• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Mutu tepung Ikan

Tepung ikan dengan mutu yang tinggi mempunyai tekstur tepung ikan halus, bebas benda asing dan serangga, baunya khas tepung ikan, berwarna coklat kekuningan khas tepung ikan. Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan baku yang digunakan, metode pengolahan serta cara dan lama penyimpanan. Proses pembuatan yang semakin baik diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan rendemen tepung yang dihasilkannya sehingga dapat meningkatkan dan memenuhi kebutuhan tepung ikan dalam negeri (Annafi 2009).

Proses pembuatan tepung ikan menggunakan metode konvensional, yaitu persiapan bahan baku, pemasakan, pengepresan, pengeringan dan pengangin-anginan. Mutu tepung ikan yang dihasilkan tergantung pada jenis dan kesegaran bahan mentah yang diolah dan juga teknologi pengolahannya (Annafi 2009).

Pengolahan tepung ikan pada dasarnya adalah perubahan bentuk dari ikan utuh menjadi tepung ikan melalui tahap-tahap pemasakan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan (Mulki 2005), sedangkan teknologi pengolahannya dapat ditentukan berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah.

Komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya. Tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi seperti yang tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan

Zat gizi Kandungan (%)

Air 10-12 Lemak 8-12 Protein 45-65 Abu 20-30 Serat 1,5-3 Calcium (Ca) 2,5-7,0 Fosfor 1,6-4,7 NaCL 2-4 Sumber: BSN (1996)

Tepung ikan akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung

lemak (Ilyas 2003). Kebanyakan tepung ikan mengandung kadar air 18%, lemak 5-10% dan protein sebesar 60-65%.

2.4 Singkong

Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta CRANTZ) merupakan sumber utama kalori di daerah tropis dan biasanya terdapat pada daerah dataran tinggi. Menurut Oluwole et al. (2007), singkong merupakan sumber utama kalori di daerah tropis yang dapat diproses menjadi beberapa makanan dan mengandung senyawa sianogen.

Singkong dikelompokkan menjadi singkong yang agak manis dan singkong yang agak pahit sehingga memerlukan pemrosesan yang lebih ekstensif sebelum dikonsumsi (Fregene et al. 2003; Manu-Aduening et al. 2005). Menurut Agbor-Egbe dan Lape Mbome (2006) serta Aloys (2006), umbi singkong dapat diproses menjadi beberapa makanan. Tanaman singkong memiliki banyak kelebihan, yakni (a) dapat tumbuh pada kondisi yang kurang baik dan iklim yang ekstrim, seperti tanah masam, (b) mampu berproduksi pada tanah yang subur tetapi tetap menghasilkan pada tanah yang kurang atau tidak subur, (c) rentang panen yang panjang, yakni antara 10 hingga 30 bulan, (d) merupakan makanan pokok terbesar dunia setelah gandum, beras dan jagung, (e) sumber terbesar karbohidrat, (f) sekitar 500 juta orang bergantung padanya dan (g) memiliki umbi manis dan pahit (Laswai et al. 2006; Vessia 2008).

Tanaman yang akan digunakan sebagai bahan baku pati (tapioka) harus memiliki kandungan protein rendah, viskositas (kekentalan) pati tinggi, kandungan pati tinggi, dan kandungan serat rendah.

Secara tradisional, ubi kayu digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai makanan pokok seperti halnya beras dan jagung. Ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan nomor tiga di Indonesia setelah padi dan jagung sekaligus sumber kalori pangan termurah dan cukup ketersediaannya. Ubi kayu di Indonesia terutama digunakan untuk bahan pangan (58%), bahan baku industri (28%), ekspor dalam bentuk gaplek (8%) dan pakan (2%) (DKU 2004). Umbi ubikayu dari setiap jenis dan cara pengolahan umbi sangat berpengaruh terhadap komposisi kimianya. Kandungan gizi ubi kayu, gaplek dan tepung tapioka yang

dibandingkan dengan beras dan terigu serta tepung ubi kayu untuk jelasnya disajikan pada Tabel 2 dan standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan gizi dalam 100 g singkong, beras giling, gaplek, dan tepung tapioka yang dibandingkan dengan terigu

Zat Makanan Singkong Beras Giling Gaplek Tapioka Terigu

Kalori (kal) 154,00 360,00 338,00 363,00 365,00 Protein (g) 1,00 6,80 1,50 1,10 8,90 Lemak (g) 0,30 0,70 0,70 0,50 1,30 Karbihidrat (g) 36,80 78,90 81,30 83,20 77,30 Zat Kapur (mg) 33,00 6,00 80,00 89,00 16,00 Phospor (mg) 40,00 140,00 60,00 125,00 106,00 Zat Besi (mg) 1,10 0,80 1,90 1,00 1,20 Vitamin B1 (mg) 0,06 0 0 0 0,12 Thiamine (mg) 20,00 0 0 0,40 0 Vitamin C (mg) 30,00 0,12 0 0 0,12

Sumber : Dir. Gizi Depkes diacu dalamDKU (2004)

Tabel 4 Standar mutu tepung singkong menurut SNI No. 01.2997.1992

Uraian Satuan Persyaratan

Keadaan: Bau Rasa Warna Benda-benda asing Derajat putih Abu Air Derajat Asam Asam sianida Kehalusan Pati %,b/b BaSO4 = 100 %0 %, bb %, bb Ml N NaOH/100g mg/Kg % %,

Khas ubi kayu Khas ubi kayu Putih

Tidak boleh ada Min . 85 Maks. 1.5 Maks. 12 Maks 3 Maks. 40 Min. 90 Min. 75 Sumber: (DKU 2004) 2.5 Enbal

Enbal (dalam bahasa daerah Kei) merupakan salah satu makanan pokok

masyarakat Daerah Kei Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Enbal terbuat dari bahan ubi kayu yang telah diparut dan diperas untuk

mengeluarkan air dari patinya yang kemudian disebut enbal gepe, lalu diayak untuk mendapatkan tepung enbal.

Bagi masyarakat Maluku Tenggara, enbal memiliki arti penting dan strategis. Enbal dijadikan makanan pokok sekaligus sebagai media keakraban dan persaudaraan. Suasana seperti itu semakin terasa pada saat datang dari rantau, niaga maupun setelah menyelesaikan pendidikan. Enbal dijadikan makanan utama mengalahkan jenis makanan pokok lainnya (beras dan jagung) atau sebagai bekal perjalanan dan buah tangan untuk sesama masyarakat Maluku Tenggara (Tual). Proses pengolahan enbal secara tradisional disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung enbal cara tradisional. (komunikasi pribadi).

2.6 Pengeringan

Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya menggunakan energi panas.

Singkong segar Pemarutan Tangan Pengepresan dengan papan penjepit Enbal mentah Pengayakan Penepungan Tepung enbal

Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu, dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan (Muchtadi 2008).

Tujuan pengeringan pada suatu bahan pangan di antaranya adalah untuk mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air (aw), mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan juga bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, yaitu aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya (Berk 2009).

Proses pengeringan terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap sebelum pemanasan (preheating period), tahap kecepatan pengeringan konstan (constant drying-rate period) dan tahap penurunan kecepatan pengeringan (decreasing drying-rate period). Tahap pertama, air bebas dan terikat masih berada dalam bahan dengan tidak mengalami perubahan. Pada tahap kedua, air bebas berada di permukaan bahan, suhu bahan tetap konstan dan sebanding dengan suhu basah pada udara panas. Semua panas yang diterima oleh bahan digunakan untuk proses penguapan. Pada tahap ketiga, tidak ada air bebas pada permukaan bahan, penguapan telah terjadi di seluruh bagian permukaan sehingga terjadi penurunan kecepatan pengeringan sampai akhir waktu pengeringan yaitu saat terjadi kesetimbangan kadar air (Masuda et al. 2006).

Menurut Brooker et al. (2004), beberapa parameter yang mempengaruhi waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, antara lain:

1) Suhu udara pengering

Laju penguapan air bahan dalam pengering sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang dibutuhkan untuk penguapan air bahan menjadi berkurang. Suhu udara pengering berpengaruh terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan. Makin tinggi suhu udara pengering maka proses pengeringan makin singkat. Biaya pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu tinggi, selama suhu tersebut tidak sampai merusak bahan.

2) Kelembaban relatif udara pengering

Kelembaban relatif udara adalah perbandingan massa uap air aktual pada volume yang diberikan dengan masa uap air saturasi pada temperatur yang sama.

Kelembaban mutlak udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan dari dalam ke permukaan bahan. Kelembaban relatif juga menentukan besarnya tingkat kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di permukaan bahan. Semakin rendah RH udara pengering, makin cepat pula proses pengeringan yang terjadi karena mampu menyerap dan menampung uap air lebih banyak dari pada udara dengan RH yang tinggi.

3) Kecepatan udara pengering

Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan uap air tersebut. Air dikeluarkan dari bahan dalam bentuk uap dan harus secepatnya dipindahkan dari bahan. Bila tidak segera dipindahkan maka air akan menjenuhkan atmosfer pada permukaan bahan sehingga akan memperlambat pengeluaran air selanjutnya. Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bahan dan mencegah uap air tersebut menjadi jenuh di permukann bahan. Semakin besar volume udara yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya dalam membawa dan menampung air dari permukaan bahan.

4) Kadar air bahan

Pada proses pengeringan, sering dijumpai adanya variasi jumlah kadar air pada bahan yang mana variasi kadar air ini akan mempengaruhi lamanya proses pengeringan, sehingga perlu diketahui berapa persen kadar air pada bahan saat basah dan pada saat kering.

Pengeringan dapat dilakukan dengan memakai suatu alat pengering (artificial drying) atau dengan penjemuran (sun drying), yaitu pengeringan dengan menggunakan energi sinar matahari langsung. Pengeringan buatan (artificial drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan dapat diawasi (Winarno dan Fardiaz 1973).

2.7 Pengaruh pengeringan terhadap beberapa sifat bahan

Pengeringan dapat menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma dan lainnya walaupun perubahan-perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan cara memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan

yang akan dikeringkan. Pada umumnya, bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-reaksi browning, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Reaksi browning non-enzimatik yang sering terjadi adalah reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi (Muchtadi 2008).

Pengurangan kadar air akan menyebabkan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral-mineral pada bahan pangan terkonsentrasi lebih tinggi namun sejumlah vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang (Winarno dan Fardiaz 1973). Menurut hasil penelitian Chukwu (2009), jika dibandingkan dengan bahan baku, ikan jenis tilapia yang telah dikeringkan mengalami penurunan persentase kadar air, sedangkan persentase kadar protein, lemak, vitamin A, potassium, serta fosfor mengalami kenaikan.

Jika pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi maka dapat menyebabkan terjadinya case hardening yaitu suatu keadaan di mana bagian dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras sehingga akan menghambat penyerapan air selanjutnya. Case hardening juga dapat disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya terjadinya pengumpulan protein pada permukaan bahan karena adanya panas atau terbentuknya dekstrin dari pati yang dikeringkan (Winarno dan Fardiaz 1973). Pemanasan yang berlebih pada proses pemasakan produk seafood kering dapat mengakibatkan hilangnya asam amino yang tidak stabil terhadap panas (Pan 1988 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994).

Suatu tipe pengeringan memberikan pengaruh terhadap kualitas produk akhir. Pengeringan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier dan kuartener dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida dan perubahan sekuen asam amino pada struktur protein (Kusnandar 2010).

2.8 Umur Simpan

Pengembangan teknologi pengolahan, pengemasan dan metode lain untuk mengukur dan meramalkan masa simpan produk makanan sangat penting dan

strategis. Semakin tinggi masa simpan produk makanan, semakin jauh jangkauan pemasarannya sehingga makin ekonomis.

Penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu produk olahan yang disimpan dengan cara menghindari, mengurangi ataupun menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas komoditi tersebut. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya akibat mekanis contoh vibrasi, kompresi, dan abrasi (Arpah 2001).

Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian diterapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS) (Floros dan Gnanasekharan 1993). Metode ESS sering juga disebut sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak lagi dapat diterima oleh konsumen. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang memiliki waktu kadaluarsa kurang dari 3 bulan.

Penentuan umur simpan produk dengan metode konvensional dapat dilakukan dengan menganalisis kadar air suatu bahan, mengeplotkan kadar air tersebut pada grafik kemudian menarik titik tersebut sesuai dengan kadar air kritis produk. Perpotongan antara garis hasil pengukuran kadar air dan kadar air kritis ditarik garis ke bawah sehingga dapat diketahui nilai umur simpan produk (Herawati 2008). Penentuan umur simpan produk dapat dipercepat dengan menggunakan metode Accelerated Storage Studies (ASS), yaitu kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat dilakukan ( Arpah dan Syarief 2000).

Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan (Herawati 2008), yaitu:

1) Pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria kadaluarsa.

2) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu menggunakan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo nol atau satu untuk produk pangan.

Analisis penurunan mutu dengan metode akselerasi memerlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik atau uji mikrobiologi seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan lain sebagainya. Jenis parameter yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak, parameternya biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud cair, bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, tidak semua parameter yang diuji melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat yang mempengaruhi konsumen (Syarief dan Halid 1993).

Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan terbuka pada kondisi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan, yaitu suhu, kelembaban, kandungan oksigen dan cahaya dapat memicu beberapa reaksi yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk tersebut. Penyimpangan mutu produk dari mutu awalnya disebut sebagai deteriorasi (Arpah 2001). Produk pangan mengalam deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dari persinggungan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat juga diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi. Reaksi deteriorasi pada produk pangan juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari lingkungan (Arpah 2001). Hal ini akan meyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi maupun mikrobiologis. Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004).

Dokumen terkait