• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM MENGENAI POLITIK DAN PEMERINTAHAN ORDE BARU

II.1 Pemerintahan Orde Baru Dalam Bidang Ekonomi

1. Negara Orde Baru

Berakhirnya kekuasaan politik Presiden Soekarno pada tahun 1966, disusul oleh ambruknya sistem Demokrasi Terpimpin, telah mengakibatkan golongan militer menduduki posisi yang dominan dalam kehidupan politik. Golongan militer tidak hanya mengambil alih kekuasaan politik, mereka juga menempati posisi-posisi birokrasi yang strategis. Pada Demokrasi Terpimpin, golongan militer sudah dapat menguasai perusahaan-perusahaan negara yang strategis dan memasuki jabatan-jabatan politik yang penting. akan tetapi setelah jatuhnya Soekarno dan sistemnya, golongan militer dapat memasuki dan mendominasi birokrasi sipil sepenuhnya.

Anderson mengemukakan pendapat bahwa adanya hubungan antara elit-elit politik birokrasi yang sekarang dengan nilai-nilai tradisi Jawa. Secara tradisional, sumber kekayaan terletak pada jabatan-jabatan birokrasi, dimana “surplus” dari sektor-sektor penting tertentu dari perekonomian dibagi-bagikan kepada pejabat-pejabat atau klik-klik pejabat-pejabat yang dianak-emaskan, baik yang sipil maupun yang militer.31

Dalam melukiskan elit-elit modern di Indonesia, Willner mengemukakan dua cara yang digunakan oleh struktur elit-elit Indonesia sesudah proklamasi kemerdekaan untuk membangkitkan kembali tradisi birokrasi agraris Jawa.

31

Pertama,persepsi mengenai jabatan birokrasi sebagai semacam sumber penghasilan tambahan. Kedua, adalah kenyataan bahwa raja-raja jawa mngutip sebagian kekayaan yang dihasilkan perniagaan dan perdagangan melalui kekuasaannya untuk menarik pajak dan memberlakukan monopoli atas barang-barang yang strategis.

Pada awal masa Orde Baru, alokasi untuk pertahanan dan keamanan dalam anggaran negara masih tetap sangat rendah dan salah satunya adalah kalangan militer kelihatan merasa perlu mencari cara untuk mengumpulkan dana guna menutup kekurangan anggaran mereka. hal ini telah melahirkan suatu orientasi komersial yang meluas di kalangan korps perwira, mulai dari bawah sampai ke tingkat paling atas.

Rezim Orde Baru menyerupai sebuah rezim otoriter birokratik, yang memiliki sejumlah karakteristik pokok, yaitu:32

1. Pemerintah dipimpin oleh militer sebagai lembaga, bekerja sama dengan para “teknokrat” sipil.

2. Pemerintahan yang didukung oleh para “intepreneur” oligopolistik yang bersama negara bekerja sama dengan masyarakat bisnis internasional.

3. Proses pembuatan kebijakan di dominasi dengan pendekatan birokratik-teknokratik, dengan demikian menghindari proses tawar-menawar yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan.

4. Massa di demobilisasi

5. Pemerintah menggunakan berbagai tindakan represif untuk mengendalikan oposisi.

32

Ahmad Shahab, Biografi Politik Presiden Republik Indonesia Kedua Soeharto, Jakarta, Golden Terayon Press, 2008. Hal: 172.

Didalam setiap peristiwa politik kenegaraan yang akhirnya membawa pergeseran besar dalam arah jarum perpolitikan nasional, hampir tidak pernah lepas dari peranan militer. Contohnya: gerakan-gerakan mahasiswa sepanjang zaman yang menjatuhkan sebuah rezim atau mendorong terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang amat penting, tidak lepas dari dukungan militer dibelakangnya. Misalnya pada perjuangan gerakan mahasiswa KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menuntut pembubaran PKI pada tahun 1966. Dirumuskan dalam Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), gerakan KAMI tersebut tanpa ada dukungan dan pengawalan dari pasukan baret merah (RPKAD) dan Kostrad di belakangnya tidak akan sekuat yang terjadi pada saat itu. Demikian juga pada masa Orde Baru, gerakan mahasiswa yang kenudian melahirkan Malari (Malapetaka 15 Januari) tahun 1974, tidak lepas dari campur tangan militer, terjadi rivalitas antara Jenderal Soemitro sebagai Pangkopkamtib dengan Mayjen ali Moertopo sebagai Aspri (Asisten Pribadi) Presiden.

Kebijaksanaan dengan cepat merosot menjadi praktek-praktek jual beli fasilitas antara birokrasi yang didominasi oleh partai-partai politik yang kebetulan sedang berkuasa dan para pendukung mereka yang menjadi klien-klien ekonominya.

Sejak itu perkembangan pengusaha klien-klien berlangsung pada setiap periode sejarah politik Indonesia,sementara pemerintah-pemerintah yang silih berganti berkuasa mengembangkan berbagai kebijaksanaan proteksi. Perkembangan itu dipercepat ketika pemerintah Orde Baru yang sekarang memberlakukan

Modal Dalam Negeri pada tahun 1968, yang memberikan para pejabat pemerintah

dan birokrat, wewenang yang besar dalam menentukan alokasi modal, kredit, konsensi dan lisensi bagi klien-klien mereka. Dua fenomena yang menarik muncul pada masa Orde Baru : perekonomian berkembang cepat serta pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat mengesankan dan dalam waktu yang bersamaan pengusaha-pengusaha klien berkembang dengan pesat pula.

Yang dimaksud dengan Pengusaha klien adalah individu dan perusahaan yang tergantung pada pengusaha untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya. ketergantungan yang sifatnya menentukan kepada koneksi atau hubungan dengan penguasa itulah yang membedakan antara pengusaha klien dan wiraswasta mandiri.

Walaupun pemerintah-pemerintah Indonesia mempunyai orientasi ideologi yang dengan jelas dapat dibedakan satu dengan yang lain, tetapi mereka sama-sama mempunyai keinginan untuk menggantikan ekonomi kolonial, yang merupakan warisan penjajah Belanda yang telah berlangsung begitu lama.

Secara khusus, para elite Indonesia ingin menggantikan para pengusaha besar milik Belanda, dintaranya ada yang lebih menginginkan agar perusahaan diselenggarakan oleh negara dan yang lainnya menghendaki diselenggarakannya perusahaan-perusahaan oleh swasta dan lebih dari itu mereka hampir sepenuhnya sependapat bahwa monopoli Cina di bidang perusahaan, jasa bank dan perdagangan kecil, harus dipatahkan.

Pemerintahan Orde Baru menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi mengurangi campurtangan secara langsung dan memberikan peran-peran yang lebih

besar pada investasi asing dan perdagangan dengan luar negeri. Kebijaksanaan pemerintahan Orde Baru ternyata memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat dan impresif serta lebih berhasil.

Setelah melalui beberapa tahap, pengusaha klien yang mempunyai perananan cukup sentral dalam pembangunan dibawah pemerintahan Soeharto mungkin akan menjadi suatu kelas pengusaha yang "mandiri" dan menjadi suatu saluran yang memadai untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan perekonomian nasional. Kesimpulan seperti ini adalah kesimpulan yang belum final (open-ended) dalam suatu konteks bahwa peranan kelompok ini mesti diletakkan dalam posisi mereka untuk juga memegang peranan dalam proses demokratisasi dan mengurangi (atau bahkan menghilangkan) dampak-dampak proses pembangunan.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa para pengusaha pribumi yang mandiri tidak dapat mengembangkan diri, karena para pejabat dan birokrat pemerintah telah membuat berbagai rencana dan kebijaksanaan yang tidak secara eksplisit ditujukan untuk mendorong wiraswastawan asli yang potensial untuk bisa melakukan akumulasi modal.

Dalam waktu yang bersamaan, dengan jalan memanfaatkan undang-undang dan kebijaksanaan yang ada, banyak diantara pejabat yang secara langsung atau tidak - telah mendorong berkembangnya pengusaha-pengusaha klien golongan pribumi. Perkembangan itu dipercepat oleh watak birokrasi yang patrimonial dan oleh nilai-nilai tertentu dari budaya Indonesia dan di bawah pemerintahan Orde Baru, juga oleh mengalirnya modal dan bantuan dari luar negeri yang sirkulasinya banyak ditentukan oleh para pejabat negara.

Apa yang terjadi di Indonesia adalah bahwa peran negara dalam menumbuhkan sebuah borjuasi belum lagi menyamai peran yang telah dimainkan oleh negara di Jepang, melainkan hanya berkembang sampai ke suatu titik di mana antara para penguasa politik dalam birokrasi dan para pengusaha serta kelompok-kelompok usaha tertentu. Di sini modal,kontrak, konsesi dan kredit dari negara pertama-tama diberikan secara langsung kepada perusahaan-perusahaan negara, dan pengusaha-pengusaha swasta nasional tertentu juga telah dapat menfaatkannya dan karena itu mereka menjadi "pengusaha-klien". Pengusaha-pengusaha jenis ini beroperasi dengan dukungan dan berada di bawah proteksi berbagai jaringan kekuasaan pemerintah; mereka mempunyai patron dalam kelompok kekuasaan politik-birokrasi; dan mereka sangat tergantung kepada konsesi dan monopolyi yang diberikan pemerintah. Mereka lahir di luar aparat birokrasi, namun bergantung pada birokrasi. Di bawah pemerintahan Orde Baru mereka juga sangat bergantung kepada modal asing.

Pendekatan yang berkaitan erat dengan konsep sistem politik birokrasi dan konsep patrimonialisme, adalah konsep kebudayaan politik, yang dalam masyarakat Indonesia mempunyai akar yang kuat dalam kebudayaan Jawa. Pola umum dari kebudayaan Indonesia adalah suatu bentuk otoritas yang paternalistis. Di kalangan rakyat Indonesia selalu terdapat suatu kecenderungan akan ketergantungan. Di kalangan rakyat Indonesia selalu terdapat suatu kecenderungan akan ketergantungan. Di sini "sang bapak" (atasan) sebagai patron memberikan perlindungan, bantuan material dan spiritual kepada anak buahnya, dan sebagai imbalannya, para anak buah (sebagai klien) akan memberikan dukungan dan loyalitasnya kepada bapak (patron).

Dengan demikian maka bagi orang Indonesia, partisipasi sosial berarti mengikat diri kepada seorang patron dan merasa berkewajiban untuk mendukungnya dalam segala hal. Ikatan-ikatan sosial seperti itu menjadi landasan bagi pembentukan kekuasaan politik, yang berari bahwa pimpinan-pimpinan politik mengembangkan pengikut-pengikut dan lingkungan mereka dari klien-klien mereka yang merasa berhutang budi. Dalam hubungan patron-klien berdasarkan bapakisme ini maka, walaupun pada umumnya manfaatnya relatif tidak sama untuk masing-masing pihak, kekuatan yang kekal dari hutang budi menyebabkan tidak adanya situasi yang jelas di mana dapat dikatakan "siapa yang memperalat siapa".

Dengan menggunakan cara pendekatan yang pragmatis sebagai konsep utama, yang berlawanan sepenuhnya dengan kebijaksanaan Demokrasi Terpimpin, pemerintah Orde Baru pada tanggal 1 Januari 1967 memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tanggal 3 Juli 1968 sebagai UU No. 6 tahun 1968. Kedua undang-undang itu dimaksudkan untuk membuka perekonomian dan menggiatkan kembali dunia usaha swasta. Kebijaksanaan itu dirumuskan dengan bantuan dan nasihat ahli-ahli ekonomi dan tenaga-tenaga profesional yang selama itu mempunyai hubungan dengan Angkatan Darat.

Sementara inflasi mulai dapat dikendalikan dan perekonomian mulai normal kembali, pemerintah Orde Baru menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun yang pertama tahun 1969/1970-1973/1974 atau Repelita I. Rencana ini juga dipersiapkan oleh kelompok ahli ekonomi yang sama dengan yang telah menyusun RUP, Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama tahun 1956-1960 dan yang telah mengilhami

para perencana pembangunan pada periode Demokrasi Terpimpin. Di samping itu, banyak gagasan yang dikembangkan pada Repelita I, didasarkan pada garis pemikiran neo-Keynesian, pengalaman serta warisan kelembagaan sebelumnya.

Dengan demikian maka pemerintah Orde Baru masih tetap menggunakan lembaga tingkat tinggi, yang dulu dikenal sebagai Depernas dan sekarang dinamakan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Agar Bappenas memiliki kekuasaan yang riil dalam birokrasi,pemerintah Orde Baru menopang badan itu dengan sekelompok "teknokrat" militer dan sipil, yang menempati kedudukan-kedudukan strategis pada tingkat nasional maupun regional. Badan itu, yang kemudian diisi dengan tenaga-tenaga profesional, diberi wewenang untuk mengelola bantuan luar negeri, yang memungkinkannya untuk menerjemahkan rencana pembangunan masing-masing bidang ke dalam kegiatan dan anggaran departemen serta badan-badan lainnya, kecuali untuk sektor-sektor tertentu.

Rencana itu berhasil dilaksanakan berkat adanya faktor-faktor seperti kondisi ekonomi internasional yang menguntungkan, derasnya arus masuk modal dan bantuan luar negeri dari Barat dan Jepang, tindakan-tindakan anti-inflasi yang drastis dan terutama, lingkungan sistem politik yang ketat namun sangat stabil, yang didominasi oleh militer.

Repelita I (1969/1970-1973/1974 ) menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, yakni lebih kurang 5%. Pertumbuhan itu terjadi di sektor pertanian, yang sebenarnya tercapai karena meningkatnya kegiatan di bidang kehutanan ( 21,4% per tahun ) dan ekspor kayu gelondongan. Tumbuhan yang sangat pesat juga tampak di sektor-sektor produksi barang dan pertambangan,yang sebagian besar meliputi

pertambangan minyak bumi dan kegiatan manufaktur. Kesemuanya itu tergantung pada cepatnya arus masuk modal asing dan, untuk tingkat yang lebih rendah, pada peningkatan partisipasi modal swasta dalam negeri. Pertumbuhan yang cepat, terutama di 1971 sektor-sektor ekonomi non-pertanian, dimungkinkan oleh rehabilitasi infrastruktur ekonomi : perhubungan, pengangkutan, pembangkit tenaga listrik, yang semuanya tergantung pada bantuan luar negeri.

Dengan keberhasilan Repelita I, para teknokrat Orde Baru merumuskan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang Kedua (Repelita II) 1974/1975-1978/1979, yang boleh dikatakan sama dengan Repelita I.

Repelita II mencakup program-program yang ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja, mencapai distribusi penghasilan yang lebih merata, memperbaiki struktur pasar, meningkatkan pembangunan daerah, meningkatkan transmigrasi, memungkinkan partisipasi massa yang lebih besar dalam pembangunan dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada pendidikan dan berbagai segi non-ekonomis lainnya.

Dokumen terkait