• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM MENGENAI POLITIK DAN PEMERINTAHAN ORDE BARU

II.1 Pemerintahan Orde Baru Dalam Bidang Ekonomi

4. Negara Birokratik-Otoritarianisme Orde Baru

Dalam perubahan politik yang terjadi saat rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru mengalami krisis legitimasi. Krisis ini merupakan implikasi dari proses perubahan struktur ekonomi kapitalistik di aras regional dan liberalisasi politik di aras domestik. Perubahan politik tersebut sangat berpengaruh terhadap perubahan politik rezim Otoritarian- Birokratik Orde Baru dan membuka peluang struktur kesempatan politik bagi instalasi demokrasi dan pengembangan ruangan representasi politik yang lebih demokratis di ranah lokal. Perubahan struktur politik ekonomi ini telah menjadikan sumber daya kekuasaan rezim tercabut dan mengubah wajah politik lokal lebih plural.

Dalam proses perubahan tersebut negosiasi politik baru harus dikedepankan. Maka berdiri pada pilihan untuk tetap berkuasa dengan wajah represif, sentralistik, dan monolitik hanya akan mempercepat sang rezim menuju denting kematiannya. Rezim yang berkuasa harus membangun negosiasi baru dan mentransformasikan wajah otokratiknya.

Rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru muncul dengan menanggung berbagai beban warisan krisis struktur rezim-rezim sebelumnya. Krisis tersebut berupa inflasi yang merajalela, neraca pembayaran dan beban utang yang sangat berat serta ketidakstabilan politik akibat mobilisasi massa yang intensif dan kudeta

berdarah. Krisis-krisis itu menciptakan dimana proses politik yang demokratis bagi pemimpin baru, dianggap tidak akan menciptakan kebijakan-kebijakan yang secara ekonomi layak dan secara politis dapat diterima. Maka tidak mengherankan bila kondisi yang mengiringi proses awal konsolidasi ekonomi-politik rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru tersebut, memapankan sang rezim untuk mengadopsi wacana pembangunan dan strategi industrialisasi sebagai pilihan strategis pemulihan ekonomi. Apalagi dukungan dan peluang yang diberikan oleh sistem ekonomi kapitalis internasional terhadap rezim baru tersebut sedemikian besar.

Ideologi pembangunan dengan “jargon ekonomi” sebagai panglima kemudian direproduksi sedemikian pasif. Pada saat yang bersamaan, layaknya sebuah rezim Otoritarian-Biroktratik, pilihan ortodiksi dalam kebijakan ekonomi tersebut ditopang oleh usaha untuk menjaga stabilitas politik. Selain diakibatkan oleh trauma atas kondisi politik masa lalu, pilihan menjaga stabilitas politik tersebut juga merupakan konsekuensi dari semakin meluasnya aktivitas politik massa dan munculnya kelas maupun antarkelas.

Rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru kemudian menjelma menjadi Leviathan yang mempunyai kekuatan terpadu. Dengan ditopang oleh aliansi militer-teknokrat-birokrat yang berkolaborasi dengan borjuasi domestik dan internasional oligopolistik, negara mampu memasuki relung-relung kehidupan masyarakat, bahkan pada ruang yang paling pribadi sekalipun.

Rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru tidak hanya mampu mereduksi tingkat kemiskinan yang sebelumnya sangat parah, tetapi juga membuka peluang bagi negara untuk melakukan kooptasi semua kepentingan sosial yang dianggap potensial

akan mengganggu kedalam cengkeraman negara. Dengan strategi politik, keberlimpahan sumber daya material memungkinkan negara untuk membeli loyalitas masyarakat.

Rezim Otoritrian-Birokratik Orde Baru telah mampu menjadikan negara sedemikian relatif otonom dari kekuatan-kekuatan di luar negara tapi juga tetap “populis”. Itu sebabnya sembari menentukan pola akumulasi kapital melalui perencanaan pembangunan yang ada, negara juga mencoba menyediakan program kesejahteraan bagi masyarakat. Dimana penyediaan infrastruktur atau program kesejahteraan dilakukan untuk memodernisasi kontradiksi kelas yang pasti muncul sehingga keberlangsungan pembangunan masih bisa dipertahankan.

Dalam rangka mengorganisir adanya peningkatan aktivitas politik massa dan konflik kepentingan yang pasti muncul seiring dengan proses pembangunan yang sedang berlangsung, strategi penggunaan pembangunan korporatis menjadi hal yang sentral bagi rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru. Korporatis negara yang dimaksud adalah suatu sistem penyingkiran sektor massa melalui mekanisme perwakilan terbatas, pengawasan, depolitisasi dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Strategi korporatisasi oleh negara tersalurkan lewat dua arah :

1. Privatisasi. Negara menyatukan beragam kepentingan dan organisasi masyarakat dalam sebuah wadah tunggal, bersifat non kompetitif dan penuh dengan dominasi negara, sebagai ruang yang mewakili kepentingan masyarakat dalam hubungannya dengan negara. Penciptaan sistem organiasi fungsional tersebut dilakukan oleh negara untuk memotong hubungan dengan

partai dan kekuatan politik non negara yang sangat potensial yang sangat potensial menjadi kekuatan oposisi. Negara berhubungan langsung denga masyarakat melalui organ-organ fungsional tersebut. Pilihan model perwakilan terbatas biasanya menjadi sikap yang diambil oleh negara terhadap kelompok dan elit masyarakat yang akomodatif dan dianggap menguntungkan dalam jangka pendek.

2. Statisasi. Negara akan lebih memilih untuk membungkam kekuatan-kekuatan yang melakukan restitansi dan akan merugikan negara karena mengancam stabilitas dalam jangka panjang. Biasanya potensi kekuatan resistansi tersebut didominasi oleh kelas-kelas bawah yang di marginalkan oleh proses pembangunan yang sedang berlangsung.

Dengan kata lain, bila kembali menelusuri lebih mendalam konstruksi negara Orde Baru, kekuasaan Soeharto merupakan jelmaan kekuasaan sebuah negara Developmentalist. Kekuasaan negara Orde Baru memanfaatkan dukungan kuat kekuatan internasional, dan kemampuannya mengeksploitasi berbagai sumber daya yang kelihatannya terus meningkat untuk diberikan kepada sekutu-sekutunya atau digunakan untuk melawan musuh-musuhnya sehingga muncul dalam kesadaran masyarakat bahwa negara yang berperan penting dalam kehidupan dan keberuntungan mereka atau menjadi negara penentu daya.

Pada arah domestik, kuasa negara semakin mengakar secara historis karena hadirnya dukungan serta kondisi ekonomi dan politik berikut : kuatnya basis dukungan ideologis dan struktural dari aliansi birokrasi-militer-GOLKAR, patronase lembaga kepresidenan yang menggerus energi kekuasaan secara sentripental pada

sosok Soeharto, hadirnya para teknokrat pro pembangunanisme, pengusaha domestik yang membangun jaringan oligopolistik denga pengusaha transnasional dengan memanfaatkan lisensi negara, serta melemahnya kekuatan civil society akibat strategi negara korporatisme negara baik melalui pola privatisasi maupun statisasi.

Semenjak awal kelahirannya, rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru telah mengukuhkan pilihannya atas stabilisasi dan pembangunan ekonomi kapitalistik berorientasi keluar. Dalam proses ini desa tidak lebih dibaca sebagai kawasan penyangga bagi keberlangsungan pembangunan, terutama dalam menyediakan pemenuhan kebutuhan pangan demi menjaga stabilitas politik. Untuk semakin mengukuhkan proses tersebut, reproduksi wacana modernisasi sosial masyarakat desa melalui revolusi hijau (di wilayah agraris) dan revolusi biru (di wilayah pesisir) diperkenalkan dalam komunikasi sosial di desa untuk menyangga supra ideologi nasional.

Sementara kekuasaan aparatus birokrasi lokal semakin dimapankan melalui sarana dominasi ekonomi dan politik. Bersamaan dengan usaha memaksimalkan produktivitas dan laju pertumbuhan, negara juga meningkatkan peran surveillance-nya untuk memperoleh kepatuhan sosial dan meminimalisir adasurveillance-nya konflik. Sama halnya yang terjadi pada ranah nasional, proses tersebut dilakukan dengan mengembangkan politik berupaya untuk melumpuhkan dan mengintegrasikan ekonomi serta pengembangan jaringan intelegen yang inheren oleh Pemerintah Pusat terhadap elit lokal, termasuk juga elit lokal di kawasan pedesaan.36

36

Hasrul Hanif,. Op Cit. Hal: 47.

Sekuat apapun sebuah rezim otoriter bertahan, pada fase historis tertentu akan kehilangan kapasitasnya dan berada pada muara krisis. Krisis ekonomi bisa diakibatkan dengan disorientasi dan kejenuhan pasar internal ISI ataupun restrukturisasi pasar global bila negara tersebut semakin terintegrasi pada sistem ekonomi dunia.

Sedangkan krisis legitimasi sering sekali muncul akibat semakin menguatnya tuntutan kelas bawah yang disertai fragmentasi yang terjadi pada elemen pendukung rezim Otoritarian-Birokratik (OB) yang sedang berkuasa. Upaya reproduksi ideologi melalui aparatus hegemonik negara harus berhadapan dengan counter-hegemony yang semakin menguat dari civil society.

Gelombang persebaran ide-ide demokrasi yang bersifat transnasional menjadi bagian historical timing yang sedikit banyak juga memberi kontribusi bagi proses jatuhnya rezim otoriter. Atau dengan kata lain, proses perubahan dan transformasi sebuah rezim tidaklah ditentukan hanya oleh faktor pertumbuhan dan pembangunan ekonomi maupun modernisasi semata sebagaimana yang diyakini oleh penganut paham modernisasi selama ini.

Teori Marx dapat dituangkan secara ringkas dalam peryataan-peryataan sebagai berikut:37

1. Dalam setiap masyarakat diluar masyarakat yang paling primitif, dapat dibedakan dua kategori masyarakat: (a). kelas yang berkuasa dan (b). satu atau lebih kelas yang dikuasai.

37

Bottomore, Elite dan Masyarakat. Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006.Hal: 26.

2. Posisi dominan kelas yang berkuasa akan dijelaskan dengan kepemilikan instrumen-instrumen utama produksi ekonomi, tetapi dominan politiknya dikonsolidasikan dengan penguasaannya pada kekuasaan militer dan gagasan-gagasan produksi.

3. Ada konflik terus menerus antara kelas yang berkuasa dengan kelas yang dukuasai, dan sifat atau jalannya konflik tersebut terutama dipengaruhi oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, misalnya oleh perubahan-perubahan teknologi.

4. Garis konflik kelas ditarik secara paling tegas dalam masyarakat-masyarakat kapitalis modern, karena dalam masyarakat semacam itu pemisahan kepentingan-kepentingan ekonomi terlihat paling nyata, tidak tersamarkan oleh ikatan pribadi seperti pada masyarakat feodal, dan karena perkembangan kapitalisme menyebabkan polarisasi kelas yang radikal dari pada yang telah terjadi di setiap tipe masyarakat yang lain, oleh pemusatan kekayaan yang luar biasa pada satu bagian yang lainnya, dan oleh hilangnya secara berangsur-angsur strata sosial antara dan transisional.

5. Perjuangan kelas didalam masyarakat kapitalis akan berakhir dengan menangnya kelas pekerja, dan kemenangan ini akan diikuti oleh pembentukan masyarakat tanpa kelas. Sejumlah alasan diajukan untuk mengharapkan datangnya masyarakat tanpa kelas:

a. Kecenderungan kapitalisme modern untuk menciptakan kelas pekerja yang homogen, yang tampaknya tidak akan memunculkan pembagian sosial baru pada masyarakat mendatang.

b. Perjuangan revolusioner kaum pekerja itu sendiri menyebabkan timbulnya kerja sama dan perasaan persaudaraan, dan perasaan ini diperkuat oleh doktrin-doktrin moral dan sosial yang dihasilkan oleh gerakan revolusioner, dan yang telah diserap dalam gagasan Marx. c. Kapitalisme menciptakan prakondisi-prakondisi material dan kultural

untuk suatu masyarakat tanpa kelas-kondisi material dengan produktivitasnya yang luar biasa yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok seluruh manusia dan menggeser garis batas perjuangan untuk tetap hidup secara fisik, dan kondisi kultural dengan mengalahkan keluguan dan dengan meningkatkan kemampuan baca tulis, menyebarkan pengetahuan ilmiah, dan melibatkan masyarakat dalam kehidupan politik.

Konsepsi demokrasi merupakan sistem politik, dimana partai politik bersaing demi suara masa pemilih pada saat pemilihan umum, dan implikasi lanjutnya elite menjadi relatif terbuka dan direkrut berdasarkan prestasi (diasumsikan ada perputaran elite yang luas dan berkesinambungan), kemudian populasi dapat berperan serta di dalam golongan pemerintah paling tidak dalam pengertian bahwa mereka dapat memilih antara elite yang bersaing.

Syarat-syarat kesuksesan metode demokratisasi digolongkan menjadi empat oleh Schumpeter, yaitu:38

1. Bahwa materi manusia politik yaitu elite harus berkualitas tinggi.

2. Bahwa kisaran efektif keputusan politik tidak boleh diperluas terlalu jauh.

38

3. Bahwa pemerintah harus mampu memimpin pelayanan birokrasi terlatih yang punya tradisi dan reputasi bagus.

4. Bahwa harus ada self-control demokrasi, yaitu bahwa elite yang bersaing harus saling bertoleransi terhadap pemerintahan yang lain dan harus menolak tawaran orang yang tidak jujur dan berwatak tidak baik. Sementara para pemilih, setelah memilih, harus menahan diri agar secara terus-menerus mencampuri aksi politik wakilnya.

BAB IV

Dokumen terkait