• Tidak ada hasil yang ditemukan

Myanmar Masa Pemerintahan Rezim Militer

Bab II Latar Belakang Berdirinya Pemerintahan Militer

2.4 Myanmar Masa Pemerintahan Rezim Militer

Mundurnya Jenderal Saw Maung kemudian digantikan oleh Jenderal Than Shwe pada 21 April 1992. Bergantinya kekuasaan ke tangan Than Shwe tidak menjamin Myanmar lebih dekat dengan jalan demokrasi. Jenderal Than Shwe menjalankan kekuasan berdampingan dengan Jenderal Khin Nyunt. Pada masa pemerintahannya, Jenderal Than Shwe telah mencabut Undang-Undang Darurat pada tanggal 26 September 1992. Tidak hanya itu, SLORC pun berjanji untuk tidak akan melakukan tindakan penekanan terhadap kaum minoritas seperti masa Jenderal Saw Maung.39

Tidak berbeda jauh dengan para pendahulunya, gaya pemerintahan represif dan otoriter pun telah menjadi pilihan bagi Jenderal Than Shwe, karena selama Than Shwe mengambil alih pemerintahan juga telah terjadi beberapa kebijakan yang menimbulkan masalah, diantaranya adalah : Menangkap, memenjarakan dan

38

Priyambudi Sulistiyanto, ”Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasi; Studi Perbandingan Thailand, Indonesia dan Burma”, Prisma LP3ES, No. 5 tahun XXVI, Mei-Juni 1997, h. 21-22.

39

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.

menyiksa para pendukung prodemokrasi. Melarang untuk berkumpul lebih dari 5 orang di malam hari bagi siapapun yang berada di Myanmar. Menaikkan Bahan Bakar Minyak sebesar 500%. Seluruh akses informasi keluar, baik jaringan internet maupun telepon diputus, serta melarang bepergian disekitar lima kuil Buddha utama.

Selain itu, dengan wataknya yang konservatif, Jenderal Than Shwe telah memberhentikan Jenderal Khin Nyunt yang dikenal lebih pragmatis yang masih melihat perlunya reformasi dan keterlibatan masyarakat internasional dalam proses demokrasi di negaranya. Terbukti dengan diluncurkannya Program ”Road Map to Democracy” oleh Jenderal Khin Nyunt pada 30 Agustus 2003,40 sesuai dengan tekadnya untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.

Pada tanggal 15 November 1997, dibawah pemerintahan Jenderal Than Shwe SLORC merubah nama menjadi SPDC (State Peace and Development Council) namun tetap dengan karakteristik pemerintahan yang sama yaitu represif, otoriter dan totaliter. Penggantian ini ditunjukkan untuk menata kebijakan politik dan perekonomian guna mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, khususnya setelah Myanmar secara resmi diterima menjadi anggota penuh ASEAN. Dengan tetap menjalankan kebijakan sebelumnya, SPDC berusaha meningkatkan citra lain dengan membebaskan para tahanan politik yang dianggap tidak membahayakan keamanan nasional dan berjanji tidak akan memegang kekuasaan negara dalam jangka waktu lama, namun akan mengalihkan kekuasaan kepada sipil setelah konstitusi baru terbentuk.41 Akan tetapi, hal tersebut hanya

40

Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,

Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 57.

41

“Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”, Kedutaan Besar Republik Indonesia,Yangon,Edisi ke-2 2002, h. 73.

menjadi janji kosong SPDC karena nyatanya hingga kini peralihan kekuasaan kepada sipil tak kunjung dilaksanakan. Selain itu, pembebasan para tahanan politik sekedar tindakan sementara karena setelah para tahanan melakukan kegiatan diluar yang tidak disenangi militer, mereka menjadi tahanan politik kembali.

Fakta lain mengenai kerepresifan Jenderal Than Shwe dibawah naungan SPDC tampak dalam sikapnya menanggapi tekanan-tekanan internasional dengan meluncurkan statement mengenai persepsi pemerintahan Myanmar terhadap arti demokrasi. Melalui pernyataan ini, semakin menegaskan bahwa demokrasi di Myanmar berjalan lambat dan dominasi militer dalam pemerintahan akan semakin sulit dihilangkan. Pernyataan tersebut adalah :42

” Demokrasi harus didasarkan pada kepentingan umum dan bukan kepentingan sepihak. Termasuk pentingnya untuk tetap menjamin stabilitas keamanan domestik dan mencegah munculnya tindakan yang melawan hukum yang terpaksa akan dijawab dengan kekuatan militer”.

Dengan demikian, perhatian kepemimpinan militer Myanmar selama tiga generasi tidak menunjukkan perubahan secara signifikan. Janji militer untuk menjalankan demokrasi dan mengambalikan pemerintahan sipil tak kunjung dilaksanakan. Pengelolaan ekonomi negara pun hanya dipusatkan pada bisnis yang mengutamakan golongan militer dalam pemerintahan. Sehingga dapat dikatakan kapasitas militer Myanmar dalam mengendalikan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar sangat kuat.

42

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.

BABIII

Gerakan Perlawanan Prodemokrasi Terhadap Pemerintahan Militer

3.1 Aung San Suu Kyi Sebagai Aktor Demokrasi Myanmar

Daw Aung San Suu Kyi adalah salah satu tokoh prodemokrasi di Myanmar. Putri dari The Founding Father Myanmar Aung San ini telah menjadi tokoh pejuang demokrasi bagi rakyat Myanmar sejak tahun 1988. Sebagai putri dari pahlawan kemerdekan, Suu Kyi mewariskan keberanian orang tuanya dalam membela dan memajukan bangsanya sampai titik darah penghabisan. Gagasan- gagasan politiknya yang diperuntukan bagi perubahan negara tidak jarang menjadikan posisi militer terancam dan menyebabkan dirinya menjadi tahanan politik militer.

Kekacauan negara yang terjadi pada masa pemerintahan Ne Win, ketika rakyat merasakan perlunya kehidupan yang demokratis, mengakibatkan meledaknya gerakan demonstrasi besar-besaran disepanjang tahun 1988. Pengunduran diri Ne Win sebagai pemimpin yang diktator dan terjadinya aksi protes yang meluas di hampir seluruh wilayah Myanmar dan mengakibatkan terbunuhnya ribuan jiwa rakyat Myanmar, menjadi awal bagi Suu Kyi untuk segera melakukan perlawanan terhadap militer dan melakukan perubahan yang berhak didapatkan oleh rakyat Myanmar.

Menyadari betapa menderitanya rakyat Myanmar akibat kesewenang- wenangan pemerintahan militer membuat Suu Kyi memulai aksi politiknya. Aksi politik Aung San Suu Kyi untuk pertama kali dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1988 dengan melakukan pidato di lapangan depan Pagoda Shwedagon, Yangoon.

Dalam pidatonya Suu Kyi menegaskan tujuan perjuangan bersama adalah untuk mewujudkan pemerintahan multipartai yang demokratis, bukan referendum seperti yang ditawarkan pemerintah. Keberanian Suu Kyi menentang pemerintah militer diaplikasikan melalui pemikiran serta peran politiknya yang berlandaskan pada sistem demokrasi yang adil dan jujur. Ia juga tidak sepaham dengan militer yang lebih memilih politik isolasionis, sebaliknya ia lebih menginginkan Myanmar menjadi negara yang terbuka pada dunia luar dengan tetap menjaga budaya dan agama serta menghilangkan fanatisme sempit.43

Aung San Suu Kyi sangat lantang menyuarakan kebebasan dan demokrasi. Ia menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi ancaman dan menunjukkan bahwa dia tidak akan terintimidasi atau merasa takut. Itu merupakan gaya keberaniannya yang didukung oleh rakyat Myanmar yang menginginkannya untuk menjadi pemimpin.44 Sehingga perjuangan Aung San Suu Kyi tidak hanya dinilai oleh masyarakat Myanmar, masyarakat internasional juga memberi perhatian yang lebih terhadap perjuangannya. Berkat kegigihannya memperjuangkan demokrasi dan penegakkan hak asasi manusia, maka pada tanggal 4 November 1990 Aung San Suu Kyi dianugerahi Penghargaan HAM Thorolf Rafto. Pada 22 Januari 1991, ia kembali meraih penghargaan Sakharov tahun 1990 untuk kebebasan berfikir dari Parlemen Eropa. Di tahun yang sama ia mendapatkan Nobel Perdamaian dari Presiden Czechoslovakia, Vaclav Havel.45 Terakhir, ikon demokrasi Myanmar ini

43

Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 32-34.

44

Josef Silverstein, ”The Idea of Freedom in Burma and the Political Thought of Daw Aung San Suu Kyi”, Pacific Affairs, Vol. 69 No. 2 Summer 1996, h. 226.

45

Mya Maung, “Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development”, Paragon House, New York, 1992, h. 164.

menerima Simon Bolivar Prize untuk kebebasan pada tahun 1992. 46 Dalam

Thorolf Rafto Human Rights Prize, Komite Internasional mendeskripsikan Aung San Suu Kyi sebagai berikut :

”Daw Aug San Suu Kyi personified Burma’s movement for democracy. Through her courageous and devoted work for human rights and democracy, Daw Aung San Suu kyi has become the focal point of the Burmese opposition demanding an end to the iron-fisted military rule in the country, restoration of fundamental human rights and democracy. In this dark period of the history of Burma, Daw Aung San Suu Kyi has earned enormous respect both from her fellow-citizens and from the international human rights community’’.47

Sejak keterlibatannya dalam NLD sebagai sekertaris jenderal, Suu Kyi mulai berjuang atas nama partai. National League for Democracy (NLD) berdiri dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang demokratis dengan cara mengusahakan perubahan sosial dan politik yang terjamin perdamaian, HAM dan kesejahteraan.48 Suu Kyi dan NLD mulai mendapat perhatian rakyat Myanmar akibat tujuannya untuk memberikan angin demokrasi yang selama ini tidak dipenuhi oleh pemerintahan militer. Perjuangan tokoh-tokoh demokrasi di dalam NLD menjadikan NLD sebagai partai paling populer di Myanmar. Namun kediktatoran militer menjadi tembok penghalang yang sangat kuat bagi NLD dalam usaha mencapai tujuannya.

Menghadapi penyelenggaraan pemilu multipartai tahun 1990, tokoh-tokoh NLD menyusun strategi untuk mencapai sasarannya menciptakan Myanmar sebagai negara demokrasi. Namun berkaitan dengan pernyataan Aung San Suu

46

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.86.

47

Mya Maung, Op.Cit., h. 137-138.

48

Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 35.

Kyi dalam sebuah wawancara pada masa kampanye bahwa ia dan partainya akan menyerukan boikot nasional terhadap proses ekonomi, maka Suu Kyi, Kyi Maung dan Tin Oo selaku pemimpin NLD ditangkap dan dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah militer pada 29 Juli 1989.49 Dengan kenyataan Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah, pemerintahan militer pernah menolak Suu Kyi dan Tin Oo mewakili distrik Yangoon. Terlebih Suu Kyi dianggap tidak layak menjadi wakil rakyat disebabkan latar belakang kehidupannya yang lama menetap di luar negeri dan menikah dengan warga negara asing.50 Menanggapi hal tersebut Aung San Suu Kyi dalam pidatonya mengatakan :

"Saya percaya bahwa semua orang yang telah berkumpul di sini tanpa terkecuali datang dengan keinginan yang tak tergoyahkan untuk memperjuangkan dan memenangkan sistem multipartai yang demokratis. Dalam hubungan ini, saya ingin menjelaskan bagian yang telah saya lakukan dalam gerakan ini. Hal ini diperlukan karena cukup banyak orang yang tidak mengetahui sejarah kehidupan saya ... Memang benar bahwa saya telah tinggal di luar negeri. Benar juga bahwa saya menikah dengan orang asing. Fakta-fakta ini tidak pernah dan tidak akan mengganggu atau mengurangi cinta dan pengabdian saya untuk negara oleh ukuran atau derajat apa pun".51

Tindakan SLORC menurunkan popularitas NLD agar tidak mendapatkan suara mayoritas dalam pemilu menjadi usaha yang sia-sia. Kenyataannya, hasil pemilu diluar prediksi pemerintahan militer dalam naungan SLORC. NLD menjadi pemenang, tetapi kemenangan tersebut tidak diakui SLORC dengan berbagai alasan. Tidak hanya itu, sejumlah besar anggota NLD pun menjadi tahanan politik.

49

”The New ASEANs: Vietnam, Burma, Cambodia & Laos”. Department of Foreign Affairs and Trade Commonwealth of Australia, 1997, h. 110.

50

Aung San Suu Kyi menikah dengan seorang ilmuwan ahli masalah Tibet berkebangsaan Inggris, Michael Aris.

51

Mya Maung, Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development, Paragon House, New York, 1992, h. 145-146.

Keadaan negara sedikit berubah ketika Jenderal Saw Maung mengundurkan diri. Tahta pemerintahan berpindah pada Jenderal Than Shwe dan Jenderal Khin Nyunt. Watak Khin Nyunt yang lebih pragmatis membuat Khin Nyunt memiliki inisiatif untuk melakukan pertemuan dengan Suu Kyi dan tokoh NLD lainnya. Hasil pertemuan ini berdampak pada dibebaskannya para tahanan politik termasuk Suu Kyi pada 10 Juli 1995. Suu Kyi diperbolehkan melakukan aktifitas kembali namun tetap berada di bawah kepemimpinan Aung Shwe yang merupakan anggota militer yang ditunjuk SLORC.52

Kebebasan yang dirasakan aktor-aktor demokrasi hanya sementara. Setelah Jenderal Khin Nyunt digantikan oleh Jenderal Than Shwe yang merupakan Jenderal bersifat konservatif telah menjadikan Suu Kyi dan tokoh- tokoh NLD lainnya sebagai tahanan rumah. NLD dan Suu Kyi yang dinilai sebagai ancaman bagi supremasi militer menjadikan mereka kembali berstatus sebagai tahanan rumah sejak 30 Mei 2003. Mengenai penahan kali ini seharusnya Suu Kyi dibebaskan pada bulan Mei 2009. Namun ternyata, intrusi yang dilakukan seorang warga negara Amerika Serikat bernama Yettaw ke rumah Suu Kyi, menjadi alasan bagi militer untuk mengadili hal tersebut. Pengadilan kemudian memutuskan hukuman penjara bagi Suu Kyi selama 18 bulan setelah adanya perintah keringanan dari Jenderal Than Shwe dengan alasan menjaga kestabilan dan perdamaian di Myanmar.53

Pertentangan antara sipil dan militer serta keadaan negara yang semakin tak terkendali, menjadikan Suu kyi menawarkan penyelesaian secara damai

52

Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.

53

Alexandra Retno Wulan, ”Terorisme, Perkembangan Politik di Myanmar dan Pemilu di tiga Negara”, Analisis CSIS, Vol. 38 No. 3 September 2009, h. 356.

dengan pihak militer. Penyelesaian melalui jalan diskusi atau dialog telah diupayakan oleh Suu Kyi sejak lama, tetapi kenyataannya cara ini pun tak lantas diindahkan oleh pemerintah militer. Aung San Suu Kyi percaya bahwa penyelesaian atas semua masalah perbedaan yang terjadi di Myanmar dapat dicapai melalui diskusi atau dialog.

”Saya selalu meminta dialog...Tetapi dialog tanpa perdebatan. Akan ada perbedaan pendapat dan cara berfikir. Dialog tidak melibatkan pemenang dan pecundang. Ini bukan sebuah pertanyaan tentang kehilangan muka. Ini mengenai penemuan solusi yang terbaik untuk negara”.54

Sosok Aung San Suu Kyi telah menjadi kekuatan pokok dalam perjuangan demokrasi Myanmar. Berkat perjuangannya, kini NLD menjadi partai paling populer di Myanmar. Akan tetapi, kekuatan Suu Kyi dan NLD tidak mampu membendung otoritas militer. Kenyataan ini semakin membuat lambatnya proses demokrasi dan bukan tidak mungkin dapat membuat kekuasaan militer di Myanmar mendapatkan waktu yang lebih lama lagi.

Dokumen terkait