• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tr adi si Kekuasaan dan Otonom i Desa

Dalam dokumen Analisa Pemikiran Politik Islam pdf (Halaman 55-67)

HERI KUSMANTO

1

, RUSTAM EFFENDI

2

, LISTIANI

2

1

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965, Email:

heri.kusmanto@gmail.com

2

BITRA Indonesia, Jl. Bahagia By Pass 11/35 Medan, 20216, Telepon: 061-787408, Fax: 061- 7876428, Email

Diterima tanggal 31 April 2005/Disetujui tanggal 3 Mei 2005

Issued UU Number 22 Tahun 1999 about relation central government and local government in political analysis have producing of powers varieties. Ideally UU Number 22 Tahun 1999 accommodating local governments to manage area. The problem is UU Number 22 Tahun 1999 has bore new elites without controlling by central government. This article has explained how local elites have come to so dominant. Using political approach of local politics this study describe local democracy (village democracy) already immediately become dream because Institution of Village Delegation (Badan Perwakilan Desa/BPD) not full intertwined with village capacities like human resource, economic resources, and political culture. In other word BPD has malfunction. This condition indisposed while civil society movement not develop at village. Even its (social organizations) attendance exactly becomes resistor of village democracy when violence issue and activity illegal is often related to organization like this.

Keywords: Local government, Regional autonomy, Local elites.

Pendahuluan

Perubahan pola hubungan pemerintahan pu- sat dan daerah yang tertuang dalam UU No. 22/1999 banyak dimaknai secara berbeda- beda oleh berbagai kalangan. Para pengamat, praktisi, ilmuwan mungkin menyadari betapa dirinya tiba-tiba berada dalam hutan per- soalan yang tiada solusi dengan adanya peru- bahan ini. Masing-masing berbeda pendapat karena sudut pandang dan bahkan “keya- kinan pengetahuan ataupun ideologinya”. Persoalannnya bahwa perubahan pola hu- bungan tersebut tidak pernah diletakkan pada akar persoalan yang sebenarnya, bahkan ba- nyak kalangan kemudian berbeda pandangan tentang akar problematik itu sendiri. Bebe- rapa kalangan menganggap otonomi daerah telah salah diletakkan pada daerah kabupa- ten/kota dan menginginkan pemerintahan propinsilah yang seharusnya lebih dahulu

menerima kewenangan itu, karena pemerin- tahan kabupaten/kota belum memiliki kesia- pan untuk mengelola otonomi daerah, khu- susnya menyangkut ketidaksiapan SDM (Sumber Daya Manusia).

Sejalan dengan pemikiran bahwa otonomi daerah mesti diletakkan dalam pemerintahan propinsi, ada yang menginginkan perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi federalisme yang tentunya meletakkan ke- kuasaan pada pemerintahan propinsi tetapi bukan karena alasan SDM, melainkan karena sebelum ke-Indonesia-an terwujud sebenar- nya telah tumbuh kekuasaan-kekuasaan lo- kal. Pemikiran seperti ini bersumber pada filosofi kekuasaan yang bersumber pada daerah, bukan pada pemerintahan pusat, se- hingga pengambilalihan kekuasaan oleh pu- sat dalam sistem sentralistik selama ini telah menimbulkan banyak ketegangan dan kon- flik.

Heri Kusmanto et al Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

Bagi pihak yang menerima otonomi daerah diletakkan pada pemerintahan kabupaten /kota, menyatakan bahwa bila titik berat oto- nomi daerah pada pemerintahan propinsi maka kekhawatiran terjadinya hubungan eks- ploitasi oleh pemerintahan propinsi terhadap pemerintahan kabupaten/kota akan terulang lagi seperti masa Orde Baru. Selain itu ada- nya pemerintahan propinsi yang identik de- ngan kelompok etnik tertentu yang menjadi kelompok mayoritas di propinsi tersebut di- khawatirkan memicu separatisme dan mem- buka peluang penindasan terhadap kelompok minoritas.

Beberapa arus utama pemikiran yang saling bertentangan sangat jelas mendasarkan pemi- kiran otonomi daerah atau desentralisasi pada persoalan kekuasaan dan birokrasi pemerin- tahan suatu pendekatan yang berpusat pada negara dengan menekankan pada “Bureau-

cratic Power Oriented” (orientasi pada ke-

kuasaan birokrasi) atau “Autonomy Within

Power” (otonomi itu tentunya kekuasaan).

Pengedepanan pendekatan ini menimbulkan akibat pada formalisasi politik daerah dalam bentuk pembuatan dan penegakan regulasi daerah. Orientasi pada regulasi membuat oto- nomi daerah bias elite, apalagi otonomi daerah telah terperangkap dalam format demokrasi liberatif-delegatif (suatu demo- krasi liberal yang dijalankan dengan sistem perwakilan) yang berpilarkan pada partai politik, sehingga kepentingan lokalitas atau- pun rakyat tidak terjamin dalam domain poli- tik yang lebih luas.

Ketidakterjaminnya kepentingan rakyat men- jadi fenomena umum yang menyakitkan, rak- yat menjadi korban dari lahirnya regulasi- regulasi baru yang diciptakan oleh elite dae- rah yang cenderung “high cost economy” (perda-perda yang dilahirkan terutama me- ngenai pajak daerah dan retribusi yang baru sehingga kegiatan ekonomi makin dibebani biaya tersebut), kebijakan-kebijakan yang ti- dak “pro rakyat” lolos begitu saja dari kala- ngan legislatif. Pilar demokrasi pada partai politik yang masih menganut sistem sentra- listik menjadi dasar munculnya demokrasi perwakilan yang tidak mengabdi kepada ke- pentingan rakyat daerah.

Agenda kepentingan rakyat daerah menjadi tidak menarik bagi kalangan politisi partai politik, karena arena pergulatan politik se- sungguhnya berada di pusat bukan di daerah. Selain itu, sudah menjadi sesuatu yang fe- nomenal bila pemilu dijalankan dengan sis- tem proporsional (dengan berbagai variannya sekalipun) lebih memperkuat kekuasaan elite partai dibandingkan konstituennya, atau lebih mengutamakan keterwakilan aliran ideologis dibandingkan keterwakilan publik daerah. Keterbatasan demokrasi-delegatif ketika ter- jadi “legislative heavy” (kekuasaan lebih be- sar di pihak legislatif) seringkali menimbul- kan politik transaksional (politik tawar mena- war) yang melibatkan antara pihak legislatif dengan pihak eksekutif dan kalangan birok- rasi. Sudah bisa ditebak bahwa politik tran- saksional akan mengalahkan kepentingan konstituen, karena yang dimenangkan adalah kepentingan “rent seeking” (memburu rente) dari kalangan elite-elite daerah guna mem- perkaya diri sendiri dan dijadikan modalnya untuk menapaki karir politik menuju jenjang yang lebih tinggi.

Adanya politik transaksional yang bermuara pada “money politics” menghasilkan “raja-ra- ja kecil”, oligarkhi semu antara legislatif de- ngan eksekutif (apabila tawar menawar me- menuhi kesesuaian kedua belah pihak, maka otomatis terjadi persekongkolan) membuat posisi Bupati dan Walikota menjadi “kuat” sesuai dengan kemampuan dalam membiayai transaksi politiknya. Fenomena yang demi- kian melahirkan istilah baru bagi desentrali- sasi yaitu desentralisasi korupsi dan otonomi daerah menjadi terperangkap ke dalam arena “bad governance” (tata pemerintahan yang buruk). Korupsi meruap dalam banyak sektor dalam kapasitas yang tidak pernah kita ba- yangkan semula. Berbagai media telah meng- ungkap banyak kebobrokan yang berakhir di tingkat pengadilan maupun yang tidak. Selain itu, orientasi pada kekuasaan sangat erat kaitannya dengan masalah pembagian keuangan. Banyak kalangan akademisi mau- pun praktisi yang menggunakan logika serta indikator ekonomi dalam merumuskan kon- sep otonomi daerah, sehingga banyak pemba- hasan sangat bias ekonomi. Paradigma yang berpikir otonomi sebagai “automoney” (oto-

nomi diartikan sebagai kebebasan mengelola keuangan) mendorong pemerintahan daerah lebih sibuk menggali sumber-sumber penda- patan dengan cara mengeksploitasi retribusi atau pungutan lainnya dengan dalih otonomi daerah, sehingga pada akhirnya semakin memberi beban kepada masyarakat.

Tradisi kekuasaan dan birokrasi tidak hanya hidup di kalangan pemerintahan, namun me- luas dan menjebak berbagai kalangan aka- demisi dalam mendebatkan problematika o- tonomi daerah. Akibatnya para pengamat, praktisi maupun akademisi dalam memaknai otonomi daerah telah terperangkap dalam rimba persoalan. Sudut pandang mereka yang menempatkan akar persoalan pada kekuasaan dan uang yang menyebabkan ruwetnya per- soalan otonomi daerah. Selayaknya otonomi daerah dipandang sebagai upaya demokrati- sasi, bukan sekedar merombak pola hubung- an pemerintahan, tetapi menyangkut pola hu- bungan masyarakat dengan pemerintahan. Suatu demokrasi yang berbasiskan kepada kedaulatan rakyat, bukan kebebasan kewe- nangan birokrasi daerah atau sistem pemerin- tahan daerah, sehingga ditempatkan pada level pemerintahan manapun otonomi itu a- kan bermanfaat bagi rakyat daerah.

Otonomi daerah seharusnya dimaknai se- bagai otonomi bagi seluruh “stake holder” sistem kebangsaan (seluruh elemen bangsa), baik pemerintahan, pasar maupun civil

society (masyarakat/rakyat). Oleh karena itu

implementasi otonomi daerah selayaknya di- barengi dengan sistem pemilihan langsung terhadap wakil-wakil rakyat yang akan duduk di eksekutif maupun legislatif (konse- kuensinya berarti sistem distrik), dengan demikian hak rakyat akan lebih dapat terma- nifestasi untuk ikut mengambil bagian dalam pemerintahan dan mengontrolnya secara terus menerus. Namun pada kenyataannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 itu sendiri berparadigma kekuasaan dan keuang- an pemerintahan semata, tidak menyangkut secara menyeluruh tentang otonomi rakyat sebagai basis demokrasi, bahkan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/ 2004 yang meng- atur lebih rinci persoalan pemerintahan dae- rah masih belum banyak beranjak dari para- digma itu.

Pada situasi umum sistem perundang-un- dangan dan kenyataan seperti itulah otonomi desa dilaksanakan, sehingga dapat diduga bahwa otonomi desa akan mesti menanggung tradisi kekuasaan dan birokrasi yang tidak ada habisnya. Para pejabat kabupaten sering- kali memaknai otonomi desa dengan pan- dangan yang sangat sederhana dengan me- ngatakan demokrasi sudah berlangsung de- ngan baik dengan berjalannya pemilihan Ke- pala Desa secara langsung dalam situasi yang relatif tertib dan aman. Hal ini mencermin- kan pemahaman yang dangkal tentang otono- mi dan demokrasi.

Mengenai kewenangan Kepala Desa dan hak desa untuk memperoleh pendapatan sesuai Undang-Undang masih belum dapat diwu- judkan, bahkan kecenderungan lama masih tatap berlangsung yaitu menempatkan desa sebagai obyek pembangunan, sehingga tugas Kepala Desa masih tetap untuk melayani kepentingan dan kekuasaan pihak kabupaten.

Pendekatan dan Metode

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan sistem politik dan budaya politik. Fokusnya adalah pada sistem politik dan budaya politik yang ada di desa dan sampai tingkat kecamatan. Metode pencarian data yang digunakan adalah studi pustaka serta studi dokumen-dokumen. dengan cara analisis evaluatif serta analisis struktural dan analisis kultural.

Kekuasaan Kecamatan

Ketika otonomi daerah dilaksanakan dan memberi otonomi pada desa dengan format demokrasi delegatif yang diwujudkan dalam pembentukan BPD (Badan Perwakilan De- sa), maka peranan Camat menjadi dimarjinal- kan. Apalagi UU No. 22/1999 telah mengha- puskan Camat sebagai penguasa tunggal di wilayahnya. Kecamatan tidak lagi berperan sebagai perangkat pemerintah nasional di wi- layah Kecamatan, melainkan sebagai staf Bupati dalam Yurisdiksinya. Oleh karena itu ketentuan ini telah membuat mengambang pemerintahan Kecamatan. Pemerintah Desa dapat secara langsung berhubungan dengan Pemerintahan Kabupaten dan kecenderungan seperti itu telah muncul di berbagai propinsi,

Heri Kusmanto et al Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

tentunya hal ini akan menguras energi desa bila banyak persoalan mesti diselesaikan di Kabupaten, padahal persoalan tersebut dapat diselesaikan di tingkat Kecamatan.

Para Camat pada umumnya berusaha mela- kukan sesuatu guna “memulihkan” peranan- nya seperti semula, walaupun sebenarnya mereka bingung untuk melakukan sesuatu, karena landasan tindakan mereka tidak lagi ditopang oleh hukum positif. Namun pada beberapa Kecamatan proses pemerintahan pada umumnya masih berjalan seperti biasa dan bahkan para Camat berupaya menunjuk- kan sikap bahwa mereka masih “menguasai” Pemerintahan Desa.

Berlangsungnya sikap seperti itu menim- bulkan keluhan pada Camat bahwa adanya BPD dapat mengganggu jalannya pemerin- tahan. Adanya BPD yang agresif mendorong Kepala Desanya agar tidak tunduk pada Ca- mat menjadi persoalan tersendiri bagi Camat. Oleh karena itu Camat berupaya juga mela- kukan proses pendekatan dua arah yaitu men- dekati Kepala Desa guna melakukan konsoli- dasi pemerintahan dan pembangunan, serta masih mengakui bahkan memperkuat LKMD (yang sengaja tidak dihapuskan, kasus di beberapa kabupaten khususnya di kabupaten Deli Serdang) guna menjaga status quo. Pada sisi lain Camat secara informal melakukan pendekatan pada BPD agar tidak bersikap ag- resif melakukan “campur tangan” dalam Pe- merintahan Desa atau hubungannya dengan pihak Kecamatan, sehingga pendekatan Ca- mat di desa-desa kadang dipandang “meng- anakemaskan” BPD.

Namun “kehilangan kekuasaan” bagi Camat juga dapat menempatkan desa dalam posisi yang tidak simetris dengan arah dan gerak pembangunan yang diinginkan oleh pemerin- tahan Kabupaten, sehingga memberikan peluang ketidaksinergian pembangunan. Adanya tradisi kekuasaan dan birokrasi yang kuat alasan kesinergian dijadikan pijakan untuk memper- kuat posisi Camat. Pada umumnya Camat merasa bahwa Kepala Desa seharusnya men- jadi bawahan Camat, karena apabila tidak, garis komando Camat akan terputus dan Ca- mat tidak dapat lagi mengatur Kepala Desa. Sikap dan pikiran para Camat seperti ini jelas menunjukkan bahwa Camat masih hidup da-

lam tradisi kekuasaan dan birokrasi yang feo- dalistik.

Posisi Camat menurut UU No. 22/1999 ter- gantung kepada “seni memimpin” demikian pernah diungkapkan oleh salah satu Camat, artinya upaya menegakkan wibawa (kekuasa- an) Camat sangat tergantung pada kemam- puan pendekatan Camat secara informal un- tuk menghadirkan eksistensinya dengan me- manfaatkan kekurangpengetahuan aparat desa dan masyarakatnya tentang otonomi desa. Namun keadaan ini tentunya akan bersifat temporer dan keberhasilannya sangat ter- gantung pada kemampuan individual Camat. Oleh karena itu nasib Camat sangat tergan- tung kepada Bupatinya, dalam hal ini banyak bupati di Propinsi Sumatera Utara yang memiliki pemikiran untuk menguatkan posisi para Camatnya dengan alasan bahwa ke- mampuan Pemerintahan Desa masih perlu di- bina, sehingga Bupati memposisikan Camat sebagai Pembina Pemerintahan Desa.

Selain itu, dapat ditelusuri bahwa alasan lain penguatan posisi Camat sehubungan dengan upaya pemungutan pajak dan retribusi, serta sumber-sumber pendapatan lain yang akan berjalan tidak efektif apabila Camat tidak dalam posisi yang kuat seperti semula. Oleh karena itu penempatan Camat sebagai Pem- bina sebenarnya lebih banyak dimaknai bah- wa Camat merupakan kepanjangan tangan dari Bupati, bahkan pada praktek masa lalu Camat juga menjadi kepentingan berbagai kekuatan sosial-politik maupun sosial-ekono- mi. UU No. 32/2004 agaknya sangat tanggap terhadap posisi Camat yang serba mengam- bang itu, sehingga pada pasal 126 ditegaskan kewenangan Camat selain sebagai koordina- tor pemerintahan juga merupakan Pembina Desa.

Sebenarnya peran Camat sebagai mediator antara “pihak luar” dengan desa tidak bersifat buruk, namun seringkali peran tersebut men- jadi buruk ketika Camat lebih mengedepan- kan kepentingan para penguasa daripada ma- syarakat desa, atau bahkan karena terlalu ber- pihak maka Camat berfungsi “meredam” ke- pentingan rakyat desa. Padahal Camat seba- gai mediator atau intermediary institutions (lembaga yang berperan sebagai jembatan

kepentingan Pemerintahan Desa dengan Pe- merintahan Kabupaten) dapat berperan lebih positif dengan mengembangkan sinergi Pe- merintahan Desa dengan Pemerintahan Ka- bupaten, tentunya bila ada pendelegasian ke- wenangan Bupati kepada Pemerintah Keca- matan. Untuk itu Bupati perlu memposisikan peran Camat antara lain, pertama, Camat ti- dak hanya menghubungkan kepentingan Bu- pati kepada Pemerintahan Desa, namun seca- ra seimbang juga menghubungkan kepenting- an Pemerintahan Desa kepada Bupati. Legiti- masi peran Kecamatan akan bisa ditegaskan manakala Camat berhasil membuat kedua kepentingan tersebut saling dapat dimenang- kan. Suatu peran yang sangat sulit dikerjakan bila visi Bupatinya otoritarian dan feodal.

Kedua, peran Pemerintah Kecamatan harus

dikembangkan sebagai wahana koordinasi sektoral dan spasial (pembangunan dijalan- kan pada bidang-bidang dan wilayah ter- tentu), artinya pelaksanaan pembangunan se- harusnya bersifat terpadu, untuk memadu- kannya maka Camat yang mesti berperan. Seringkali implementasi kebijakan Pemerin- tahan Kabupaten bersifat sektoral dan dilak- sanakan pada desa yang cenderung terseg- mentasi secara spasial (pembangunan dija- lankan pada desa-desa tertentu dengan prog- ram terbatas).

Ketiga, peran pemerintahan yang cenderung

administratif selayaknya digeser menjadi pe- ran pelayanan publik yang bersifat nyata. Se- perti peran Camat dalam pengembangan eko- nomi, pendidikan, demokrasi, kesejahteraan sosial dan sebagainya, sehingga sosok Keca- matan bukanlah sosok birokrasi yang merak- sasa. Oleh karena itu “seni memimpin” (da- lam arti manajemen pembangunan yang ter- padu) tetap dibutuhkan terutama dalam menggalang kekuatan “luar” agar dapat men- jadi energi positif guna mengembangkan ke- hidupan di desa-desa.

Kinerja Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa seharusnya menjadi ke- kuatan yang signifikan dalam pengelolaan masyarakat secara mandiri sesuai dengan keinginan masyarakat, namun pada kenyata- annya banyak desa melangsungkan kehidup- annya dengan arah yang telah ditentukan,

bahkan pemerintahannya cenderung hanya menjalankan saja kepentingan-kepentingan dari lembaga Supra Desa, yang juga tidak jarang diboncengi oleh kepentingan dari kekuatan-kekuatan sosial politik dan ekonomi. Pada umumnya kegiatan Pemerintah Desa hanya terbatas pada fungsi pelayanan admi- nistratif semata, seperti pelayanan KTP, surat keterangan pindah/masuk, surat kelahiran/ kematian dan sebagainya, sehingga dalam benak mereka tertanam pemikiran bahwa su- rat menyurat tersebut dianggap sebagai fung- si utama pemerintahan desa yang harus dipe- nuhi oleh Kepala Desa.

Berbagai jenis desa, seperti desa pertanian, perkebunan, nelayan maupun terutama indus- tri urusan birokrasi surat menyurat menjadi acuan penting dalam memandang kinerja Pe- merintahan Desa. Biasanya mereka memu- ngut biaya untuk mengurus surat menyurat ini. Biaya pengurusan surat menyurat me- mang telah ditetapkan, misalnya ditetapkan biaya Rp 5.000,- untuk pembuatan KTP teta- pi penetapan sepihak seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan biaya pengurusan di ting- kat desa, sehingga mendorong naiknya biaya pembuatan yang disesuaikan dengan keada- an. Masyarakat akan memandang buruk jika pengurusannya lama dan mahal, sebaliknya akan memuji jika berlangsung cepat dan mu- rah. Begitulah cara pandang masyarakat da- lam menilai kinerja Pemerintahan Desa. Pada umumnya masyarakat desa khususnya di Propinsi Sumatera Utara baik di desa-desa pertanian, industri, perkebunan maupun pan- tai mengatakan bahwa proses pelayanan ad- ministratif merupakan tolak ukur utama kinerja pemerintahan desa, selain pembangu- nan fisik yang menjadi tolak ukur keberha- silan Pemerintahan seperti sarana pengairan, pengerasan jalan, pengaspalan jalan, pemb- uatan jembatan dan sebagainya. Bagi peme- rintahan desa atau pemerintahan manapun di Indonesia, keberhasilan pembangunan sering diidentikan dengan pembangunan fisik. Ma- syarakatpun terbawa-bawa dalam penilaian seperti ini, sehingga dalam banyak musyawa- rah di LKMD seringkali alokasi dana Bang- des digunakan untuk pembangunan fisik.

Heri Kusmanto et al Tradisi Kekuasaan dan Otonomi Desa

Ironisnya, seringkali pembangunan yang di- jalankan di desa tidak sesuai dengan hasil musbangdes dan yang lebih parah lagi dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan penga- wasan kurang melibatkan pihak desa, prog- ram-program pembangunan berjalan begitu saja dari lembaga-lembaga supra desa. Pada umumnya pemerintahan desa tidak memiliki visi, misi dan rencana strategis yang mema- dai untuk menjalankan pemerintahannya, se- hingga dapat membangun masyarakat desa dari berbagai sisi. Sebaliknya elemen-elemen masyarakat desa tidak terlalu peduli dengan kinerja Kepala Desa, sepanjang Kepala Desa tidak mengganggu urusan perut dan keama- nan warganya. Ketiadaan visi, misi dan ren- cana strategis pembangunan menyebabkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa kehilangan orientasi, sehingga persoalan kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan berbagai masalah sosial lain tidak dapat dia- tasi oleh masyarakat desa. Keadaan ini teru- tama erat berkaitan dengan kualitas SDM aparat pemerintah desa, lemahnya peran lembaga-lembaga Desa baik Kepala Desa, BPD (Badan Perwakilan Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), bahkan lembaga-lembaga ini nyaris tidak berfungsi dengan benar.

Ketidakmampuan SDM dan fungsi kelemba- gaan desa dalam membangun dan member- dayakan desa, diperparah dengan dukungan dana operasional dan pembangunan yang ke- cil dan tidak jelas, bahkan masyarakat meng- anggap bahwa pemerintahan Orde Baru ma- sih lebih baik dalam mengelola desa, karena ada kelancaran dana Bantuan Desa, Bantuan Presiden, dan berbagai macam program pem- bangunan dan bantuan turun ke desa.

Selain itu ketidakmampuan SDM juga ber- kaitan dengan minimnya tingkat pendapatan aparat desa. Kecilnya penghasilan formal mendorong mereka bersama-sama pihak Ke- camatan bahu membahu membela kepenting- an dari “luar” untuk memperoleh tambahan penghasilan, khususnya bersimbiosis dengan kalangan pengusaha. Selain itu, upaya-upaya pemungutan pajak dan retribusi seperti PBB yang diemban oleh aparat desa, tidak signifi- kan dapat meningkatkan penghasilan mereka. Namun bagi desa yang daerahnya banyak ke- giatan usaha dan industri, kelihatan aparat

desanya dapat hidup layak, bukan dari berba- gai pungutan resmi, namun dari “seni me- mimpin”, seni itu berarti mengupayakan ber- bagai pendekatan informal untuk memper- oleh dana, bahkan dengan menjual jasa pela- yanan tertentu yang dapat diupayakan oleh seorang Kepala Desa, hal ini merupakan sua- tu kreatifitas dan bahkan keberanian aparat untuk keluar dari jalur hukum dalam meng- gali potensi ekonomi.

Seni memimpin itu menghasilkan dana ope- rasional desa yaitu berupa: iuran pengusaha, iuran tahunan masyarakat, dermawan, alokasi dana desa dari Kabupaten dan jasa aktifitas sosial-ekonomi. Seni itu juga merupakan ke- giatan memberikan jasa aktivitas sosial-eko-

Dalam dokumen Analisa Pemikiran Politik Islam pdf (Halaman 55-67)

Dokumen terkait