• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Budaya melalui Leksikon Ekoagraris dalam Persawahan dan

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.6 Nilai Budaya melalui Leksikon Ekoagraris dalam Persawahan dan

Masyarakat Angkola/Mandailing memiliki nilai-nilai budaya yang telah di wariskan oleh para leluhur atau nenek moyang secara turun temurun sejak berates-ratus tahun. Nilai-nilai budaya itu merupakan nila-nilai yang disepakati dan tertanam dalam masyarakat, lingkup organisasi, yang mengakar pada suatu kebiasaan (habit), kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik anggota masyarakat Angkola/Mandailing. Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu untuk mewujudkan nilai-nilai budaya. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagaian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup (Koenjaraningrat, 2004:25).

Sehubungan dengan hal ini Prosser (1978:303) mengatakan bahwa nilai adalah aspek budaya yang paling dalam tertanam dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut Prosser mengelompokkan nilai menjadi lima bagian, yaitu (1) nilai yang berhubungan dengan Tuhan, (2) nilai yang berhubungan dengan dan berorientasi dengan alam, (3) nilai yang berhubungan dengan dan berorientasi pada waktu, (4) nilai yang berhubungan dan berorientasi pada kegiatan, dan (5) nilai yang berhubungan dan berorientasi pada hubungan antarmanusia.

bahasa Angkola/Mandailing terhadap leksikon ekoagraris khususnya dalam persawahan dan perladangan di kecamatan Sayurmatinggi yaitu leksikon nomina,verba, dan ajektiva hasil data tersebut telah diuraikan di atas berdasarkan pemahaman guyub tutur bahasa Angkola /Mandailing melalui beberapa kategori.

5.6.1 Nilai sejarah

Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalingga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang".

Dalam hal ini banyak sejarahwan asing menjadikan Mandailing menjadi sub etnis dari Batak mulai pada masa pemerintahan Belanda, padahal orang-orang Mandailing sendiri menolak untuk disatukan dalam etnis Batak dalam administrasi pemerintahan Belanda pada awal abad 20 lalu, yang dikenal sebagai

Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925, yang berlanjut ke pengadilan. Hingga akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak, karena etnis Batak sendiri sebenarnya lebih muda dari etnis Mandailing berdasarkan silsilah yang diakui etnis Batak sendiri Tarombo si Raja Batak,- nenek moyang orang Batak, yang ibunya yang bernama Deak Boru Parujar berasal dari etnis Mandailing. Etnis Mandailing sendiri menurut silsilahnya berasal dari etnis Minangkabau.

Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi.

Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga.

mengenal pelarangan kawin semarga, maka orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal inilah yang menyebabkan marga orang Batak bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat marga yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah banyak berubah, terutama di perantauan. Berdasarkan hal ini tergambar suatu pergeseran budaya Angkola/Mandailing yang mengarah pada keterancaman/kepunahan suatu leksikon bahasa itu sendiri.

5.6.2 Nilai sosial dan budaya

Nilai sosial dan budaya yang terdata dari leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola/Mandailing di Kecamatan Sayurmatinggi terungkap melalui salah satu leksikon nama tumbuhan obat di sekitar sawah dan ladang yaitu bargot (enau). Bargot adalah nama pohon yang memiliki nilai budaya yang sangat tinggi bagi masyarakat Angkola/Mandailing dan, pohon tersebut seluruh bagiannya memiliki manfaat dan sarat budaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri.

Persepsi salah satu informan bahwa pohon bargot adalah pohon pengorbanan dari bentuk kecintaan seorang perempuan cantik terhadap ibotona (saudara laki-lakinya). Pohon bargot ini merupakan wujud dari seorang gadis boru daulay yang berkorban untuk membayar hutang saudara laki-lakinya, sehingga jika pohon ini diagat (mengambil nira) maka terlebih dahulu harus

berdendang-dendang agar airnya banyak. Air nira dapat dijadikan gula, buahnya dapat dijadikan manisan, ijuk sebagai sapu, dan daunnya yang muda merupakan lambang atau ciri khas yang ditempelkan di rumah baru atau acara horja siriaon (pesta pernikahan) yang disebut gaba-gaba. Dari uraian tersebut, pohon bargot sangat bernilai buat masyarakat Angkola/Mandailing. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:153) dalam temuannya pada leksikon ekologi kesungaian. Hasil pengujian pemahaman guyub tutur bahasa Angkola/Mandailing dalam tiga generasi usia terhadap leksikon bargot dari seluruh kategori menunjukkan jumlah pemaham (JP) 75 (100%), hal ini membuktikan bahwa sampai saat ini masyarakat Angkola/Mandailing khususnya masyarakat di Kecamatan Sayurmatinggi masih mengenal, melihat, dan menggunakan pohon bargot. Sekarang pohon bargot sudah mulai dibudidayakan oleh masyarakat untuk membuat usaha golo bargot (gula aren) yang dikenal dengan gulo Mandailing.

5.6.3 Nilai kesejahteraan

Sawah dan ladang beserta isinya merupakan lambang kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Kecamatan Sayurmatinggi. Sawah yang terbentang luas, tanah yang subur merupakan faktor produksi pertanian yang penting, air irigasi yang mengairi persawahan, dan tanaman yang menghijau merupakan nilai kesejahteraan utama bagi masyarakat Kecamatan Sayurmatinggi. Jenis padi

yang merupakan gulai ikan khas Mandailing yang menambah masukan buat guyub Angkola/Mandailing. Tumbuhan obat di sekitar sawah dan ladang yang terdata mencapai 72 leksikon dengan jumlah pemaham (JP) 2678 (94,28%) merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Dengan demikian semuanya merupakan lambang kesejahteraan yang dianugrahkan Tuhan buat guyub Angkola/Mandailing.

5.7 Kearifan Lingkungan melalui Leksikon Ekoagraris dalam Bahasa

Dokumen terkait