Perubahan LuasKawasan dan ZonasiTNGGP
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu kawasan konservasi di Jawa Barat dengan tipe ekosistem hutan hujan tropis pegunungan. Sumberdaya alam hayati dan ekosistem di TNGGP memberikan manfaat bagi masyarakat bagi masyarakat disekitarnya. Penggunaannya secara berkelanjutan mutlak mengikuti tiga pilat konservasi yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari-optimal untuk menjaga kelestarian fungsi dan kualitas sistem penyangga kehidupan.
Kawasan TNGGP berbatasan secara langsung dengan kawasan Perum Perhutani. Pada tahun 2003 berdasarkan SK Menhut No 174, TNGGP mengalami perluasaan ± 7 655 ha yang berasal dari areal Perum Perhutani. Areal Perluasan eks-Perum Perhutani tersebut merupakan lingkar terluar sepanjang kawasan TNGGP sehingga saat ini menjadi batas baru bagi kawasan TNGGP.
Perluasan kawasan hutan TNGGP berdasarkan Surat Menteri Kehutanan tersebut ditindak lanjuti dengan adanya Berita Acara Serah Terima (BAST). BAST tersebut berisikan mengenai perubahan kawasan Hutan Produksi tetap dan Hutan Produksi Terbatas menjadi Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Serah terima dari Perum Perhutani kepada Kementerian Kehutanan Nomor: 07/SJ/DIR/2009, BA.6/IV-SET/2009 tanggal 29 Januari 2009 kemudian ditindak lanjuti kembali dengan BAST pengelolaan hutan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) Nomor: 002/BAST-HUKAMAS/III/2009 – Nomor: 1237/II-TU/2/2009 pada tanggal 6 Agustus 2009. Luas kawasan yang diserahkan kepada TNNGP seluas 7 655.03 Ha, sehingga luas total kawasan TNGGP sekarang menjadi seluas 22 851.030 Ha.
20
TNGGP berada di wilayah 3 kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi dengan kota-kota besar yang berada disekitarnya seperti Jakarta, Bogor dan Bandung, merupakan wilayah yang terus berkembang, sehingga menjadi ancaman sekaligus tekanan pada kawasan konservasi ini. Disatu sisi, sebagai kawasan konservasi, potensi sumberdaya alam hayati TNGGP dapat memberikana manfaat bagi masyarakat disekitarnya.Sosial ekonomi masyarakat di sekitar TNGGP pada umumnya tergolong desa miskin. Tercatat terdapat 66 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP, berpenduduk 454.325 jiwa dengan rata-rata pendidikan SD/SLTP dan tingkat pendapatan sekitar Rp 100 000/jiwa/bulan4. Mata pencaharian 70 persen petani, lahan milik sendiri 34 persen (<0.25 ha/kk) dan 55,2% adalah petani penggarap5. Desa Ciputri merupakan desa berbatasan langsung dengan hutan TNGGP dan sebagian besar penduduk menjadi petani penggarap di kawasan TNGGP. Tidak lebih dari 92% masyarakat sekitar kawasan berinteraksi langsung dengan kawasan konservasi dengan menggantung hidupnya pada sumber daya alam hayati kawasan TNGGP.
Perubahan zonasi kawasan TNGGP diperlakukan pada tanggal 22 februari 2011 dengan adanya Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Nomor SK.39/IV-KKBJL/2011 mengenai Zonasi Taman Nasional Gunung Gede pangrango. Zonasi di TNGGP terbagi menjadi 7 (tujuh) Zona yakni Zona Inti seluas 9 612.592 Ha (42.06%), Zona Rimba seluas 7 175.396 Ha (31.40%), Zona Pemanfaatan seluas 1 330.424 Ha (5.82%), Zona Rehabilitasi seluas 4 367.192 Ha (19.11%), Zona Tradisional seluas 312.136 Ha (1.36%), Zona Khusus 3.19 Ha (0.01%) dan Zona Konservasi Owa Jawa seluas 50.10 (0.21%).
Sebagaimana tercantum dalam lampiran 5, perubahan luasan Kawasan TNGGP tersebut mengubah zonasi di Desa Ciputri yang awalnya kawasan hutan produksi milik Perum Perhutani melalui PHBM mejadi Zona Rehabilitasi miliknya Balai Besar TNGGP. Zona Rehabilitasi merupakan areal perubahan fungsi dari Hutan Produksi Terbatas menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Gn Gede Pangrango. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya alamiahnya, oleh karena itu Resort Sarongge Desa Ciputri perlu dilakukan rehabilitasi dan atau restorasi dengan menanam tanaman endemik agar kawasan dapat berfungsi
Pemangku Kepentingan TNGGP
Perum Perhutani
Pada tahun 1972, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972, ditetapkan pada tanggal 29 Maret 1972, Pemerintah Indonesia mendirikan Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau disingkat Perum Perhutani. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara yang berada dibawah naungan KementerianKehutanan dan Perkebunan.Dasar hukum Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan dalam PP No 15 Tahun 1972, kemudian berturut turut mengalami perubahan dengan PP no 36 tahun 1986, PP No 53 Tahun 1999, PP No
4
Data yang tertera didapatkan dari BBTNGGP
5
21 14 tahun 2001, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah tahun Nomor 30 tahun 2003. Saat ini pengelolaan perusahan Perum Perhutani dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2010.
Perhutani sebagai Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan, perencanaan, penguasahaan dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya. Desa ciputri pada awalnya merupakan daerah wilayah Perum Perhutani sehingga lahan tersebut dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Ciputri untuk dijadikan lahan pertanian. Setelah adanya Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), kemudian diklaim oleh pemerintah bahwa tanah tersebut merupakan tanah kehutanan dan harus dihutankan kembali.
Dengan adanya SK Kementerian Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003 maka peralihan kawasan yang tadinya berada pada Perum Perhutani harus berpindah ke TNGGP. Perluasan kawasan TNGGP yang ditindak lanjutkan dengan BAST berdasarkan tabel 9, terjadi selang waktu dari SK Menteri Kehutanan tahun 2003 sampai BAST 2009, rentan waktu tersebut terjadinya status quo pada areal perluasan Desa Ciputri (AA, Kabid P3). Banyaknya petani-petani yang berkebun untuk membuka lahan yang dulunya lahan perhutani untuk mengikuti PHBM, karena pada masa perhutani petani tersebut tidak memiliki lahan garapan di kawasan perhutani.
Pengelolaan hutan Perum Perhutani di Desa Ciputri bekerjasama dengan masyarakat melalui program kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM merupakan realisasi dari konsep kehutanan sosial (social forestry) dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk berperan serta dalam mengelola sumberdaya alam berupa hutan. PHBM adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang sinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif6. Saat ini pihak Perum Perhutani sudah tidak memiliki kepentingan lagi di wilayah Desa Ciputri karena termasuk daerah perluasan kawasan TNGGP.
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)
TNGGP merupakan salah satu dari 5 taman nasional yang dideklarasi oleh pemerintah Indonesia tahun 1980, dan sampai tahun 2007 sudah 50 taman nasional dibentuk oleh pemerintah di seluruh Indonesia7. Seperti halnya kawasan konservasi lainnya di Indonesia, pengelolaan kawasan TNGGP merupakan tanggungjawab dari Direktorat Jenderal Pelindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan.Pengelolaan TNGGP dikenal sebagai Taman Nasional percontohan karena pengelolaan yang baik. Kawasan TNGGP memiliki dua iklim yaitu musim kemarau dari bulan juni sampai oktober dan musim penghujan dari bulan nopember ke april. Hujan juga turun ketika musim kemarau, menyebabkan kawasan TNGGP memiliki curah hujan rata-rata pertahun 4000 mm. Rata-rata suhu berada di 230 C, dan puncak tertinggi berada pada 3000 m dpl.
Secara adminitratif, kawasan TNGGP berada di 3 kabupaten yaitu Bogor seluas 4 514.73 Ha, Cianjur seluas 3 599.29 Ha dan Sukabumi seluas 6 781.98
6
Dapat diunduh di www.cifor.go.id
7
22
Ha pada awalnya, namun setelah pemerintah mengeluarkan SK Menhut no.174/Kpts-II/2003 tentang penunjukan dan perubahan fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas kepada kelompok hutan Gunung Gede Pangrango seluas 21.975 Ha. Kantor pengelola yaitu Balai Besar TNGGP berada di Cibodas, dan dalam pengelolaannya dibagi menjadi 3 (tiga) bidang pengelolaan Taman Nasional wilayah (Bidang PTN wil), yaitu Bidang PTN Wil I di Cianjur, Bidang PTN wil II di Selabintana-Sukabumi, dan Bidang PTN wil III di Bogor, dan 6 (enam) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTN Wil) dan 22 (dua puluh dua) resort Pengelolaan Taman Nasional Wilayah dengan tugas dan fungsi melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNGGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam menuju pemanfaatan yang berkelanjutan. Desa Ciputri merupakan bagaian dari wilayah Resort PTN Sarongge.
Perkumpulan GEDE PAHALA
GEDEPAHALA adalah dua Taman Nasional terbesar yang berada di Jawa, Taman Nasional: Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS).Halpenting berdirinya perkumpulan GEDEPAHALA adalah untuk mewujudkan terbentuknya koridor antara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai satu kesatuan ekosistem (termasuk manusia di dalamnya) melalui implementasi berbagai program priotas. Karakteristik dari TNGGP dan TNGHS hampir sama yakni memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan. TNGGP dan TNGHS sebagai satu kesatuan ekosistem dan mengembangkan program perlindungan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari yang ada di kawasan TNGGP dan TNGHS.
Pada saat kawasan TNGGP bertambah luas sebagai akibat beralihanya status kawasan hutan produksi menjadi hutan konservasi (salah satunya wilayah yang terkena adalah Desa Ciputri, Cianjur); Perkumpulan GEDEPAHALA turut mendorong proses rehabilitasi eks kawasan Perum Perhutani dengan melaksanakan program Adopsi Pohon.
Perkumpulan GEDEPAHALA didirikan pada tahun 1994 berdasarkan kesepakatan 14 lembaga yaitu 1) Direktur Program, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan; 2) Direktur Sumber Dara Manusia Training Center, Kementerian Kehutanan; 3) Sekretaris Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kehutanan; 4) Direktur Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Penelitian Indonesia; 5) Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP); 6) Ketua Kementerian Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB; 7) Ketua Kementerian Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM; 8) Ketua Kementerian Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan alam, ITB; 9) Ketua Kementerian Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan alam, UNPAD; 10) Ketua Pusat Keanekaragaman Hayati, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, UI; 11) Wakil Ketua IKIP Yogyakarta; 12) Ketua Biologi Science Club; 13) Komas AWB-Indonesia; 14) Ketua STP Bandung, Perkumpulan GEDEPAHALA diresmikan sebagai yayasan terdaftar pada 6 Februari 1999.
23 Organisasi GEDEPAHALA terkesan bersifat elitis dan lebih berorientasi pada konservasi. Didalam organisasi GEDEPAHALA tidak ada keikutsertaan tokoh-tokoh masyarakat sekitar, para pengusaha dan pedagang yang memanfaatkan peluang usaha di sekitar kawasan TNGGP. Golongan dan kelompok masyarakat ini tampaknya ditenggarai oleh Balai Besar TNGGP sebagai aktor yang mengancam kelestarian kawasan konservasi, padahal mereka dapat menjadi modal sosial yang positif untuk menjaga kelestarian kawasan. Dapat dipahami bila baik Balai Besar TNGGP dan perkumpulan GEDEPAHALA tidak atau relatif kurang menaruh perhatian kepada kelompok masyarakat marjinal yang ada di sekitar kawasan seperti halnya warga Desa Ciputri yang diteliti dalam penelitian ini.
Petani Penggarap Desa Ciputri
Petani penggarap di Desa Ciputri mengalami imbas dari perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Diawali petani membuka lahan untuk menggarap lahan kawasan berdasarkan adanya perjanjian PHBM oleh Perum Perhutani pada tahun 1980an. Namun pada tahun 2003 menurut 2003 berdasarkan SK Menhut No 174, lahan garapan tersebut, dialih fungsikan karena mengalami perluasan TNGGP. Perubahan alih fungsidari kawasan hutan produksi Perhutani menjadi kawasa konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Akibat perubahan alih fungsi petani tidak perbolehkan lagi menggarap kawasan hutan.
Petani penggarap sebagian besar petani tanpa lahan yang sering disebut tuna kisma, dengan permasalahan tersebut gapoktan-gapoktan yang berada di desa ciputri mengajukan solusi langsung ke Balai Besar TNGGP. Sempat terjadi konflik antara petani penggarap dengan pihak TNGGP, bahkan sampai beradu fisik. Pada tahun 2005 dibuatlah surat pernyataan yang ditandatangani oleh 66 petani penggarap. Dengan perjanjian tersebut petani diperbolehkan menggarap dengan ketentuan yang tertera di perjanjiannya. Kemudian pada tanggal 29 Januari 2009, BAST pengelolaan hutan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar Taman Nasional, sehingga sudah tidak diperbolehkan untuk menggarap kawasan tersebut. Adapun karakteristik responden Desa Ciputri sebagai berikut:
Karakteristik Responden
Usia Responden
Data primer yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa umur responden beragam antara 25 – 52 tahun. Pengelompokkan usia responden dikategorikan menurut Havighurst dalam Mugniesyah (2006) yang membagi usia ke dalam tiga fase, yaitu masa mula/awal dewa (18-30 tahun, masa usia pertengahan (31-55), dan masa tua (55 tahun ke atas). Pengelompokan menurut usia respoden dapat dilihat pada Tabel 6.
24
Tabel 6 Jumlah dan persentase responden resort sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tahun 2013
No Kelompok umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
1 18 – 30 8 26.7
2 31-55 22 73.3
3 >55 0 0
Total 30 100
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagaian besar responden berada pada usia 31- 55 tahun. Hal ini menujukkan bahwa lebih dari separuh (73,3 persen) responden di Resort Desa Ciputri merupakan petani dalam masa usia pertengahan. Masa usia tersebut tergolong masa usia produktif. Dapat dikatakan sebagain besar responden dalam penelitian ini merupakan petani yang produktif.
Jumlah Tanggungan
Jumlah tanggungan dalam keluarga responden Desa Ciputri Resort Sarongge dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan rata-rata di lapangan. Ketiga kategori tersebut yaitu jumlah tanggungan satu sampai dua, jumlah tanggungan tiga sampai empat dan jumlah tanggungan lima. Klasifikasi responden berdasarkan jumlah tanggungan rumah tangganya dipaparkan pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan dalam
rumahtangga Desa Ciputri Resort Sarongge Tahun 2012.
No Jumlah Tanggungan (Orang) Jumlah Responden Persentase (%)
1 1-2 2 6,7
2 3-4 24 80
3 5 4 13,3
Total 30 100
Diketahui bahwa sebaran jumlah yang menjadi tanggungan responden terkumpul yang jumlah tanggungan memiliki tiga sampai empat orang dengan persentase 80 persen, sedangkan dengan jumlah tanggungan satu sampai dua orang berjumlah dua orang dengan persentase 6,7 persen dan responden dengan jumlah tanggungan empat orang sebesar 13,3 persen.
Banyaknya anggota rumahtangga yang ditanggung menjadi salah satu faktor yang menuntut Ketua rumahtangga untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Hal tersebut untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya dalam rumahtangganya.
Lama Tinggal
Lama tinggal menujukkan berapa lama seseorang masyarakat telah tinggal dan menetap sebagai penduduk Desa Ciputri Resort sarongge yang dihitung dalam satuan tahun. Pengklasifikasian lama tinggal respoden dikelompokkan menjadi
25 empat bagian yaitu: kurang dari satu tahun, antara satu sampai dengan sepuluh tahun, antara sebelas sampai dua puluh tahun dan lebih dari sama dengan 21 tahun. Adapun secara lengkap tentang lama tinggal disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah dan persentase responden menurut lama tinggal dalam rumahtangga Desa Ciputri Tahun 2012.
No Lama Tinggal Jumlah Responden Persentase (%)
1 <1tahun 0 0 2 1-10 tahun 1 3,3 3 11-20 tahun 1 3,3 4 ≥20tahun 28 93,4 Total 30 100 .
Tabel 8 menunjukkan bahwa mayoritas responden di Resort Sarongge termasuk dalam kategori lebih dari 21 tahun sebanyak 28 orang atau 93,4 persen. Sedangkan dengan jumlah masing satu orang dan dengan persentase 3,3 persen pada kategori kurun waktu antara satu sampai sepuluh tahun dan antara sebelas sampai dua puluh tahun. Namun pada rentan waktu yang tinggal kurang dari satu tahun tidak ada sama sekali.
26