Bab II : Pengaturan Tentang Batas Wilayah Laut
THE NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 (UNCLOS)
A. Hubungan Laut Teritorial Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014
Dengan UNCLOS 1982
Laut teritorial atau laut wilayah merupakan konsep yang sangat sulit untuk dituntaskan dalam penyelenggaraan konfrensi-konfrensi hukum laut, hal ini mungkin disebabkan oleh karena laut teritorial atau wilayah laut itu erat kaitannya dengan kemajuan serta perkembangan ekonomi suatu negara sehingga masing-masing begara peserta konfrensi mepertahankan konsepnya sendiri-sendiri. Hal inilah yang mengakibatkan tidak tercapainya kesepakatan yang pasti tentang lebar laut teritorial atau wilayah laut.
Indonesia sendiri pada awalnya mengklaim 3 mil sebagai laut teritorialnya,hl ini dapat diketahui dari berbagai buku yang mengemukakannya.
Phipat Tangsubkul menyatakan dalam bukunya yang berjudul ASEAN and the law
of The Sea, yakni „The territorial Sea and Maritime Circles Ordinance of 1939
Declared that Indonesia had a Territorial Sea of Three Nautical miles measured either from straight baselines connecting the outer edge of a group of two or more island or from the low water mark of the island.
41
Dari kutipan diatas dapat kita lihat bahwa Indonesia pada awalnya juga sudah menerapkan pengukuran laut teritorial atau laut wilayah berdasarkan penarikan garis lurus dimana pengukuran dilakukan ketika air laut sedang surut.
Konfrensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut yang pertama (1958) dan kedua (1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar laut teritorial karena pada waktu itu praktek negara menunjukkan keanekaragaman sesuai dengan kepentingan masing-masing dalam masalah lebar laut teritorial, yaitu antara 3 mil laut hingga 200 mil laut. Konvensi Hukum Laut ketiga (1982) pada akhirnya berhasil menentukan lebar laut teritorial maksimal 12 mil laut atau
dengan kata lain tidak melebihi 12 mil laut.30
Pada pasal 2 ayat 1,2, dan 3 UNCLOS 1982 menegaskan tentang status
hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Singkatnya, semuanya itu merupakan bagian dari wilayah negara pantai, dan oleh karena itu, tunduk pada kedaulatan negara pantai tersebut. Dalam
hal suatu negara merupakan negara kepulauan (archipelagic state).
Pasal 3 UNCLOS 1982 secara tegas menyatakan bahwa setiap negara
berhak menetapkan lebar laut teritorialny hingga pada suatu batas yang tidak boleh melebihi dari 12 mil laut, dan diukur dari garis pangkal sebagaimana yang yang sudah ditentukan dalam Konvensi. Ketentuan ini secara tegas membatasi maksimum lebar laut teritorial yang dapat diklaim negara-negara, yakni 12 mil laut. Negara-negara secara tegas tidak diperbolehkan mengklaim lebar lebar laut teritorial melebihi dari 12 mil laut. Dalam praktik, tentu saja tidak ada negara
30
Melvin L.A Saragih, Skripsi Penegakan Hukum Di laut Teritorial Berkenaan Dengan Lintas Damai Bagi Kapal Asing Di Perairan Indonesia, Medan, 2004
yang mengklaim lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut kecuali karena alasan letak geografis negara-negara itu sendiri yang tidak memungkinkan mengklaim lebar laut teritorial sampai batas maksimum 12 mil laut.
Dalam Pasal 3 UNCLOS 1982 ditegaskan bahwa lebar laut teritorial itu
diukur dari garis pangkal (baseline). Konvensi sama sekali tidak menegaskan
tentang garis pangkal. Tetapi, secara singkat dapat dirumuskan bahwa yang
dimaksud dengan garis pangkal adala garis (ima=jiner) yang di tarik pada pantai
pada waktu air laut surut. Dari garis pangkal inilah lebar laut teritorial negara pantai diukur dengan menarik tegak lurus dari titik-titik pada garis pangkal tersebut ke arah luar dalam ukuran yang sesuai dengan lebar laut teritorial dari negara yang bersangkutan. Titik-titik yang membentuk garis yang merupakan batas luar dari laut teritorial, disebut garis atau batas luar (outer limit) dari laut teritorial. Yang di maksud dengan garis atau batas luar dari laut teritorial adalah garis yang setiap titiknya berada pada jarak yang sama dari setiap titik yang ditarik tegak lurus pada garis pangkal. Perairan laut yang terletak pada sisi luar dai garis pangkal dan yang di sebelah luarnya di batasi oleh garis atau batas luar,
itulah yang disebut laut teritorial (territorial sea).
Mengenai garis pangkal Laut Teritorial di atur jelas didalam pasal 7 ayat 1
sampai ayat 6 UNCLOS 1982. Pasal 7 ayat 1 UNCLOS 1982 menentukan tentang
tempat-tempat dimana garis pangkal lurus dapat ditarik, yakni :
a. Di tempat-tempat diamana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan
43
b. Jika terdapat suatu pulau, deretan ataupun gugusan pulau di sepanjang
pantai didekatnya.31
Dalam Pasal 7 ayat 1 butir a UNCLOS 1982, pantai yang dimaksudkan
adalah pantai yang terdapat teluk, mulut sungai, ataupun lekukan-lekukan pantai lainnya tanpa memandang apa pun namanya. Dalam Pasal 7 ayat 1 butir b UNCLOS 1982, pantai tersebut tidak menjorok atau menikung ke dalam melainkan relatif lurus dan aranya secara umum tergolong biasa atau normal. Namun di dekat atau depan terdapat sebuah pulau, deretan pulau ataupun gugusan pulau. Pada pantai semacam ini, juga dapat dilakukan penarikan garis pangkal
lurus dalam menentukan lebar laut teritorialnya.32
Indonesia berdaulat penuh di lau teritorial, tetapi apabila laut teritorial Indonesia berhadapan atau berdampingan dengan negara tetangga, maka harus ditetapkan batas-batas laut teritorial tersebut dengan negara itu sebagaimana diwajibkan oleh pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 15 Konvensi berbunyi sebagai beriku :
“Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of the two State is entitled, failing agreement between them to the contrary. To extend its territorial sea beyond the median line very point of which is equidistant from the nearest points on the baselines from which thebreadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does not apply, however, where it is necessary by reasons of historic title or other special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance therewith.”
Dalam hal pantai dua negara saling berhadapan atau berdampingan, maka lebar laut teritorialnya masing-masing ditetapkan berdasarkan garis tengah
31
I wayan,Op.Cit. hal.74 32
(median line) kecuali terdapat alasan historis (historic title) atau keadaan khusus lainnya harus ada kesepakatan. Penetapan batas-batas Negara di laut tersebut khususnya laut teritorial sering menimbulkan sengketa antar negara, sehingga Indonesia harus benar-benar siap dan berani mempertahankan batas-batas Negara tersebut sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982.
Pengaturan penegakan hukum yang berlaku di Laut Teritorial Indonesia disesuaikan dengan hukum laut Internasional yang ada, seperti yang di atur oleh
Konvensi Hukum Laut 1982 dan juga di atur oleh Inter-Governmental Mritie
Consulative Organization (IMCO).33
Di dalam pelaksanaan penegakan hukum di Laut Teritorial Indonesia sudah banyak upaya yang dilakukan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia antara lain dengan membentuk peraturan perundang-undangan ataupun undang-undang yang baru. Untuk saat ini peraturan yang terbaru adalah Undang-Undang No.32 Tahun 2014 Tentang Kelautan.
Peraturan yang terbitkan ini tidak menghapus peraturan yang lain yang masih berlaku dalam pengaturan wilayah laut. Didalam peraturan yang terbaru dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2014 Tentang Kelautan juga mengatur mengenai Laut Teritorial. Namun dalam Undang-Undang tentang Kelautan pengaturan mengenai Laut Teritorial tidak begitu di jelaskan atau di atur secara jelas mengenai Laut teritorial.
33
Evealuasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasinal (UNCLOS 1982) di Indonesia, Dewan Kelautan Indonesia departemen Kelautan dan Perikanan, https://rovicky.files.wordpress.com/ 2010/09/la20unclos20pdf2.pdf, diakses pada tanggal 03 Februari 2015, 23:30
45
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan dalam penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf c menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
„Laut Teritorial “ adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang di ukur
garis pangkal kepulauan Indonesia.
Dalam penjelasan pasal di atas dapat di artikan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan ini masih ada relevansinya dengan Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai batas wilayah laut teritorial. Sebab sebelum Indonesia meratrifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia menetapkan batas wilayah laut teritorial selebar 3 mil.
Setelah diratrifikasinya Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia menetapkan batas wiayah laut teritorial sesuai dengan pengaturan Internasional. Maka dengan demikian telah jelaslah bahwa menurut hukum Internasional yang kemudian diimplementasikan dalam hukum nasional Indonesia, bahwa negara Indonesia dapat melakukan klaim terhadap laut teritorialnya sampai 12 mil laut dan memang ini merupakan hak dari negara Indonesia untuk melakukan klaim wilayah laut teritorial tersebut sampai 12 mil laut, dan ini tidak bertentangan dengan hukum internasional di bidang hukum laut.
Berkaitan dengan wilayah laut teritorial negara Indonesia mempunyai hak kedaulatan artinya negara Indonesia mempunyai hak sebagaimana seperti di darat,
di sini negara Indonesia mempunyai hak penuh di wilayah laut teritorial.34
34
B. Hubungan Negara Kepulauan Dalam Nomor 34 Tahun 2014 Dengan UNCLOS 1982
Sebelum dimulainya Konferensi Hukum Laut Ketiga gambaran tentang masalah kepulauan tidak hanya meunjukkan kegagalan masyarakat internasional untuk menciptakan pengaturan hukumnya. Bahkan, menunjukkan adanya perbedaan pendapat yang angat kuat disamping penolakan untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda konferensi Hukum Laut.
Pemikiran tentang konsep negara kepulauan kemudian berkembang menjelang dimulainya Konferensi Hukum Laut Ketiga, terutama yang dihasilkan oleh para pakar yang berasal dari negara-negara kepulauan itu sendiri. Misalnya,
Penulis pada pertemuan tahunan Law of the Sea Institute yang diadakan di
University of Rhode Island pada tahun 1972, mengemukakan konsep tanah air sebagai dasar yang kuat untuk menunjukkan adanya kesatuan yang erat antara
wilayah darat dan laut, dan memperkenalkan konsep archipelagic waters untuk
perairan yang berada disebelah dalam dari garis pangkal lurus kepulauan.
Dengan melalui suatu kerjasama diplomatik yang cukup baik antara Indonesia dan Filipina, yang diikuti kemudian dengan bergabungnya Fiji dan
Mauritius, pada sidang-sidang United Nations Sea-bed Commitee yang
mendahului Konferensi Hukum Laut Ketiga suatu Rancangan Pasal-Pasal tentang Negara Kepulauan berhasil diperkenalkan, dan kemudian dimasukkan kedalam
naskah perundingan Konferensi. Pada sidang UN Seabed Commitee Rancangan
47
antara lain inggris, yang didukung oleh negara-negara maritim besar lainnya, sedangkan pada sidang-sidang Konferensi Rancangan Pasal-Pasal dari empat negara yang telah mendapat perbaikan antara lain tentang hak lintas damai, mendapat tanggapan dari kelompok negara-negara Bulgaria, Jerman Timur dan Polandia.
Dalam perdebatan selanjutnya tampaknya konsep negara kepulauan tersebut mendapat dukungan yang cukup baik dari berbagai negara peserta, tetapi disertai dengan catatan bahwa prinsip kebebasan pelayaran dan penerbangan tetap dipertahankan terutama pada bagian bagian laut yang akan berubah status menjadi perairan kepulauan. Persyaratan lain seperti yang dikemukakan dalam usul Inggris adalah bahwa perlunya ditetapkan suatu ketentuan tentang negara kepulauan secara objektif, cara penarik garis pangkalnya, serta status hukum dari perairan yang ditutup oleh garis pangkal tersebut. Sedangkan kebebasan pelayaran melalui perairan kepulauan dan kewajiban negara kepulauan untuk tidak menghalang-halangi pelayaran merupakan persyaratan yang diusukan oleh kelompok Bulgaria, dkk.
Pada akhirnya, konsep negara kepulauan mendapatkan pengakuan dengan dimasukkannya Bab 4 tentang negara kepulauan ke dalam Konvensi Hukum Laut 1982, yang meliputi ketentuan-ketentuan hukum tentang definisi negara keplauan, cara penarikan garis pangkal kepulauan, status hukum perairan kepulauan, hak lintas alur-alur laut kepulauan dan hak lintas damai.
Pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi juga perairan yang ditutup oleh atau terletak disebelah
dalam dari garis pangkal lurus kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan. Kedaulatan ini meliputi juga ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya, beserta kekayaan laut yang terkandung didalamnya.
Salah satu hal yang memberikan kesan mendalam terhadap konvensi UNCLOS 1982 ini adalah dengan diterimanya konsep negara kepulauan (archipelagic state) yang selama konvensi berjalan, sering diperjuangkan oleh negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Fiji, Mauritus dan kepualauan Solomon yang menginginkan adanya suatu peraturan khusus utuk menjaga kedaulatan eksternal negara-negara kepulauan tersebut. Adapun definisi
yang diberikan oleh UNCLOS 1982 tentang negara kepulauan,yaitu:
(1) „means a state constituted wholly by one or more islands and may include other islands.”
(2) “means a group of island, including parts of islands, interconnecting
waters and other natural features which are so closely interrelated that such island, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as so”
Pada Pasal 46 ayat 1 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa “negara kepulauan
adalah suatu negara yang selurunya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan
dapat mencakup pulau-pulau lain”. Maksud dari Pasal 46 ayat 1 UNCLOS 1982
tersebut adalah secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi negara-negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk
kepulauan. Hal ini disebabkan dalam Pasal 46 ayat 2 UNCLOS 1982 disebutkan
bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain sedemikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu
49
merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang
secara historis dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, Pasal 46 UNCLOS
1982 ini membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic
state) dengan kepulauan (archipelago).
Perbedaan yang diuraikan dalam Pasal 46 UNCLOS 1982 diatas
menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini dikarenakan ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan penarikan garis
pangkal lurus kepulauan : pertama, satu kesatuan geografis, ekonomi, politik dan
historis; kedua, ada ketentuan khusus Hukum Laut (spesific rules) yang
membuktikan keberadaan pulau negara kepulauan yang relatif kecil (small
islands, socially, and economically insignificant) tidak bisa dijadikan tempat
menarik garispangkal kepulauan.
Dalam Konvensi ini juga ditegaskan bahwa negara kepulauan memiliki kedaulatan atas peraira laut yang terletakk di dalam garis-garis pangkal
kepulauannya (arhipelagic baselines). Negara kepulauan juga memiliki
kedaulatan atas udara di atas perairannya dan atas dasar laut dan tanah di bawahnya.
Sebagai suatu negara kepulauan Indonesia diuntungkan dengan masuknya Bab IV tentang negara kepulauan ke dalam Konvensi, dan untuk itu Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 pada tahun 1985 dengan diundangkannya Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.
Salah satu langkah implementasi yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-Undang ini merupakan pengganti dari UU No. 4/Prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 ini menetapkan bahwa kedaulatan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman Indonesia, termasuk ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta seluruh sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Pada saat ini indonesia telah mengeluarkan pengaturan tentang kelautan yang didalamnya juga terdapat implementasi dari Konvensi Hukum Laut. Terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Mengenai negara kepulauan terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 di dalam pasal tersebut membahas mengenai Indonesia sebagai negara kepulauan, kedaulatan indonesia sebagai negara kepulauan.
Dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tertulis secara jelas bahwa dalam pengaturan negara kepulauan Indonesia masih mempunyai relevansi dengan hukum internasional tepatnya pada Konvensi
Hukum Laut. Pada pasal tersebut menyatakan “kedaulatan Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982, dan hukum internasional yang terkait”
51
Dari bunyi pasal tersebut tertulis jelas bahwa dalam pengaturan negara kepulauan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2014 masih tetap ada relevansinya dengan Konvensi Hukum Laut 1982.
C. Hubungan Zona Ekonomi Eksklusif Dalam UndangUndang Nomor 34 Tahun
2014 Dengan UNCLOS 1982
Konsep ini merupakan suatu konsep baru yang tidak dikenal dalam hukum internasional selama ini. Jauh sebelum lahirnya konsep ini, batas terluar laut teritorialnya dianggap sebagai batas antara bagian laut ke arah darat tempat berlaku kedaulatan penuh negara pantai, dan bagian laut ke arah luar dari batas tersebut tempat berlaku kebebasan di laut lepas. Konsep zona ekonoi eksklusif dapat dianggap sebagai suatu hasil revolusi yang telah mengbah sedemikian rupa
pengaturan atas laut.35
Dalam sebagian besar literatur yang ada, konsep ini selalu dikaitkan kelahirannya dengan konsep pengasaan atas wilayah laut yang pada tahun 1947 dilakukan oleh beberapa negara Amerika Latin, khususnya tiga negara Chili, Ekuador dan Peru, terhadap wilyah perairan sejauh 200 mil-laut dari pantai negaranya,dalam bentuk perlindungan serta pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya alam di wilayah tersebut. Sebenanya, disamping tiga negara tersebut beberapa negara Amerika Latin lainnya juga melakukan klaim yang hampir serupa, antara lainnya juga melakukan klaim yang hampir serupa, anatar lain Costa Rica (1949), Honduras (1951) dan yang agak berbeda dilakukan oleh
35
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, P.T. ALUMNI, Bandung, 2003, hal 180
Argentina dalam bentuk klaim dengan ukuran jarak yang sama tetapi bukan untuk kepentingan perlindungan dan pengawasan terhadap sumberdaya alam, melainkan dalam bentuk klaim laut teritorial. Secara bersama beberapa negara Amerika Latin
juga melakukan klaim terhadap apa yang disebut sebagai patrimonial sea.36
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan salah satu rezim atau prnata hukum laut internasional yang boleh dikatakan masih baru. Pranata hukum laut ini baru muncul sekitar tahun 1970-an. Di dalam konferensi-konferens hukum laut internasonal yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diselenggarakan mulai dari tahun 1974 sampai dengan 1982, ZEE ini dibahas secara mendalam dan intensif sebagai salah satu agenda acara konferensi. Akhirnya berhasil disepakati dan dituangkan di dalam Bab V Pasal 55 sampai
Pasal 75 konvensi Hukum Laut 1982.37
Masalah pengaturan ZEE adalah isu yang paling banyak dibahas selama
berlangsungnya UNCLOS III. Sidang-sidang UNCLOS III yang membicarakan
rezim ZEE diwarnai oleh pendapat yang saling berbeda-beda. Demikian halnya dengan pendapat dari penulis-penulis hukum internasional. Masalahnya ialah bahwa karakteristik hukum dari ZEE merupakan dasar hukum yang menentukan hubungan antara hak-hak serta kepentingan dari negara pantai dan semua negara di dalam pemakaian dari ZEE.
Konsep ZEE secara keseluruhan telah mengubah tatanan hukum dari laut dunia dan telah membentuk hubungan-hubungan baru di antara negara-negara di
36
Ibid,hal 181 37
53
dalam pemakaian sumber daya alam lautan, riset alamiah kelautan, pencegahan
terhadap pencemaran lingkungan.38
Rezim ZEE adalah suatu pengaturan baru yang telah menimbukan perubahan mendasar di dalam hukum laut dan di dalam pembagaian tradisional anatara laut teritorial yang merupakan zona kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang adalah terbuka untuk semua negara.
Salah satu hal yang dipermasalahkan ialah soal residual rights,yaitu hak-hak
yang tidak secara terang-terangan diberikan baik kepada negara pantai maupun
kepada negara lain. Hal lain ialah menyangkut creeping juridiction dari negara
pantai atas hak-hak dan yuridiksi yang diberikan oleh Konvensi Hukum Laut
1982 apabila dibandingkan dengan hak-hak negara-negara lain di dalam ZEE.39
Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa pada suatu jalur laut yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorialnya, yang dinamakan zona ekonomi eksklusif, suatu negara mempunyai hak-hak berdaulat dan yuridiksi khusus untuk memanfaatkan kekayaan alam yang berada pada jalur tersebut, termasuk pada dasar laut dan tanah dibawahnya. Pelaksanaan hak-hak berdaulat dan yuridiksi tersebut, diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain sesuai dengan ketentuan Konvensi. Batas terluar zona ekonomi eksklusif ini tidak boleh melebihi 200 mil laut, diukur dari garis pangkal yang sama yang dipakai untuk mengukur lebar laut teritorial.
38
DR. Chairul Anwar. S.H, zona ekonomi eksklusif di dalam hukum
internasional dilengkapi dengan analisis zona ekonomi eksklusif indonesia dan ZEE di asia-Pasifik, Sinar Grafika, Jakarta,1995, hal.21
39
Dengan melihat kenyataan pada waktu perundingannya, posisi negara-negara peserta Konferensi terhadap konsepsi ini terbagi antara yang ingin menjadikannya sebagai bagian laut teritorial, atau mengklaimnya hanya untuk mendapatkan hak eksklusif pemanfaatan sumberdaya alamnya, sampai kepada yang ingin tetap mempertahankannya sebagai bagian dari laut lepas, dapat dikatakan bahwa apa yang tercantum dalam Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982
tersebut diatas dapat dikatakan sebagai suatu konsepsi yang sui generis jauh
berbeda dari konsepsilaut teritorial maupun laut lepas. Kenyataan tersebu tampak dalam bagian Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa negara pantai dalam