• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Parodi sebagai Strategi Wacana terhadap Identitas Budaya Populer

1) Musik Populer Menurut Cara Pandang Orde Baru

Remi Sylado, dalam Prisma edisi Juni 1977, menyebut musik pop sebagai musik niaga alias musik yang diperdagangkan. Ia memperlawankan musik ini (musik pop) dengan musik standar. Musik

pop, katanya ―semata-mata sebagai musik komersial. Dan dengan sendirinya, memandang pop adalah memandangnya dari sudut dagang. Pop adalah mode. Dan mode yang berganti setiap musim, tak lebih dan

tak kurang adalah hanya urusan politik dagang belaka‖. (dalam Prisma,

Setelah menyandingkan praktik musik populer dengan sifat komersialitasnya, ia kemudian mengidentifikasi musik populer dari segi

kualitasnya. Karena komersil, maka ―wajar apabila musik pop tidak begitu memiliki nilai kualitas yang tinggi‖ (ibid). Dengan demikian, praktik

budaya populer di bidang musik dikategorikan sebagai berkualitas rendah. Sylado juga mengaitkan praktik musik populer dengan pikiran pelakunya. Katanya:

Jika pemusik pop diminta berpikir, maka mereka akan berpikir tentang laba. Orang yang mencipta, menyanyi, dan cukong yang merekam lagu pop, adalah orang yang tak memikirkan soal apakah yang direkamnya itu memiliki nilai etis, dan apakah seni itu tahan uji terhadap sebuah kritik yang artinya estetis, atau tidak.

Dari gagasan itu, Sylado kemudian merelasikan praktik budaya populer dalam musik dengan masalah kultural. Tulisnya pokok masalah kultural yang tak pernah dijangkau dalam pop adalah syarat-syarat etis

dan estetis. Apakah yang dimaksud ‗syarat-syarat etis‘ dan ‗syarat-syarat

estetis‘ itu?

Yang dimaksudkan syarat etis adalah hal kerinduan manusia terhadap keterpikatan pada perkara-perkara keindahan. Tulisnya:

Manusia memiliki pengindrian-pengindriaan tertentu yang dialaminya. Maka ketika manusia mencoba mewujudkannya ke dalam sebuah perwujudan yang otentik, maka dengan begitu secara platonis ia menghayati sebuah kebenaran objektif tentang hidup yang dikenalnya dengan akrab, betapa pun hidup itu adalah sesuatu yang irasional.

Sylado melihat bahwa budaya yang tidak pop adalah manisfestasi kebenaran objektif di mana di sana terdapat pengalaman yang otentik dari

seorang manusia. Dengan kata lain, tidak ada yang otentik dalam pop. Pada saat kecenderungan untuk menyatakan sesuatu tentang hidup itu sampai pada perumusan-perumusan normatif, yaitu batasan-batasan usaha manusia dalam mendekati kaidah-kaidah keindahan secara objektif, maka dengan itu pula ia telah menghadapi sebuah pergumulan tentang kecenderungan estetis sebagai suatu kontemplasi nurani.

Pop dikatakan tidak menjangkau kedua syarat tersebut karena, menurut Sylado:

Realitas hidup yang diusungnya seumur-umur adalah bahwa dalam terjajahnya ia karena ketergantungannya pada selera cukong yang ditentukan juga oleh sebuah sistem sosial yang halai balai, yang meradang oleh ekonominya yang puntang-ceranang, menyebabkan ia terus lahir berbiak-biak dalam kebebalan.

Sebenarnya di manakah praktik dari musik populer di Indonesia yang menjadi keberatan Sylado? Tak jauh dari pendapat Sudjoko yang berpusat pada masalah kebahasaan, menurut Sylado, inti persoalan dalam musik pop Indonesia adalah lirik lagu tersebut. Berbagai kritik dilayangkan seputar pilihan kata yang digunakan untuk mengangkat ide

musik dalam sebuah lagu. Lagu pop Indonesia katanya ―rata-rata hanya

ratapan kepatahan cinta‖ (Prisma, 1977: 25).

Menurutnya, sebenarnya tidak ada masalah dengan mengangkat

cinta sebagai tema sebuah lagu. Namun, ―Yang menjadi masalah adalah

mengangkat tema cinta dalam sebuah karya seni tanpa memiliki sikap apapun tentang penghayatan batin. Maka, cinta tersebut cinta bebal

namanya, dan mau tak mau karya itu sendiri pun telah menjadi karya yang

bebal‖ (Prisma, 1977: 25).

Dengan begitu masalah kebahasaan dalam praktik lirik lagu pop pada akhirnya mengkategorikan cinta, di mana terdapat cinta yang bebal dan cinta yang tidak bebal. Dan lirik lagu populer merepresentasikan cinta yang bebal. Pada saat yang sama, Sylado juga berkonsentrasi pada lagu-

lagu pop Indonesia sering kali mengulang kata ―mengapa‖. Mengapa kata ―mengapa‖ dalam lirik lagu populer menjadi masalah bagi Sylado?

Tulisnya, ―Kata ‗mengapa‘ telah menjadi manifestasi ketidak-tentuan

maknawi. Seni pop hanya ―mengapa‖ melulu dan tak pernah memberi jawaban tentang itu‖. Sylado kemudian menunjuk lagu Apa Salahku yang dibawakan A. Riyanto sebagai salah satu contoh. Lirik yang ditunjuk Sylado adalah sebagai berikut:

Mengapa sayang Kau tinggalkan daku

Apakah sayang Salahku padamu

Sylado mengamati bahwa kata ―mengapa‖ ini sudah menjangkiti hampir semua musisi pop pada masa itu. Bahkan ―anak-anak kribo yang dengan begitu maksudnya supaya terlihat jantan dan sedikit liar‖ pun

lembek dengan kata ―mengapa‖-nya. Ia mencontohkan Rollies, sebuah band yang banyak mendapat pengaruh dari jazz rock Amerika – seperti Santana, Chicago, dan lain-lain – dalam lagu Kesedihan Hati ternyata menyerah pada kata ―mengapa‖ juga. Ini terlihat pada lirik lagu sebagai berikut:

Alangkah indah dan bahagia Waktu kau selalu berada di sisiku

Tapi mengapa begini jadinya Semoga dikau diterimanya

Tidak sampai di situ saja, yang paling menyedihkan – menurut Sylado – bahwa pada lagu pop yang menang pada festival nasional tahun

1975 adalah lagu yang sarat dengan kata ―mengapa‖ juga. Dengan

demikian, Sylado menyimpulkan bahwa pengalaman telah mengingatkan bahwa pop Indonesia memang hanya catatan tentang orang-orang yang sakit jiwa, yang menangisi hidupnya karena mengapa ditinggalkan cinta (Prisma, 1977: 27).

Selain saratnya kata mengapa dalam kebanyakan lagu pop Indonesia saat itu, satu hal lagi yang menjadi gejala adalah pengidentifikasian laki-laki dengan kelaliman dan perempuan ditentukan hidupnya oleh kelaliman laki-laki. Lagu Mengenang Kehancuran yang dibawakan oleh Tetty Kadi bisa disebut salah satu contoh dengan lirik sebagai berikut:

Setelah semuanya terjadi Si gadis ditinggal pergi

Menderita hidupnya Merana dengan luka dihatinya

Laki-laki di sini dididentifikasi sebagai ―makhluk biadab‖ dan

―binatang cerdas yang licik‖. Dan perempuan dianggap sebagai bodoh, sebab ia hanya menjadi ―boneka manis yang pintar nangis‖. Dengan

demikian, Sylado telah merelasikan praktik lagu populer dengan isu gender, di mana wanita lebih tampil sebagai sub-ordinat.

Ia kemudian menuduh musik pop Indonesia sebagai cengeng. Kecengengan, yang katanya bisa ditelusuri sampai pada tahun 1963-1964. Lagu Patah Hati-nya Rahmat Kartolo, yang menjadi hit pada tahun 1963- 1964, dituduh sebagai biang awal kecengengan musik pop Indonesia. Sylado kembali mengulang sebuah diskursus musik populer pada jaman Soekarno yang memang dituduh sebagai kecengengan. Namun

‗kecengengan‘ dala term Sylado dan jaman Soekarno mempunyai pengertian yang sama? Kecengengan dalam pengertian Soekarno tentu saja dikaitkan dengan semangat revolusioner Indonesia, bukan masalah hilangnya penghayatan seperti yang dipermasalahkan Sylado.

Lagipula tekanan Sylado pada apa yang populer sebenarnya adalah dagang. Menurutnya, musisi pop Indonesia bukannya tidak memiliki wawasan luas terhadap dunia musik secara global. Banyak musisi pop yang mendapat pengaruh dari musik-musik luar dengan genre yang beragam, seperti rock, hard rock, baroque rock, folk rock, dan sebagainya. Namun Sylado menganggap bahwa ini hanya terjadi pada musisi-musisi yang baru muncul. Begitu mereka terkenal dan ditawari rekaman, genre- genre musik yang memengaruhi mereka tersebut tidak terlihat dalam lagu yang mereka hasilkan kemudian. Sylado menyalahkan para pengusaha rekaman tesebut yang, dengan mengatas-namakan selera masyarakat, menentukan musik seperti apa yang harus dihasilkan para musisi yang mereka pekerjakan. Jadi titik yang menjadi akar permasalahan dari kurang

berkualitasnya musik pop Indonesia, menurut Sylado, ada pada karakter musik pop itu sendiri, yaitu komersil.

Musik pop, katanya, dibuat untuk rakyat jelata yang hidup dalam hiruk-pikuk kota dan tidak memiliki kesempatan untuk melatih kuping pada musik-musik mulia, seperti musik Bach, Mozart, atau Beethoven yang hadir dengan sikap etis yang jelas. Satu-satunya kesempatan, pada masa itu, untuk melayani kuping yang rindu santapan batin hanyalah sebuah transistor AC-DC. Rakyat jelata tersebut tidak merasa perlu untuk kritis terhadap nilai-nilai kultural pada musik yang mereka dengarkan. Yang mereka perlukan adalah nasi dan lauk pauk.

Bayangan tentang musik pop adalah musik yang komersil dan massifikasi pada tahun ini akhirnya membuat cara pandang Susan Piper dan Sawung Jabo, yang menuliskan sejarah Musik Indonesia, terhadap musik populer pun berbeda. Titik tekan pembicaraan mereka dalam melihat musik pada orde lama adalah lebih kepada instrumen massifikasi. Bidang pembicaraan mereka bukanlah masalah imperialisme akan tetapi

industri musik melalui term ‗radio‘, ‗rekaman‘ atau ‗piringan hitam‘. (lihat Susan Piper dan Sawung Jabo, dalam ―Musik Indonesia, dari 1950- an hingga 1980-an,‖ Prisma, No. 5 Mei 1987, hal.10)

Mereka menulis bahwa tahun 1951, praktis media penyebaran musik pop hanya melalui radio. Hal mana saat itu dikuasai pemerintah dengan siaran nasionalnya. Sedangkan lagu-lagu barat hanya dimiliki dalam koleksi radio-radio Angkatan Udara. Di tahun 1951 untuk pertama

kali Radio Republik Indonesia (RRI) mengadakan pemilihan ―Bintang

Radio‖. Musik ―hiburan‖ adalah salah satu dari tiga kategori dalam pemilihan ―Bintang Radio‖ RRI, dua lainnya adalah Seriosa dan

Keroncong.

Dalam tahun 1957 piringan hitam long play (LP) pertama buatan Indonesia diproduksi oleh Irama Record. LP ini berisikan musik gamelan

–musik untuk tari serimpi dan segera disusul oleh rekaman musik populer,

yang untuk pertama kalinya adalah Sarinande. Sebuah LP 12‖ musik

instrumental bersama pianis Nick Mamahit. Bintang rekaman saat itu yang membawakan musik pop adalah Djuwita yang membawakan

tembang ciptaan Maroeti, ―Indahnya Alam‖. (lihat Susan Piper dan Sawung Jabo, dalam ―Musik Indonesia, dari 1950-an hingga 1980-an,‖

Prisma, No. 5 Mei 1987, hal.10).

Dengan demikian, sejarah yang ditulis oleh Susan Piper dan Sawung Jabo adalah sejarah pemikiran jamannya; jaman orde baru, bukan sejarah musik di masa orde lama. Musik populer adalah populer menurut jaman orde baru, bukan populer menurut orde lama. Mengapa demikian? Karena medan wacana musik populer telah menyediakan pandangan bahwa musik populer adalah musik komersial atau bagian dari industri massa setelah jatuhnya orde lama.