• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori

4. Musik Ibadah

Musik ibadah atau dapat juga disebut musik gerejawi muncul pertama kali pada jaman abad pertengahan (375-1400) dengan bentuk musik monofoni yaitu musik gregorian, musik vokal dengan satu suara tanpa iringan (Prier, 1991:86). Karena saat itu musik vokal masih berbentuk satu suara maka belum dikenal istilah harmoni, tetapi hanya menggunakan modalitas/tangga nada pada jaman musik yunani. Menurut Prier (1991), bentuk musik gregorian dibagi menjadi empat, yaitu accentus (nyanyian yang syairnya diambil dari kitab mazmur), concentus (nyanyian non-resitatif), bentuk baru lagu gregorian (mulai abad 10 dengan memasukan unsur duniawi kedalam karya musik), drama liturgi (pada masa perayaan tertentu). Semua bentuk musik tersebut digunakan dalam liturgi peribadatan umat katolik/misa.

Musik ibadah pada gereja kristen protestan mulai muncul pada musik vokal di Jerman dengan tokohnya yaitu Martin Luther yang juga tokoh besar reformasi agama kristen protestan. Prier (1991:68) menjelaskan bahwa salah satu refromasi gereja yang diperjuangkan oleh luther adalah mengikutsertakan

20

jemaat pada ibadat dengan bernyanyi bersama. Seperti yang telah diketahui sebelumnya awal munculnya musik gereja dikalangan gereja katolik, nyanyian dalam liturgi baik itu mazmur dan nyanyian non-resitatif hanya dinyayikan oleh seorang penyanyi/solis pada jaman musik gregorian dan setelah jaman itu musik gereja hanya dinyanyikan oleh sekelompok paduan suara karena telah berkembang juga teori harmoni, maka Marthin Luther memperjuangkan reformasi gereja untuk jemaat turut dilibatkan dalam nyanyian ibadah. Karena konteks liturgi dalam agama kristen seperti yang dikemukakan oleh Juswantori (2005) adalah kegiatan peribadahan dimana seluruh anggota jemaat terlibat secara aktif dalam pekerjaan bersama untuk menyembah dan memuliakan nama Tuhan, berdasarkan pernyataan tersebut maka tidak ada seorangpun pengunjung ibadah yang pasif dan seolah-olah hanya menjadi penonton saja. Hal tersebut juga berlaku pada nyanyian ibadah yang merupakan salah satu mata rantai liturgi yang tidak terpisahkan, adapun fungsi dan peran nyanyian ibadah tersebut antara lain memberi bobot/mempertajam pengungkapan makna melalui syair lagu, memberi kesempurnaan penghayatan ibadah melalui keutuhan, kekhidmatan dan kesucian ibadah (Sumardiyono:2009). Selain itu reformasi yang dilakukan oleh Marthin Luther dalam hal nyanyian ibadah adalah musik gereja harus menggunakan bahasa setempat disamping bahasa Latin, serta Luther memperkenalkan hymne baru yang disebut Chorale yaitu hymne yang

21

menggunakan teks baru yang diadaptasi dari sajak religius (Komisi Liturgi, 2012:9)

a. Fungsi dan Peran Nyanyian Ibadah

Nyanyian ibadah dapat dimainkan dengan hanya instrumen saja dengan tujuan untuk menghantarkan umat masuk dalam suasana ibadah yang khidmat dan tenang, tetapi pada bagian yang lebih penting nyanyian ibadah harus melibatkan umat untuk turut menyanyikan atau lebih disebut nyanyian jemaat. Bentuk dari iringan musik ibadah tidaklah harus meriah layaknya sebuah konser tetapi sederhana dan dapat membawa umat turut bernyanyi secara nyaman (Prier:2012). Apabila jemaat dapat turut aktif bernyanyi dan menikmati musik iringan maka jemaat juga akan dapat menghayati makna syair dalam nyanyian dengan benar.

b. Klasifikasi Nyanyian Ibadah

Menurut Komisi Musik dan Liturgi GKI (2012:15) nyanyian ibadah adalah bagian dari musik gereja yang dinyanyikan bersama-sama oleh seluruh umat didalam ibadah, nyanyian ibadah dapat juga disebut dengan nyanyian jemaat. Gereja Kristen Indonesia saat ini menggunakan 3 buah buku lagu untuk digunakan dalam nyanyian jemaat dalam peribadatan mereka, 3 buku lagu tersebut antara lain Kidung Jemaat (KJ), Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB), dan Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ) dimana ketiga buku tersebut diterbitkan oleh Yayasan Musik Gereja (YAMUGER) dan untuk jemaat ditulis dalam notasi angka beserta syairnya.

22

Berdasarkan sifatnya, nyanyian ibadah dibagi menjadi 2 seperti yang diungkapkan Komisi Musik(2012:33)

a. Ordinarium, yaitu nyanyian yang bersifat tetap, tidak berubah dalam segala tema ibadah yang digunakan.

b. Proprium, yaitu nyanyian yang selalu berubah karena disesuaikan dengan tema ibadah tergantung pada situasi dan kondisi yang dialami oleh gereja.

Dalam liturgi ibadah Gereja Kristen Indonesia, contoh dari lagu ordinarium adalah Amin, Haleluya, dan Haleluya Amin. Sedangkan contoh untuk lagu proprium sangat banyak tergantung pada tema ibadah yang digunakan.

c. Unsur nyanyian ibadah

Ada beberapa unsur yang wajib dipahami oleh seorang pemusik yang dalam hal ini mengiringi nyanyian jemaat dalam sebuah ibadah. Komisi musik dan liturgi GKI (2012) menjelaskan unsur-unsur tersebut antara lain : 1) Tempo : cepat atau lambatnya sebuah lagu tersebut dinyanyikan.

Biasanya tanda tempo menggunakan simbol MM, sebagai contohnya MM=100, artinya dalam 1 menit terdapat 100 ketukan (Komisi Musik, 2012:46). Tidak semua lagu yang digunakan dalam liturgi mempunyai tempo yang sama, tergantung dari makna syair lagu tersebut dan pesan apa yang akan disampaikan dalam sebuah lagu untuk kemudian menentukan cepat atau lambatnya sebuah nyanyian jemaat.

2) Frasering : frasering dapat juga disebut dengan pengalimatan, yaitu pemenggalan kalimat yang disesuaikan dengan nafas. Pesan dalam syair

23

yang terkandung pada nyanyian jemaat dapat tersampaikan dengan baik apabila pemenggalan kalimatnya tepat. Peran pemusik pada bagian ini adalah memberikan kesempatan pada jemaat untuk mengambil nafas selama bernyanyi dengan tujuan jemaat tidak terengah-engah dan lagu tidak menjadi monoton (Komisi Musik, 2012:46). Dengan frasering yang benar, nyanyian jemaat akan lebih hidup dan jemaat akan bernyanyi dengan nyaman.

3) Tonalitas dan Modalitas : tonalitas dan modalitas sangat erat hubungannya dengan tangga nada/nada dasar pada sebuah lagu. Prier (2014:217) dalam bukunya yang berjudul kamus musik menjelaskan tonalitas adalah istilah untuk sistem hubungan nada dan akor dalam musik mayor-minor (tonal) barat. Tonalitas dibedakan menjadi 2 yaitu mayor diawali nada do/1, dan minor yang diawali dengan nada la/6, yang dimana pada masing-masing tonalitas baik mayor atau minor akan mempunyai progresi akord yang berbeda. Tonalitas minor dibagi menjadi 4 yaitu minor asli, minor harmonis, minor melodis, dan minor zigana. Modalitas adalah rumusan modus tertentu, misal tangga nada pentatonis serta tangga nada gereja (Komisi Musik, 2012:48). Jika dalam tonalitas jumlah nada asli yang digunakan berjumlah 7, maka dalam modalitas belum tentu menggunakan semua ketujuh nada tersebut, melainkan hanya beberapa nada saja yang digunakan. Dalam modalitas juga tidak menggunakan kadens/gerakan akor tertentu, tetapi susunan akornya diatur

24

melalui interval disonan dan konsonan menggunakan ilmu kontrapung (Prier,2014:118). Contoh dari modalitas adalah susunan nada yang digunakan dalam gamelan jawa atau disebut dengan pentatonis jawa, laras slendro hanya menggunakan 5 nada saja yaitu 1-2-3-5-6 sedangkan pada laras pelog menggunakan 5 nada juga dengan susunan 3-4-5-7-1 (Prier,2014)

d. Iringan Nyanyian Ibadah

Pemusik ibadah sebagai wakil umat, istilah ini dipakai oleh Prier dalam bukunya ‘Roda Musik Liturgi’ untuk menjelaskan bahwa pemusik/organis tidak hanya memberi warna dalam nyanyian jemaat tetapi juga harus turut bernyanyi untuk mengungkapkan pesan yang terkandung dalam nyanyian. Jika sang pemusik sendiri tidak memahami pesan yang terkandung dalam lagu karena cara mengiringi yang kurang sesuai bagaimana orang lain dapat memaknai pesan lagu yang dinyanyikan. Tugas seorang organis tidak hanya menciptakan suasana ibadah yang khidmat tetapi juga membantu jemaat agar dapat bernyanyi dengan nyaman. Komisi Musik dan Liturgi GKI menekankan pentingnya pemberian intro, interludium, preludium, dan postludium oleh pemusik dalam mengiringi nyanyian jemaat yang terdiri dari beberapa bait dalam satu lagu.

1) Intro : intro adalah cara untuk memperkenalkan lagu, tinggi nada, tempo, dan karakter lagu supaya umat dapat menyanyikan lagu tersebut dengan

25

tinggi nada dan tempo yang sama (Komisi Musik, 2012:50). Intro berperan penting agar umat tidak ragu-ragu dalam inseting/memulai bernyanyi pada sebuah lagu. Intro pada umumnya berjumlah antara 4-8 birama yang berasal dari akhir lagu.

2) Interludium : adalah melodi yang menghubungkan antara satu bait dengan bait berikutnya dalam sebuah lagu. Interludium digunakan dengan melihat syair dan makna dari antar bait lagu, apabila makna dari satu bait ke bait berikutnya masih berkaitan maka interludium tidak perlu digunakan agar pesan yang tersirat melalui syair lagu dapat dimaknai oleh umat sepenuhnya.

3) Coda : coda merupakan ekor atauh akhiran dari sebuah lagu, coda dapat berupa permainan musik secara instrumental atau syair yang terdapat pada akhir nyanyian yang dinyanyikan secara berulang. Jika dimainkan secara instrumental coda dapat diambil dari 2-4 birama akhir lagu tetapi dapat juga dimainkan dengan improvisasi yang sedikit berbeda baik itu improvisasi melodi, harmoni, dan ritme.

Struktur lagu yang digunakan dalam nyanyian ibadah di GKI adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Struktur Lagu Pada Nyanyian Jemaat

Intro – Bait – Refrain(bila ada dalam lagu) – Interlude – Bait – Reffrain (bila ada dalam lagu) - Coda

26

Dalam mengiringi sebuah nyanyian jemaat musik iringan pertama kali memainkan intro yang merupakan pengenalan lagu kepada jemaat, intro dimainkan dengan jiwa, irama, dan tempo yang tepat sesuai dengan karakter lagu (Prier:2014). Pada umumnya tempo diambil sejumlah 2-8 birama pada awal lagu dan pada akhir lagu. Setelah intro selesai dimainkan jemaat memulai menyanyikan nyanyian sesuai dengan susunan lagu yang biasanya dimulai dari bait, pada bagian ini pemusik tidak terlalu menonjolkan permainanya agar suara jemaat dapat terdengar dengan jelas. Ada nyanyian jemaat yang memiliki bagian reffrain dalam susunan lagunya, reffrain biasanya terdapat setelah bait dinyanyikan dapat berfungsi sebagai kesimpulan atau makna inti dari nyanyian tersebut (Prier:2014). Pada bagian reffrain pemusik diperbolehkan mengubah sedikit gaya iringannya untuk memberi variasi dalam nyanyian jemaat. Apabila nyanyian jemaat akan dinyanyikan lebih dari satu kali atau lebih dari satu bait maka diperlukan interlude yang merupakan permainan musik secara instrumentalyang berada pada antar bait nyanyian. Interlude biasanya diambil sejumlah 2-4 birama pada akhir lagu. Nyanyian jemaat ditutup oleh bagian yang disebut coda / ekor lagu. Pentingnya penggunaan coda adalah untuk melengkapi sebuah keutuhan nyanyian jemaat sehingga jika syair lagu terakhir selesai dinyanyikan maka lagu tidak langsung berhenti begitu saja, tetapi diakhiri dengan permainan musik iringan yang menggambarkan bahwa nyanyian tersebut sudah selesai

Penentuan nada dasar sebenarnya sudah dituliskan pada setiap lagu yang akan dinyanyikan, nada dasar tersebut sudah disesuaikan oleh YAMUGER yang merupakan penerbit buku nyanyian yang digunakan dalam peribadatan dengan ambitus suara umat pada umumnya. Apabila nada dasar yang sudah ditetapkan oleh buku masih kurang nyaman untuk dinya

pemusik diijinkan merubah nada dasar tersebut tetapi tidak boleh terlalu jauh dari nada dasar asli yang sudah ditetapkan. Perlu diketahui oleh setiap pemusik gerejawi bahwa ambitus umat pada umumnya berada pada nada a sampai nada d2.

e. Alat Musik Pengiring Ibadah

Penggunaan teknik iringan oleh pemusik tergantung pada alat musik yang digunakan dan karakteristik alat musik tersebut.

1) Electone: merupakan elektrik. Electone

saat ini dikalangan gereja katolik. Alat musik ini pendahulunya adalah organ pipa yang sumber suaranya berasal dari pipa

tekanan angin (Prier, 2014

megah dan menggelegar dengan nada panjang, pilihan suara yang biasa Penentuan nada dasar sebenarnya sudah dituliskan pada setiap lagu yang inyanyikan, nada dasar tersebut sudah disesuaikan oleh YAMUGER yang merupakan penerbit buku nyanyian yang digunakan dalam peribadatan dengan ambitus suara umat pada umumnya. Apabila nada dasar yang sudah ditetapkan oleh buku masih kurang nyaman untuk dinyanyikan jemaat, maka pemusik diijinkan merubah nada dasar tersebut tetapi tidak boleh terlalu jauh dari nada dasar asli yang sudah ditetapkan. Perlu diketahui oleh setiap pemusik gerejawi bahwa ambitus umat pada umumnya berada pada nada a

Gambar 2. Ambitus Suara Jemaat Untuk bernyanyi

Alat Musik Pengiring Ibadah

Penggunaan teknik iringan oleh pemusik tergantung pada alat musik yang digunakan dan karakteristik alat musik tersebut.

merupakan pengembangan dari alat musik organ dalam bentuk Electone biasa digunakan untuk mengiringi sebuah ibadah saat ini dikalangan gereja katolik. Alat musik ini pendahulunya adalah organ pipa yang sumber suaranya berasal dari pipa-pipa yang mendapat tekanan angin (Prier, 2014:142). Karakteristik dari alat musik ini adalah megah dan menggelegar dengan nada panjang, pilihan suara yang biasa 27

Penentuan nada dasar sebenarnya sudah dituliskan pada setiap lagu yang inyanyikan, nada dasar tersebut sudah disesuaikan oleh YAMUGER yang merupakan penerbit buku nyanyian yang digunakan dalam peribadatan dengan ambitus suara umat pada umumnya. Apabila nada dasar yang sudah nyikan jemaat, maka pemusik diijinkan merubah nada dasar tersebut tetapi tidak boleh terlalu jauh dari nada dasar asli yang sudah ditetapkan. Perlu diketahui oleh setiap pemusik gerejawi bahwa ambitus umat pada umumnya berada pada nada a

Gambar 2. Ambitus Suara Jemaat Untuk bernyanyi

Penggunaan teknik iringan oleh pemusik tergantung pada alat musik

organ dalam bentuk biasa digunakan untuk mengiringi sebuah ibadah pada saat ini dikalangan gereja katolik. Alat musik ini pendahulunya adalah pipa yang mendapat :142). Karakteristik dari alat musik ini adalah megah dan menggelegar dengan nada panjang, pilihan suara yang biasa

28

digunakan dalam penggunaan alat musik electone adalah strings dan pipe organ. Alat musik ini dimainkan dengan kedua tangan dan kaki yang semuanya turut aktif berperan, pada tangan kanan memainkan melodi utama lagu (cantus firmus) tangan kiri memainkan blocking chord dengan letak papan nada yang berbeda, kaki kiri aktif memainkan bas pada bilah-bilah nada yang terdapat pada bagian bawah, sedangkan kaki kanan berperan mengatur pedal volume.

2) Piano : sebuah alat musik akustik yang sumber bunyinya berasal dari senar yang dipukul oleh hammer/pemukul yang terbuat dari kayu, piano merupakan penyempurnaan dari alat musik harpsichord dan cembalo yang mulai muncul pada jaman barok. Karakteristik alat musik ini dapat memainkan melodi, akor dan juga bass. Karakteristik alat musik piano untuk mengiringi nyanyian yaitu memberikan ketukan yang jelas, sehingga tempo lagu tetap terjaga. Piano juga menentukan rhytm dari sebuah lagu (Komisi Musik, 2012:64). Saat ini piano telah dikembangkan dengan cara lebih modern yaitu piano digital yang dihasilkan melalui listrik sehingga perawatannya tidak serumit piano akustik.

3) Keyboard : alat musik keyboard adalah hasil dari modernisasi dari semua alat musik, karena hampir semua jenis suara yang dihasilkan alat musik dapat ditirukan oleh keyboard. Bentuk dari alat musik ini adalah terdapat bebeapa papan nada sama seperti piano dan organ tetapi di atasnya terdapat banyak tombol untuk menjalankan fungsi dan lauar LCD sebagai

29

monitornya. Alat musik ini menggunakan listrik sebagai sumber daya dan didalamnya terdapat program seperti komputer yang dapat menjalankan perintah pemain secara otomatis dengan hanya menekan salah satu tombol. Keyboard menjadi pilihan utama hampir disemua gereja karena fleksibilitas fungsi dari alat tersebut, disamping harganya yang relatif terjangkau apabila dibandingan dengan alat musik akustik lainnya. Beberapa gereja menggunakan alat musik keyboard untuk menggantikan alat musik organ atau piano karena pertimbangan harga dan perawatan. Teknik permainanpun juga dapat mengikuti teknik permainan organ dan piano yaitu selain dapat sebagai chord blocking, keyboard juga dapat memainkan melodi bahkan melodi+chord blocking (Komisi Musik, 2012:80) dan cara ini masih relatif berhasil untuk menciptakan suasana ibadah dan mengiringi nyanyian umat agar suasana ibadah tetap khidmat. Namun ada juga yang menggunakan keyboard untuk mencari kemeriahannya melalui fitur style keyboard. Style iringan merupakan fitur keyboard berupa iringan otomatis yang berbentuk irama musik tertentu yang terdiri dari beberapa alat musik (Prier,2012:196). Penggunaan fitur ini cenderung lebih mudah untuk dipelajari, dimainkan, dan pastinya memberikan suasana yang lebih meriah apabila dibandingkan dengan iringan alat musik organ dan piano karena instrumen keyboard dapat memainkan beberapa alat musik secara bersamaan. Tetapi kemeriahan bukanlah suasana yang dibutuhkan untuk dapat beribadah dengan khidmat, melainkan suasana hening dan teduh.

30

Komisi Musik dan liturgi menjelaskan peran rhythmbox atau style iringan dalam sebuah musik iringan ibadah harus diminimalisir.

Ingatlah bahwa musik gereja tidak sama dengan musik yang lain. Dalam mengiringi jemaat penggunaan rhythmbox (style iringan) harus dihindari karena membuat nyanyian menjadi mati. Rhythmbox (style iringan) adalah mesin yang tidak memiliki nafas, padahal manusia selalu bernafas dan dalam menyanyi kita harus mengambil nafas. Rhythmbox (style iringan) membuat nyanyian menjadi mati karena seperti komidi putar yang terus menerus mengulang tanpa titik atau koma (2012:59).

Senada dengan Komisi Musik dan Liturgi, Prier dalam bukunya roda musik liturgi (2012:197) juga menentang penggunaan fitur rhythm pada keyboard (style iringan) untuk mengiringi nyanyian ibadah. Menurutnya fitur tersebut lebih tepat untuk hiburan dalam konteks musik sekuler, sedangkan musik gerejawi diciptakan untuk berkomunikasi dengan Tuhan bukan untuk hiburan. Selain itu nyanyian gerejawi identik dengan penghayatan dan penjiwaan sehingga menimbulkan dinamika yang beragam seperti keras, lembut, perlahan menjadi cepat, dll yang semuanya itu tidak dapat dilakukan oleh style iringan.

Dokumen terkait