• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patofisiologi Gangguan Pendengaran pada Penyakit Ginjal Kronik Patofisiologi gangguan pendengaran pada PGK masih kontroversial. Patofisiologi gangguan pendengaran pada PGK masih kontroversial

Bebera-pa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya gangguan pendengaran pada pa-sien PGK adalah kemiripan antara ginjal dan koklea, gangguan elektrolit, uremia, kondisi komorbid, obat-obat ototoksik, dan hemodialisis (Thodi dkk, 2006).

Nefron pada ginjal dan stria vaskularis pada koklea memiliki kemiripan fisiologi, ultrastruktur dan antigen yang diduga sebagai kaitan antara gangguan pendengaran dan penyakit ginjal kronik. Membran basilaris pada endotelium kapiler kapsul Bowman dan tubular proksimal ginjal serta stria vaskularis koklea pada pemeriksaan histologi sangat mirip. Sel epitel pada kedua organ ini berperan dalam transpor aktif cairan dan elektrolit dan mengandung banyak mitokondria,

Na+/K+ ion pump ATP-ase dan karbonik anhidrase. Ginjal dan koklea juga memiliki kemiripan farmakologik, yaitu beberapa obat yang bersifat nefrotoksisk juga bersi-fat ototoksik, seperti aminoglikosida. Perkembangan ginjal dan koklea diduga dipe-ngaruhi oleh gen yang sama, seperti pada sindrom Alport yang menunjukkan gangguan kongenital pada koklea dan ginjal. Kemiripan-kemiripan ini menge-sankan faktor yang sama dapat menyebabkan gangguan pada koklea dan ginjal. Selain itu gangguan pendengaran dan PGK memiliki faktor risiko yang

26

sama, diantaranya usia tua, diabetes dan hipertensi (Muyassaroh dan Ulfa, 2013; Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010).

Gangguan keseimbangan elektrolit dalam darah yang terjadi pada pasien PGK akan mengganggu keseimbangan elektrolit di dalam koklea. Komposisi elektrolit cairan telinga dalam berperan untuk mempertahankan elektromotilitas sel-sel rambut koklea. Rasio konsentrasi Na+/K+ pada endolimfe dan perilimfe berbeda dan tranduksi sensorik sel-sel rambut koklea terjadi sebagai hasil pertukaran ion Na+ dan K+. Gangguan pada keseimbangan konsentrasi elektrolit ini akan meng-ganggu fungsi koklea dan menimbulkan gangguan pendengaran (Govender dkk, 2013; Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010). Pemeriksaan histopatologik pada tulang temporal pasien PGK mendapatkan sedimentasi pada stria vaskularis, berku-rangnya sel-sel rambut luar koklea, demyelinisasi serat-serat preganglionik koklea dan kehilangan sel-sel pada ganglion spiralis (Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010).

Uremia dapat menimbulkan neuropati uremikum yang mengenai nervus vestibulokoklear dan menyebabkan gangguan konduksi impuls saraf (Burn dan Bates, 1998). Berbagai penelitian elektrofisiologi memakai auditory brainstem response atau ABR membuktikan adanya perlambatan konduksi saraf. Penelitian oleh Antonelli dkk. (1990) yang memakai ABR pada pasien PGK dan kontrol tanpa PGK dengan gangguan pendengaran serupa mendapatkan kelompok PGK memiliki interpeak latency gelombang I-III yang secara signifikan lebih panjang dibanding-kan kelompok kontrol. Interpeak latency gelombang I-III mewakili waktu konduksi dari koklea menuju nukleus koklearis, sehingga temuan ini

27

diinterpretasikan seba-gai disfungsi subklinik nervus vestibulokoklear yang diakibatkan oleh neuropati uremikum. Sharma dkk. (2012) mendapatkan adanya perbedaan yang signifikan pemanjangan latensi absolut gelombang III dan V ABR, interpeak latency ge-lombang I-III dan I-V pada pasien PGK tanpa gangguan pendengaran dengan GFR <10 ml/menit/1,73m2 dibandingkan dengan pasien PGK tanpa gangguan pende-ngaran dengan GFR <60 ml/menit/1,73m2 namun lebih dari 10 ml/menit/1,73m2.

Komorbiditas yang sering ditemukan pada pasien PGK adalah hipertensi dan diabetes melitus. Kedua kondisi ini secara independen dihubungkan dengan terja-dinya gangguan pendengaran. Pemeriksaan histopatologik koklea pada pasien diabetes melitus menunjukkan penebalan dinding kapiler pada stria vaskularis, ber-kurangnya jumlah serat dalam lamina spiralis, degenerasi organ Corti, dan penurunan fungsi sel-sel rambut luar. Hormon natriuretik yang sering ditemukan dalam aliran darah pasien hipertensi diduga menghambat aksi Na+/K+ ion pump, sehingga mengganggu fungsi stria vaskularis koklea (Govender dkk, 2013).

Penanganan PGK meliputi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal yang lebih agresif memakai dialisis ataupun transpalantasi ginjal. Beberapa jenis pengobatan dan metode yang digunakan memiliki efek terhadap fungsi pende-ngaran pasien PGK. Salah satu obat yang paling sering digunakan oleh pasien PGK adalah furosemide yang merupakan diuretik yang bersifat ototoksik. Pemakaian furosemide diketahui dapat menimbulkan penurunan potensial endokoklea dan aksi potensial N.VIII yang cepat namun reversibel, serta penurunan konsentrasi K+ endolimfe yang perlahan. Gangguan ini diduga karena

28

furosemide menghambat transport K+ pada stria vaskularis. Antibiotika golongan aminoglikosida mening-katkan efek ototoksisitas furosemide (Rybak, 1985).

Efek HD terhadap fungsi pendengaran pasien PGK masih diperdebatkan. Gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilakukan HD diduga terjadi akibat perubahan cairan dan komposisi elektrolit endolimfe, serta kemungkinan paparan membran selusosa asetat dari mesin hemodialisis yang digunakan, sehingga produk degradasi asetat tersebut masuk ke dalam aliran darah (Muyassaroh dan Ulfa, 2013). Pemeriksaan histopatologik pada tulang temporal pasien PGK yang menjalani HD dan mengalami gangguan pendengaran mendapatkan adanya kolaps sistem endolimfatik, edema dan atrofi sebagian sel-sel di dalam koklea. Perubahan-perubahan ini diduga akibat gangguan osmotik karena HD (Thodi dkk, 2006).

Mancini dkk. (1996) mendapatkan insiden tuli sensorineural pada pasien anak-anak PGK yang mendapatkan terapi konservatif sebesar 29% dan HD sebesar 28%. Angka ini didapatkan tidak signifikan dan mengambil kesimpulan bahwa onset ketulian telah terjadi pada tahap awal perjalanan PGK dan tidak disebabkan oleh terapi yang diberikan. Hasil serupa juga didapatkan oleh Ozturan dan Lam. (1998), yaitu tidak terdapat hubungan bermakna antara tuli sensorineural dan HD berdasarkan penelitian pada 15 subjek dan 10 kontrol memakai audiometri nada murni dan DPOAE. Samir dkk. (1998) mendapatkan insiden disfungsi koklea yang secara signifikan lebih tinggi pada pasien PGK anak-anak yang menjalani HD dibandingkan dengan yang menjalani terapi konservatif. Namun fungsi ginjal pada pasien HD lebih buruk dibandingkan

29

dengan pasien yang menjalani terapi konservatif, sehingga hal ini dapat mengaburkan interpretasi efek fungsi ginjal yang buruk dan efek terapi terhadap fungsi pendengaran.

Penelitian oleh Aspris dkk. (2008) mendapatkan adanya perbaikan latensi gelombang I dan V yang signifikan pada pasien PGK setelah HD dibandingkan dengan sebelum HD. Namun semua latensi gelombang ini tetap mengalami pemanjangan yang signifikan dibandingkan dengan subjek kontrol normal. Mereka berkesimpulan HD dapat memperbaiki fungsi jaras auditorik secara keseluruhan, tetapi tidak dapat mengembalikan fungsinya sampai normal. Gafter dkk. (1989) mendapatkan perbaikan transien latensi gelombang III setelah HD. Hal ini menunjukkan HD mungkin memiliki efek positif sementara, namun efek HD jangka panjang tampaknya tidak mempengaruhi konduksi sepanjang jaras saraf auditorik.

Jakic dkk. (2010) melaporkan 63,64% dari total 66 pasien yang menjalani HD kronik mengalami peningkatan ambang dengar di atas 20 dBHL. Pasien HD yang berusia di bawah 60 tahun memiliki rerata ambang dengar 23,60 dBHL dengan simpang baku 10,95, sedangkan yang berusia di atas 60 tahun memiliki rerata ambang dengar sebesar 30,30 dBHL dengan simpang baku 7,95. Rerata ambang dengar ini didapatkan tidak berkorelasi dengan durasi HD dan hanya berkorelasi signifikan dengan usia pasien. Etiologi yang diduga berperan dalam terjadinya gangguan pendengaran ini adalah akibat neuropati uremikum dan penuaan vaskular prematur, walaupun faktor-faktor lain juga diduga ikut berkontribusi.

30

2.9. Adekuasi Hemodialisis dan Ambang Dengar Pasien Penyakit Ginjal

Dokumen terkait