh-tokoh politik yang terli-bat dalam pemilu 1969 memberikan gambaran bahwa kerusuhan 13 Mei merupakan “pun-cak“ daripada ketidaksiapan UMNO-Perikatan di dalam menerima hasil pemilu 1969. Seba-gaimana diketahui umum, UMNO-Perikatan telah mengalami kekalahan yang sangat teruk dalam pemilu 1969.

Dalam pemilu 1969, PAS tetap memastikan “identitasnya”, menanamkan “ruh Islam” da-lam masyarakat Malaysia baik dada-lam konteks individu maupun negara melalui negeri-negeri yang dimenanginya. Kenyataan ini seolah ingin menegaskan bahwa PAS tetap komitmen ke atas perjuangannya, menegakkan negara Is-lam. Dalam menghadapi pemilu 1969 PAS te-lah mengadakan berbagai persiapan. Dengan landasan Islam, PAS berkeyakinan pemilu 1969 akan memperoleh suara yang besar. PAS telah menyiapkan garis-garis perjuangannya. Berbagai masalah yang dihadapi oleh rakyat, ditanggapi oleh PAS melalui program partai yang lebih menyentuh pada persoalan rakyat. Misalnya dalam bidang hukum, PAS akan ber-juang menciptakan negara berdasarkan hukum yang berlandaskan hukum dan ajaran Islam serta pandangan Islam bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera dengan kualitas hidup yang tinggi dalam semua lapangan. PAS meyakini cita-cita politik ini akan dapat

10

Zainah Anwar, Kebangkitan Islam di Kalangan

Pelajar, (Selangor: IBS Buku Sdn. Bhd, 1990),

hal. 31.

dilaksanakan walaupun Malaysia terdiri dari berbagai rupa bangsa, sebab Islam tidak un-tuk satu kaum saja, tetapi secara politik, eko-nomi, politik dan sebagainya adalah untuk kepentingan manusia.11

Isu-isu yang berkaitan dengan keperluan rakyat Malaysia seperti persoalan ekonomi, pekerja-an, pelajarpekerja-an, keuangpekerja-an, perburuhpekerja-an, yang serius. Dari isu-isu ini PAS seolah ingin per-paduan menjadi teras untuk membentuk bangsa. Dalam hal pelajaran misalnya PAS ingin nantinya membuat suatu sistem penga-jaran kebangsaan yang gratis. Dalam kaitan bidang ekonomi, PAS mencadangkan beberapa perkara sebagai berikut: (1).Berusaha memper-juangkan agar terlaksananya dan terpeliharanya kemajuan ekonomi negara dan rakyat dengan bersendikan kepada keadilan dalam Islam. Pandangan Islam tentang ekonomi telah nyata, ia tidaklah kapitalistis dan juga tidak sosialis-tis; (2).Berlandaskan pada asas itu PAS akan berusaha agar segala kekayaaan yang ada di dalam negara hendaklah dapat dirasakan nik-matnya oleh rakyat dengan tujuan agar men-jamin hidup bahagia untuk semua dan mem-basmi pengangguran, kemiskinan dan mengha-puskan segala tekan menekan, hisap menghisap di dalam ekonomi ; (3).Meninjau kembali per-aturan-peraturan mengenai distribusi kekayaan negara tercapailah keadilan ekonomi sebenar-benarnya. PAS berpendapat bahwa daerah dan kawasan yang memendam kekayaan negara hendaklah diletakkan di bawah hak dan kekua-saan sistem serikat kerjasama atau kooperatif yang dibangun dengan cara hidup masyara-katnya.

Dengan berlandaskan Islam dalam perju-angannya seperti itu, PAS, oleh lawan-lawan politiknya selalu dicap sebagai partai yang memanfatkan agama untuk kepentingan poli-tik. Dalam kaitan ini PAS telah menemukan kembali “saingan politik utamanya” iaitu UMNO. Baik PAS mahupun UMNO tetap mendasarkan suara mayoritas dari orang Melayu. Sebagaimana skenario politik UMNO dan PAS dalam pilihanraya 1969, konflik ideologi tidak dapat terelakkan lagi. Isu kafir mengkafir antara UMNO dan PAS, sebagai-mana dalam pemilu sebelumnya, kembali ha-dir dan menjadi wacana politik Melayu di

11

(14)

Warjio PAS dan Kerusuhan Etnis di Malaysia

Malaysia. Dalam kaitan ini, menurut pan-dangan Mohammad Abu Bakar, ia telah menambahkan lagi dimensi konfliknya antara UMNO dan PAS yang tetap berpegang kepada idea ketuanan Melayu dan pemerinta-han, dan seterusnya menjadi latar belakang pengibaran idea bahwa mereka yang tidak menghukum dengan hukum Allah adalah kafir, fasik dan zalim. Ayat-ayat dari surah

al-Maidah (44, 4 dan 47) yang menerangkan

sesiapa yang tidak menjalankan hukum Is-lam, meletakkan PAS dan UMNO dalam suasana konfrontasi yang lebih meluas dise-babkan pemerintahan dan administrasi nega-ra yang diwarisi daripada penjajah adalah berbentuk sekular kebaratan. Ternyata sekali bahwa dalam pemilu 1969, persoalan menja-dikan Malaysia sebuah negara Islam, menjadi begitu jelas.12

Sebagaimana dicatat R.K. Vasil, pertengahan tahun 1965 sampai dengan pemilu 1969, me-rupakan periode revitalisasi partai PAS untuk mendapatkan ramai dukungan. Hal ini dise-babkan daerah maupun negeri yang selama ini “punca” suara PAS, seperti Kelantan, Trengganu, Kedah, Perlis, yang mayoritasnya adalah Melayu, banyak mengalami masalah sosial. Di Penang misalnya, di tahun 1967 terjadi kerusuhan etnik antara Melayu dan China. Di samping itu taktik Perikatan yang diterajui UMNO mulai mengaitkan PAS mem-punyai hubungan dengan Partai Komunis Malaya (PKM) di perbatasan selatan Thai-land.13 Sebagaimana yang diketahui, Pemerin-tah Malaysia yang diterajui oleh Perikatan, te-lah mengeluarkan kertas putih (white paper) yang menjelaskan tentang bahaya komunisme. Di dalam satu bahagian yang bertajuk ”Eks-ploitasi Suara/masa Melayu“.14

Kenyataan pemerintah Perikatan melalui ker-tas putih ini, oleh kalangan tokoh politik di-tanggapi sebagai usaha pihak pemerintah un-tuk mengalihkan pandangan rakyat ke atas pemerintah dari kegagalan menangani masa-lah sosial, ekonomi, dan politik untuk menca-ri simpati dan dukungan dalam politiknya. Menarik dan melibatkan PAS dalam isu

12

Mohammad Abu Bakar, “Konservatisme Kafir-Mengkafir dan Konflik Kepartaian Melayu”,

Jurnal Pemikir (Julai-September, 2000), hal. 130. 13

R.K.Vasil, op.cit., hal. 24-25.

14

Ibid., hal. 26.

komunisme ini, berarti menarik simpati pen-dukung PAS untuk menyokong Pemerintah Perikatan, khususnya UMNO. Sebab peme-rintah tahu, isu “keterlibatan” PAS dalam konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia, yang juga dikaitkan dengan isu komunis, telah menyebabkan PAS kehilangan peng-aruh dalam pemilu 1964. UMNO juga tahu bahwa menggunakan isu komunisme akan merusak harapan pendukung PAS yang me-mang sangat “alergi” terhadap isu yang meng-aitkan agama dan etnik. Isu komunis inilah yang kemudian selalu dijadikan topik pembi-caraan tokoh-tokoh UMNO ketika mengada-kan kunjungan ke daerah-daerah, khususnya di wilayah Pantai Timur, tempat perebutan pendokong antara PAS dan UMNO, karena di daerah ini majoritinya adalah orang Mela-yu. Dalam pertengahan bulan April 1969, sa-tu bulan sebelum pemilu berlangsung, Mente-ri Penerangan dan Penyiaran, yang juga pe-mimpin kanan UMNO, Senu Bin Abdul Rah-man ketika mengadakan perjalanan ke Kelan-tan menyatakan bahwa komunis telah “mema-suki kampung” perbatasan.15

Lebih dari itu, saat pilihan umum berlang-sung pihak UMNO menuduh PAS bahwa pihak komunis telah melibatkan diri dan membantu bagi calon-calon PAS yang akan bertanding, -khususnya di Negeri Kelantan. Walaupun tokoh-tokoh UMNO berusaha “mengembalikan“ ingatan rakyat akan baha-ya komunis, menjelang pemilu, tetapi doko-ngan orang Melayu khususnya, tidak berku-rangan. Buktinya PAS memperoleh suara su-ara yang cukup berpengaruh. Walaupun jum-lah kursi Dewan Rakyat yang dimenangi oleh PAS dalam pemilu 1969 hanya 11% daripada jumlah semua kursi dewan rakyat di Malay-sia Barat kursi Dewan undangan negeri di-perolehi oleh PAS hanya sebanyak 14% dari keseluruhan dewan undangan negeri di Ma-laysia Barat, namun tidak ada yang dapat me-nyangkal pemilu 1969 ini merupakan satu kejayaan bagi PAS. Sebagai perbandingan, dalam pemilu 1959 PAS juga mencatatkan sejarah yang menggembirakan dengan mem-peroleh kemenangan 13 kursi Dewan Rakyat dan 42 kursi Dewan Undangan Negeri-Nege-ri. Sedangkan dalam pemilu 1964 PAS hanya

15

(15)

mendapat 9 kursi Dewan Rakyat dan 25 kursi

Dewan Undangan Negeri.16

Kejayaan PAS ini sebagaimana diakui oleh Muhammad Asri, dapat dinilai dalam 2 hal.

Pertama, persentase suara yang diperolehi

PAS, dan yang kedua melebarnya pengaruh PAS dari pantai timur ke pantai barat Malaysia. Dari persentase suara yang dida-pati oleh PAS dalam pemilu 1969 nyata bah-wa PAS telah memperoleh angka suara lebih daripada setengah juta suara dan ini merupa-kan separuh daripada jumlah orang Melayu yang keluar membuang suara. Di negeri-ne-geri Melayu seperti Kelantan, Trengganu, justru PAS lebih unggul daripada UMNO. Se-bagai contoh perbedaan suara PAS dan UMNO -Perikatan dalam pertandingan pemilu di negeri Trengganu dan Perlis. Di Trengganu, PAS mendapat sebanyak 61.619 suara berbanding UMNO-Perikatan yang hanya 59, 384 suara. Pendekatan PAS dengan penuh percaya diri di Trengganu dengan program-programnya yang lebih merakyat dan sesuai dengan ke-perluan; seperti masalah jalan raya, fasilitas umum, kesehatan, masalah agama dan poli-tik, mendatangkan simpati dan pengaruh yang baik terhadap PAS. Dengan semboyan untuk agama, bangsa dan tanah air, PAS ber-hasil mengajak rakyat Trengganu untuk mencoblos gambar “Bulan Bintang”, simbol PAS dalam pemilu 1969. Demikian juga di Perlis, calon PAS, Hussein Abdul Rahman, menang di kawasan Arau dengan mendapat 18,201 suara. Di Kelantan PAS berhasil mendapat enam kursi Dewan Rakyat dan 19 Dewan Undangan Negeri. Dengan keme-nangan ini PAS sekali lagi telah berjaya mendirikan pemerintahnya di Kelantan sete-lah memperoleh kemenangan buat kali ketiga (kali pertama 1959, dengan Tuan Haji Ishak Lotfi mengetuai pemerintah selaku Menteri Besar dan kali kedua dalam pemilu 1964 yang diketuai Hj. Mohammad Asri dan dilan-tik menjadi Menteri Besar).17

16

Report on The Parliamentary and The State

Elections 1959, (Kuala Lumpur: The Federation

of Malaysia, 1959); Report on The Parliamentary

and The State Elections 1964, (Kuala Lumpur:

The Federation of Malaysia, 1964).

17

Mohamad Amin Yaakub, Sejarah

Pemerintahan PAS di Kelantan 1959-1990, (Kota

Baharu: Pusat Kajian Strategik, 2001), hal. 82-90.

Kejayaan PAS dalam pemilu 1969, sebe-narnya juga tidak dapat dinafikkan bahwa peranan partai-partai politik oposisi seperti DAP, Gerakan, PRM sangat membantu di dalam mewujudkan kemenangan PAS. Ker-jasama PAS dan DAP misalnya, DAP mem-biayai serta membantu calon-calon PAS yang bertanding, khususnya di negeri Trengganu dan Kelantan. Kerjasama antara partai oposi-si lain yaitu antara DAP dan Gerakan, -seba-gaimana yang diakui Tan Chee Khoon, Presiden Partai Gerakan. Menurut Tan Chee Khoon, waktu itu Goh Hok Guan (dari DAP) menawarkan Tan Chee Khoon Wakil Per-dana Menteri Besar, ketika Gerakan menang di Selangor.18 Kerjasama antara partai pem-bangkang ini dapat dimengerti sebab seba-gaimana diketahui UMNO-Perikatan meru-pakan “musuh bersama” yang harus dikalah-kan dalam pemilu 1969, karena dianggap ga-gal dan menyebabkan rakyat terperosok da-lam masalah ekonomi, sosial yang berlarutan yang menyebabkan negara dalam keadaan sakit. Di samping itu, secara politik UMNO-Perikatan telah “memasung” rakyat, khusus-nya partai-partai oposisi. Kerjasama antara partai oposisi inilah, sebagaimana diakui oleh Tunku Abdul Rahman, yang menyebabkan UMNO Perikatan suaranya merosot tajam.19

Kerusuhan Mei 1969 dan Titik Balik PAS

Sebagaimana diketahui, akibat daripada ke-rusuhan 13 Mei 1969, maka pihak pemerintah Pusat menasihatkan DYMM Yang DiPertuan Agong supaya mengumumkan Undang-Undang Darurat, demokrasi berparlemen di-bekukan serta segala macam kegiatan politik tidak diperdapatkan. Dalam masa ini, di ma-na pengawasan politik dan sosial dilakukan “secara paksa” oleh pemerintah, maka Ma-laysia dipimpin dalam satu pemerintahan yang disebut dengan MAGERAN (Majelis Gerakan Negara) diketuai oleh Perdana Menteri dengan anggota-anggotanya terdiri daripada Menteri-Menteri dan ketua-ketua polis serta tentara di peringkat tertinggi negara. Keadaan yang sama juga berlaku di negeri-negeri. Di negeri Kelantan misalnya, negeri yang dimenangi oleh PAS, satu jawatan kuasa telah didirikan dengan

18

Majalah Nadi Insan (Oktober, 1980), hal. 5.

19

Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj, May 13

Before and After, (Kuala Lumpur: Utusan Melayu

(16)

Warjio PAS dan Kerusuhan Etnis di Malaysia

keanggotaannya sebagai berikut: (1).YAB. Dato Menteri Besar (Ketua); (2).En. Abdul Rahman bin Abas (Wakil Ketua); (3). Dato’ Nik Sulaiman bin Dato’ Nik Daud (Wakil

Sekretaris); (4).En.Tajuddin bin Haji Ahmad

(Anggota - Kepala Polisi) ; (5). En.Mansur bin Mohd Yunus (Anggota - Pegawai pemerintah

Batalion 7 Askar Melayu Diraja).20

Di samping itu, pemerintah juga mendirikan Majelis Perundingan Negara (MPN), yaitu satu majelis dialog tertinggi antara semua pi-hak yang berkemampuan di negeri ini yang berfungsi untuk membincangkan rumusan-rumusan bagi mencari jalan keluar daripada kerumitan-kerumitan yang menyelubungi ne-gara ke arah yang stabil. Dapat dikatakan, pada masa ini, demokrasi yang telah berlang-sung sebagai aspirasi rakyat melalui pelaksa-naan pemilu 1969 kembali pada “titik nol”. Dalam situasi seperti inilah –sebagaimana dinyatakan oleh pemimpin PAS, Mohamad Asri, pemerintah Perikatan telah menyekat kebebasan rakyat untuk bercakap dan menya-takan pendapat dengan merdeka. Daripada sekatan itu sedikit banyak partai pemerintah akan mengambil keuntungan politik; rakyat akan berada dalam keadaan serba takut, se-hingga rakyat tidak berani mengkritik kebi-jakan-kebijakan yang telah ditetapkan peme-rintah.21 Pengaruh politis daripada pengisti-haran keadaan darurat ini adalah persidangan Dewan Parlemen dan Dewan-dewan Un-dangan Negeri dibekukan. Partai-partai poli-tik yang ada, lebih banyak melakukan aktivi-tas politik intern partai, ketimbang menun-jukkan aktiviti yang ”dapat menarik“ perha-tian pemerintah. Dapat dikatakan, aktivitas partai politik beku. Bagi PAS sendiri, -seba-gaimana dinyatakan Sekretaris Umum PAS ketika itu, Baharuddin bin Abdul Latif, PAS melakukan pembenahan jentera partai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat ranting, sambil sesekali mendiskusikan hal-hal kene-garaan dan program masa depan partai.22

Ternyata, Pemilu 1969 yang menghasilkan kerusuhan berdarah menjadi titik balik bagi PAS. Sebagaimana yang diketahui dua hari setelah berlakunya kerusuhan kaum, 13 Mei,

Lihat Buku Kongres PAS, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1971).

Mohammad Asri diundang oleh Tun Abdul Razak untuk mendiskusikan masalah perpa-duan, keberadaan, dan masa depan bangsa Melayu. Pada saat itu juga lahirlah ide untuk mewujudkan kerjasama dalam bidang politik antara PAS dan UMNO bagi tujuan menyatu-padukan bangsa Melayu. Pertemuan Moham-mad Asri dengan Tun Abdul Razak ini akhir-nya melahirkan pemerintah campuran di mana PAS setuju untuk turut menyertai pe-merintah Perikatan demi untuk keselamatan dan kesetabilan negara. Awal keikutsertaan PAS dalam Pemerintah Perikatan yang dite-rajui oleh UMNO diceritakan oleh Moham-mad Asri dengan penuh suka cita:

“Dalam suasana yang demikianlah (dua hari selepas kerusuhan) Saya tiba-tiba dijemput oleh Timbalan Perdana Menteri Tun Abdul Razak untuk bertemu beliau di Kuala Lumpur. Undangan itu diantar sen-diri oleh Tan Sri Hamzah Abu Samah yang pada masa itu memegang jawatan Timbalan Menteri Dalam Negeri. Beliau telah datang sendiri dari Kuala Lumpur dan terus menemui saya di pejabat Menteri Besar Kelantan dan menyampaikan amanah daripada Tun Abdul Razak itu menjemput saya ke Kuala Lumpur untuk bertemu muka dengan beliau sendiri. Saya datang ke Kuala Lumpur dengan menaiki kapal terbang tentara, kira-kira tiga hari selepas berlakunya peristiwa hitam 13 Mei 1969. Sekalipun rumah saya sendiri ada di blok 20, Petaling Jaya, namun demi keselamatan, saya ditempatkan di hotel Merlin. Sele-pas bersiap saya diajak berkeliling mengelilingi Kuala Lumpur terutama Kampung Baru dan kawa-san di sekitarnya untuk melihat sendiri pengaruh-pengaruh daripada Peristiwa 13 Mei itu. Memanglah bara api masih merah, suasana agak lengang dan selepas makan tengah hari dan sembayang zohor, saya pun diajak berjumpa Tun Abdul Razak di bangunan parlemen. Semenjak diumumkan darurat, pejabat Tun Abdul Razak yang dilantik sebagai Ketua Mageran diletakkan di gedung parlemen. Se-gala urusan Mageran juga dilakukan di parlemen. Pertemuan saya dengan Tun Abdul Razak di kantornya, bagi saya, menjadi titik tolak dalam perkembangan terbaru politik Malaysia. Pertemuan empat mata berlaku dalam suasan tenang, mesra dan masingmasing telah mencurahkan pandangan serta isi dengan ikhlas dan saya rasa baik Tun Razak dan saya sendiri telah bercakap secara terus terang ten-tang hal negara dan zaman depannya hingga me-nyentuh kepada soal bagaimana kita menghadapi sekitar masalah politik negara, terutama tentang zaman depan bangsa Melayu, dan tentu juga perso-alan Islam yang menjadi suatu isu penting ketika itu”.23

23

(17)

Sebagaimana dinyatakan Mohammad Asri, pertemuan antara dirinya dengan Tun Abdul Razak telah membuahkan “hasil” mengenai hubungan PAS dengan UMNO (Perikatan) dari keadaan tegang kepada keadaan yang lembut.24 Pengaruh daripada ‘hubungan yang kembali mesra” ini telah membuahkan hasil kepada PAS iaitu hutang negeri Kelantan ter-hadap pembangunan jembatan Sungai Kota Baharu yang berjumlah berjuta-juta ringgit ke-pada Bank Perdagangan telah diambil anggota menjadi tanggungan pemerintah Pusat. Seterus-nya pihak UMNO yang diterajui oleh Tan Sri Abdul Samad Idris dan Menteri Besar Selangor Dato Haron Idris secara aktif ingin “mengikat” hubungan UMNO-PAS lebih kuat dan lebih resmi lagi. Pendirian MPN sebagai ganti Par-lemen telah memberikan warna baru pada wajah politik Malaysia. Beberapa orang PAS kemudian dilantik menduduki Majelis itu. Maka dengan adanya MPN itu dapat meng-ganti tugas daripada parlemen. Tentu saja keadaan ini juga semakin mengeratkan lagi hubungan UMNO- PAS.

Akhirnya pada 28 Disember 1972, surat per-janjian dan akuan telah ditandatangani de-ngan rasminya antara pihak UMNO, diwakili oleh Tun Abdul Razak dan pihak PAS, -diwakili oleh Mohammad Asri. Puncak dari-pada hubungan ini, wujudlah secara rasmi kerjasama UMNO (Perikatan)- PAS satu pe-merintah bersama yang disebut Pepe-merintah Campuran pada 1 Januari 1971.

Dalam kaitan ini, kesepakatan bersama yang akan dilakukan oleh pemerintah Campuran -Perikatan adalah: (1).Sebuah kementerian akan diberikan pada PAS, yaitu Kementrian Kemajuan Tanah dan Tugas-Tugas Khusus yang akan bertanggungjawab dalam hal ta-nah, pembukaan dan kemajuannya, dan juga perkara-perkara lain yang akan ditentukan oleh Perdana Menteri dari satu masa ke satu masa; (2).Menteri tersebut akan dilantik dengan persetujuan Raja-raja menjadi Tim-balan Pengerusi Majelis Kebangsaan Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia; (3).Jabatan-ja-batan Sekretaris Parlemen, Pembantu Menteri, Sekretaris Politik dan sebagainya dapatlah dipenuhi setelah menteri berkenaan bersuarang dan mendapat persetujuan Perdana Menteri;

24

Ibid.

(18)

jawa-Warjio PAS dan Kerusuhan Etnis di Malaysia

tan kuasa penyelaras hendaklah ditubuhkan dengan anggota-anggotanya terdiri sama ba-nyak antara PAS dengan Perikatan.25

Manakala garis-garis Kebijakan yang akan diperjuangkan oleh PAS melalui Pemerintah Campuran Perikatan-PAS adalah sebagai beri-kut: (1).PAS melalui pemerintah Campuran Perikatan-PAS berazam membentuk negara Malaysia ini sebuah negara yang aman dan damai, yang harmonis, yang mempunyai nilai-nilai moral dan kerohanian. Dengan demikian pembangunan rakyat hendaklah digembleng-kan bersaman dengan usaha pembangunan lahir yang sedang berjalan dengan pesatnya sekarang sesuai dengan agama Islam sebagai agama negara serta prinsip-prinsip rukun ne-gara, maka nilai-nilai Ketuhanan akan men-jadi teras dalam usaha usaha pembangunan dan kemajuan Negara; (2).Dalam menuju ke-sempurnaan prinsip-prinsip itu, maka PAS dengan pemerintah Campuran Perikatan yang diwujudkan itu akan berusaha memberikan nilai-nilai Islam ke dalam perundangan dan perlembagaan Negara;

(3).PAS dengan pemerintah Campuran Peri-katan berazam akan melaksanakan kebijakan ekonomi baru dengan bersungguh-sungguh, jujur dan dan tidak pilih kasih sehingga cita-cita mewujudkan keseimbangan sosial dan ekonomi antara yang berada dan yang tidak berada di negara ini serta cita-cita melenyap-kan kemiskinan di kalangan rakyat itu men-capai kejayaan yang cemerlang; (4).PAS dengan pemerintah Campuran-Perikatan ber-azam mewujudkan kebudayaan yang berter-askan kebudayaan Melayu yang tidak berla-wanan atau bertentangan dengan Islam dalam segenap bidang; (5).PAS dengan pemerintah campuran juga berazam memelihara kesela-matan negara dan menghapuskan searang ancaman baik dari dalam mahupun dari luar dan untuk ini pertahanan negara akan diper-kemaskan dan diperbesarkan sesuai dengan cita-cita mewujudkan kemampuan nasional di bidang pertahanan; (6).PAS dengan peme-rintah Campuran berazam untuk meneruskan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif dan akan terus memperjuangkan konsep per-kecualian negara negara Asia Tenggara bagi mencamin tercapainya keamanan di rantau

25

Ibid., hal. 91-93.

ini. Dan di samping itu akan berusaha mengeratkan lagi hubungan dengan negara-negara sahabat terutamanya negara-negara-negara-negara ummat Islam.26

Memang setelah ”kesepakatan” antara UM-NO-Perikatan dengan PAS dibuat, upaya per-paduan Melayu khususnya menjadi isu ha-ngat di dalam membangunkan negara dengan mewujudkan pembangunan yang seimbang antara rohani dan jasmani. Bagi PAS, proses “islamisasi” kenegaraan dan orang Melayu, -sebagaimana yang dicita-citakan PAS selama ini. Melalui kerjasama dengan UMNOPerikatan akan segera dapat diwujudkan. PAS, -khususnya melalui Mohd. Asri telah meng-ambil tindakan di dalam mewujudkan usaha ini, antaranya adalah guru-guru agama di Kelantan dimasukkan dalam kementrian serta gaji mereka dinaikkan, pada saat yang sama jumlah guru-guru agama ditambahkan dalam sekolah-sekolah pemerintah; setiap kemu-dahan awam ataupun rancangan perumahan baru dilengkapi dengan musahollah ataupun tempat ibadah; siaran radio dan televisi juga jumlah tayangnya ditambah dengan siaran mengenai agama Islam. Di samping itu, pro-ses islamisasi di kawasan Felda melalui kese-nian, dilakukan dengan “mengimport” keseni-an nasyid Orkes al –Watkeseni-an dari Medkeseni-an (Indonesia), -yang dalam pandangan penulis menjadi cikal bakal perkembangan nasyid di Malaysia. Untuk mempercepat usaha “islami-sasi kenegaraan” juga dilakukan dengan mewu-judkan Jabatan Agama Wilayah Persekutuan dan Mufti serta Kadih Besar, di samping pendi-rian Yayasan Dakwah Islam Malaysia (YADIM).27 Ustaz Hassan Adli, dari PAS di-lantik menjadi Timbalan Pengerusi YADIM yang pertama. Manakala Pengerusi YADIM yang pertama ialah Tan Sri Syed Nasir Ismail.

Bagi PAS, kerjasama dalam Pemerintah Campuran PAS-UMNO Perikatan merupakan satu kerjasama yang baik. Ini karena, -sebagaimana dinyatakan Mohd. Asri, dapat memberikan suatu sumbangan yang amat tinggi nilainya dari segi hakikat perpaduan dan keharmonian umat. Simpangsiur perta-rungan politik di kalangan bangsa Melayu te-lah reda, mate-lah pemerintah mempunyai ke-sempatan yang cukup tepat untuk merancang

26

Ibid., hal. 95-96.

27

(19)

dan membangun negara apalagi saingan poli-tik yang selama ini saling bermusuhan telah berubah menjadi rakan dan bersama-sama bertanggungjawab menangani urusan negara demi kelanggengan umat Melayu masa hada-pan.28 Tentu menjadi satu pertanyaan besar dan terpengaruh ada “keganjilan” dari tindakan yang diambil oleh Mohammad Asri, -sebagai Presiden Partai PAS, mengambil satu keputusan politik yang paling bersejarah dalam sejarah politik PAS. Bagaimana tidak, dalam suasana arus” demokrasi terpimpin” dan gaya militer yang dijalankan pemerintah melalui Mageran, yang mengakibatkan kehi-dupan demokrasi yang wajar beku dan mati, PAS sanggup mengambil satu keputusan un-tuk berkongsi kuasa dengan UMNO-Perika-tan yang nyata-nyata lawan politiknya. Saat partai politik oposisi lain seperti Gerakan, Partai Rakyat, DAP dilumpuhkan oleh UM-NO-Perikatan melalui Mageran, PAS pula menikmati kejayaan pemilu 1969 bersama UMNO-Perikatan. Ini merupakan satu keada-an ykeada-ang skeada-angat ironi dalam kerkeada-angka perju-angan partai oposisi yang diciptakan oleh PAS. Ternyata, dalam keadaan negara dian-cam oleh perpecahan dan perpaduan menjadi satu masalah yang besar, Mohd. Asri berse-dia mengetepikan ideologi partai PAS dan sanggup duduk semeja dan bekerjasama dengan UMNO walaupun dalam empat pe-milu lalu (1955, 1959, 1964 dan 1969), me-reka bertentangan, bermusuh-musuhan untuk mendapatkan kursi dan memantapkan ideolo-gi partai.

Dengan demikian pemilu 1969 dan kerusu-han 13 Mei 1969 menjadi catatan sejarah penting bagi PAS. PAS bukan saja ia “menang” dalam pertarungan politik melalui pemilu itu tetapi PAS telah membuka nokta baru ke atas hubungannya dengan UMNO-Perikatan, -musuh utama dalam konteks politik kenegaraan Malaysia. Benar, pemilu 1969 menjadi titik balik bagi PAS. Menurut Mohammad Abu Bakar, dilihat dari sudut pertahanan konservatisme, kerjasama antara UMNO-PAS yang sejak lama telah menanam konflik, adalah sangat penting. Buat bebe-rapa waktu aspek-aspek perbedaan antara ke-duanya di ketepihkan dan persoalan menjaga kedudukan orang Melayu, serta

28

Ibid.

nya dan mengawasi kehidupan Islam dalam bentuk yang tidak diperjelaskan secara terpe-rinci, mendapat perhatian bersama.29 Per-nyataan Mohammad Abu Bakar dalam hal-hal tertentu mungkin benar, dan barangkali diperlukan. Tetapi, jika kita melihat sejarah pertentangan dan konflik antara UMNO-PAS, keputusan kompromi politik PAS-UM-NO, jelas perlu dipertanyakan lagi, khusus-nya mengenai kesungguhan UMNO dan mo-tif apa yang terkandung dan kenyataan yang dibuat UMNO ke atas kompromi politik itu. Sebab, ketika kompromi politik dibuat, PAS sebenarnya belum punya kekuatan untuk membuat sebarang “posisi tawar menawar” (Bergaining Position) dengan UMNO dan Perikatan. Ini dapat dilihat dengan meneliti lebih dalam butir-butir “kesepakatan” kerja-sama UMNO-Perikatan dengan PAS yang cenderung lebih menguntungkan UMNO-Perikatan, dan di sisi yang lain merugikan PAS. Belum lagi, jika ditinjau dari sudut Islam, dapat diterimakah “politik pragmatis” yang dilakukan UMNO ke atas PAS, dan si-kap yang menerima politik pragmatis itu? Dalam analisis salah seorang tokoh PAS yang berpengaruh, -Amaluddin Darus, ma-suknya PAS dalam Perikatan, yang dianggap satu penyesuaian dan merupakan satu kom-promi politik Tun Abdul Razak dengan pe-mimpin PAS yang memperjuangkan kepenti-ngan Melayu di samping hendak memperju-angkan cita-cita Islam, merupakan taktik kotor UMNO, mengekalkan proyek golongan kiri Melayu yang menyerapi UMNO sebagai teras politik Partai Perikatan untuk rancangan ke arah program politik kiri dengan menya-mar sebagai nasionalis tulen. Ini merupakan satu kebijakan pragmatik, -yang menurut Amaluddin Darus sebagai pendekatan gaya komunis. Manakala sikap pragmatik dalam Islam tidak dapat diterima. PAS yang telah mengekalkan dirinya ke dalam perpaduan yang menyokong faham pragmatik nyata sekali telah kehilangan identitas dan kepriba-diannya.30

Walaupun analisis Amaluddin Darus terasa “pedas” untuk didengar, -oleh PAS khusus-nya, tetapi ternyata, apa yang dikatakan

29

Mohammad Abu Bakar, op.cit., hal. 127.

30

Amaluddin Darus, Lintasan Sejarah Politik

Malaysia, (Kuala Lumpur: Abadi Enterprise,

(20)

Warjio PAS dan Kerusuhan Etnis di Malaysia

Amaluddin Darus, benar. PAS kemudian “ditendang“ UMNO pada 1974, keluar dari Barisan Nasional. Menurut Mohd. Asri anta-ra puncak yang menimbulkan perpecahan da-lam Pemerintah Campuran PAS-UMNO/ Pe-rikatan ialah: (1).Kegelisahan yang sering ditimbulkan sebagian kalangan di Kelantan; bahwa sehingga bilakah PAS mahu meme-gang tampuk pemerintahan negeri, atau da-lam erti kata yang lain ialah: bilakah UMNO akan dapat memerintah Kelantan kembali. Kegelisahan ini kadang-kadang menonjol yang menyebabkan suasana kerjasama yang telah terjalin tergugat; (2).Timbulnya suara-suara sumbang yang kadang-kadang bertukar menjadi fitnah. Ini adalah disebabkan berla-kunya gerakan PAS di kawasan tertentu yang memang dulunya belum ada PAS; (3).Salah anggapan yang didorong oleh laporan yang salah tentang sesuatu kejadian yang akhirnya menjadi begitu sensitif sekali.31

Ironinya, perpecahan dalam Pemerintah Campuran PAS-UMNO/Perikatan mening-galkan luka yang dalam bagi PAS: PAS han-cur berkeping-keping karena dalam tubuh PAS terjadi perpecahan. Perpecahan di dalam PAS itu tampak ketika pemilu 1974 berlang-sung. Dalam pemilu kali ini telah dipamirkan suatu pertarungan yang hebat dan luar biasa apabila banyak anggota PAS yang tidak se-nang dengan kerjasama PAS dalam pemerin-tah campuran. Mereka berpendapat bahwa kerjasama yang telah dipersetujui dahulu itu hanya sekedar untuk Pemerintah Campuran saja dan apabila tamat jangka waktu awal de-ngan Pemerintah Campuran itu, maka sele-sailah perjanjian itu dan perlu kepada suatu muktamar khusus yang lain untuk memutus-kannya. Sedangkan langka PAS ikut terus bekerjasama yang ditetapkan Anggota Jawa-tankuasa Agung PAS telah mengambil pe-ngertian yang mendalam tentang hakikat Pe-merintah Campuran itu sendiri. Perbedaan pentafsiran inilah yang menyebabkan anggo-ta yang kurang senang dengan penyeranggo-taan PAS dalam Pemerintah Campuran itu mun-cul sebagai calon bebas dalam pemilu 1974. Antara mereka yang menjadi calon bebas dan menentang calon PAS ialah Mohd. Fakhrud-din yang menentang Tengku Zaid di kawasan Pasir Mas. Adik daripada Mohd. Fakhruddin

31

Moh. Asri, op.cit., hal. 109.

sendiri Puan Aishah binti Abdullah bertan-ding menentang Mohd. Asri dalam kawasan parlemen Nilam Puri.32 Ini lah satu hakikat pengaruh dari kerjasama PAS dengan UMNO-/Perikatan.

Penutup

Pemilihan umum 1969 adalah pemilu yang paling buruk yang pernah dilakukan di Malaysia. Ini terjadi karena masalah politik di Malaysia sangat kompleks. Tetapi fakta menunjukkan bahwa alasan politik adalah alasan utamanya. Kita telah tahu bahwa pada pemilu 1969 (10 May), kekuasaan UMNO (United Malays Nation Organization) partai yang berkembang di Malaysia telah kalah. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan sejarah di Malaysia. Banyak masyarakat Malaysia dan elit UMNO tidak setuju. Pada sisi lain partai oposisi seperti DAP

(Demo-cration Action Party) dan PAS (Partai Islam

Sa Malaysia) mendapat kursi. Situasi ini te-lah menyebabkan panasnya suhu politik. Akhirnya terjadilah peristiwa 13 Mei 1969. Banyak orang Malaysia, China, dan India ter-bunuh. Studi ini telah menemukan bahwa da-lam perspektif politik, PAS telah menjadi partai yang dieksploitasi oleh lawan politik-nya. Walau pemilu 1969, telah menjadi ba-bak baru dalam sejarah politik PAS, tetapi PAS seakan menjadi “barang mainan baru” bagi UMNO-Perikatan. Berbagai “fasilitas” yang ditawarkan oleh UMNO-Perikatan, ter-nyata begitu menarik perhatian PAS, hingga PAS akhirnya mau bekerjasama dengan UM-NO-Perikatan. Kita dapat katakan dalam kea-daan ini, bahwa alasan keselamatan negara serta kemantapan posisi bangsa Melayu di masa hadapan -impak dari hasil pemilu 1969, telah membawa PAS ‘keluar” dari barisan perjuangannya bersama dengan partai-partai lain seperti DAP, Gerakan, PRM. PAS bah-kan menjadi “penguasa” dari partai-partai ini. Kerjasama PAS-UMNO-Perikatan bahkan te-lah menimbulkan polemik intern serta pera-saan saling curiga menjadi puncak berakhir-nya kerjasama ini. Semua ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Malaysia pada pe-milu 1969 adalah bagian dari eksploitasi ke-ragaman etnis untuk kepentingan politik.

32

(21)

Daftar Pustaka

Ahmad, Kassim. 1968. The White Paper. Majalah

Opinion (September).

Al-Haj, Tunku Abdul Rahman Putra. 1969. May 13

Before and After. Kuala Lumpur: Utusan

Melayu Press.

Anwar, Zainah. 1990. Kebangkitan Islam di

Kalangan Pelajar. Selangor: IBS Buku Sdn.

Bhd.

Bakar, Mohammad Abu. 2000. Konservatisme Kafir-Mengkafir dan Konflik Kepartaian Melayu. Jurnal Pemikir (Julai-September). Comber, Leon. 1983. 13 May 1969: Historical

Survey of Sino-Malay Relation. Kuala Lumpur:

Heinemann Asia.

Darus, Amaluddin. 1987. Lintasan Sejarah Politik

Malaysia. Kuala Lumpur: Abadi Enterprise.

Ratnam, K. J. and R.S. Milne. 1970. The 1969 Parliament Election West Malaysia. Pacific

Affairs 2 (Summer).

Vasil, R.K.. 1972. The Malaysian General Elections

of 1969. Singapore: Oxford University Press.

Yaakub, Mohamad Amin. 2001. Sejarah

Pemerintahan PAS di Kelantan 1959-1990.

Kota Baharu: Pusat Kajian Strategik.

_________. 1959. Report on The Parliamentary and

The State Elections 1959. Kuala Lumpur: The

Federation of Malaysia.

_________. 1964. Report on The Parliamentary and

The State Elections 1964. Kuala Lumpur: The

Federation of Malaysia.

_________. 1968. Majalah Banteng (Julai-Ogos). _________. 1968. Majalah Banteng (November).

_________. 1969. Majalah Opinion (April-May).

_________. 1969. PAS Menghadapi Pilihan Raya

1969. Kuala Lumpur: Manifesto PAS. Pejabat

Agung PAS.

_________. 1971. Buku Kongres PAS. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

_________. 1979. Majalah Nadi Insan (Mei).

_________. 1980. Majalah Nadi Insan (Oktober). _________. 1993. Memoir Politik Asri: Meniti Arus.

(22)

P. Anthonius Sitepu Transformasi Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Indonesia

Tr ansfor m asi Kekuatan Pol i ti k dal am

Si stem Pol i ti k Indonsi a

P. ANTHONIUS SITEPU

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965

Diterima tanggal 31 April 2005/Disetujui tanggal 3 Mei 2005

The politics dynamics in Indonesia show many changes since 1945. There are political parties as the political strength and there is military too. Each situation has affected to change the political strength power. This study instructed to describe what mean of political configuration in Indonesia political system. Precisely, this study focuses on political configuration at parlia-mentary political system and Guided democracy. Using political system approach of structural-functional theory this study has found that transformation of political strength configuration always having interconnected with political system change. Intensive cabinet commutation im-plicated to switchover from parliamentary political system to guided democracy system. It is reality from existence polarization of political parties. Even the guided democracy causes the formed of the pattern trilateral power (Soekarno, AD (Military), Partai Komunis Indonesia (Communist Party Indonesia). That is role intensity in existing power institutes depend on how variable of political strength adaptable with political system.

Keywords: Political strength, Political system, Political configuration.

Pendahuluan

Wacana tentang kekuatan kekuasaan politik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah de-ngan bertitik tolak dari analisis sistem yang di-kemukakan oleh Gabriel A. Almond, bahwa dalam sistem politik, terdapat struktur-struktur politik atau lembaga-lembaga politik yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu demi ber-jalannya proses politik. Bagaimanakah proses politik itu dapat berlangsung dengan baik, dapat dipahami jikalau kita melihatnya dari perspektif teoritis sistem politik suatu negara yakni dengan cara melakukan pendekatan yang disebut sebagai “teori struktural-fung-sional”. Teori ini bertitik tolak dari asumsi dasar, bahwa suatu sistem politik terdapat fungsi-fungsi yang harus ada demi keber-langsungan hidup sistem politik yang bersangkutan. Pendekatan teoritis ini memu-satkan perhatiannya pada usaha-usaha untuk menemukan beberapa fungsi politik yang ada dalam sistem politik, selanjutnya telaah

ten-tang struktur politik apa yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut.

Fungsi-fungsi yang dimaksudkan dalam sis-tem politik itu adalah fungsi input dan

out-put. Studi ini memusatkan perhatiannya pada

(23)

itulah, sekali lagi saya katakan, ada struktur politik, juga partai-partai politik dan lembaga politik lainnya seperti, lembaga eksekutif, legislatif.

Dalam tataran teoritik, bahwa peranan partai-partai politik, menjadi faktor penting dan me-nentukan berfungsinya sistem kepartaian yang ada. Karakter sistem politik memberi-kan pengaruh terhadap kinerja sistem kepar-taian. Artinya, ada semacam hubungan tim-bal tim-balik antara keduanya. Kemudian disam-ping partai-partai politik sebagai kekuatan politik, dalam struktur politik adalah kelom-pok militer. Dengan menguatnya posisi ke-lompok militer, terutama dalam sistem poli-tik Indonesia dan peranan mereka mempe-ngaruhi atmosfir kehidupan politik dan juga intensitasnya dalam soal-soal politik ini tidak dapat dipandang sebagai suatu fenomena yang muncul secara tiba-tiba. Dalam konteks Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan, konstelasi politik tidak terlepas dari pengaruh keterlibatan kelompok militer.

Menurut Yahya A. Muhaimin1

1

Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer

dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 1982), hal. 3-4.

ada tiga ala-san atau sebab militer aktif masuk ke arena politik dan berkembangnya peran militer da-lam politik dada-lam kehidupan politik (sistem politik) yakni: (a).rangkaian sebab yang me-nyangkut adanya ketidakstabilan sistem poli-tik. Keadaan seperti itu, akan menyebabkan terbukanya kesempatan serta peluang yang cukup besar untuk menggunakan kekerasan di dalam sistem politik; (b).rangkaian sebab yang bertalian dengan kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir kehi-dupan politik, bahkan untuk memperoleh pe-ranan-peranan politik yang menentukan; (c).rangkaian sebab yang berhubungan de-ngan political perspectives kelompok militer yang menonjol antara perspektif mereka yang berkaitan dengan peranan dan status mereka dalam masyarakat dan juga berkena-an dengberkena-an persepsi mereka terhadap kepe-mimpinan sipil serta sistem politik secara keseluruhan. Dengan demikian, dua jenis kekuatan politik (partai politik dan militer) konseptual yang terdapat dalam sistem politik, menjadi perhatian utama dalam studi ini yakni konfigurasi politik pada sistem

poli-tik parlementer dan sistem polipoli-tik demokrasi terpimpin.

Pendekatan dan Metode

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem politik. Dapat disebutkan juga sebagai pendekatan analisis kelembagaan serta hubungannya dengan pe-rubahan kekuatan politik. Pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dan studi dokumen. Fokus analisis penelitian ini meli-hat konfigurasi politik pada masa demokrasi parlementer demokrasi terpimpin dengan analisis sejarah politik.

Konfigurasi Politik Sistem Palementer (1945-1957)

Seiring dengan konfigurasi politik sistem po-litik demokrasi parlementer, munculnya par-tisipasi politik rakyat terkait erat dengan proses dan pembuatan kebijakan negara. Da-lam hal ini kebangkitan partai-partai politik bagi bangsa Indonesia, ternyata bahwa dalam kehidupan kepartaiannya, baru dapat dilacak kembali, secara samar-samar sampai pada ta-hun 1908-an. Dikatakan demikian karena or-ganisasi-organisasi yang memberi kesan ada-lah partai politik, dalam kenyataannya bu-kanlah partai politik dalam pengertian mo-dern sebagai organisasi yang tujuannya me-rebut kedudukan dalam negara di dalam per-saingan melalui pemilihan umum2

2

Daniel Dhakidae, “Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia”, dalam Analisis Kekuatan Politik di

Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 190-191.

Gambar

Tabel 1 Komposisi Partai dalam Kabinet Sjahrir (1945-1946)
Tabel 4 Partisipasi di Kecamatan Binjai Utara
Tabel 5 Partisipasi di Kecamatan Binjai Utara
Tabel 8 Perbandingan Perolehan Suara Parpol dengan Suara
+2

Referensi

Dokumen terkait

Nilai R/C atas biaya tunai yaitu 3,95 dan biaya total yaitu 2,92 yang artinya nilai R/C yang diperoleh menunjukkan bahwa penerimaan agroindustri lebih besar

Untuk itu Departemen Kesehatan telah mengantisipasi dengan menetapkan Standar Laboratorium Pendidikan Tenaga Kesehatan, yang bertujuan untuk mendorong seluruh

Agar penyeleksian karyawan dapat dilakukan dengan lebih efisien serta menghindari subyektifitas keputusan yang dihasilkan, diperlukan suatu Sistem Penunjang Keputusan (SPK)

Hasil analisis dengan menggunakan regersi linier menunjukan hasil bahwa nilai p-value =0,000 < α =0,05, sehingga H0 ditolak, artinya persepsi

Löïc ñaåy ngöôïc laø phaûn öùng baát ngôø khi ñóa maøi, taám ñôõ, choåi ñang quay hoaëc baát kyø phuï tuøng naøo khaùc bò keït hoaëc bò vöôùng. Vieäc

Dalam sistem ini menentukan bahwa besar kecilnaya gaji yang akan dibayarkan kepada masing-masing tenaga kerja tergantung pada waktu lamanya mereka bekerja, atau jumlah

Terdapat lima faktor yang mempengaruhi happiness at work menurut Maenapothi (dalam Chaiprasit & Santidhirakul, 2011) yaitu 1) Inspirasi kerja; karyawan puas

Kata-kata imam al-Ghazali bahawa pendidikan tanpa membangunkan potensi spiritual akan melahirkan manusia yang terpenjara dengan kehendak materia tanpa kemampuan