• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Diagnostik Italian Score untuk Memprediksi Infeksi ESBL

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian

4.1.3 Nilai Diagnostik Italian Score untuk Memprediksi Infeksi ESBL

Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa Italian score 2,3,4,dan 5 memiliki sensitivitas tinggi 100% namun spesifisitasnya rendah yaitu berturut-turut 6,5%; 10,9%; 32,6% dan 39,1%. Italian score 9,10,11,12, dan 14 memiliki spesifisitas yang tinggi 100% namun sensitivitas yang rendah yaitu berturut-turut 67,4%; 63%; 23,9%; 2,2% dan 0%. Untuk Italian score 6,7 dan 8 memiliki sensitivitas berturut-turut 97,8%; 95,7% dan 73,9% dengan spesifisitas berturut-turut 84,8%, 89,1% dan 95,7%. Dengan menggunakan Italian score nilai 6,7, dan 8 yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik untuk memprediksi infeksi ESBL.

Tabel 4.4 Sensitivitas dan Spesifisitas Italian Score Score Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) 2 100 6,5 3 100 10,9 4 100 32,6 5 100 39,1 6 97,8 84,8 7 95,7 89,1 8 73,9 95,7 9 67,4 100 10 63 100 11 23,9 100 12 2,2 100 14 0 100

Berdasarkan kurva sensitivitas dan spesifisitas pada gambar 4.2 maka diperoleh nilai Cut Off yang terbaik untuk Italian Score adalah titik skor 7. Dengan menggunakan cut off point 7 maka didapatkan nilai sensitivitas Italian Score adalah 95,7% dan spesifisitas 89,1%.

Gambar 4.2 Kurva sensitivitas dan spesifisitas Italian Score

Tabel 4.5 Sensitifitas, Spesifisitas, Positive dan Negative Predictive Value dari Italian Score Terhadap Infeksi ESBL

Infeksi ESBL Sensiti vitas Spesifi sitas NPP NPN RKP RKN Ya Tidak Italian Score ≥ 7 44 5 95,7% 89,1% 89,8% 95,3% 8,8 0,05 < 7 2 41

Italian score ≥ 7 memiliki Nilai Prediksi Positif (PPV) sebesar 89,8% dan Nilai Prediksi Negatif (NPV) adalah 95,3%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 8,8 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,05.

Berdasarkan hasil tersebut diatas Italian Score dalam studi ini memiliki kemampuan untuk memprediksi seseorang penderita mengalami infeksi ESBL atau tidak. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 97,1 % (95% CI: 94,3% - 99,9%; p = 0,0001).

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

sensitivitas Series2 spesifisitas

Gambar 4.3 Kurva ROC dari Italian Score 4.1.4 Kepekaan Bakteri ESBL Terhadap Antibiotik

Bakteri ESBL sudah resisten 100% terhadap beberapa antibiotik seperti: ceftriaxon, cefotaxim, ceftazidim, amoxicillin, bahkan amoxicillin-clavulanat dan ampisilin-sulbactam. Dimana clavulanat dan sulbactam merupakan suatu antibiotik anti β-lactamase.

Bakteri ESBL memiliki tingkat resistensi bervariasi terhadap antibiotik golongan β -lactam/β-lactamase inhibitor yang merupakan suatu anti ESBL seperti piperasilin-tazobactam 52,2% sensitif, cafoperazon-sulbactam 4% sensitif, sedangkan amoxicillin-clavulanat dan ampisilin-sulbactam sudah 100% resisten melawan bakteri ESBL.

Bakteri ESBL tidak sensitif terhadap antibiotik golongan kuinolon seperti hanya 26,1% sensitif terhadap levofloxacin dan 17,4% terhadap ciprofloxacin.

Antibiotik golongan aminoglikosida yaitu gentamisin sensitifitasnya rendah yaitu 43,5% sedangkan amikasin memiliki sensitivitas yang baik yaitu 100% masih sensitif untuk melawan bakteri ESBL.

Antibiotik golongan karbapenem memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap ESBL seperti imipenem 91,7%, ertapenem 95,2% dan meropenem 95,7%.

Antibiotik lainnya seperti cotrimoxazol memiliki sensitivitas yang buruk yaitu 21,7% sedangkan tigeciclin memiliki sensitivitas yang baik yaitu 89,1%. Seperti yang terlihat pada tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6.Kepekaan Antibiotik Terhadap ESBL

Antibiotik Sensitif (%) β-Laktam

Amoxicilin 0

Β-laktam/β-laktamase inhibitor

Ampisilin-sulbactam 0 Amoxicillin-clavulanat 0 Piperasilin-tazobactam 52,2 Cafoperazon-sulbactam 4 Sepalosporin Ceftriaxon 0 Cefotaxim 0 Ceftazidim 0 Kuinolon Levofloxacin 26,1 Ciprofloxacin 17,4 Aminoglikosida Amikasin 100 Gentamisin 43,5 Karbapenem Imipenem 91,7 Ertapenem 95,2 Meropenem 95,7 Lainnya Cotrimoxazol Tigeciclin 21,7 89,1 4.2 Pembahasan

Prevalensi ESBL bervariasi di berbagai wilayah. Dari hasil Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial (TEST) tahun 2001 menunjukkan angka kejadian tertinggi ESBL

K.pneumoniae di Amerika Latin diikuti Asia, Eropa dan Amerika Utara yaitu 44%, 22,4%, 13,3% dan yang terakhir 7,5%.13

Di Amerika berdasarkan National Nasocomial Infectius Surveilance System tahun 2004 diperoleh bahwa ESBL K.pneumonia meningkat 43% tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 1998-2002, sedangkan ESBL E.coli tidak mengalami perubahan dan angka kejadian di ICU lebih tinggi dibandingkan non-ICU. Kejadian infeksi ESBL di Eropa bervariasi mulai dari yang terendah 3% di Swedia sampai yang tertinggi 34% di Portugal.16Di Cina angka kejadian Infeksi ESBL E.Coli 13-15%.15 Hasil penelitian Paterson et al memperoleh kejadian ESBL di Thailand, Taiwan, Philipina dan Indonesia berkisar 12-24%.1

Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik medan dijumpai kejadian infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% meningkat menjadi 19,51% pada tahum 2013.

Pada penelitian ini diperoleh bahwa E.coli 100% merupakan ESBL E.coli dan

K.pneumonia 96,4% merupakan ESBL K.pneumonia Penelitian. Hasil ini lebih tinggi dari pada penelitian lain yang ada seperti penelitian Kulkarni at al tahun 2013 diketahui bahwa dari 15,9% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBL K.pneumonia dan 40,7% isolat E.coli

merupakan ESBL E.coli sedangkan di RS H Adam Malik Medan, dari data di bagian mikrobiologi tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBL K.pneumonia dan 61,83% isolat E.coli merupakan ESBL E.coli. Tingginya angka pada penelitian ini mungkin diakibatkan jumlah sampel yang sedikit.

Dari hasil penelitian MYSTIC Study tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadian ESBL E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4%. Penelitian Chien D et al tahun 2008 kejadian ESBL E.coli 26% dan ESBL K.pneumonia 53% dari infeksi bakteri gram negatif multi drugs resisten.24 Dari penelitian tersebut diketahui bahwa infeksi ESBL K.pneumonia lebih banyak, sama hal nya pada penelitian ini memperoleh hasil yang sama yaitu infeksi ESBL

K.pneumonia 58,7% dan ESBL E.coli 37% dari keseluruhan infeksi ESBL.

Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pada penelitian ini diperoleh, ESBL memiliki sensitivitas yang cukup tinggi yaitu: 91,7% sensitif imipenem, 95,7% sensitif meropenem, dan 95,2 sensitif ertapenem terhadap ESBL. Dari penelitian oleh Muharrmi et al, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem) 100% sensitif terhadap ESBL.21 Hasil serupa

juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni et al, Aminzadeh et al, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL.22,23 Chien Lye et al meneliti pada 47 pasien ESBL yang diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien.24 Penelitian Auer et al, ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.25

Yang menarik dari hasil kepekaan ESBL terhadap antibiotik dijumpai tingkat sensitivitas yang buruk terhadap antibiotik golongan β-lactam/β-lactamase inhibitor yang merupakan suatu

anti terhadap enzim β-lactamase seperti Piperasilin-tazobactam hanya memiliki sensitivitas

52,2%, Cafoperazon-sulbactam hanya 4% sensitif, sedangkan Amoxicillin-clavulanat dan Ampisilin-sulbactam 100% resisten terhadap ESBL. Sedangkan penelitian di Amerika Serikat dari hasil MYSTIC Study piperasilin-tazobactam diperoleh 72,5% sensitif ESBL E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1 % terhadap ESBL K.pneumonia.28 Penelitian Aminzadeh et al, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL.23

Hal ini mungkin dapat diakibatkan adanya perbedaan genotif dari bakteri ESBL. Beberapa genotif ESBL TEM resisten terhadap antibiotik β-lactamase inhibitor. Variant TEM ini ada yang resisten terhadap asam clavulanat dan sulbaktam. Selaian itu, SHV-10 juga resisten terhadap β-lactamase inhibitor.3 Diduga tingginya resistensi terhadap β-lactamase inhibitor

diakibatkan ESBL genotif ini walaupun tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan pada penelitian ini. Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Pada penelitian ini diperoleh 17,4% sensitif siprofoksasin sedangkan 26,1% sensitif untuk levofloksasin untuk melawan bakteri ESBL.Dari penelitian Muharrmi et al, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL.21 MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli

dan 36,8% terhadap ESBL K.pneumonia.21 Penelitian Kulkarni et al, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL.22

Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Pada penelitian ini 43,5% sensititif gentamisin terhadap ESBL. Penelitian Kulkarni et al, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL.19 Penelitian Aminzadeh et al, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL.20

Sedangkan untuk amikasin, Pada penelitian ini, amikasin masih 100% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Kulkarni et al memperoleh amikasin 70,4% sensitif terhadap ESBL.22 Penelitian Aminzadeh et al, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL.23

Sehingga dari hasil uji kepekaan terhadap ESBL tersebut diketahui ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL hanya amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigeciclin.

Selain berkurangnya pilihan antibiotik yang dapat diberikan untuk infeksi ESBL, untuk memperoleh hasil kultur mikroorganisme dan tes kepekaannya terhadap antibiotik memerlukan waktu 3-5 hari, hal ini sering mengakibatkan keterlambatan pemberian antibiotik yang tepat. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien dengan infeksi ESBL. Oleh karena itu, identifikasi pasien dengan resiko tinggi terkena infeksi bakteri ESBL sangat diperlukan. Dengan adanya identifikasi awal yang tepat terhadap adanya infeksi ESBL ini akan sangat membantu dalam hal pemberian terapi antibiotik empirik pada pasien dengan infeksi. Untuk memprediksi adanya infeksi bakteri ESBL dikembangkan berbagai instrument, salah satunya adalah Italian score. Italian score ini terdiri dari adanya penggunaan antibiotik golongan beta lactam dan atau fluorokuinolon (skor 2), riwayat rawatan rumah sakit sebelumnya (skor 3), pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain (skor 3), Charlson Comorbidity score ≥4 (skor 2),

penggunaan kateter urin sebelumnya (skor 2) dan usia ≥ 70 tahun (skor 2).

Pada penelitian ini tidak semua item Italian Score menjadi prediktor infeksi ESBL yaitu pada item usia ≥70 tahun (p=0,748), hal ini diduga karena perbedaan angka harapan hidup

ditempat penelitian ini dibandingkan dengan tempat penelitian dimana skor ini dibuat yaitu Italia. Sedangkan item Italian Score lainnya merupakan prediktor infeksi ESBL, hal ini kemungkinan disebabkan karena kesamaan tempat penelitian yaitu sama-sama di lakukan di rumah sakit pusat rujukan.

Pada penelitian ini diperoleh nilai Cut Off untuk Italian Score adalah nilai 7. Dengan menggunakan skor ≥7 maka didapatkan nilai sensitivitas Italian Score adalah 95,7% dan spesifisitas 89,1%. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan tumbrello et al skor ≥6 dapat

memprediksi ESBL dengan sensitivitas 73% dan spesifisitas 95% dengan akurasi 92%. Steven at al dengan skor ≥ 8 dapat memprediksi infeksi ESBL dengan spesifisitas 96% dan Positive Predictive Value (PPV) 80%, sedangkan sensitifitasnya hanya 50%. Dari data tersebut dijumpai perbedaan cut off skor yang diperoleh, hal ini mungkin diakibatkan perbedaan populasi tempat penelitian seperti pada penelitian ini usia > 70 tahun tidak berbeda bermakna antara kelompok ESBL dan non-ESBL dan angka harapan hidup rata-rata tempat penelitian berbeda dengan penelitian lainnya.

Akurasi Italian Score pada penelitian ini baik yaitu 97,1%, sedangkan pada penelitian Tumbrello ae al akurasi Italian Score 92% dan penelitian Steven et al akurasinya 88%. Tingginya akurasi pada penelitian ini mungkin diakibatkan mudahnya mendapatkan antibiotik di masyarakat dan rumah sakit tempat penelitian merupakan rumah sakit pusat rujukan sehingga pasien sudah memiliki banyak faktor resiko terkena infeksi ESBL sewaktu masuk rumah sakit.

Oleh karena itu adanya anamnesis dan pemeriksaan yang teliti pada saat pasien masuk ke rumah sakit dapat membantu klinisi memprediksi adanya infeksi ESBL dengan melakukan anamnesis ada tidaknya penggunaan antibiotik golongan beta lactam dan atau fluorokuinolon, riwayat rawatan rumah sakit sebelumnya, pasien merupakan rujukan dari fasilitas kesehatan lain, penyakit komorbid pasien, penggunaan kateter urin sebelumnya dan pasien.

Adapun beberapa kelemahan penelitian ini, pertama, penelitian menggunakan kuosioner ataupun anamnesis sehingga memungkinkan terjadi recall bias terutama dalam hal riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir. kedua, tidak dilakukan pemantauan outcome

pasien dengan infeksi ESBL tersebut. Selain hal itu penelitian ini juga tidak melakukan pemeriksaan genotip ESBL yang mana genotip ESBL ini berpengaruh pada kepekaan antibiotik. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut masih sangat diperlukan.

BAB V

Dokumen terkait