• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Latar Belakang Berdirinya Pemerintahan Militer

3.3 Tindakan Pemerintah Militer Myanmar

Pemerintah militer Myanmar dikenal sebagai pemerintahan yang selalu menggunakan kekerasan dalam menghadapi gerakan-gerakan demokrasi rakyat.

61

Agus Budi Rahmanto, Op.Cit., h. 72-73.

62

“Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”,Op.Cit.,

Sejak tahun 1988, pemerintah telah menunjukkan kekuatannya membasmi gerakan-gerakan perlawanan dari rakyat. Penahanan aktor-aktor demokrasi dan mahasiswa, penewasan para demonstran serta penculikan menjadi kejadian yang telah mewarnai kehidupan rakyat Myanmar. Fenomena tersebut menyebabkan Myanmar menjadi negara yang mengerikan bagi rakyatnya sendiri.

Dalam perkembangan terakhir, protes terhadap tindakan pemerintah militer dipimpin oleh para biksu Buddha. Protes biksu diawali ketika SPDC melakukan kebijakan sewenag-wenang dengan meningkatkan BBM sampai 500%. Kebijakan yang diumumkan pada bulan Agustus ini menimbulkan kemarahan bagi rakyat Myanmar. Rakyat yang sudah dalam keadaan sulit semakin dibebani dengan kenaikan BBM. Keadaan ini membuat biksu Buddha tidak dapat berdiam diri. Demi melakukan perubahan, biksu Buddha yang sangat dihormati (Sangha) merelakan dirinya untuk terjun kedalam urusan negara dengan memimpin aksi protes di Yangoon khususnya di Pagoda Sule. Dalam mewakili kebutuhan masyarakat, biksu menuntut tiga permintaan, yaitu : mudahkan kondisi hidup masyarakat Myanmar, bebaskan semua tahanan politik, dan segera lakukan dialog yang bermakna bagi rekonsiliasi nasional.63

Aksi protes biksu yang terjadi pada 28 Agustus 2007, ditindak oleh militer dengan cara yang brutal. Akibat dari tindakan SPDC adalah banyaknya korban jiwa bahkan SPDC telah menewaskan seorang jurnalis Jepang, Kenji Nagai. Tindakan ini menjadi bukti pemerintahan militer yang tidak menghargai

63

Christopher B.Roberts, “Plight of Myanmar’s People : Challenges for the Internasional Community ”, dalam “Strategic Currents : Emerging Trends in Southeast Asia” , Insitute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2009, h. 35.

komunitas biksu.64 Kerepresifan militer yang telah mengakibatkan korban jiwa bahkan terdapat korban warga asing telah membuat masalah Myanmar semakin rumit terlebih mengenai hubungannya dengan Jepang.

Militer Myanmar yang sebagian besar hanya memiliki sedikit pendidikan atau pelatihan profesional menyebabkan mereka selalu menghadapi para demonstran dengan cara yang brutal. Militer yang berbasis di daerah perbatasan juga terbiasa melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas. Sebelum melaksanakan tugasnya memberantas aksi demonstrasi, komandan militer telah menyediakan dosis methamphetamine bagi tentaranya untuk meningkatkan agresivitas, dan taktik tersebut juga diadopsi ketika menghadapi aksi protes biksu di Yangoon.65

Militer tidak hanya menangkap para biksu, politisi prodemokrasi bahkan masyarakat sipil lainnya yang mendukung protes biksu juga menjadi korban kerepresifan militer. Win Naing, seorang aktor komedi menjadi salah satu korban militer yang ditangkap di rumahnya karena memberikan makanan dan air kepada para biksu yang menggelar protes. Sebelumnya Naing juga pernah ditangkap pada 8 Maret 2007 karena mengadakan konfrensi pers aktivis menggugat kesulitan ekonomi yang dialami rakyat. Selain itu, aktor komedi Zaganar juga ditangkap karena menyerukan rakyat agar mendukung protes para biksu dalam wawancara di radio.66

Kehidupan demokrasi sangat dibutuhkan masyarakat Myanmar, mengingat masyarakat Myanmar selalu hidup dalam bayang-bayang aksi kemanusiaan yang

64

Alexdra Retno Wulan, “Isu Myanmar, Semenanjung Korea dan Konflik Darfur”, Jurnal Analisis CSIS, Vol. 36. No. 4, 2007, h. 368.

65

Christopher B.Roberts, Op.Cit., h. 36.

66

diakhiri dengan cara kekerasan. Namun usaha untuk menuju kehidupan damai dan demokratis masih memiliki hambatan yang besar. Kekuatan militer yang didukung oleh faktor internal dan eksternal serta lemahnya oposisi menjadikan proses rekonsiliasi berjalan lambat.

BAB IV

Peran dan Hambatan ASEAN dalam Menciptakan Demokrasi di Myanmar

4.1 Keanggotaan Myanmar dalam Organisasi Regional ASEAN

Myanmar resmi tergabung menjadi anggota ASEAN sejak tahun 1997 bersama dengan Laos. Secara geografis, Myanmar memang terletak di kawasan Asia Tenggara. Sehingga kedekatan geografis tersebut menjadi alasan bagi ASEAN untuk menerima Myanmar meskipun masalah penerimaan tersebut telah menjadi kontroversi dalam perpolitikan internasional.

Menerima Myanmar sebagai anggota baru dengan permasalahan demokrasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan pemerintahan militer memang tidak mudah bagi ASEAN. Mengatasi hal tersebut, ASEAN mengembangkan kebijakan ”constructive engagement”. Kebijakan ini memiliki inti upaya membantu menyelesaikan persoalan internal Myanmar dengan cara- cara Asia Tenggara yaitu tanpa menggunakan kekerasan.67

Melalui kebijakan ”constructive engagement”, ASEAN memberi kebebasan bagaimana masing-masing negara anggota agar dapat menyelesaikan apa yang diinginkannya sepanjang hal itu dianggap pantas dan ASEAN tidak memiliki posisi yang bersifat kolektif terhadap persoalan Myanmar. Tujuan utama kebijakan ini adalah menahan diri untuk tidak melawan pemerintah Junta militer dengan mempermalukan atau mengisolasi mereka. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan menolak campur tangan yang dilakukan oleh kekuatan luar, khususnya

67

Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.71.

negara-negara Barat.68 Dengan landasan tersebut, ASEAN berupaya membantu permasalahan internal Myanmar tanpa harus mendikte pemerintahan militer yang berkuasa.

Selain karena faktor kedekatan geografis, bergabungnya Myanmar menjadi anggota ASEAN juga dilandasi oleh kepentingan nasional Thailand. Myanmar dan Thailand merupakan negara yang berbatasan. Wilayah perbatasan yang sulit dilintasi menjadi lokasi yang aman bagi rakyat Myanmar yang ingin melarikan diri dari kekerasan politik militer. Rakyat Myanmar yang tidak mendapatkan hak hidup bebas dari ketakutan menyebabkan mereka mencari suaka di negara-negara tetangga salah satunya adalah Thailand.

Tidak terkendalinya jumlah pengungsi rakyat Myanmar yang melarikan diri ke daerah perbatasan Thailand menjadi penyebab utama keinginan Thailand menjadikan Myanmar sebagai salah satu anggota ASEAN dengan harapan jika terjadi masalah maka ia dapat dengan segera dibatasi, diperkecil, atau diselesaikan.69 Berikut adalah tabel jumlah pengungsi rakyat Myanmar yang mencari suaka di negara lain.

68

Dwi Wahyuni, “Efektifitas Kebijakan Constructive Engagement ASEAN Terhadap Myanmar (1992-2000), Skripsi Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2002, h. 19

69

CPF Luhulima, “Perimbangan Kekuatan di Myanmar, Faktor ASEAN dan Kepentingan Indonesia”, Jurnal Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 164.

Tabel 2

Refugee population, end of year--main countries of asylum (main countries in 2005)

Asylum Country* 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Thailand 104,033 105,216 101,686 99,716 104,569 110,313 112,238 118,762 120,814 116,499 Bangladesh 30,578 21,497 22,174 22,131 21,556 22,106 21,967 19,743 20,402 21,053 Malaysia 5,114 5,104 5,113 5,136 5,134 5,151 5,247 4,152 9,601 14,208 United States 810 1,135 1,508 2,079 3,006 5,268 5,551 4,789 5,342 6,793 India 440 463 588 696 779 876 1,043 940 1,162 1,471 Other 2,042 2,357 2,338 1,905 2,084 2,142 2,455 2,998 3,692 4,840 Total 143,017 135,772 133,407 131,663 137,128 145,856 148,501 151,384 161,013 164,864

* UNHCR estimates for most industrialized countries

Negara-negara anggota ASEAN lain mulanya menunjukkan sikap ketidaksetujuannya menerima Myanmar menjadi anggota ASEAN disebabkan adanya kasus pembunuhan ratusan ribu muslim Rohingya di Myanmar yang dipaksa mengungsi di Bangladesh. Namun menjelang Myanmar menjadi anggota penuh, sikap tersebut berubah, Malaysia kini berubah haluan menjadi mendukung gagasan menerima Myanmar dalam keanggotaan ASEAN.70

Sedangkan Singapura, Indonesia, Vietnam dan Philipina juga mendukung hal tersebut dengan acuan prinsip non-interference. Perubahan sikap ini merupakan respon dari adanya kebijakan Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar karena bagi negara-negara anggota ASEAN, penundaan keanggotaan Myanmar akan membuka peluang bagi Amerika untuk menginjak- injak prinsip otonomi regional ASEAN.71 Meskipun Myanmar belum resmi menjadi anggota ASEAN, ASEAN tidak menginginkan kawasan Asia Tenggara di intervensi oleh negara lain.

Dari sebelum hingga menjadi anggota ASEAN, Myanmar telah menjadi sumber masalah rumit bagi ASEAN. Melalui pendekatan ”constructive engagement”, ASEAN berfikir bahwa permasalahan di Myanmar secara perlahan akan teratasi. Reformasi politik, demokratisasi, penghormatan Hak Asasi Manusia, pembebasan Aung San Suu Kyi dan aktor-aktor prodemokrasi lainnya akan segera dipenuhi oleh pemerintahan militer Myanmar. Namun, ciri pemerintahan militeristik mematahkan harapan tersebut. Pendekatan konfrontatif

70

Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.72.

71

Ibid, h.72.

maupun pendekatan konstruktif tidak membendung kegigihan militer untuk dapat mempertahankan kekuasaan.

Kerepresifan dan pembangkangan pemerintah Myanmar memang telah mencoreng citra ASEAN di mata internasional. Keanggotaan dalam ASEAN tidak mengubah watak otoriter rezim militer Myanmar. Myanmar benar-benar telah membuat ASEAN kecewa dengan menganggap bahwa ASEAN tidak mampu memberikan langkah konkrit terhadap Myanmar. Rasa kekecewaan yang mendalam pernah diungkapkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhammad, dengan mengatakan bahwa jika Myanmar terus-menerus mempermalukan ASEAN, bukan tidak mungkin Myanmar akan disingkirkan dari keanggotaan ASEAN.72

Namun setelah terbentuknya Piagam ASEAN, pendapat ini bertentangan dengan Piagam tersebut sebab berdasarkan Piagam ASEAN yang telah disepakati bersama, tidak terdapat pasal yang mengatur tentang pengeluaran anggota.73 Dengan demikian, sebesar apapun kekecewaan akibat pembangkangan pemerintahan militer Myanmar, ASEAN tidak dapat mengeluarkan Myanmar dari keanggotaannya. Namun disisi lain, ini akan menjadi kelemahan di pihak ASEAN karena bukan tidak mungkin permasalahan Myanmar akan berangsur lebih lama lagi karena kerepresifan pemerintahan militer terus mendominasi Myanmar.

72

Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h. 162.

73

Wawancara dengan Ade Padmo Sarwono, Direktur Politik dan Keamanan ASEAN, Kemlu RI, 3 Agustus 2010.

4.2 Peran ASEAN dalam Menegakkan Demokrasi di Myanmar

Pada masa Perang Dingin masalah demokrasi merupakan masalah internal suatu negara. Kini setelah Perang Dingin berakhir masalah demokrasi dianggap sebagai suatu bentuk ancaman keamanan non-konvensional yang harus dihadapi oleh negara-negara dunia ketiga dan negara-negara berkembang termasuk negara- negara di kawasan Asia Tenggara. Pergeseran konsep masalah demokrasi ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Reorientasi kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat yang dibuat oleh Presiden William (Bill) Clinton. Reorientasi kebijakan ini memberikan perhatian lebih besar pada masalah-masalah lingkungan hidup, penegakan HAM dan demokratisasi. Dengan adanya reorientasi kebijakan tersebut, AS berhasil menjadikan isu-isu urusan domestik menjadi urusan internasional. Kemajuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan terjadinya arus penyebaran informasi secara cepat ke seluruh penjuru dunia. Munculnya desakan yang kuat dari berbagai kelompok dalam masyarakat, seiring pula dengan terjadinya peningkatan kualitas hidup rakyat akibat keberhasilan pembangunan ekonomi. Semakin kuatnya jaringan kerjasama antar LSM di belahan dunia mengakibatkan sebuah pelanggaran HAM dan demokratisasi yang terjadi di suatu negara akan dengan cepat menyebar ke negara lain. Hal-hal tersebutlah yang menjadikan pergeseran konsep masalah demokrasi.74

Munculnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya tunggal pasca Perang Dingin menjadikan Amerika merasa memiliki kewajiban moral untuk

74

Anna Juliastuti, “ASEAN dan Masalah Hak Asasi Manusia”, Global Jurnal Politik Internasional, No. 1, September 2000, h. 45.

mendemokrasikan dunia, menjamin sebanyak mungkin warga dunia hidup dengan kebebasan. Walaupun hal ini bertentangan dengan prinsip non-intervensi dan kedaulatan nasional, prinsip inilah yang selanjutnya menjadi pijakan dari kebijakan demokrasi dan HAM pemerintahan Amerika Serikat di luar negeri.75

Dengan adanya kebijakan Amerika Serikat maka peranan ASEAN sebagai organisasi regional dalam mengatasi permasalahan yang terjadi di Myanmar sangat diperhatikan oleh masyarakat internasional. Seberapa besar perilaku politik dan seberapa kuat pengaruh ASEAN di kawasan menentukan citra ASEAN di mata internasional. Upaya ASEAN untuk terus melakukan pendekatan terhadap pemerintahan militer Myanmar guna mengembangkan demokrasi merupakan prasyarat yang tidak dapat ditawar.76

Sebagaimana ditegaskan dalam teori peranan, perilaku politik adalah perilaku dalam menjalankan peranan politik. Teori ini berasumsi bahwa sebagian besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang kebetulan dipegang oleh aktor politik. Peranan ini tergantung juga pada posisi atau kedudukan struktur itu dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tadi. Peranan juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.77

Melalui peranan ASEAN dalam masalah Myanmar ini dapat dilihat perilaku politik yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan ASEAN, tentang apa yang bisa dan tidak bisa ASEAN lakukan. Dengan memaparkan

75

Endi Haryono, ”ASEAN Menanggapi Sanksi Ekonomi AS terhadap Myanmar 1997”,

Jurnal Paradigma, Vol. 1 No. 2, 1997, h. 58.

76

Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur : ASEAN, Myanmar dan Krisis Semenajung Korea”. Jurnal Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 184.

77

Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, h. 30-31.

variable-variable peran ASEAN dalam permasalahan yang terjadi di Myanmar, akan terlihat seberapa besar peran ASEAN dan seberapa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan demokrasi Myanmar.

ASEAN Regional Forum

ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum yang dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan.78

Sebagai suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan, ARF menetapkan dua tujuan utama yang terdiri atas:79

1. Mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama.

2. Memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujdkan confidence building measures (CBM) dan preventive diplomacy (PD) di kawasan Asia Pasifik.

Pendekatan yang dianut oleh ARF bersifat evolusioner dan berlangsung dalam tiga tahap besar, yaitu Confidence Building, Preventive

78

http://www.aseanregionalforum.org/Publiclibrary/ARFChairmansStatementsandReports /tabid/66/Default.aspx diakses pada 29 November 2010.

79

Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h. 209.

Diplomacy dan Conflict Resolution.80 Cara pengambilan keputusan yang diadopsi oleh ARF tidak berbeda dengan ASEAN yaitu melalui suatu konsensus setelah melalui konsultasi yang mendalam antar para peserta.

Dalam permasalahan yang terjadi di Myanmar, menanggapi tekanan Internasional terhadap Myanmar, para anggota ARF mengadakan pertemuan ARF yang ke IV di Kuala Lumpur pada 27-29 Juni 1997. Dalam pertemuan tersebut Myanmar diwakili oleh Menteri Luar Negeri U Ohn Gyaw.

Peranan ARF sebagai wahana dialog politik dan keamanan bagi Myanmar berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Berdasarkan hasil pernyataan Ketua Pertemuan ARF, maka terdapat beberapa pertemuan ARF yang telah membahas masalah Myanmar, yaitu :81

1. Pertemuan ARF ke-7, Bangkok, 27 Juli 2000.

Para Menteri menyambut penunjukkan Mr. Razali Ismail sebagai Utusan Khusus PBB untuk Myanmar pada 29 Juni-3 Juli 2000. Penunjukkan Mr. Razali dimaksudkan untuk bertemu dengan para pemimpin pemerintah Myanmar dan pihak terkait lainnya. Melalui dialog konstruktif, para Menteri berharap akan membawa perkembangan positif bagi Myanmar.

2. Pertemuan ARF ke-8, Hanoi, 25 Juli 2001.

Para Menteri menyambut baik perkembangan proses rekonsilasi di Myanmar, dan menyatakan penghargaan atas upaya pemerintah Myanmar, ASEAN dan utusan khusus PBB.

80

http://www.aseanregionalforum.org/Publiclibrary/ARFChairmansStatementsandReports /tabid/66/Default.aspx diakses pada 29 November 2010.

81

3. Pertemuan ARF ke-9, Bandar Sri Begawan, 31 Juli 2002.

Para Menteri menyambut baik perkembangan terakhir di Myanmar yang menandai prestasi penting dalam proses rekonsilasi nasional dan kemajuan ekonomi Myanmar. Para Menteri mengungkapkan harapan terhadap pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah lebih jauh dalam mengkonsolidasikan kemajuan. 4. Pertemuan ARF ke-10, Phnom Penh, 18 Juni 2003.

Memperhatikan pentingnya penguatan demokrasi sebagai elemen fundamental keamanan regional. Para menteri meminta Myanmar untuk melanjutkan upaya rekonsiliasi nasional dan dialog dengan semua pihak yang bersangkutan untuk mengarah pada transisi demokrasi. Menyambut baik jaminan yang diberikan Myanmar atas masalah penahanan Aung San Suu Kyi. Serta menegaskan kembali dukungan bagi upaya utusan PBB Tan Sri Razali Ismail.

5. Pertemuan ARF ke-11, Jakarta, 2 Juli 2004.

Para Menteri membahas perkembangan di Myanmar. Para Menteri juga mengingat dan menekankan relevansi pernyataan ketua ARF ke-10 yang menggarisbawahi perlunya keterlibatan seluruh lapisan masyarakat Myanmar dalam keberlangsungan Konvensi Nasional. Para Menteri mendesak Myanmar untuk mengambil tindakan yang akan menambah substansi pada ekspresi dan aspirasi demokratis. Para Menteri juga mengakui peran Utusan Khusus PBB dalam membantu Myanmar dalam mencapai tujuan demokrasi.

6. Pertemuan ARF ke-12, Vientiane, 29 Juli 2005.

Mencatat perkembangan terakhir di Myanmar termasuk kemajuan Konvensi Nasional dan menyatakan kekhawatiran pada proses demoratisasi. Menyerukan untuk dialog efektif dengan semua pihak terkait. Meminta untuk menerima kunjungan Utusan Khusus PBB.

7. Pertemuan ARF ke-13, Kuala Lumpur, 28 Juli 2006.

Para Menteri bertukar pandangan mengenai perkembangan terakhir di Myanmar. Para Menteri menyatakan keprihatinan mengenai proses rekonsiliasi nasional dan berharap melihat kemajuan demokrasi. Para Menteri menegaskan kembali untuk melakukan dialog efektif dengan semua pihak terkait. Para Menteri mencatat bahwa masalah ini akan dibahas secara luas oleh AMM ke-39 dan mereka menyatakan dukungan peran konstruktif yang diambil oleh Ketua Komite Tetap ASEAN ke-39 dan selanjutnya mendiskusikan hasil kunjungannya ke Myanmar pada 23-24 Maret 2006. Para Menteri juga mencatat inisiatif Utusan Khusus PBB untuk mengunjungi Myanmar pada 18-20 Mei 2006 dan kesiapan Myanmar menerima kunjungan lain.

Para Menteri mengakui bahwa Myanmar membutuhkan waktu dan ruang politik untuk menghadapi tantangan yang kompleks. Para Menteri menyatakan harapan mereka terhadap upaya Myanmar untuk menghadapi tantangan dengan kemajuan secara efektif melibatkan masyarakat internasional, dan ARF akan tetap terlibat secara konstruktif sesuai dengan kebutuhan.

8. Pertemuan ARF ke-14, Manila, 2 Agustus 2007.

Para Menteri bertukar pandangan mengenai perkembangan terakhir di Myanmar. Menteri mencatat perkembangan terakhir dalam proses rekonsiliasi nasional dan transisi damai menuju demokrasi sebagaimana yang diuraikan dalam Roadmap to Democracy. Para Menteri menyatakan keprihatinan mengenai proses rekonsiliasi nasional dan mendesak Myanmar untuk menunjukkan kemajuan nyata yang akan mengakibatkan transisi damai menuju demokrasi dalam waktu dekat. Para Menteri menyambut baik diselenggarakannya sesi akhir dari Konvensi Nasional, yang dimulai pada tanggal 18 Juli 2007, dan didorong oleh jaminan Myanmar bahwa proses Konvensi Nasional akan selesai dalam waktu dua bulan. Para Menteri juga menyatakan harapan Myanmar untuk bergerak ke langkah berikutnya dari

Roadmap. Para Menteri menegaskan kembali panggilan mereka untuk melakukan dialog efektif dengan semua pihak terkait.

Para Menteri menyatakan harapan mereka terhadap upaya Myanmar untuk menghadapi tantangan yang cukup kompleks dan keberhasilan Myanmar secara efektif melibatkan masyarakat internasional, dan dalam hal ini ARF akan tetap terlibat secara konstruktif sesuai kebutuhan.

9. Pertemuan ARF ke-15, Singapore, 24 Juli 2008.

Para Menteri menyatakan belasungkawa kepada Myanmar dan Cina atas banyaknya korban jiwa dan kehancuran yang disebabkan Topan Nargis dan gempa bumi di Sichuan, Cina. Para Menteri 55

menyatakan kepuasannya terhadap Satuan Tugas Kemanusiaan ASEAN yang telah efektif menyampaikan bantuan kemanusiaan bagi para korban selamat dari Topan Nargis. Mekanisme yang dipimpin ASEAN pertama yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN secara individu dan kolektif, serta PBB dan masyarakat internasional, telah membawa hasil positif.

10. Pertemuan ARF ke-16, Phuket, 23 Juli 2009.

Menteri Luar Negeri mencatat perkembangan kerja sama Myanmar dengan Amerika, termasuk kunjungan ke Myanmar oleh Mr Ban Ki-moon, Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 3-4 Juli 2009. Mereka menegaskan kembali pandangan mereka bahwa PBB memiliki peran penting dalam proses rekonsiliasi nasional maupun sebagai pembangunan sosial dan ekonomi di Myanmar. Mereka menyambut kerjasama antara Pemerintah Myanmar dan PBB pasca Topan Nargis. Mereka menyatakan kesediaan mereka untuk terus terlibat secara konstruktif dan berkontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi Myanmar, dan mendorong Pemerintah Myanmar dalam hal kemajuan nyata dan kredibel di jalan demokratisasi.

Dalam hubungan ini, mereka mendorong Pemerintah Myanmar untuk mengadakan pemilihan umum yang bebas, adil dan inklusif pada tahun 2010, dengan demikian meletakkan suatu landasan bagi pembangunan sosial dan ekonomi di masa depan. Mereka juga meminta Pemerintah Myanmar untuk membebaskan semua tahanan,

termasuk Daw Aung San Suu Kyi, dengan maksud untuk memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2010, dengan demikian membuka jalan bagi dialog yang bermakna dan rekonsiliasi.

Berdasarkan dialog yang telah dijalankan oleh negara-negara anggota ARF dan perkembangan demokratisasi di Myanmar, maka dapat dikatakan bahwa ARF tidak cukup efektif dalam membawa perubahan di negeri Myanmar. Pemerintah militer Myanmar masih memiliki keinginan kuat untuk memerintah dan memiliki cara sendiri untuk mendemokrasikan negara. Tujuan ARF untuk menciptakan konsultasi konstruktif membuat ARF memiliki kapasitas tersendiri dalam memainkan perannya. Oleh sebab itu, ARF sejauh ini hanya berhasil membangun rasa saling percaya

(confidence building measures) dan tak beranjak pada tahap penyelesaian konflik (conflict resolution) di kawasan.

Tekanan Internasional Terhadap Myanmar

Tekanan internasional terhadap rezim militer Myanmar merupakan reaksi atas penahanan Aung San Suu Kyi dan aktor prodemokrasi lainnya, proses demokratisasi yang berjalan lamban dan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. Tekanan berulang kali dilakukan terhadap pemerintahan militer Myanmar akibat dari kebijakan otoriternya.

Myanmar memiliki catatan buruk dalam kancah perpolitikan dunia. Sejak merdeka masalah yang dihadapi Myanmar terpusat pada masalah integrasi nasional. Setelah pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan 57

militer terhadap sipil, permasalahan yang terjadi di Myanmar semakin rumit. Berbagai aksi protes menentang pemerintahan militer berdampak panjang bagi Myanmar dan juga bagi ASEAN.

Semenjak aksi demonstrasi tahun 1988, kondisi perpolitikan Myanmar menjadi kacau. Keadaan ini diperparah ketika pemerintahan militer memutuskan mengadakan pemilu multipartai di tahun 1990. Penolakan pemilu 1990, pemberangusan aktor-aktor demokrasi dan para pemprotes menjadi tindakan yang dikecam oleh masyarakat internasional.

Dokumen terkait