• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Batas Wilayah Laut Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan Relevansinya Dengan United Nations Convention On The Aw Of The Sea 1982

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaturan Batas Wilayah Laut Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan Relevansinya Dengan United Nations Convention On The Aw Of The Sea 1982"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN BATAS WILAYAH LAUT MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG

KELAUTAN RELEVANSINYA DENGAN UNITED NATIONS

CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

LIA RIZKI ARISANDY HARAHAP

NIM : 110200028

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

NAMA : LIA RIZKI ARISANDY HARAHAP

NIM : 110200028

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

JUDUL SKRIPSI : PENGATURAN BATAS WILAYAH LAUT MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG

KELAUAN RELEVANSINYA DENGAN NITED

NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA

1982

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa isi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan

ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut ciplakan, maka segala

akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau

tekanan dari pihak manapun.

Medan, 27 APRIL 2015

(3)

PENGATURAN BATAS WILAYAH LAUT MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG

KELAUTAN RELEVANSINYA DENGAN UNITED NATIONS

CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

LIA RIZKI ARISANDY HARAHAP

NIM : 110200028

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

CHAIRUL BARIAH, SH.,M.HUM

NIP. 195612101986012001

DosenPembimbing I DosenPembimbing II

PROF. SUHAIDI, SH.,M.HUM ARIF, SH.,M.HUM NIP. 196207131988031003 NIP. 1964033019930310

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

i

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, nikmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk

menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar

Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul :

“pengaturan batas wilayah laut menurut undang-undang no. 32 tahun 2014 tentang kelautan

relevansinya dengan united nations convention on the aw of the sea 1982”

Penulis Menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di

dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukkan dan saran yang

bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi agar dapat dipergunakan oleh masyarakat

dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan

hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka

penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang

banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

(5)

ii

Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Bapak Dr. Ok. Saidin,

SH.M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Chairul Bariah, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Suhaidi, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu

penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta bimbingan didalam

pelaksanaan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Arif, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu

penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta bimbingan didalam

pelaksanaan penulisan skripsi ini.

6. Kepada orang tua saya Ismed Darwis Harahap dan Siwi Pujiarti yang telah menjadi

orang tua terhebat yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat kepada saya.

7. Kepada kakak dan adik-adik saya,Winda Riana Sari Harahap,SE dan Adetia Pratiwi

Harahap serta seluruh keluarga besar dan terima kasih atas segala perhatian, dukungan,

doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum

USU.

8. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

9. Seluruh staf administrasi dan pegawai yang turut serta membantu saya dalam proses

administrasi selama saya menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Keluarga Besar HMI Komisariat Fakultas Hukum USU yang telah memberikan

(6)

iii

12.Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2011 yang selama menjalani

perkulihan.

13.Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara

langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan

saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2015

(7)

iv masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara tertentulah yang mempunyai wilayah laut yaitu negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut.Dalam perkembangan hukum internasional, batas kekuasaan yang merupakan batas wilayah suatu negara sangat di pegang erat, pelanggaran terhadap wilayah suatu negara dapat berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan berakibat peperangan. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang baik bagi setiap negara dan perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan kepentingan negara lain.

Dalam hal berlakunya secara internasional tentang hak klaim terhadap wilayah laut teritorial baru puncaknya pada tahun 1982 telah disepakati bahwa lebar laut teritorial suatu negara 12 mil dengan adanya Konvensi Hukum Laut tahun 1982 (United nations convention On the Law oh the Sea of 1982), dalam konvensi hukum laut ini negara Indonesia telah melakukan ratrifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea. Dengan adanya klaim terhadap wilayah laut sampai 12 mil laut teritorial tersebut memberikan perluasan terhadap wilayah negara khusunya negara Indonesia, dan negara-negara lain pada umumnya.

Pada zaman modern ini dengan dikeluarkannya berbagai peraturan tentang kelautan untuk mengukur jarak laut dari wilayah darat yang diberlakukan secara universal dan secara yuridis yang telah memberikan kepastian hukum yang dianut oleh hukum internasional dan secara faktual dapat merupakan perluasan wilayah kekuasaannya.

Pada akhir tahun 2014 Indonesia menetapkan pengaturan tentang kelautan, Undang-Undang No.32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. pengaturan ini merupakan pengaturan pertama yang di bentuk mengenai kelautan di Indonesia. Pengaturan yang disahkan pada Oktober 2014 ini tidak lepas juga dengan ketentuan Hukum Laut Internasional.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum Normative dan metode penelitian hukum Empiris. Penelitian hukum Normative dikonsepkan sebagai penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan (library research).

Dari metode penelitian dan latar belakang diatas saya mengambil rumusan masalah dalam penulisan ini yaitu bagaimana pengaturan Indonesia mengenai batas wilayah laut, dan bagaimana relevansi pengaturan batas wilayah laut dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2014 Tentang kelautan dengan UNCLOS 1982.

Dalam penulisan ini yang menjadi kesimpulan adalah mengenai pengaturan nasional mengenai batas wilayah laut di Indonesia yang merupakan sebagai negara kepulauan dan Relevansi dalam pengaturan nasional di Indonesia yang terdapat di dalam Undang-Undang No.32Tahun 2014 Tentang Kelautan mengenai batas wilayah laut dengan Hukum Internasional dalam UNCLOS 1982.

(8)

v

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 6

D. Keaslian Penulisan………... 7

E. Tinjauan Kepustakaan……….. 8

F. Metode Penelitian……… 8

G. Sistematika Penulisan……….. 10

BAB II PENGATURAN TENTANG BATAS WILAYAH LAUT A. Indonesia sebagai negara kepulauan... 13

BAB III RELEVANSI UNDANG-UNDANG NO.34 TAHUN 2014 DENGAN UNCLOS 1982 A. Hubungan Laut Teritorial Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Dengan UNCLOS 1982………... 39

B. Hubungan Negara Kepulauan Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Dengan UNCLOS 1982……….. 45

(9)

vi

D. Hubungan Zona Tambahan Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun

2014 Dengan UNCLOS 1982……….. 59

E. Hubungan Landas Kontinen Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun

2014 Dengan UNCLOS 1982……….. 63

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN……… 73

B. SARAN……… 74

(10)

iv

Lia Rizki Arisandy Harahap***

Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara tertentulah yang mempunyai wilayah laut yaitu negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut.Dalam perkembangan hukum internasional, batas kekuasaan yang merupakan batas wilayah suatu negara sangat di pegang erat, pelanggaran terhadap wilayah suatu negara dapat berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan berakibat peperangan. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang baik bagi setiap negara dan perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan kepentingan negara lain.

Dalam hal berlakunya secara internasional tentang hak klaim terhadap wilayah laut teritorial baru puncaknya pada tahun 1982 telah disepakati bahwa lebar laut teritorial suatu negara 12 mil dengan adanya Konvensi Hukum Laut tahun 1982 (United nations convention On the Law oh the Sea of 1982), dalam konvensi hukum laut ini negara Indonesia telah melakukan ratrifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea. Dengan adanya klaim terhadap wilayah laut sampai 12 mil laut teritorial tersebut memberikan perluasan terhadap wilayah negara khusunya negara Indonesia, dan negara-negara lain pada umumnya.

Pada zaman modern ini dengan dikeluarkannya berbagai peraturan tentang kelautan untuk mengukur jarak laut dari wilayah darat yang diberlakukan secara universal dan secara yuridis yang telah memberikan kepastian hukum yang dianut oleh hukum internasional dan secara faktual dapat merupakan perluasan wilayah kekuasaannya.

Pada akhir tahun 2014 Indonesia menetapkan pengaturan tentang kelautan, Undang-Undang No.32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. pengaturan ini merupakan pengaturan pertama yang di bentuk mengenai kelautan di Indonesia. Pengaturan yang disahkan pada Oktober 2014 ini tidak lepas juga dengan ketentuan Hukum Laut Internasional.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum Normative dan metode penelitian hukum Empiris. Penelitian hukum Normative dikonsepkan sebagai penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan (library research).

Dari metode penelitian dan latar belakang diatas saya mengambil rumusan masalah dalam penulisan ini yaitu bagaimana pengaturan Indonesia mengenai batas wilayah laut, dan bagaimana relevansi pengaturan batas wilayah laut dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2014 Tentang kelautan dengan UNCLOS 1982.

Dalam penulisan ini yang menjadi kesimpulan adalah mengenai pengaturan nasional mengenai batas wilayah laut di Indonesia yang merupakan sebagai negara kepulauan dan Relevansi dalam pengaturan nasional di Indonesia yang terdapat di dalam Undang-Undang No.32Tahun 2014 Tentang Kelautan mengenai batas wilayah laut dengan Hukum Internasional dalam UNCLOS 1982.

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga

lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap

negara, hanya negara-negara tertentulah yang mempunyai wilayah laut yaitu

negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut.

Laut adakalanya merupakan batas suatu negara dengan negara lain

dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau

multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan suatu negara,

sejauh garis terluar batas wilayahnya.

Dalam perkembangan hukum internasional, batas kekuasaan yang

merupakan batas wilayah suatu negara sangat di pegang erat, pelanggaran

terhadap wilayah suatu negara dapat berakibat fatal bahkan dapat

menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

berakibat peperangan. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang baik

bagi setiap negara dan perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar

tidak merugikan kepentingan negara lain.1

Penentuan batas wilayah yang meliputi kelautan di dalam

pembuatannya selalu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan

lain sehingga kepentingannya sama-sama berjalan.

1

(12)

Dalam sejarah hukum internasional, selalu mengupayakan penetapan

batas laut terotorial yang berlaku secara universal dengan memberikan catatan

bagi negara-negara pantai dan pelintas. Semula batas laut teritorial suatu

negara ditentukan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam

praktek ketatanegaraan negara yang bersangkutan dengan memperhatikan

kepentingan negara lainnya.2

Penentuan batas laut demikian sangatlah subyektif dan tidak mustahil

hanya kepentingan sendirilah yang diutamakan sehingga di dalam penentuan

batasnya disesuaikan kepentingannya masing-masing. Bagi hukum

internasional banyak menimbulkan keresahan-keresahan khususnya bagi

negara pelintas, karena dalam penyelasaiannya tidak dapat diterapkan

ketentuan yang bersifat umum/universal.

Upaya yang dilakukan untuk membentuk dan melahirkan ketentuan

yang dapat diterapkan secara internasional terus dilakukan dengan melihat

penentuan batas wilayah laut masing-masing negara.3

Indonesia dengan bentuk geografisnya sebagai negara kepulauan yang

membentang beribu-ribu pulau dengan corak beraneka ragam dan cirinya

sendiri-sendiri, maka untuk menjaga keutuhan teritorial serta perlindungan

kekayaan alam perlu semua pulau/kepulauan harus berada dalam

keutuhan/kesatuan bulat. Berdasarkan pertimbangan itu, pemerintah

2

P. Joko Subagyo, Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal.31

3

(13)

3

Indonesia menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang

menghubungkan pulau-pulau merupakan wilayah teritorial negara Indonesia.4

Kita melihat ke belakang tentang perkembangan wilayah laut Indonesia,

bahwa Negara Indonesia merdeka tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan kalau

kita memperhatikan tentang peraturan yang mengatur mengenai wlayah laut

jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, berkaitan dengan hak kepemilikan

wilayah laut banyak peraturan yang dikeluarkan tentang klaim wilayah laut

tentang jaraknya yang diukur dari wilayah darat dari suatu negara.

Hal ini sebenarnya dengan dikeluarkannya peraturan di bidang kelautan

secara universal, secara yuridis telah memberikan kepastian kepada negara

yang memiliki wilayah laut dan begitu juga memberikan keuntungan kepada

negara tetangga kita khususnya dan umumnya masyarakat internasional tentu

dalam melakukan klaim terhadap wilayah hukum laut tersebut tidak

bertentangan dengan hukum internasional dan di balik pengukuran atau klaim

terhadap wilayah laut yang diukur dari wilayah daratan tersebut secara nyata

telah melakukan perluasan terhadap wilayah.5

Selanjutnya dalam perkembangannya pemerintah Indonesia mmbuat

suatu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan wilayah perairan

Indonesia, yaitu pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang No. 4/PRP

Tahun 1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia, di dalam undang-undang

tersebut dalam Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut :

4

Ibid, hal 4 5

(14)

“Laut wilayah Indonesia adalah lajur laut sebesar dua belas mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atau garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah daripada pulau-pulau atau bagian pulau-puau yang terluar wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tapi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada

tengah selat.”

Dalam hal berlakunya secara internasional tentang hak klaim terhadap

wilayah laut teritorial baru puncaknya pada tahun 1982 telah disepakati

bahwa lebar laut teritorial suatu negara 12 mil dengan adanya Konvensi

Hukum Laut tahun 1982 (United nations convention On the Law of the Sea

1982), dalam konvensi hukum laut ini negara Indonesia telah melakukan

ratrifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang

Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea. Dengan

adanya klaim terhadap wilayah laut sampai 12 mil laut teritorial tersebut

memberikan perluasan terhadap wilayah negara khusunya negara Indonesia,

dan negara-negara lain pada umumnya.

Pada zaman modern ini dengan dikeluarkannya berbagai peraturan

tentang kelautan untuk mengukur jarak laut dari wilayah darat yang

diberlakukan secara universal dan secara yuridis yang telah memberikan

kepastian hukum yang dianut oleh hukum internasional dan secara faktual

dapat merupakan perluasan wilayah kekuasaannya.

Di dalam praktiknya Negara Indonesia banyak sekali mengeluarkan

kebijakan salah satunya dengan membuat peraturan perundang-undangan

yang berlaku di darat. Dalam konteks hubungannya dengan masyarakat

(15)

5

1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United

Nations Convention on the Law of the Sea-Unclos 1982), di dalam tataran

praktiknya Negara Indonesia telah melakukan implementasi dari konvensi

tersebut kedalam peraturan perundangan nasional, artinya

undang-undang yang di buat oleh Negara Indonesia telah sejalan sesuai dengan apa

yang ada dalam ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut.

Dalam perjalanannya Negara Indonesia mengalami 3 (tiga) momen

yang menjadi pilar dalam memperkukuh keberadaan Indonesia menjadi suatu

negara yang merdeka dan negara yang didasarkan atas kepulaun sehingga

diakui oleh dunia, yaitu :

1. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan

kesatuan kejiwaan kebangsaan Indonesia.

2. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang

menyatakan bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang

ingin hidup dalam satu kesatuan kenegaraan; dan

3. Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa

Indonesia mulai memperjuangkan kesatuan kewilayahan dan pengakuan

secara De Jure yang tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa

Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982 (United Nation Convention on

the Law of the Sea /UNCLOS 1982) dan yang di ratifikasi oleh Indonesia

melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985.

Pada akhir tahun 2014 Indonesia menetapkan pengaturan tentang

(16)

Kelautan. Pengaturan ini merupakan pengaturan pertama yang di bentuk

mengenai kelautan di Indonesia. Pengaturan yang disahkan pada Oktober

2014 ini tidak lepas juga dengan ketentuan Hukum Laut Internasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat maka permasalahan yang akan

di bahas adalah :

1. Bagaimana pengaturan tentang batas wilayah laut berdasarkan

Undang-Undang No 32 Tahun 2014 Tentang kelautan?

2. Bagaimana relevansi Undang-Undang No 32 Tahun 2014 tentang

Kelautan dengan United Nations Convention on the Law of the Sea

1982 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang batas wilayah laut di dalam

Undang-Undang No 32 Tahun 2014

2. Untuk mengetahui adanya relevansi antara Undang-Undang No 32

Tahun 2014 Tentang Kelautan dengan United Nations Convention

on teh Law of the Sea 1982

2. Manfaat Penulisan

(17)

7

a. Teoritis

Menambah dan memperluas khasanah ilmu hukum, khususnya

hukum internasional mengenai permasalahan pengaturan nasional

tentang batas wilayah di dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2014

Tentang Kelautan dengan United Nations Convention on teh Law

of the Sea 1982.

b. Praktis

Menambah informasi mengenai realisasi pengaturan nasional

tentang batas wilayah laut di dalam Undang-Undang No.32 Tahun

2014 relevansinya dengan United Nation Convention on the Law of

the Sea.

D. Keaslian Penulisan

Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini pada dasrnya penulis

melakukakn pemeriksaan pada Perpustakaan Fakulas Hukum Universitas

Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi ini belum pernah

ditulis sebagai skripsi sebelumnya oleh pihak lain. Dengan demikian, skripsi

ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan penulis baik secara moral

maupun secara akademik karena diperoleh melalui pemikiran, referensi

(18)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam tujuan kepustakaan, penulis mencoba untuk mengemukakan

beberapa ketentuan-ketentuan dan batasan batasan yang akan menjadi sorotan

dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna bagi penulis

untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada di dalam

topik yang diangkat dalam permasalahan yang telah disimpulkan.

Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubngan daratan

dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan

geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait serta yang batas dan

sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum

internasional.

Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau dan

perairan di antara pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang

hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan,

dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografis, ekonomi,

pertahanan, dan keamanan serta politik yang hakiki atau yang secara historis

dianggap sebagai demikian.

Negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau

lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

F. Metode Penulisan

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu

(19)

9

bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metedologis,

dan konsisten. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu dengan jalan

menganalisanya. Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk

dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang

bersangkutan. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk

memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode

tertentu.

Metode penelitian hukum ini terdiri dari dua macam yaitu :

1. Metode yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan atas

norma-norma hukm yang berlaku, yang norma-norma-norma-norma tersebut berasal dari

peraturan hukum yang diundangkan maupun hukum yang diakui.

2. Metode studi kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif

karena dalam penelitian ini penulis memperoleh data dengan membaca,

mempelajari, mentransfer dari buku-buku, konvensi-konvensi dan sebagainya

yang menurut penulis ada hubunngannya dengan Pengaturan Nasional

Tentang Batas Wilayah Laut dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2014

Tentang Kelautan Relevansinya dengan UNCLOS 1982.

Adapun bahan yang penulis gunakan sesuai dengan ketentuan bahan

(20)

1. Bahan hukum primer yaitu perjanjian internasional yang dihasilkan dari

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ke

tiga (UNCLOS III) yang ditanda tangan pada 10 Desember 1982 di

Montego Bay, Jamaica. Berlaku pada tanggal 16 November 1994 dan

peraturan Nasional Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 Tentang

Kelautan yang ditanda tangani pada tanggal 16 Oktober 2014 di Jakarta,

Indonesia.

2. Bahan hukum sekunder yaitu berupa tulisan-tulisan, pendapat sarjana,

dan pendapat para ahi yang memberikan penjelasan terhadap bahan

hukum primer.

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti

kamus-kamus hukum.

G. Sistematika

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membaginya dalam beberapa bab,

yang masing-masing bab diuraikan masalah tersendiri, akan tetapi dalam satu

kaitan yang saling menunjang dan tidak terlepas antara satu bab dengan bab

lainnya, sehingga secara sistematis akan menggambarkan keseluruhan isi

yang akan menunjang tercapainya sasaran penulisan skripsi ini.

(21)

11

Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini penulis memaparkan hal-hal yang bersifat umum serta

hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan untuk permasalahan,

tujuan penulisan, metode pengumpulan data dan sistematika

penulisan.penyelesaian penulisan skripsi ini. Dalam hal ini dimulai

dari mengemukakan alasan pemilihan judul.

Bab II : Pengaturan Tentang Batas Wilayah Laut

Dalam bab ini membahas tentang Indonesia sebagai Negara

Kepulauan, dan pengaturan mengenai batas wilayah yuridiksi laut

Indonesia.

Bab III : Relevansi Undang-Undang No.32 Tahun 2014 dengan United

Nation Convention on the Law of the Sea 1982.

Bab ini merupakan bab terpenting dalam penulisan skripsi ini,

karena disinilah pembahsan diuraikan dalam penulisan ini. Pada

bab ini di bahas hubungan Undang-Undang N0.32 Tahun 2014

dengan UNCLOS 1982 mengenai batas wilayah berupa laut

teritorial, negara kepulauan, laut lepas. Dan membahas peranan

Undang-Undang N0. 32 Tahun 2014 dan UNCLOS 1982 mengenai

batas kawasan Internasional.

Bab IV : Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bagian terakhir dalam penulisan skripsi ini,

yang memuat kesimpulan yang merangkum keseluruhan dari

(22)

sarana-sarana untuk menyempurnakan pelaksanaan Undang-Undang No.

(23)

13 BAB II

PENGATURAN TENTANG BATAS WILAYAH LAUT

A. Indonesia Sebagai Negara Kepulauan

Sebagai mana diketahui, negara Indonesia memiiki kondisi geografis yang

sangat khas. Indonesia memiliki wilayah daratan yang berbentuk

gugusan-gugusan pulau sebanyak 17.508 pulau-pulau. Terbentang dari sabang hingga

Marauke dan dipisahkan oleh laut-laut di antara pulau-pulaunya. Sebagai negara

kepulauan, Indonesia diuntungkan memiliki tiga jenis wilayah yaitu wilayah darat,

laut, dan udara yang mungkin tidak semua negara memilikinya. Kondisi geografis

seperti itu memiliki potensi sekaligus kelemahan. Potensi terbesarnya adalah

sumber daya yang ada di dalamnya.

Kaitannya dengan wilayah, negara-negara di dunia setelah Perang Dunia II

banyak melakukan penetapan dan pengaturan mengenai batasan batasan

wilayahnya, termasuk dalam penetapan wilayah laut negara-negara pantai.

Didorong oleh banyak faktor seperti politik,ekonomi, dan keamanan, penetapan

batas wilayah laut adalah sangat penting peranannya. Usaha penetapan wilayah

laut juga dilakukan oleh Indonesia. Pada saat Indonesia memproklamirkan diri

sebagai sebuah negara merdeka, Indonesia mengklaim teritorialnya adalah bekas

jajahan Belanda yang sebelumnya disebut Netherland Indische. Saat itu Indonesia

menyatakan merdeka dengan klaim peta yang dipakai sebagai penentu teritorial

(24)

Ordonantie (TZMKO) tahun 1939 dengan lebar laut wilayah adalah 3 mil laut di

ukur dari garis air terendah dari pulau-pulau di Indonesia.6

pada saat Indonesia diprokalmasikan sebagai negara yang merdeka pada

tanggal 17 agustus 1945 oleh dwi-tunggal Soekarno-Hatta, Indonesia merupakan

negara yang terdiri atas beribu pulau-pulau yang tersebar dari sabang sampai

marauke dan dapat disebut sebagai negara pulau-pulau. Undang-Undang Dasar

1945 yang resmi diberlakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa

Indonesia adalah negara kesatuan dalam bentuk republik, namun sayangnya ketika

itu tidak disebutkan batas-batas wilayah nasional Indonesia sesungguhnya.

Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah

lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda

tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Mochtar

Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep

“Negara Kepulauan” untuk dapat diterima di konferensi Hukum Laut Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam ”The United Nations Conventions On

the Law of The sea (UNCLOS) 1982” dicantumkan Bagian IV mengenai negara

kepulauan, konsepsi itu menyatukan kepulauan, Indonesia boleh menarik garis

pangkal (baseline-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost

points of the outermost island and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU

No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960

sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional. Menurut UNCLOS

6

(25)

15

1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis

dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia.

Selama ini terdapat upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia

untuk mengembalikan jiwa kebaharian dalam pembangunan kelautan di

Indonesia. Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno,

mendeklarasikan Wawasan Nusantara pada tanggal 13 Desember tahun 1957 yang

dikenal dengan “Deklarasi Djoeanda” yang memandang laut merupakan satu

keutuhan wilayah dengan darat, ini merupakan titik awal kebangkitan bangsa

bahari setelah kemerdekaan Indonesia. Hal ini kemudian diundangkan dengan

Undang-Undang No.4 Tahun 1960 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah No. 8 Tahun 1962. Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut maka

membawa konsekuensi logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang

harus dilaksanakan berupa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah

kelautan Indonesia berdasarkan hukum Internasional.7 Perjuangan-perjuangan

Indonesia di dunia Internasional membawa hasil yang memuaskan dengan

diakuinya dan diterimanya konsep negara kepulauan serta perairan

pedalaman/perairan kepulauan. Predikat sebagai negara kepulauan tidak hanya

menambah hak-hak negara atas perairan pedalaman sebagai laut wilayahnya,

namun di dalamnya juga terdapat berbagai kewajiban-kewajiban internasional

yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Hal itu merupakan suatu permasalahan

tersendiri apabila melihat kemampuan Indonesia sebagai negara kepulauan untuk

7

Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasinal (UNCLOS 1982 di Indonesia, Dewan Kelautan Indonesia departemen

Kelautan dan Perikanan, https://rovicky.files.wordpress.com/2010/09/

(26)

memenuhi berbagai kewajiban negara kepulauan dan mengimplementasikan isi

dari UNCLOS 1982.8

Negara Indonesia mencatat tonggak sejarah baru di bidang hukum laut dan

memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika

pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja

mengeluarkan sebuah pernyataan (deklarasi) mengenai wilayah perairan Negara

Republik Indonesia yang lengkapnya sebagai berikut : ”Bentuk Geografi

Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau

mempunyai sifat corak tersendiri. Bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi

kekayaan Negara Indonesia”. Semua kepulauan serta laut terletak di antaranya

harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat. Penentuan batas laut teritorial

seperti termaksud dalam Territiralle Zeen en Maritime Kringen Ordonnantie 1939

Pasal 1 angka 1 tidak sesuai lagi dengan pertimbangan-pertimbangan di atas

karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan

teritorialnya sendiri-sendiri. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka

pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang

menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak

memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada

wilayah pedalaman atau Nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak

Indonesia.

8

(27)

17

Pengumuman pemeritah Indonesia tersebut yang sekarang dikenal dengan

sebutan Deklarasi Djuanda itu disiapkan dalam rangka menghadiri Konferensi

Hukum Laut di Jenewa pada bulan Februari 1958. Pengumuman Pemerintah

Indonesia yang menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan itu mendapat

protes keras dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand,

tetapi mendapat dukungan dari Uni Soviet (waktu itu), dan Republik Rakyat Cina,

Filipina, Ekuador. Pemerintah Indonesia terus melanjutkan kebijakan tersebut

karena menyangkut kedaulatan negara atas wilayah laut dan sumber kekayaan

yang terkandung didalamnya. Deklarasi Djuanda dipertegas lagi secara juridis

formal dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 tentang

Perairan Inonesia. Dengan adanya UU No.4/Prp/Tahun 1960 tersebut, menjadikan

luas wilayah laut Indonesia yang tadinya 2.027.087 km2 (daratan) menjadi

5.193.250km2, suatu penambahan yang wilayah berupa perairan nasional (laut)

sebesar 3.166.163 km2.

Di pihak lain, yaitu dalam tataran internasional masyarakat internasional

melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus melakukan berbagai upaya

kodifikasi hukum laut melalui konferensi-konferensi internasional, yaitu

konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the

Law of the Sea – UNCLOS I) yang menghasilkan 4 (empat) Konvensi, tetapi

konferensi tersebut gagal menentukan lebar laut teritorial dan konsepsi negara

kepulauan yang diajukan Indonesia, kemdian dilanjutkan dengan Konferensi

(28)

ketentuan penting tersebut, yang penetapan lebar laut teritorial dan negara

kepulauan.

UNCLOS I dan UNCLOS II telah gagal menentukan lebar laut teritorial

dan konsepsi Negara Kepulauan karena berbagai kepentingan setiap Negara, maka

PBB terus melanjutkan upaya kodifikasi dan unifikasi hukum laut internasional

terutama dimulai sejak tahun 1973 di mana 1970-an itu merupakan awal

kebangkitan kesadaran masyarakat internasional atas pentingnya mengatur dan

menjaga lingkungan global termasuk lingkungan laut, sehingga melalui proses

panjang dari tahun 1973-1982 akhirnya Konferensi ketiga (UNCLOS III) itu

berhasil membentuk sebuah Konvensi yang sekarang dikenal dengan Konvensi

PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention On the Law of the

Sea) yang ditandatangani oleh 119 Negara di Teluk Montego Jamaika tanggal 10

Desember 1982.9

Penandatangan akhir tersebut guna menyusun suatu ketentuan hukum

internasional yang komprehensif berkaitan dengan hukum laut di bawah judul

Konvensi PBB mengenai Hukum Laut, mungkin merupakan perkembangan

paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional

berkenaan dengan lautan bebas. Dalam kaitan ini, yang perlu dikemukakan

hanyalah bahwa sebagian terbesar dari Konvensi, yang memuat

ketentuan-ketentuan hukum yang cukup penting di dalamnya, meskipun hukum yang lama

9

Evealuasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 di Indonesia, Dewan Kelautan Indonesia

departemen Kelautan dan Perikanan, https://rovicky.files.wordpress.com

(29)

19

banyak yang berubah karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus umum

dari masyarakat internasional.10

Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan yang diperjuangkan oleh

Mochtar Kusumaatmadja dari sejak Deklarasi Juanda tahun 1957 sampai

diakuinya konsepsi tersebut oleh dunia internasional dalam Konvensi Hukum

Laut tahun 1982 adalah suatu kebanggan yang luar biasa bagi bangsa dan Negara

Indonesia, tetapi sebagian masyarakat Indonesia tidak begitu mengenal dengan

baik bahwa Indonesia mempunyai luas laut 2/3 (dua per tiga) dari luar daratan dan

pemerintah juga tidak begitu fokus melakukan pembangunan yang berorientasi ke

laut, tetapi masih terfokus pada paradigma pembangunan di darat.

Padahal pembangunan yang dicanangkan oleh para pendahulu itu sudah

termaktub dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor

IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam Bab II mengenai

Pola Dasar Pembangunan Nasional menegaskan bahwa “wawasan dalam

mencapai tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nusantara yang

mencakup satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan

ekonomi, dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan”. Dengan di tetapkannya

Wawasan Nusantara sebagai konsepsi kesatuan wilayah, bangsa, dan negara yang

memandang Indonesia sebagai kesatuan yang meliputi tanah (darat) dan air (laut)

secara tidak terpisahkan merupakan tahapan akhir dari perjuangan konsepsi

Wawasan Nusantara yang dimulai sejak Deklarasi Djuanda pada tanggal 13

Desember 1957.

10

(30)

Wawasan Nusantara yang dalam status juridisnya adalah negara kepulauan

(archipelagic states) sudah diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya

Konvensi Hukum Laut 1982 yang diatur dalam Bab IV Pasal 46 yang berbunyi

sebagai berikut :11

(a) “archipelagic state” means a state constituted wholly by one or more

archipelagos and may include other islands;

(b) “archipelagic state” means a group of islands, including parts of

islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features from an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such.

Pada pasal 46 ayat 1 disebutkan bahwa “negara kepulauan adalah suatu

negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup

pulau-pulau lain”. Maksud dari pasal 46 ayat 1 UNCLOS 1982 tersebut adalah

secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi

negara-negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini

disebabkan dalam Pasal 46 ayat 2 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa kepulauan

adalah suau gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya

dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain sedemikian erat

sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu

kesatuan geografis, ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang secara historis

dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, Pasal 46 UNCLOS 1982 ini

11

(31)

21

membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state)

dengan kepulauan (archipelago).

perbedaan yang diuraikan dalam Pasal 46 UNCLOS 1982 di atas

menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis pangkal kepulauan

(archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua negara yang

mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini dikarenakan ada

beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan penarikan garis

pangkal lurus kepulauan yaitu: pertama, satu kesatuan geografis, ekonomi, politik

dan Historis; kedua, ada ketentuan khusus Hukum Laut (speific rules) yang

membuktikan keberadaan pulau negara kepulauan yang relatif kecil (small island,

socially, and economically insignificant) tidak bisa dijadikan tempat menarik garis

pangkal kepulauan. 12

Mengenai ketentuan garis pangkal kepulauan Indonesia terdapat di dalam

PP Nomor 38 Tahun 2002, pengaturan mengenai garis pangkal kepulauan terdapat

di dalam pasal 3 yang mengetur ketentuan garis pangkal lurus kepulauan.

Pasal 3 ayat 1 :

Di anatara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan

Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial adalah Garis

Pangkal Lurus Kepualauan.

Pasal 3 ayat 2 :

Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah

garis lurus yang menghubungkan titiktitik terluar pada Garis Aris Rendah pada

12

(32)

titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar

pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang

lainnya yang berdampingan.

Dan dalam pasal lainnya terdapat ketentuan garis pangkal wilayah lautnya.

Dalam Konvensi ini juga ditegaskan bahwa negara kepulauan memiliki

kedaulatan atas perairan laut yang terletak di dalam garis-garis pangkal

kepulauannya (archipelagic baselines). Negara kepulauan juga memiliki

kedaulatan atas udara di atas perairannya dan atas dasar laut dan tanah

dibawahnya.13

Di balik keberhasilan Indonesia yang telah memperjuangkan lebar laut

teritorial sejauh 12 mil laut dan perjuangan yang terpenting diterimanya konsep

wawasan nusantara menjadi negara kepulauan oleh dunia Internasional adalah

tersimpangnya tanggung jawab besar dalam memanfaatkan perairan Indonesia

(perairan pedalaman,perairan kepulauan dan laut teritorial) dan kekayaan sumber

daya alam di dalamnya dengan seoptimal mungkin bagi kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat Indonesia. Tanggung jawab besar yang diemban oleh NKRI

ini untuk menjadikan negara ini menjadi negara besar yang memberikan

kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia seusai dengan Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah Indonesia mempunyai peranan yang maha penting utuk

menjaga Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai wilayah laut

sangat luas dan mengelola kekayaan sumber daya alamnya dengan baik dan benar.

13

(33)

23

Peranan tersebut dapat berupa adanya anggaran yang memadai untuk

pembangunan di bidang kelautan dan penegakan hukum dan kedauatan NKRI di

perairan Indonesia, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landas

Kontinen, dan Laut lepas sebagaimana diatur oleh Konvensi Hukum Laut tahun

1982 dan hukum internasional lainnya. Indonesia secara juridis formal sudah

sangat kuat atas wilayah lautnya, tetapi konsekuensinya adalah Indonesia harus

menjaga kekayaan sumberdaya alam di laut dan memanfaatkannya dengan

optimal bagi kepentingan nasional dan seluruh rakyat Indonesia. Indonesia jangan

hanya bangga menjadi negara kepulauan, tetapi tidak mau dan tidak mampu

menjaga laut kekayaannya. Apabila Indonesia tidak mau menjaganya dengan baik,

maka apa yang terjadi selama berupa illegal fishing yang dilakukan oleh

nelayan-nelayan asing, transaksi atau perdagangan ilegal, perampokan (piracy),

pencemaran/perusakan lingkungan laut, terus berlangsung, maka akan terkuras

kekayaan laut Indonesia.oleh karena itu, Indonesia harus bangkit membangun

bidang kelautan termasuk membangun infrastruktur, peralatan, dan penegakan

hukumnya, sehingga status Indonesia sebagai negara kepulauan tidak hanya di

atas kertas perjanjiannya saja, tetapi harus menjadikan negara besar yang

memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kewajiban Indonesia sebagai Negara Kepulauan sudah diatur oleh Pasal

47 sampai Pasal 53 Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Pasal 47 Konvensi Hukum

Laut tahun 1982 menyatakan bahwa Negara Kepulauan dapat menarik garis

pangkal lurus kepulauan (archipelagic baselines) dan aturan ini sudah

(34)

Kewajiban Indonesia sebagai negara kepulauan yang terikat oleh Konvensi

Hukum Laut tahun 1982 sudah terlaksana dengan baik, seperti pengukuran lebar

laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landasan kontinen

seperti yang dikehendaki oleh Pasal 48 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

walaupun belum semua ditetapkan. Penetapan batas zona-zona mairitm tersebut

harus dengan kesepakatan dengan negara-negara tetangga baik dengan negara

yang saling berhadapan maupun negara berdampingan. Kewajiban Indonesia

lainnya adalah menghormati persetujuan-persetujuan yang sudah ada, hak-hak

penangkapan ikan tradisional, dan pemasangan kabel-kabel bawah laut yang

dilakukan oleh negara-negara tetangga, menghormati hak lintas damai (right of

innocent passage), dan hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic sea

lanes passage).

Kewajiban Indonesia sebagai negara kepulauan yang menyangkut hak-hak

negara lain dipastikan sudah dan akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tetapi

persoalan bukan itu. Kewajiban Indonesia yang terpenting sebagai negara

kepulauan adalah kewajiban melaksanakan kedaulatan NKRI di perairan

kepulauan, yaitu kewajiban memanfaatkan sumber daya alam hayati dan

nonhayati di perairan kepulauan serta melaksanakan penegak hukumnya. Perairan

kepulauan adalah bagian dari kedaulatan NKRI dan perairan ini yang sejak dahulu

diperjuangkan oleh para pendahulu negara ini termasuk oleh dengan adanya

Deklarasi Djuanda dan perjuangan oleh Mochtar Kusumaatmadja di forum

Internasional sampai terbentuknya Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Di perairan

(35)

25

dan pertabangan lainnya yang belum dimanfaatkan secara optimal karena

ketidakberdayaan sumber daya manusia dan teknologi.14

B. Wilayah Yuridiksi Indonesia

a. Negara Kepulauan

Kedudukan Indonesia sebagai negara pantai, khususnya sebagai negara

kepulauan,berkewajiban untuk menetapkan batas terluar dari kawasan laut yang

berada dalam yuridiksi nasionalnya dan dituangkan dalam peta yang memadai

sebagaimana ditentukan dalam konvensi internasional di bidang hukum laut, dan

mendepositnya di lembaga depositnya di lembaga deposit sesuai ketentuan

konvensi internasional. Dengan telah terciptanya konvensi hukum laut PBB

(United Nations Convention On the Law of The Sea 1982), maka perairan yang

berada dalam yuridiksi nasional Indonesia menjadi ± 5,8 juta km2 dari ± 3 juta

km2 sebelumya. Dari luas kawasan tersebut 0,4 juta km2 merupakan laut territorial

Indonesia 2,8 juta km2 perairan kepulauan: zona ekonomi ekslusif (termasuk zona

tambahan) 2,6 juta km2.

Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah

kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.

Pengaturan batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan

kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan

pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak berdaulat. Negara berkepentingan

14

https://www.academia.edu/6765421/PERMASALAHAN_INDONESIA_

(36)

untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut

internasional sesuai dengan hukum internasional.

Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan

alam, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan

Wilayah Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan

kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti

upaya-upaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraaan masyarakat yang tinggal di

Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah

Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta

perlindungan segenap bangsa. Sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan

dalam arti pembangunan kawasan perbatasan yang memperhatikan aspek

kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang

berkelanjutan.

Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional

tahun 1982, wilayah laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan diperkirakan

mencapai 7.9 juta km2 terdiri dari 1.8 juta km2 daratan, 3.2 juta km2 laut teritorial

dan 2.9 juta km2 perairan ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km2 tersebut adalah

77% dari seluruh luas Indonesia,. Indonesia sebagai Negara yang mengelola laut

dan perairan laut nusantara yang menghubungkan antar laut secara global, perlu

secara serius bukan hanya memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan di

wilayah laut Indonesia, namun juga mempunyai kepentingan untuk memantau

(37)

27

laut (termasuk pantai) Indonesia telah dimanfaatkan untuk perikanan, rekreasi,

pembuangan limbah, sumber energi, sumber air, batubara, minyak, bahan

bangunan, kehutanan, peternakan/tambak, pemukiman industri.15

Sebagai konsekuensi dari penarikan garis pangkal kepulauan, timbul

persoalan mengenai perairan laut yang terletak pada sisi dalamnya, tegasnya, apa

nama perairan tersebut dan bagaimana pula status hukumnya. Pasal 49 ayat 1

UNCLOS 1982 menyatakan perairan tersebut sebagai perairan yang ditutup oleh

garis pangkal kepulauan dan dinamakan perairan kepulauan (archipelagic waters)

tanpa memerhatikan kedalamnya ataupun jaraknya dari pantai. Dengan kata lain,

perairan kepulauan merupakan perairan yang berada atau terletak pada sisi dalam

garis pangkal kepulauan.

Suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang

menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar

kepuylauan itu, dengan ketentuan bahwa did lam garis pangkal demikian termasuk

pula-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan

dan daerah daratan, termsuk atol adalah antara sutu berbanding stud an Sembilan

berbanding satu.16

15

http://ardikadjun-ceritaapasaja.blogspot.com/2013/05/batas-batas-wilayah-perairan-indonesia. html, diakses pada tanggal 10 Februari jam 23.25.

16

(38)

b. Laut Teritorial

Dalam perkembangan hukum Internasional, batas kekuasaan yang

merupakan batas wilayah suatu negara sangat dipegang erat. Pelanggaran terhadap

wilayah suatu negara dapat berakibat fatal, bahkan dapat menimbulkan

kerenggangan hubungan, dan apabila berlarut-larut akan berakibat peperangan.

Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang lebih baik bagi setiap negara dan

perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan

kepentingan negara lain.

Negara-negara pantai mempunyai kedaulatan penuh di laut teritorilnya

(termasuk dasar laut dan udara diatasnya) dengan disertai kewajiban untuk

menjamin hak lintas damai bagi kapal-kapal asing. 17

Penentuan batas wilayah Laut teritorial yang meliputi kelautan di dalam

perbuatannya perlu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan lain

sehingga kepentingan-kepentingan publik internasional sama-sama berjalan.18

Laut teritorial atau yang dalam bahasa inggris disebut “maritime belt”,

“marginal sea” dan “territorial sea” adalah sebuah kawasan kelautan yang

dimiliki oleh suatu negara pantai, yang mana dalam kawasan kelautan tersebut

berlaku juridiksi negara antai tersebut. Dalam bahasa yang lebih sederhana dalam

laut teritorial, negara pantai memiliki kedaulatan absolut atas apa yang terjadi

didalamnya.

17

Albert W. Koers, Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gajah Mada University Press,Yogyakarta,1991,penerjemah Rudi M. Rizki,Wahyuni Bahar, hal 3

18

(39)

29

Sebelum diadakannya konvensi Hukum Laut tahun 1930, sejarah dunia

telah mencatat bahwa banyak negara pantai yang dengan sendirinya dan tanpa

pemberitahuan dengan negara tetangga, melakukan klaim atas lebar laut

teritorialnya. Hal ini pernah terjadi pada negara-negara Skandinavia seperti

Denmark, Swedia dan Norwegia yang mengklaim lebar laut teritorial mereka

selebar 4 mil laut yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain seperti Spanyol

dan Portugis yang mengeluarkan klaim lebar laut teritorial seluas 6 mil laut pada

abad ke-18. Bahkan Tsar Rusia, Mexico, Colombia dan Guatemala mengeluarkan

klaim lebar laut teritorial selebar 12 mil laut dari garis pantai mereka.

Karena potensi ekonomi dan politik laut teritorial yang sangat besar dan

rawan akan konflik antar negara, maka masyarakat dunia mulai memikirkan untuk

membuat suatu peraturan-peraturan hukum internasional yang bisa memayungi

kepentingan-kepentingan dan menjaga kedaulatan laut teritorial masing-masing

negara. Upaya masyarakat internasional tersebut dimulai dengan konvensi

kodifikasi Den Haag tahun 1930 yang secara khusus membahas masalah laut

teritorial. Namun, konvensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari

laut teritorial dan hak penangkapan ikan pada jalur tambahan. Dengan kata lain,

konvensi kodifikasi Den Haag telah gagal menetapkan batas laut teritorial.

Konvensi ini merupakan satu-satunya konvensi internasional mengenai hukum

laut yang diselanggarakan oleh Liga Bangsa-Bangsa.19

Untuk mengetahui tentang laut teritorial Indonesia konseptual, laut teritorial

merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak konferensi Den haag

19

(40)

tahun 1930 di mana waktu itu lebar laut teritorial hanya 3 mil kemudian

konferensi Hukum Laut tahun 1958, negara-negara pantai mendukung hukum

laut. Kemudian ketentuan laut teritorial dimodifikasikan kedalam konvensi hukum

laut tahun 1982 (UNCLOS). Di mana dalam konvensi tersebut memberikan ruang

gerak suatu negara dapat untuk menikmati yuridiksi eksklusif atas tanah dan

lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil ke arah laut bebas atau ke arah negara

tetangga.

Secara umum pengertian Laut Teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar

garis pangkal yang tidak melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal.

Negara pantai memiliki kedaulatan penuh di perairan pedalaman. Kedaulatan ini

meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya.

Meski negara mempunyai kedaulatan di laut teritorial ini, namun di laut ini masih

dimungkinkan negara-negara lain menikmati hak lintas damai, yaitu hak setiap

negara untuk melewati laut ini.20

Menurut Colombos, ada beberapa bagian dari laut yang secara universal

diakui sebagai kepanjangan wilayah teritorial dimkana di dalamnya diakui

yuridiksi negara pantai.21

Lebar laut teritorial, sesuai dengan Pasal 3 UNCLOS tahun 1982 adalah

maksimum 12 mil laut dari pantai, diukur dari garis pangkal.

(41)

31

a. Garis Pangkal Normal (normal baseline),yaitu garis pangkal yang

ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti

lekukan-lekukan pantai.

b. Garis Pangkal Lurus dari ujung ke ujng (straight baseline from point to

piont), yaitu garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan

titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai pada waktu air laut surut.

Penarikan garis pangkal ini hanya bisa dilakukan pada pantai-pantai

yang berliku-liku atau jika di depannya terdapat pulau atau gugusan atau

deretan pulau.

c. Garis Pangkal kepulauan (arcipelago baseline), yaitu garis pangkal yang

menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang-karang terluar

kepulauan itu.22

C. Zona Ekonomi Eksklusif

Zona ekonomi eksklusif merupakan salah satu pranata hukum laut yang

relatif baru yang belum di kenal dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958. Zona

Ekonomi Eksklusif dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari proses kristalisasi

dari kalim-klaim sepihak negara-negara dengan berbagai nama dan substansi, baik

secara individual maupun kolektif mengenai perikanan di laut lepas yang

berbatasan dengan laut teritorialnya masing-masing. Klaim-klaim sepihak ini

berlangsung secara berkeseimbangan, baik pada masa sebelum Konferensi Hukum

22

(42)

Laut Jenewa 1958 maupun sesudahnya hingga Konferensi Hukum Laut PBB

1973-1982.23

Pada zona ekonomi eksklusif suatu negara pantai, negara-negara, baik

negara itu negara pantai, negara tak berpantai, maupun negara yang secara

geografis tidak beruntung, memiliki hak dan kebebasan serta memikul kewajiban

pada zona ekonomi eksklusif suatu negara pantai.24

Negara pantai di wilayah dimaksud tidak dapat semena-mena menerapkan

hukum nasionalnya, kecuali tidak bertentangan dengan hukum nasionalnya,

kecuali tidak bertentangan dengan hukum internasional baik yang berasal dari

perjanjian/traktat, konvensi dan sebagainya. Bagi negara pantai seperti halnya

Indonesia, ZEEI merupakan wilayah yang mempunyai kedaulatan penuh dalam

kaitannya masalah ekonomi dan sngat memperhatikan segala kewajibannya yang

berupa kewajiban internasional, antara lain :

1. Menghormati hak-hak negara lain dalam melakukan pelayaran maupun

penerbangan, yang merupakan kebebasan dari negara-negara dalam

melintasi wilayah dimaksud, dan kebebasan dalam melakukan

pemasangan kabel-kabel, pipa-pipa di bawah laut.

2. Dalam pengelolaan salah satu jenis sumber daya alam yang terdapat di

ZEE Indonesia, seperti halnya ikan. Kewajiban bagi Pemerintah

Indonesia untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan

(total allowed catch), sehingga diketahui secara pasti berapa jumlah

23

i wayan parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, yrama widya, Bandung, 2014, hal 143

24

(43)

33

tangkapan secara keseluruhan dan kemampuan negara Indonesia

mengusahakan lingkungan dan tangkapannya.

Pada ZEEI mempunyai dan melaksanakan hak :

1. Hak berdaulat untuk melakukan ekploirasi dan eksploitasi pengelolaan

dan berupaya untuk melindungi, melestarikan sumber daya alam yaitu

menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut. Hak berdaulat

dalam hal ini tidak sama dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan

dilaksanakan atas laut wilayah maupun perairan pedalaman.

2. Hak untuk melaksanakan penegakan hukum dilakukan oleh aparat

yang mengenai secara langsung, dalam upaya untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan perdamaian.

3. Hak untukmelaksanakan hot porsuit terhadap kapal-kapal asing yang

melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan ZEEI.

4. Hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur

pembangunan, pengoprasian dan penggunaan pulau-pulau buatan,

instalasi-instalasi dan bangunan-bangunannya. Disamping itu

mempunyai yuridiksi namun tidak berakibat atas batas laut teritorial.

5. Hak untuk menentukan kegiatan ilmiah berupa penelitian-penelitian

dengan diterima/tidaknya permohonan yang diajukan pada pemerintah,

kemudian atas pemohonannya pemerintah dapat menyatakan :

a. Tidak menolak permohonan yang di ajukan.

b. Bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemohon tidak

(44)

c. Bahwa permohonan belum memenuhi kewajiban atas proyek

penelitiannya, kecuali apabila dinyatakan sebaliknya.

Segala kegiatan berupa hak-hak melekat pada areal laut tersebut

merupakan perwujudan dari perlindungan dan pengawasan negara pantai di

bidang pertahanan dan keamanan, dan memberikan peluang-peluang

sebesar-besarnya bagi negara pantai, dalam membenahi serta memelihara lingkungan laut

sebagai sumber daya alam semesta. Hak-hak tersebut timbul bukan merupakan

tindakan sepihak dari pemerintah negara pantai, melainkan dengan

memperhatikan lingkungan maupun geografi wilayah, juga tidak adanya

pertentangan dengan dengan hukum internasional yang melandasi hukum nasional

suatu negara. Keadaan tersebut semakin nampak nyata setelah dihasilkannya

konvensi hukum laut.25

Negara Indonesia dalam hal mempunyai hak berdaulat, hak-hak lain,

yuridiksi dan kewajiban-kewajiban terdapat dalam Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983, di mana pasal tersebut menyatakan :

(1) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai

dan melaksanakan :

a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi,

pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati

dari dasar laut dan tanah dibawahnya serta air di atasnya dan

25

(45)

35

kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis

zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin.26

b. Yuridiksi yang berhubungan dengan :

1) Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan,

instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya.

2) Penenlitian ilmiah mengenai kelautan perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut.

3) Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan

Konvensi Hukum Laut yang berlaku.

(2) sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak

berdaulat, hak-hak lain, yuridiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1983 dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan

Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan dantara Republik

Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan.

Hukum Internasional yang berlaku.

(3) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta kebebasan pelayaran dan

penerbangan internsional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa

bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut

internasional yang berlaku.27

Secara yuridis pemerintah Indonesia dapat membuat suatu Pulau buatan di

wilayah ZEEI, namun pulau buatan tersebut bukanlah merupakan Pulau yang

26

Nur Yanto,SH.,MH, Op.Cit, hal.41 27

(46)

dapat dijadikan dasar sebagai pulau terluar dan sebagai tempat menentukan garis

pangkal yang digunakan untuk menentukan lebarnya laut teritorial dan ZEE.

Karena jika pulau buatan dapat dijadikan sebagai pulau terluar dan tempat

menentukan garis pangkal yang digunakan untuk menentukan lebarnya laut

teritorial dan ZEE sebagai tempat untuk menentukan/menetapkan batas wilayah

maka kepastian hukum internasional untuk masyarakat internasional tidak tercapai

dan kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan di antara masarakat

internasional tentang batas wilayah.28

d. Zona Tambahan

Zona Tambahan menurut Konvensi Jenewa tahun 1958 adalah bagian dari

laut bebas yang berdekatan dengan Laut Wilayah. Dalam Rancangan Konvensi

lebar Zona Tambahan ditentukan tidak boleh lebih jauh dari 24 mil diukur dari

Garis Dasar (Pasal 33 UNCLOS 1982). Di Zona Tambahan ini negara pantai tidak

mempunyai sovereinitas sebagaimana halnya dengan Laut Wilayah, karena Zona

Tambahan bukan bagian dari wilayah nasional. Meskipun demikian, Negara

Pantai dapat menyelenggarakan kewnangan hukumnya di Zona Tambahan yang

perlu untuk :

1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran atas aturan-aturan beacukai,

keuangan, imigrasi dan kesehatan yang berlaku di wilayah darat atau di

Laut Wilayahnya.

28

Referensi

Dokumen terkait

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeliharaan benih ikan kue dilakukan di hatcheri Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, dengan menggunakan bak- bak

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menghitung dan membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh petani saat musim hujan dan musim kemarau, 2)

4. Simpan file tersebut. Agar file dapat terbaca oleh file video “Insidious Chapter 2.mkv”, file yang kita buat di notepad disimpan dengan format extension“.srt”,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, karena atas rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Penggunaan Model Problem

(4) Historiografi merupakan kegiatan menyusun atau merekontruksi fakta- fakta yang telah tersusun yang didaptakan dari penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber sejarah

yurisprudensi masa lampau atau jalan kebenaran menuju kesadaran Eso Terrys Ihwal status penghambaan (ubudiyah) dihadapan Tuhan, tetapi juga dengan tugas- tugas masa

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai seuatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa

Niatnya sebenarnya memang baik untuk menjalankan ibadah haji tersebut, tetapi kebanyakan mereka yang sudah haji akan merubah sikap dan perilaku mereka dan tentu saja bisa