• Tidak ada hasil yang ditemukan

18

Neuropati uremikum atau uraemic neuropathy merupakan polineuropati saraf sensorimotorik yang disebabkan oleh uremia. Kondisi ini lebih sering mengenai saraf sensorik daripada motorik. Pemeriksaan histopatologik mendapatkan terjadi retraksi aksonal, yang ditandai dengan berkurangnya diameter akson, reorganisasi myelin dan degenerasi total akson. Hal ini akan menimbulkan penurunan kecepatan konduksi saraf (Bargman dan Skorecki, 2015; Ramirez dan Gomez, 2012).

Manifestasi neuropati uremikum umumnya muncul saat GFR <12 ml/menit. Senyawa uremik yang bersifat neurotoksin menguras suplai energi akson dengan menghalangi kerja enzim serat saraf yang berfungsi dalam produksi energi tersebut. Suplai enzim dari soma saraf tidak mencukupi kebutuhan enzim yang diperlukan oleh akson yang akhirnya menyebabkan berbagai perubahan patologik dan degenerasi saraf (Ramirez dan Gomez, 2012).

Penurunan kecepatan konduksi saraf diduga diakibatkan oleh disfungsi membran dan inhibisi aktivasi pompa Na+/K+ ATPase. Disfungsi membran ditemukan pada perineurium dan dalam endoneurium. Perineurium berfungsi sebagai sawar difusi antara cairan intersisial dengan saraf, sedangkan endoneurium berfungsi sebagai sawar antara darah dan saraf. Akibat disfungsi tersebut, toksin-toksin uremik dapat memasuki ruang endoneural dan dapat menyebabkan kerusakan saraf secara langsung. Inhibisi aktivasi pompa Na+/K+ ATPase pada aksolemma, membran sel yang menutupi suatu akson, menyebabkan akumulasi natrium intrasel dan mengubah potensial istirahat membran (membrane

19

resting potential). Hal ini akan menyebabkan degenerasi aksonal dan demyelinisasi seg-mental sekunder (Ramirez dan Gomez, 2012).

Neuropati uremikum lebih sering mengenai ekstremitas bawah dibandingkan ekstremitas atas yang bermanifestasi sebagai defisit sensorik dan motorik. Nervus kranialis yang dilaporkan paling sering mengalami neuropati uremikum adalah nervus vestibulokoklear. Hal ini menyebabkan keluhan gangguan pendengaran dalam berbagai derajat pada pasien PGK (Burn dan Bates, 1998; Ramirez dan Gomez, 2012).

Penanganan neuropati uremikum meliputi berbagai modalitas, namun hanya transplantasi ginjal yang efektif. Pasien yang menjalani transplantasi ginjal akan menunjukkan perbaikan klinik secara umum dalam waktu tiga hingga enam bulan. Modalitas lainnya adalah hemodialisis, penanganan nyeri dengan antidepresan trisiklik dan obat antikonvulsi, suplemen vitamin serta restriksi asupan K+ (Ramirez dan Gomez, 2012).

Hemodialisis standar umumnya akan menghentikan progresivitas neuropati, namun jarang memberikan perbaikan klinik yang bermakna. Sebelum menjalani HD, berbagai parameter eksitabilitas aksonal saraf menunjukkan berbagai abnor-malitas. Hemodialisis akan menyebabkan normalisasi parameter-parameter eksita-bilitas tersebut dengan cepat dan signifikan, walaupun beberapa abnormalitas minor akan menetap. Sebagian besar pasien PGK menunjukkan HD reguler dapat mensta-bilkan neuropati yang dialami pasien PGK. Perburukan neuropati mengindikasikan perlunya memulai terapi HD pada pasien PGK dan

20

ketidakcukupan HD bagi pasien yang telah menjalani dialisis (Ramirez dan Gomez, 2012).

2.6. Hemodialisis

Hemodialisis atau HD merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal pada pasien PGK yang telah memasuki ESRD dan hanya menggantikan sebagian kecil dari fungsi ekskresi ginjal (Daugirdas dkk, 2007). Indikasi pemberian HD reguler pada pasien PGK adalah adanya sindrom uremik, hiperkalemia yang tidak merespon terhadap penanganan konservatif, ekspansi volume ekstraseluler persis-ten walaupun telah mendapat terapi diuretik, asidosis yang refrakter terhadap terapi medikamentosa, diastesis perdarahan, dan klirens kreatinin atau perkiraan GFR kurang dari 10 ml/menit/1.73 m2 (Liu dan Chertow, 2015).

Hemodialisis memiliki tiga komponen, yaitu dialiser, diasilat, dan sistem penghantaran darah. Dialiser merupakan ruang plastik yang mampu memperfusikan kompartemen darah dan diasilat secara simultan dengan kecepatan tinggi. Diasilat merupakan cairan yang berfungsi untuk menarik sisa produk metabolik dari sirkulasi. Sistem penghantaran darah terdiri dari dua komponen, yaitu sirkuit ekstrakorporeal yang terdapat pada mesin dialisis dan akses dialisis. Mesin dialisis memiliki pompa darah yang mengalirkan darah dari lokasi akses dialisis melewati dialiser kemudian kembali ke tubuh pasien. Akses dialisis merupakan fistula, graft atau kateter tempat darah diperoleh dari pasien untuk keperluan hemodialisis (Liu dan Chertow, 2015).

21

Kerja HD didasarkan atas prinsip difusi senyawa terlarut atau solutes

melewati membran semipermeabel. Prosedur hemodialisis berlangsung dengan memompa darah yang terheparinisasi dengan laju 300-500 ml/menit, sedangkan diasilat mengalir dari arah yang berlawanan dalam laju 500-800 ml/menit. Transfer produk sisa metabolik berlangsung mengikuti gradien konsentrasi dari sirkulasi menuju diasilat. Berdasarkan hukum difusi, molekul yang lebih besar memiliki laju transfer yang lebih lambat melewati membran. Molekul kecil seperti urea dengan ukuran 60 Da akan dibersihkan lebih efektif dibandingkan kreatinin yang memiliki ukuran 113 Da (Liu dan Chertow, 2015).

2.6.1. Adekuasi hemodialisis

De Palma pada tahun 1971, seperti yang dikutip oleh Widiana (2013), menyatakan dialisis dapat dianggap cukup bila pasien mengalami rehabilitasi penuh, nafsu makan normal, tubuh dapat memproduksi sel darah merah yang cukup, tekanan darah normal tercapai, dan dapat mencegah terjadinya neuropati. Definisi tersebut cukup holistik dan valid, namun masih bersifat subjektif sehingga diperlukan definisi yang lebih objektif memakai parameter laboratorik.

Ureum darah merupakan solut yang dipakai untuk mengukur efektivitas dialisis karena urea diasumsikan terdistribusi merata dalam darah serta diproduksi dan dibersihkan dengan kecepatan yang konstan. Untuk itu, pada orang dengan fungsi ginjal yang dapat diabaikan, klirens urea dapat dipakai untuk mengukur

22

adekuasi hemodialisis. Model ini disebut sebagai urea kinetic modeling atau UKM (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010).

Setiap pasien yang menjalani HD diberikan resep dosis HD. Persamaan matematika untuk menghitung dosis HD yang didasarkan atas UKM adalah Kt/V. Kt/V adalah parameter jumlah plasma yang dibersihkan terhadap urea (K*t) dibagi dengan volume distribusi urea (V) dalam badan dan merupakan suatu rasio tanpa satuan. Kt/V dibagi menjadi dua, yaitu Kt/V yang diresepkan atau

prescribed dan Kt/V yang terlaksana atau delivered (Widiana, 2013).

Dosis HD ditentukan dengan menetapkan nilai Kt/V yang diresepkan terlebih dahulu. Target Kt/V untuk HD yang dilaksanakan dua kali seminggu adalah 1,8 (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003; Widiana, 2013).

Adekuasi hemodialisis didapatkan dengan menghitung Kt/V yang terlaksana, yang dinyatakan sebagai nilai Kt/V. Formula yang digunakan untuk menghitung Kt/V ini adalah formula Daugirdas, yaitu:

ln merupakan log natural (e); R merupakan perbandingan konsentrasi urea predia-lisis (BUNpre) dan paskadiapredia-lisis (BUNpost), yaitu BUNpost/BUNpre; t adalah du-rasi satu sesi dialisis; UF/W adalah perbandingan ultrafiltrat dan berat badan pasien (BB), dihitung memakai rumus: (BB predialisis-BB paskadialisis)/ BB paskadia-lisis (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003; Widiana, 2013).

Dokumen terkait