PENILAIAN AKURASI
ITALIAN SCORE
SEBAGAI PREDIKTOR
INFEKSI
EXTENDED- SPECTRUM BETA LACTAMASE
(ESBL)
TESIS
Oleh
ANDRI ISKANDAR MARDIA
097101022
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENILAIAN AKURASI
ITALIAN SCORE
SEBAGAI PREDIKTOR
INFEKSI
EXTENDED-SPECTRUM BETA LACTAMASE
(ESBL)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Penyakit Dalam
pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ANDRI ISKANDAR MARDIA
097101022
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED-SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) Nama Mahasiswa : Andri Iskandar Mardia
Nomor Induk Mahasiswa : 097101022
Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI
Ketua Anggota
Dr. Fransciscus Ginting, SpPD
Ketua Program Studi Ketua Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam
Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah penulis nyatakan dengan benar.
Nama : Andri Iskandar Mardia
NIM : 097101022
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Andri Iskandar Mardia
NIM : 097101022
Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis
Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam
Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas
Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right ) atas tesis saya yang berjudul:
PENILAIAN AKURASI ITALIAN SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED-SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini,
Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam
bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : 10 Januari 2015
Yang menyatakan
Telah diuji Pada Tanggal :
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : DR.Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD
Anggota : Dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP
Dr. Dairion Gatot, SpPD-KHOM
ABSTRAK
Bakteri Extended-Spectrum β-Lactamase (ESBL) merupakan salah satu bakteri Multi Drugs Resisten (MDR) yang menghasilkan enzim β-laktamase sehingga menginaktivasi antibiotik golongan betalaktam seperti penisilin dan sefalosporin. Angka kematian akibat infeksi ESBL 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi bakteri non-ESBL. Diperlukan suatu prediktor adanya infeksi ESBL sehingga dapat membantu klinisi dalam memberikan antibiotik empirik. Salah satu prediktor tersebut adalah sistem scoring berbasis faktor resiko infeksi ESBL yang dikenal dengan Italian score.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi Italian Score sebagai prediktor infeksi ESBL.
Penelitian cross sectional dilakukan mulai Januari 2014- Agustus 2014 di Rumah di RSUP H Adam Malik Medan pada pasien infeksi. Dihitung Italian Score dan dilakukan kultur bakteri dari sumber infeksinya.
Dengan menggunakan cut off skor ≥7 didapatkan sensitivitas Italian Score 95,7%, spesifisitas 89,1%, nilai prediksi positif 89,8% dan nilai prediksi negatif 95,3%. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh akurasi Italian Score adalah 97,1% (95%CI : 94,3-99,9%, p=0,0001). Antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL hanyalah amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigecicline.
Kesimpulan: Italian Score dapat digunakan sebagai prediktor adanya infeksi ESBL.
Kata kunci : ESBL, Italian Score, karbapenem
ABSTRACT
Extended-spectrum ß-lactamases (ESBLs) are one of Multi Drugs Resistant (MDR) bacteria that produce β-laktamase enzymes that inactivate beta-lactam class of antibiotics such as penicillins and cephalosporins. Mortality due to ESBL infections is two times higher than non-ESBL bacteria infection. It takes a predictor of the presence of ESBL infection that can assist clinicians in providing empirical antibiotics. One of these predictors is based scoring system ESBL infection risk factors known as Italian score.
This study aims to assess the accuracy of the Italian Score as a predictor of ESBL infection.
Cross-sectional study was conducted from January - August 2014 in RSUP H Adam Malik Medan, in patients with infections. Italian Score was calculated and bacterial cultures were taken from the source of infection.
By using a cut off point of ≥7, Italian Score sensitivity of 95.7% was obtained, specificity of 89.1%, positive predictive value of 89.8% and negative predictive value of 95.3%. From the analysis using ROC curves, the Italian Score accuracy was 97,1% (95% CI: 94.3 to 99.9%, p = 0.0001). Antibiotics that can be used against ESBL infections only amikacin, imipenem, ertapenem, meropenem and tigeciclin.
Conclusion: Italian Score can be used as predictors of the presence of ESBL infection.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis pada Program Magister Kedokteran
Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Selama mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk tesis ini, penulis
telah mendapat banyak bimbingan, petunjuk, bantuan, arahan serta dorongan baik moril maupun
materil dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih
dan hormat yang tiada terhingga kepada :
Dekan Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A Siregar SpPD-KGEH yang telah
memberikan izin dan menerima penulis untuk mengikuti Program Magister Ilmu Penyakit Dalam
di FK USU.
Direktur RSUP H Adam Malik dan Direktur RSUP Dr. Pirngadi Medan yang telah
memberikan kemudahan dan izin menggunakan fasilitas dan sarana rumah sakit untuk
menunjang pendidikan dan penelitian.
Dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU
yang telah memberikan bimbingan, kemudahan dan perhatian yang besar selama penulis
mengikuti pendidikan.
Dr. Zainal Safri SpPD,SpJP sebagai Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam yang
telah senantiasa membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama mengikuti
pendidikan.
Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI selaku Kepala Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan sebagai pembimbing pertama tesis serta Dr. Fransciscus
Ginting,SpPD-KPTI sebagai pembimbing kedua tesis yang telah memberikan kesempatan, izin,
kemudahan dan bimbingan mulai dari dari awal penyususan proposal penelitian, pengambilan
sampel penelitian dan penulisan tesis. Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,
hanya doa yang dapat penulis berikan semoga kiranya Allah SWT dapat melimpahkan berkat
yang berlimpah kepada mereka beserta keluarga.
Rasa terima kasih dan hormat penulis sampaikan kepada seluruh staf Departemen Ilmu
Rahimi Sp.PD-KPTI, dr.Tambar Kembaren Sp.PD, dr.Endang Sembiring Sp.PD dan para senior
peserta PPDS-Penyakit Tropis dan Infeksi.
Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada para senior dan rekan-rekan PPDS Ilmu
Penyakit Dalam atas kerjasama, persahabatan, bantuan, motivasi dan kekompakan yang kita jalin
selama ini.
Kepada kedua orang tua penulis Drs.H.Thamrin Mardia dan Hj.Gusti Nora Lintang, serta
istri penulis dr.Anindita Novina, M.Ked(OG),Sp.OG yang penulis sayangi, tiada kata yang
paling tepat untuk mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
segala jasa yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Dan kepada adik penulis dr.Indra
Kusuma Mardia, dr.Martua Mardia, Intan Saulina Mardia dan Rina Sari Mardia penulis ucapkan
terima kasih atas segala bantuan yang diberikan.
Kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu pada
kesempatan ini penulis ucakan terimakasih yang setulus-tulusnya. Izinkanlah penulis
menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang terkait atas segala kekurangan dan
kesalahan selama penulis mengikuti Pendidikan Program Magister Ilmu Penyakit Dalam dan
penulisan tesis ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan masyarakat.
Medan, Januari 2015
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak... i
Abstract... ii
Kata Pengantar... iii
Daftar Isi... v
Daftar Tabel... vii
Daftar Gambar... viii
Daftar Singkatan dan Lambang... ix
Daftar Lampiran... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 3
1.3 Hipotesis... 3 1.6 Kerangka Konseptual... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum β Lactamase (ESBL)…….. 5
2.2 Epidemiologi Infeksi Bakteri ESBL... 6
2.3 Mekanisme Resistensi Bakteri ESBL………. 2.3 Faktor Resiko infeksi Bakteri ESBL……….. 8 9 2.4 Italian Score……… 2.5 Manajemen Infeksi Bakteri ESBL……... 10 10 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Design Penelitian... 15
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 15
3.3 Populasi Terjangkau... 3.4 Sampel Penelitian ……….. 3.5 Kriteria Inklusi... 15 15 3.6 Kriteria Eksklusi... 16
3.7 Besar Sampel... 16
3.8 Cara Penelitian... 16
3.9 Defenisi Operasional... 18
3.10 Analisis Data... 22
3.11 Kerangka Operasional... 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 24 4.1.1 Karakteristik Responden dan Infeksi..…………..
4.1.2 Italian Score……… ………..
4.1.3 Nilai Diagnostik Italian Score untuk
Memprediksi Infeksi ESBL………. 4.1.4 Kepekaan Antibiotik terhadap Bakteri ESBL….
4.2 Pembahasan...
27 29 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan... 35 5.2 Saran... 35 DAFTAR KEPUSTAKAAN...
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 2.2
Perbedaan Onset Infeksi ESBL... Faktor Resiko Infeksi ESBL………
6 9 2.3 Italian Score... 10
2.4 Rekomendasi Pengobatan ………... 11
3.1 Italian Score... 17
Charlson Comorbidity Score………... Karakteristik Responden ……… Karakteristik Infeksi ……….
Italian Score………..
Sensitivitas dan Spesifisitas Italian Score………..
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1 2.1
Kerangka Konseptual... Mekanisme Resistensi terhadap Bakteri ESBL……….
4 8 3.1
4.1 4.2 4.3
Kerangka Operasional... Grafik antara Italian Score dan Jumlah Pasien ………. Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Italian Score…………..
Kurva ROC dari Italian Score………
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
SINGKATAN Nama Pemakaian
pertama kali pada halaman
ESBL Extetnded Spectrum Beta Lactamase……… 1
MYSTIC Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection……… 1
AMRIN WHO Antimicrobial Resistance in Indonesia: prevalence and prevention………..….. Receiver Operating Characteristic ……….. Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial…… Intensive Care Unit……….. KPC Klebsiella Producing Carbapenemase……… 12
NDM New Delhi Metalo Beta lactamase……… 12
DM Diabetes Melitus ……… 18
AIDS Aquered Imunodefficiency Syndrome……… 18 SIRS
AUC
Systemic Imflammatory Respone Syndrome……… Area Under Curve………
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Persetujuan Komisi Etik Penelitian... 40 2 Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian... 41 3
4
Surat Persetujuan Setelah Penjelasan... Kuosioner Penelitian ………...
ABSTRAK
Bakteri Extended-Spectrum β-Lactamase (ESBL) merupakan salah satu bakteri Multi Drugs Resisten (MDR) yang menghasilkan enzim β-laktamase sehingga menginaktivasi antibiotik golongan betalaktam seperti penisilin dan sefalosporin. Angka kematian akibat infeksi ESBL 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi bakteri non-ESBL. Diperlukan suatu prediktor adanya infeksi ESBL sehingga dapat membantu klinisi dalam memberikan antibiotik empirik. Salah satu prediktor tersebut adalah sistem scoring berbasis faktor resiko infeksi ESBL yang dikenal dengan Italian score.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi Italian Score sebagai prediktor infeksi ESBL.
Penelitian cross sectional dilakukan mulai Januari 2014- Agustus 2014 di Rumah di RSUP H Adam Malik Medan pada pasien infeksi. Dihitung Italian Score dan dilakukan kultur bakteri dari sumber infeksinya.
Dengan menggunakan cut off skor ≥7 didapatkan sensitivitas Italian Score 95,7%, spesifisitas 89,1%, nilai prediksi positif 89,8% dan nilai prediksi negatif 95,3%. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh akurasi Italian Score adalah 97,1% (95%CI : 94,3-99,9%, p=0,0001). Antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL hanyalah amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigecicline.
Kesimpulan: Italian Score dapat digunakan sebagai prediktor adanya infeksi ESBL.
Kata kunci : ESBL, Italian Score, karbapenem
ABSTRACT
Extended-spectrum ß-lactamases (ESBLs) are one of Multi Drugs Resistant (MDR) bacteria that produce β-laktamase enzymes that inactivate beta-lactam class of antibiotics such as penicillins and cephalosporins. Mortality due to ESBL infections is two times higher than non-ESBL bacteria infection. It takes a predictor of the presence of ESBL infection that can assist clinicians in providing empirical antibiotics. One of these predictors is based scoring system ESBL infection risk factors known as Italian score.
This study aims to assess the accuracy of the Italian Score as a predictor of ESBL infection.
Cross-sectional study was conducted from January - August 2014 in RSUP H Adam Malik Medan, in patients with infections. Italian Score was calculated and bacterial cultures were taken from the source of infection.
By using a cut off point of ≥7, Italian Score sensitivity of 95.7% was obtained, specificity of 89.1%, positive predictive value of 89.8% and negative predictive value of 95.3%. From the analysis using ROC curves, the Italian Score accuracy was 97,1% (95% CI: 94.3 to 99.9%, p = 0.0001). Antibiotics that can be used against ESBL infections only amikacin, imipenem, ertapenem, meropenem and tigeciclin.
Conclusion: Italian Score can be used as predictors of the presence of ESBL infection.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Beta laktamase adalah enzim yang dapat membuka cincin beta laktam sehingga
menginaktivasi antibiotik golongan betalaktam seperti penisilin dan sefalosporin. Bakteri
pertama yang dapat memproduksi enzim ini ditemukan di Yunani pada tahun 1960, dan enzim
ini diberi nama TEM sesuai dengan nama pasien pertama yang terinfeksi bakteri ini, yaitu
Temoniera. Bakteri tersebut resisten terhadap penisilin dan sefalosporin generasi pertama.
Kemudian terjadi mutasi pada nukleotida dari gen yang mengkode enzim tersebut sehingga
resistensi bakteri terhadap antibiotika meluas meliputi resistensi terhadap penisilin, sefalosporin
generasi II dan III serta monobaktam aztreonam. Enzim-enzim hasil mutasi tersebut dinamakan
Extended-Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Bakteri- bakteri yang dapat memproduksi ESBL disebut bakteri ESBL.1,2,3
Sejak bakteri ESBL pertama ditemukan pada tahun 1983 hingga sekarang, angka
kejadian infeksi oleh bakteri penghasil ESBL semakin meningkat di seluruh dunia. Gen
pengkode ESBL pada bakteri paling banyak berada di plasmid. Hal ini mempermudah
pemindahan kemampuan menghasilkan ESBL ke bakteri lain, sehingga penyebaran resistensi
sangat mudah terjadi antar strain bahkan antarspesies. Bakteri terbanyak yang menghasilkan
ESBL adalah Escherichia coli dan Klebsiella spp.4
Di Eropa, penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection
(Mystic Study) tahun 2008 melibatkan 12 negara diperoleh kejadian ESBL 5,6%.5 Dari survei di
kejadian infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL
K.pneumonia dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K.pneumonia
dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahum 2013. Disamping itu, dari data tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBK K.pneumonia dan 61,83% isolat E.coli merupakan ESBL E.coli.
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional merupakan salah satu penyebab peningkatan
kejadian ESBL. Selain itu adanya penggunaan antibiotik sepalosporin spektrum luas yang
semakin sering digunakan dekade terakhir ini memicu juga peningkatan ESBL.1 Dari data
regional WHO tahun 2004 menyimpulkan, rata 50% peresepan disertai dengan antibiotika di
Asia dan hanya 40-50% pasien yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar pedoman
pengobatan serta diperoleh rata-rata penggunaan antibiotik tidak perlu di seluruh dunia mencapai
angka 50%.9 Untuk Indonesia sendiri dari penelitian AMRIN study diperoleh bahwa penggunaan antibiotik yang tidak sesuai indikasi pada di Surabaya mencapai 55-80% dan di Semarang
20-53%.
Pemberian antibiotik idealnya sesuai hasil kultur dimana kultur akan memberikan hasil
3-5 hari setelah dilakukan pemeriksaan sehingga pemberian antibiotik empirik yang tepat sangat
diperlukan. Hal ini merupakan salah satu penyebab angka kematian akibat infeksi bakteri ESBL
hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi bakteri nonESBL.8 Di Amerika
dilaporkan kematian sepsis akibat ESBL 57% lebih sering diadingkan akibat non-ESBL.10
Identifikasi infeksi ESBL diketahui setelah adanya hasil kultur, dimana hasil kultur diperoleh
beberapa hari setelah dilakukan pemeriksaan. Di beberapa rumah sakit dikembangkan sistem
scoring untuk mengidentifikasi pasien dengan dugaan infeksi ESBL saat masuk rumah sakit agar pemberian antibiotik yang adekuat dapat diberikan. Salah satu sistem scoring yang ada diperoleh Tumbarello et al pada tahun 2011 yang dikenal dengan Italian score. Italian score ini terdiri dari adanya penggunaan antibiotik golongan beta laktam dan atau fluorokuinolon (skor 2), riwayat
rawatan rumah sakit sebelumnya (skor 3), pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain (skor 3),
Charlson Comorbidity score ≥4 (skor 2), penggunaan kateter urin sebelumnya (skor 2) dan usia
≥ 70 tahun (skor 2). Pada penelitian tersebut skor 6 atau lebih dapat memprediksi ESBL dengan
sensitivitas 73% dan spesifisitas 95% dengan akurasi 92%. Penelitian terhadap Italian Score
memprediksi infeksi ESBL dengan spesifisitas 96% dan Positive Predictive Value (PPV) 80%, sedangkan sensitivitasnya hanya 50%.1,11
Akurasi Italian score ini di Indonesia terutama di Medan belum diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian akurasi Italian score ini, sehingga dapat membantu klinisi dalam memberikan terapi antibiotik empirik.
1.2Perumusan Masalah
1. Apakah Italian score dapat digunakan sebagai prediktor infeksi ESBL.
2. Mengetahui nilai cut offItalian score sebagai prediktor infeksi ESBL.
1.3 Hipotesis
Italian score dapat menjadi prediktor yang akurat infeksi ESBL.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
- Untuk menilai akurasi Italian score sebagai prediktor infeksi ESBL.
- Menentukan cutoff dari Italian score yang memiliki akurasi paling baik dalam memprediksi infeksi ESBL.
1.4.2 Tujuan Khusus
- Mengetahui jenis bakteri ESBL yang sering dijumpai.
- Menentukan receiver operating characters (ROC) dan Area Under Curve (AUC) dari
Italian score dalam memprediksi infeksi ESBL.
- Mengetahui kepekaan antibiotik terhadap bakteri ESBL
1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
Dapat diketahui bahwa Italian score dapat digunakan sebagai prediktor infeksi ESBL.
Alat diagnostik Italian score dapat dijadikan metode penapisan rutin adanya infeksi ESBL.
1.6Kerangka Konseptual
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri Extended Spectrum β Lactamase (ESBL)
Beberapa dekade terakhir, penggunaan intensif sefalosporin spektrum luas (sefalosporin
generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim) telah mengakibatkan munculnya strain
bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim extended spektrum β laktamase (ESBL).1 ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh antibiotik β laktam termasuk penisilin, sefalosporin dan monobaktam.12
Enzim β laktamase yang pertama ditemukan dinamakan TEM-1. TEM ditandai dengan adanya asam amino serine pada bagian aktifnya. Adanya mutasi satu asam amino pada TEM-1
mengakibatkan terbentuk enzim baru disebut TEM-2 namun tidak mengubah kemampuan
hidrolisisnya terhadap antibiotik β laktam. Setiap adanya mutasi akan menghasilkan suatu enzim baru dengan kemampuan hidrolisis cincin betalaktam yang berbeda.
TEM-1 dan TEM-2 menghidrolisis penicillin dan sefalosporin spektrum sempit, seperti
sefalotin atau sefazolin. Namun, tidak efektif terhadap sefalosporin generasi yang lebih tinggi
dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim, ceftazidim, seftriakson, atau sefepim.
Akibatnya, sefalosporin generasi ketiga mendapat tempat yang luas dalam penggunaan klinis
pada awal 1980an.2,12 TEM-3 dilaporkan pertama kali tahun 1989. TEM-3 inilah bakteri
penghasil enzim β laktamase pertaa yang masuk kedalam golongan bakteri ESBL dari variant TEM. Sejak saat itu telah terdapat lebih dari 200 mutasi pada TEM. TEM paling banyak
dihasilkan oleh E.coli.2,8,13,14
Adanya mutasi serine menjadi glisine pada posisi 238 enzim β laktamase mengakibatkan terbentuknya enzim yang disebut SHV-1. ESBL ditemukan pertama kali tahun 1983 dan
merupakan turunan dari SHV ini. SHV umumnya dijumpai pada Klebsiella spp. Sama halnya
dengan TEM, perubahan satu asam amino mengakibatkan terbentuknya enzim baru. Sampai saat
Selain kedua enzim diatas dijumpai juga CTM-X yang lebih dominan resisten terhadap
cefotaxime. Banyak kejadian outbreak ESBL diakibatkan turunan CTM-X. Sampai saat ini terdapat 130 turunan CTM-X.8 CTM-X merupakan ESBL yang paling sering dijumpai saat ini.
Antibiotik β laktamase inhibitor asam clavulanat kurang efektif terhadap ESBL CTM-X ini.4 Adapun enzim β laktamase yang lain dikenal dengan OXA β laktamae. OXA beta laktamase dapat menghidrolisis oksasilin dan kurang efektif terhadap asam clavulanat. ESBL OXA banyak
dijumpai pada Pseudomonas aeroginosa. Enzim beta laktamase yang lain, seperti PER, VEB, dan GES telah dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada P.aeruginosa dan hanya didapati pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang juga cukup jarang, dan
ditemukan di Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA.8,12
Bakteri yang dapat menghasilkan enzim ESBL umumnya bakteri gram negatif, seperti
Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, Eschericia coli, Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.12
2.2 Epidemiologi Infeksi Bakteri ESBL
Sejak ditemukannya bakteri ESBL tahun 1983, bakteri ini telah mengalami banyak
mutasi dan tersebar diberbagai daerah. Infeksi dapat terjadi baik di masyarakat (Community)
maupun di dapat dirumah sakit (hospital). Perbedaan kedua sumber infeksi ini seperti tertera
pada tabel berikut;
Tabel 2.1. Perbedaan onset infeksi ESBL
Dikutip dari : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012
Secara global kejadian prevalensi ESBL bervariasi diberbagai daerah. Dari hasil
Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial (TEST) tahun 2001 menunjukkan angka kejadian tertinggi ESBL K.pneumoniae di Amerika Latin diikuti Asia, Eropa dan Amerika Utara yaitu
Di Amerika berdasarkan National Nasocomial Infectius Surveilance System tahun 2004 diperoleh bahwa ESBL K.pneumonia meningkat 43% tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 1998-2002, sedangkan ESBL E.coli tidak mengalami perubahan dan angka kejadian di ICU lebih tinggi dibandingkan non-ICU. Dari hasil penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection (MYSTIC) tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadia ESBL
E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4% sedangakan total kejadian ESBL secara keseluruhan 5,6%.5,15
Di Eropa, banyak Negara di Eropa yang mengalami outbreak ESBL. Isolat pertama
ESBL dijumpai di Jerman, namun Outbreak pertama terjadi di Francis, dimana dari 50 pasien
yang terkena ESBL di ICU, menyebarkan ke hampir seluruh ruang rawat lainnya. Kejadian di
Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal.16
Di Amerika Selatan merupakan daerah tertinggi infeksi ESBL dengan predominan jenis
CTX-M dengan range kejadian 45-51% untuk ESBL K.pneumonia dan 8,5%-18% ESBL
E.coli.15
Di Asia, Cina merupakan daerah pertama yang dijumpai ESBL dengan angka kejadian
ESBL E.Coli 13-15%.15 Hasil penelitian Paterson et al memperoleh kejadian ESBL di Thailand, Taiwan, Philipina dan Indonesia berkisar 12-24%.1 Laporan kesehatan Malaysia menyatakan
prevalensi ESBL E.coli di Malaysia dan singapura 5,6% dan Indoneisa 23% sedangkan ESBL
K.pneumoniae diMalaysia dan singapura38% dan Indoneisa 33,3%.
Hasil penelitian di Medan diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7% dari 282 sampel urin yang diperiksa.7 Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik medan dijumpai kejadian
infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL
K.pneumonia dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K.pneumonia
dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahum 2013. Disamping itu, dari data tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBK K.pneumonia dan 61,83% isolat E.coli merupakan ESBL E.coli.
2.3 Mekanisme Resistensi pada Bakteri ESBL
Bakteri yang menghasilkan enzim untuk mengatasi kerja dari antibiotik betalaktam
disebut dengan enzim β Lactamase. Enzim β Lactamase dapat merusak cincin β laktam dari
bakteri (gambar 2.1).17 Enzim β Lactamase disekresikan ke rongga peri plasma oleh bakteri gram negatif dan ke cairan ektra seluler pada bakteri gram positif. Variant enzim β Lactamase cukup banyak, mulai dari TEM, SHV, CTM-X dan lainnya semua bakteri penghasil enzim ini disebut
bakteri ESBL.18 Sehingga bakteri tetap dapat membentuk dinding sel bahkan ketika diberikan
antibiotik betalaktam.
Enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat β
-laktam. Enzim-enzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor betalaktamase, seperti
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Enzim ESBL ini umumnya ditemukan pada bakteri gram
negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi dapat juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp. 12
Gambar 2.1. Mekanisme resistensi terhadap betalaktam. Dikutip dari: John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance, 2004.
2.4 Faktor resiko Infeksi Bakteri ESBL
Banyak peneliti mencoba mencari faktor resiko terhadap kejadian ESBL sehingga dapat
menduga adanya infeksi ESBL pada seseorang. Penelitian oleh Rishi et la, memperoleh faktor
resiko kejadian ESBL yaitu adanya infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan antibiotik
sebelumnya, diabetes mellitus, penggunaan kateter ataupun alat lain di saluran kemih, jenis
kelamin wanita dan usia lebih dari 65 tahun.15
Ikeda et al mencoba mencari faktor resiko berupa pemeriksaa labolatorium dasar seperti
hemoglobin, leukosit, CRP dan lainnya diperoleh bahwa albumin dan limfosit yang rendahlah
faktor resiko lain seperti; usia tua, lamanya rawatan, lamanya sakit, lama rawatan ICU, adanya
tindakan invasif, penggunaan ventilator, penggunaan kateter urin, penggunaan nagogastric tube,
hemodialisis, status nutrisi yang buruk, penggunaan antibiotik sebelumnya, penggunaan
thermometer ataupun gel ultrasonografi yang terkontaminasi pasien lain ataupun tangan pekerja
kesehatan.2
Beberapa Faktor- faktor risiko untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL dapat
dilihat tertera pada tabel berikut;
Tabel 2.2. Faktor resiko infeksi ESBL
Dikutip dari : Rupp ME et al. Drugs, 2003
2.5 Italian Score
Tumbarello et al memperkenalkan suatu scoring system untuk menilai adanya infeksi ESBL yang dikenal dengan Italian score. Score ini terdiri dari beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya ESBL. Dengan adanya scoring ini diharapkan dapat memprediksi kejadian Infeksi ESBL sehingga dapat langsung diberikan penanganan yang tepat yaitu dengan antibiotik
terhadap bakteri ESBL tersebut.
Tabel 2.3 Italian Score
Kriteria penilaian Skor
Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir
Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 3
Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3
Charlson Comorbidity Score ≥ 4 2
Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 2
Usia ≥ 70 tahun 2
Dikutip dari : Tumbarello M et al, Antimicroba Agents Chemother 2011
Jika cutoff score digunakan 4, maka sensitivitas 90% dan NPV 95%, tetapi
menyebabkan spesifisitas yang rendah yaitu 62% dan PPV 44%.
Penggunaan antibiotik empirik untuk ESBL membutuhkan spesifisitas dan PPV yang
tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan atau lebih dari 8, memiliki spesifisitas 96% dan PPV
80% dalam memprediksi adanya infeksi ESBL.11
2.5 Manajemen Infeksi Bakteri ESBL
Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya
kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya resisten
terhadap antibiotik β-lactam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin. Selain itu resistensi terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti trimetroprim-sulfametoxazole, aminogikosida
khususnya gentamisin.
Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi seperti yang disebutkan
sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya.
Pada hasil kultur umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap bakteri
ESBL dan untuk membantu memilih antibiotik diantara beberapa antibiotik yang sensitif untuk
ESBL seperti tabel berikut;
Tabel 2.4 Rekomendasi pengobatan
Berikut ini dipaparkan kemampuan beberapa golongan antibiotik terhadap infeksi bakteri
ESBL;
2.5.1 Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam
golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pemilihan
antara imipenem dan meropenem sukar dilakukan karena memiliki profil yang hampir sama.
Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih
baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari.1 Doripenem
merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi
pseudomas aurigenosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan antibitik
golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda. Penelitian
oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5 hari
memiliki angka mortalitas yang lebih rendah.20
Dari penelitian oleh Muharrmi et al, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem)
100% sensitif terhadap ESBL.21 Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni et al,
Aminzadeh et al, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL.22,23 Chien Lye et al meneliti pada 47
pasien ESBL dengan sumber infeksinya saluran kemih, hepatobilier dan vascular acses yang
diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien.24 Penelitian Auer et al,
ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.25 Adapun dosis standart pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari
intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena.26 Resistensi terhadap karbapenem mulai
muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaanya haruslah rasional.15
2.5.2 Β-lactam/Β-lactamase inhibitor
Β-lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki
kemampuan menghambat enzim β laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada enzim β laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik β lactamase inhibitor ini. Oleh
Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan β Lactam lainnya dan sulbactam
lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium sederhana pemeriksaan fenotif ini
sulit dilakukan.4,15 Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan amoxicillin/clavulanat selama
5-7 hari pada indeksi saluran kemih tanpa komplikasi memiliki angka kesembuhan 84%.27 Adapun
dosis standart pada dewasa amoxicillin-clavulanat 625 mg/1,2 mg /8 jam baik oral maupun
intravena.26
Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap ESBL
K.pneumonia.28 DiAmerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif ESBL
E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1 % terhadap ESBL K.pneumonia.28 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin.
Piperasilin-tazobactam dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 93,1 % terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam dengan gentamisin 73,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL K.pneumonia.21 Penelitian Aminzadeh et al, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL.23 Adapun dosis standart
pada dewasa 4,5 gr setiap 8jam intravena.26
2.5.3 Aminoglikosida.
Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin
dan amikasin. Gentamisin memiliki kerja bakterisidal yang cepat, namun penggunaan sebagai
monoterapi ESBL dihindari. Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL
K.pneumonia.21 Penelitian Kulkarni et al, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL.22 Penelitian Aminzadeh et al, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL.23 Adapun dosis standart
pada dewasa 5 mg/KgBB perhari intravena.26
Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian Muharrmi et al memperoleh
kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 90,1% terhadap ESBL K.pneumonia).21 Penelitian Kulkarni et al, amikasin 70,4% sensitif terhadap ESBL.22 Penelitian Aminzadeh et al, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL.23 Adapun dosis standart
2.5.4 Kuinolon
Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun
belakangan semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL
dengan penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin
bakteri untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel.4,15 Siprofloksasin
memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi et al, diperoleh
hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL ( 24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia).21MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL
K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitive ESBL E.coli dan 57,5% ESBL
K.pneumonia.28 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan dengan
amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL
K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia.21 Penelitian Kulkarni et al, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL.22
2.5.5 Sefalosporin
Secara umum sepalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL.
Antibiotik golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak
mendukung hal ini dengan angka kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan karbapenem.15
Penggunaan sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk walaupun
hasil kultur masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai pilihan pertama.
Penelitian Kulkarni et al, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL.22
2.5.6 Nitrofurantoin
Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi.
Penelitian Kulkarni et al, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh et
al, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL.23 Penelitian Auer et al, Nitrofurantoin 94%
sensitive terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.25 Adapun dosis standart pada dewasa 50 mg setiap 6 jam oral.26
Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N
Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas et
al melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan bahwa
fosfomisin sensitive pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan fosfomisin
pada indeksi saluran kemih bagian bawah memiliki angka kesembuhan 94,2%.27
2.5.8 Tigecycline
Tigecycline merupakan turunan dari minocycline, dan ini merupakan obat pertama
golongannya. Penelitian obat ini terhadap ESBL belum banyak, namun pada penelitian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1Desain Penelitian
Rancangan penelitian berupa uji diagnostik dengan pendekatan potong lintang.29
3.2Waktu dan tempat penelitian
Penelitian akan dimulai bulan Januari 2014 sampai Agustus 2014 dan
dilaksanakan di ruang rawat inap RS H.Adam Malik dengan persetujuan Komisi Etik
Penelitian FK USU. Pengambilan dan pemeriksaan sampel dilaksanakan oleh Instalasi
Mikrobiologi Klinik RS H. Adam Malik.
3.3Populasi Terjangkau 3.3.1 Populasi target
Populasi yang dilakukan generalisasi yaitu seluruh pasien dengan infeksi.
3.3.2 Populasi terjangkau
Populasi penelitian dari sebagian populasi target, yaitu seluruh pasien dengan
infeksi yang dilakukan kultur bakteri di RS.H. Adam Malik.
3.4 Sampel penelitian
Bagian dari populasi terjangkau yaitu pasien dengan infeksi dan dijumpai
pertumbuhan bakteri dari hasil kultur bakteri yang dilakukan.
3.5 Kriteria Inklusi
1. Usia di atas 18 tahun
2. Pasien dengan infeksi dan dilakukan kultur bakteri
3. Bersedia mengikuti penelitian serta memberikan persetujuan ikut serta dalam
3.6Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang sudah diketahui menderita ESBL dari fasilitas kesehatan lain sewaktu
masuk rumah sakit.
2. Pasien dengan hasil kultur dijumpai lebih dari satu jenis bakteri.
3. Pasien dengan hasil kultur tidak dijumpai pertumbuhan bakteri.
3.7Besar Sampel
Rumus perhitungan besar sampel untuk penelitian uji diagnostik:
= deviat baku alpha. utk α= 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96 Sen = Sensitivitas yang diinginkan dari alat yang diuji nilai diagnostiknya
ditetapkan sebesar 0,85 (85%)
d = presisi ditetapkan sebesar 0,15 (15 %)
P = prevalensi ESBL 0,24 (24 %)
Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok sebanyak 46 orang.
3.8Cara Penelitian
1. Setelah mendapat persetujuan dari komite etik untuk melakukan penelitian,
penelitian dimulai dengan mencari pasien dengan infeksi dan dilakukan
pemeriksaan kultur dari sumber infeksinya serta dilakukan perhitungan Italian Score.
Tabel 3.1 Italian Score
Kriteria penilaian Skor
Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon
Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhirb 3
Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3
Charlson Comorbidity Score ≥ 4 2
Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhirc 2
Usia ≥ 70 tahun 2
a
Dalam 3 bulan terakhir sebelum rawatan kali ini
b
Dalam 12 bulan terakhir sebelum rawatan kali ini
c
Dalam 30 hari terakhir sebelum rawatan kali ini
Dikutip dari : Tumbarello M et al, Antimicroba Agents Chemother,2011
Tabel 3.2 Charlson Comorbidity Score
Komorbid Skor
Miokardiak infark 1
Congestif heart failure 1
Kelainan vascular perifer seperti ganggren, acute arterial insufficiency, claudikasio intermitten
1
Kelainan cerebrovaskuler sepeti riwayat Transien ischemic attack, sequele stroke
1
Dimensia 1
Kelainan paru kronik 1
Kelainan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis, polimiositis
1
Ukus peptikum 1
Kelainan hati ringan seperti sirosis tanpa hipertensi portal, kronik hepatitis
1
Diabetes tipe I atau II 1
Hemiplegia 2
Gangguan ginjal sedang-berat yaitu creatinin >3mg/dl, dialisis, transplantasi atau sindrom uremicum
2
DM dengan gangguan target organ seperti retinopati, neuropati, nefropati
2
Tumor padat 2
Leukemia 2
Lymphoma 2
Tumor padat dengan metastasis 6
Gangguan hati sedang-berat seperti sirosis dengan hipertensi portal
3
AIDS 6
Dikutip dari : Charlson ME et al, J Chronic Dis. 1987
Perhitungan Charlson Comorbidity Score dengan cara menjumlahkan semua skor yang terdapat pada tabel 3.2 (kelainan diketahui dari riwayat penyakit komorbid
yang pernah diderita);30,31
2. Seluruh pasien yang memiliki hasil kultur bakteri positif baik dari spesimen darah
sputum pada pasien pneumonia, ataupun spesimen pus pada pasien infeksi luka
operasi, dilakukan pengumpulan data berupa usia, jenis kelamin, diagnosis, asal
spesimen dan hasil kultur.
3. Hasil kultur akan dibagi menjadi dua yaitu kelompok kasus dan kontrol. Kelompok
kasus adalah semua sampel penelitian dengan hasil kultur dijumpai pertumbuhan
bakteri ESBL selanjutnya disebut kelompok ESBL dan kelompok kontrol adalah
semua sampel penelitian dengan hasil kultur dijumpai pertumbuhan bakteri selain
bakteri ESBL selanjutnya disebut kelompok non-ESBL.
4. Selanjutnya dilakukan analisis uji diagnostik untuk menilai akurasi Italian score
sebagai prediktor adanya infeksi ESBL.
3.9Definisi Operasional
a. Usia Berdasarkan data yang tertera pada rekam medis dengan
satuan tahun.
b. Jenis kelamin Berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan
hasil pria
atau wanita.
c. Bakteri ESBL Bakteri yang mengahasilkan enzim ESBL yaitu enzim
yang dapat menghidrolisis penicillin, cephalosporin
generasi I, II, III dan aztreonam. Diperoleh dari hasil
kultur bakteri berupa jenis bakteri dan kemampuannya
menghasilkan enzim ESBL positif atau negatif.
d. Charlson Comorbidity Score
Merupakan suatu sistem skor yang bermanfaat dalam
menilai prognosis dengan mengetahui komorbid yang
dijumpai pada pasien. Komorbid dalam penelitian ini
merupakan penyakit penyerta yang dijumpai pada
pasien yang diketahui melalui anamnesa riwayat
penyakit sebelumnya ataupun diagnosis pasien saat
rawatan.31
2 dari 4 gejala SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) yaitu suhu > 38°C atau < 36 °C, denyut jantung >90 kali per menit, frekuensi pernapasan >20
kali per menit atau PaCO < 32 mmHg, leukosit
>12.000/mm3 atau <4.000/mm3 atau neutrofil >10%.33,34
Pasien dengan sepsis diambil spisimen darahnya dengan
prosedur berikut :
Bersihkan lokasi yang akan diambil darah dengan
alkohol 70% (swab) dari tengah memutar ke tepi,
biarkan kering
Tusukkan jarum ke dalam pembuluh darah, tarik
penghisap semprit hingga darah masuk ke dalam
semprit 10 ml
Tekan bekas tusukan dengan kapas
Desinfektan septum tutup botol kultur dan isikan
darah ke dalam botol media yang sesuai
f. Pneumonia Penyakit saluran napas bawah akut, biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri, virus ataupun jamur.
Diagnosis dapat diketahui dari gejala klinis berupa
batuk, sputum purulen, dan demam dan dari foto dada
didapati gambaran infiltrat interstisial.
Pada pasien dengan pneumonia, diambil spesimen
sputum dengan prosedur berupa:
Sebelum pengambilan spesimen pasien diminta
berkumur dengan air. Bila memakai gigi palsu,
sebaiknya dilepas
Pasien berdiri tegak atau duduk tegak, pasien
diminta untuk menarik napas dalam, 2-3 kali
kemudian keluarkan napas bersamaan dengan
batuk yang terkuat dan berulang kali sampai
Sputum yang dikeluarkan ditampung langsung
didalam wadahdengan cara mendekatkan wadah
ke mulut, sputum yang berkualitas baik akan
tampak kental purulen dengan volume cukup 3-5
ml, kemudian tutup wadah
g. Infeksi Saluran
Kemih
Keadaan adanya klinis berupa demam, nyeri pinggang,
nyeri suprapubik, polakisuria, dan disuria dan
dijumpainya mikroorganisme dalam urin yang disebut
bakteriuria serta dinyatakan bermakna jika > 105 cfu
pada kultur urin.34
Spesimen urin dilakukan pada pasien dengan infeksi
saluran kemih, prosedurnya berupa :
Urin porsi tengah
Urin diambil oleh penderita sendiri setelah
mendapat penjelasan yaitu:
Penderita harus mencuci tangan dengan sabun
dan dikeringkan dengan handuk kemudian
tanggalkan pakaian dalam
Untuk wanita, bersihkan labia dan vulva dengan
kasa steril dengan arah dari depan ke belakang
kemudian bilas dengan air hangat dan
keringkan dengan kasa steril
Untuk laki-laki, jika tidak disunat tarik
preputium kebelakang
Keluarkan urin, aliran urin pertama dibuang,
aliran selanjutnya ditampung dalam wadah
yang sudah disediakan , pengumpulan urin
selesai sebelum urin habis kemudian tutup
wadah.
dilakukan dengan bantuan perawat
Urin kateter
Lakukan disinfeksi dengan alcohol 70% pada
bagian selang kateteryang terbuat dari kare
(jangan bagian yang terbuat dari plastic)
Aspirasi urin dengan menggunakan semprit
sebanyak kurang lebih 2 ml
Masukkan kewadah steril dan tutup rapat.
h. Infeksi Luka
Operasi
Dibedakan 2 jenis yaitu infeksi luka operasi
superficial, yaitu luka infeksi terjadi dalam 30 hari
setelah operasi yang ditandai adanya cairan purulen
dan inflamasi daerah belas insisi. Dan infeksi luka
operasi dalam jika dijumpai infeksi dalam 30 hari
tanpa inplan dan dalam 1 tahun jika dilakukan
pemasangan inplan yang ditandai cairan purulen,
inflamasi dan terbentuknya abses.
Spesimen pus, dilakukan pada pasien dengan luka
purulen, ulkus, atau infeksi luka operasi prosedurnya
berupa:
1. Bersikan luka dengan lain kasa yang telah
dibasahi dengan NaCl fisiologis sebanyak 3 kali
untuk menghilangkan kotoran dan eksudat yang
mongering
2. Buka kaps lidi dan usapkan bagian kapasnya pada
luka tanpa menyentuh bagian tepi luka, lakukan 2
kali dengan menggunakan 2 kapas lidi
3. Kapas lidi dapat diinokulasikan langsung pada
agar atau masukkan kedalam tabung media
i. Kultur bakteri Spesimen urin, sputum dan pus pasien dikultur di
medium plat agar darah dan McConkey lalu dieramkan pada suhu 37°C selama 24 jam. Materi darah dimasukkan ke dalam botol Fan Aerob Culture
Bottles (BacT/ALERT) untuk, diinkubasikan di
inkubator BacT/ALERT pada suhu 37°C. Botol yang menunjukkan pertumbuhan kuman kemudian
dilakukan pengecatan Gram dan dilakukan isolasi
primer di medium plat agar darah dan McConkey, dieramkan pada suhu 37°C semalam. Dari koloni yang tumbuh diambil untuk membuat suspensi
inokulum dalam 0,45% NaCl fisiologis steril, lalu
kekeruhan suspensi disesuaikan dengan standar 0,5
McFarland. Kemudian suspensi inokulum tersebut
diisikan ke dalam kartu uji Vitek2 compact sesuai
dengan instruksi dari bioMerieux: GN untuk
identifikasi Batang Gram negatif dan AST-N100
untuk uji kepekaan bakteri batang Gram negatif
terhadap antibiotika.35
3.10 Analisa Statistik
Sistem tabulasi digunakan untuk menampilkan data deskriptif. Uji t atau
Mann-Whitney U test digunakan untuk perbandingan data kontinius antara kasus
dan kontrol. Uji X2 atau Fisher Exact test digunakan untuk perbandingan data
variabel antara kasus dan kontrol. Uji Diagnostik digunakan untuk menilai
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil penelitian
4.1.1 Karakteristik Responden dan Infeksi
Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 92 pasien, yang terbagi dengan pasien ESBL dan
non-ESBL masing-masing berjumlah 46 pasien yang telah memenuhi kriteria inklusi. Dari kedua
kelompok, kebanyakan berjenis kelamin laki-laki, 26 orang (56,5%) di kelompok ESBL dan 24
orang (52,2%) di kelompok non-ESBL. Rerata umur kelompok pasien ESBL adalah 49,8 tahun
(SD=14,81 tahun) dan kelompok non-ESBL 51,15 tahun (SD=16,04 tahun). Spesimen kultur
mikrobiologi paling banyak diambil dari sputum di kedua kelompok yaitu sebanyak 32,6%
masing-masing kelompok. Penyakit komorbid tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok
kecuali heart disease (p=0,026). Dari data karakteristik tersebut diketahui tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok ESBL dan non-ESBL (tabel 4.2).
Tabel 4.1 Karakteristik Responden
Karakteristik ESBL
Jenis bakteri yang ditemukan di kelompok ESBL adalah ESBL E.Coli pada 17 pasien (37%), ESBL K.Pneumonia pada 27 pasien (58,7%) dan lainnya 2 pasien (4,3%) yaitu Klebsiella ozaena dan Klebsilla oxytoca. Pada penelitian ini didapatkan bahwa E.coli 100% merupakan ESBL E.coli dan K.pneumonia 96,4% merupakan ESBL K.pneumonia.
Tabel 4.2 Karakteristik Infeksi
Karakteristik ESBL
n (%)
Acinetobacter baumanii Staphylococcus spp
Mayoritas di kelompok ESBL merupakan pasien dengan riwayat pengguna antibiotik
dalam 3 bulan terakhir yaitu sebanyak 34 orang (73,9%) sedangkan di kelompok Non-ESBL
pengguna antibiotik hanya 14 orang (30,4%). Pada kelompok ESBL 34 orang pernah dirawat di
fasilitas kesehatan dalam 12 bulan terakhir sedangkan pada kelompok Non-ESBL hanya 7 orang
pasien. Lebih dari 70% persen pasien di kedua kelompok merupakan pasien rujukan dari fasilitas
kesehatan lain. Charlson comorbidity score dengan nilai ≥4 lebih banyak dijumpai pada kelompok ESBL yaitu sebanyak 28 orang (60,9%) sedangkan di kelompok non-ESBL hanya 9
36 orang (78,3%) dibandingkan dengan kelompok Non-ESBL hanya 9 orang (19,6%). Umumnya
pasien di kedua kelompok berusia < 70 tahun.
Tabel 4.3 Italian Score
Item Italian Score ESBL
n (%)
Non-ESBL n (%)
P
Riwayat Penggunaan antibiotik golongan β -lactam dan atau fluorokuinolon 3bulan terakhir
Ada 34 (73,9) 14 (30,4) 0,0001a
Tidak ada 12 (26,1) 32 (69,6)
Riw.Dirawat dalam 12 bulan terakhir
Ada 34 (73,9) 7 (15,2) 0,0001a
Tidak ada 12 (26,1) 39 (84,8)
Rujukan dari fasilitas kesehatan lain
Ya 43 (93,5) 34 (73,9) 0,011a
Tidak 3 (6,5) 12 (26,1)
Charlson comorbidity score
Score < 4 18 (39,1) 37 (80,4)
Score ≥4 28 (60,9) 9 (19,6) 0,0001a
Usia lebih 70 tahun
Ya 5 (10,9) 6 (13) 0,748a
Tidak 41 (89,1) 40 (87)
Riw. Menggunakan kateter 30 hari terakhir
Ya 36 (78,3) 9 (19,6) 0,0001a
Tidak ada 10 (21,7) 37 (80,4)
a
Chi Square, b T Independent
Dari tabel 4.3 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok
ESBL dan Non-ESBL dalam hal riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan terakhir (P=0,0001),
riwayat dirawat dalam 12 bulan terakhir (P=0,0001), Charlson Comorbidity Score≥4 (P=0,0001),
riwayat menggunakan kateter 30 hari terakhir (P=0,0001), rujukan dari fasilitas kesehatan lain
(P=0,011). Oleh karena itu, bila dijumpai hal tersebut saat anamnesis pasien infeksi
kemungkinan besar pasien tersebut terkena infeksi ESBL.
Pada kelompok ESBL yang memiliki skor 0,2,3,4 tidak ada seorangpun, sedangkan untuk skor
≥5, ≥6, ≥7, ≥8, ≥9, ≥10, ≥11, ≥11, ≥12, ≥14 berturut turut adalah 46, 45,44,34,31,29,22,22,1 orang. Pada
kelompok non-ESBL untuk skor 9,10,11,12, dan 14 tidak ada seorangpun, sedangkan untuk skor ≥0,≥2,
Gambar 4.1 Grafik antara skor Italian Score dan Jumlah pasien
4.1.3 Nilai Diagnostik Italian Score untuk Memprediksi Infeksi ESBL
Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa Italian score 2,3,4,dan 5 memiliki sensitivitas tinggi 100% namun spesifisitasnya rendah yaitu berturut-turut 6,5%; 10,9%; 32,6%
dan 39,1%. Italian score 9,10,11,12, dan 14 memiliki spesifisitas yang tinggi 100% namun sensitivitas yang rendah yaitu berturut-turut 67,4%; 63%; 23,9%; 2,2% dan 0%. Untuk Italian score 6,7 dan 8 memiliki sensitivitas berturut-turut 97,8%; 95,7% dan 73,9% dengan spesifisitas berturut-turut 84,8%, 89,1% dan 95,7%. Dengan menggunakan Italian score nilai 6,7, dan 8 yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik untuk memprediksi infeksi ESBL.
Tabel 4.4 Sensitivitas dan Spesifisitas Italian Score Score Sensitivitas
(%)
Spesifisitas (%)
2 100 6,5
3 100 10,9
4 100 32,6
5 100 39,1
6 97,8 84,8
7 95,7 89,1
8 73,9 95,7
9 67,4 100
10 63 100
11 23,9 100
12 2,2 100
Berdasarkan kurva sensitivitas dan spesifisitas pada gambar 4.2 maka diperoleh nilai Cut Off yang terbaik untuk Italian Score adalah titik skor 7. Dengan menggunakan cut off point 7 maka didapatkan nilai sensitivitas Italian Score adalah 95,7% dan spesifisitas 89,1%.
Gambar 4.2 Kurva sensitivitas dan spesifisitas Italian Score
Tabel 4.5 Sensitifitas, Spesifisitas, Positive dan Negative Predictive Value dari Italian Score Terhadap Infeksi ESBL
Infeksi ESBL Sensiti vitas
Spesifi
sitas NPP NPN RKP RKN Ya Tidak
Italian Score
≥ 7 44 5 95,7% 89,1% 89,8% 95,3% 8,8 0,05
< 7 2 41
Italian score ≥ 7 memiliki Nilai Prediksi Positif (PPV) sebesar 89,8% dan Nilai Prediksi Negatif (NPV) adalah 95,3%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 8,8 dan rasio
kemungkinan negatif adalah 0,05.
Berdasarkan hasil tersebut diatas Italian Score dalam studi ini memiliki kemampuan untuk memprediksi seseorang penderita mengalami infeksi ESBL atau tidak. Dari hasil analisis
menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 97,1 %
(95% CI: 94,3% - 99,9%; p = 0,0001).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
sensitivitas
Series2
Gambar 4.3 Kurva ROC dari Italian Score
4.1.4 Kepekaan Bakteri ESBL Terhadap Antibiotik
Bakteri ESBL sudah resisten 100% terhadap beberapa antibiotik seperti: ceftriaxon,
cefotaxim, ceftazidim, amoxicillin, bahkan amoxicillin-clavulanat dan ampisilin-sulbactam.
Dimana clavulanat dan sulbactam merupakan suatu antibiotik anti β-lactamase.
Bakteri ESBL memiliki tingkat resistensi bervariasi terhadap antibiotik golongan β -lactam/β-lactamase inhibitor yang merupakan suatu anti ESBL seperti piperasilin-tazobactam 52,2% sensitif, cafoperazon-sulbactam 4% sensitif, sedangkan amoxicillin-clavulanat dan
ampisilin-sulbactam sudah 100% resisten melawan bakteri ESBL.
Bakteri ESBL tidak sensitif terhadap antibiotik golongan kuinolon seperti hanya 26,1%
sensitif terhadap levofloxacin dan 17,4% terhadap ciprofloxacin.
Antibiotik golongan aminoglikosida yaitu gentamisin sensitifitasnya rendah yaitu 43,5%
sedangkan amikasin memiliki sensitivitas yang baik yaitu 100% masih sensitif untuk melawan
Antibiotik golongan karbapenem memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap ESBL seperti
imipenem 91,7%, ertapenem 95,2% dan meropenem 95,7%.
Antibiotik lainnya seperti cotrimoxazol memiliki sensitivitas yang buruk yaitu 21,7%
sedangkan tigeciclin memiliki sensitivitas yang baik yaitu 89,1%. Seperti yang terlihat pada tabel
4.6 berikut.
Tabel 4.6.Kepekaan Antibiotik Terhadap ESBL
Antibiotik Sensitif (%) β-Laktam
Amoxicilin 0
Β-laktam/β-laktamase inhibitor
Ampisilin-sulbactam 0
Amoxicillin-clavulanat 0
Piperasilin-tazobactam 52,2
Cafoperazon-sulbactam 4
Sepalosporin
Prevalensi ESBL bervariasi di berbagai wilayah. Dari hasil Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial (TEST) tahun 2001 menunjukkan angka kejadian tertinggi ESBL
Di Amerika berdasarkan National Nasocomial Infectius Surveilance System tahun 2004 diperoleh bahwa ESBL K.pneumonia meningkat 43% tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 1998-2002, sedangkan ESBL E.coli tidak mengalami perubahan dan angka kejadian di ICU lebih tinggi dibandingkan non-ICU. Kejadian infeksi ESBL di Eropa bervariasi mulai dari yang
terendah 3% di Swedia sampai yang tertinggi 34% di Portugal.16Di Cina angka kejadian Infeksi
ESBL E.Coli 13-15%.15 Hasil penelitian Paterson et al memperoleh kejadian ESBL di Thailand, Taiwan, Philipina dan Indonesia berkisar 12-24%.1
Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik medan dijumpai kejadian infeksi
ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% meningkat menjadi 19,51%
pada tahum 2013.
Pada penelitian ini diperoleh bahwa E.coli 100% merupakan ESBL E.coli dan
K.pneumonia 96,4% merupakan ESBL K.pneumonia Penelitian. Hasil ini lebih tinggi dari pada penelitian lain yang ada seperti penelitian Kulkarni at al tahun 2013 diketahui bahwa dari 15,9%
isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBL K.pneumonia dan 40,7% isolat E.coli
merupakan ESBL E.coli sedangkan di RS H Adam Malik Medan, dari data di bagian mikrobiologi tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBL K.pneumonia dan 61,83% isolat E.coli merupakan ESBL E.coli. Tingginya angka pada penelitian ini mungkin diakibatkan jumlah sampel yang sedikit.
Dari hasil penelitian MYSTIC Study tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadian ESBL E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4%. Penelitian Chien D et al tahun 2008 kejadian ESBL E.coli 26% dan ESBL K.pneumonia 53% dari infeksi bakteri gram negatif multi drugs resisten.24 Dari penelitian tersebut diketahui bahwa infeksi ESBL K.pneumonia lebih banyak, sama hal nya pada penelitian ini memperoleh hasil yang sama yaitu infeksi ESBL
K.pneumonia 58,7% dan ESBL E.coli 37% dari keseluruhan infeksi ESBL.
Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya
kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Karbapenem merupakan
antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam golongan karbapenem adalah
imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pada penelitian ini diperoleh, ESBL
memiliki sensitivitas yang cukup tinggi yaitu: 91,7% sensitif imipenem, 95,7% sensitif
meropenem, dan 95,2 sensitif ertapenem terhadap ESBL. Dari penelitian oleh Muharrmi et al,
juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni et al, Aminzadeh et al, imepenem 100% sensitif
terhadap ESBL.22,23 Chien Lye et al meneliti pada 47 pasien ESBL yang diterapi dengan
ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien.24 Penelitian Auer et al, ertapenem 100%
sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.25
Yang menarik dari hasil kepekaan ESBL terhadap antibiotik dijumpai tingkat sensitivitas
yang buruk terhadap antibiotik golongan β-lactam/β-lactamase inhibitor yang merupakan suatu
anti terhadap enzim β-lactamase seperti Piperasilin-tazobactam hanya memiliki sensitivitas
52,2%, Cafoperazon-sulbactam hanya 4% sensitif, sedangkan Amoxicillin-clavulanat dan
Ampisilin-sulbactam 100% resisten terhadap ESBL. Sedangkan penelitian di Amerika Serikat
dari hasil MYSTIC Study piperasilin-tazobactam diperoleh 72,5% sensitif ESBL E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1 % terhadap ESBL K.pneumonia.28 Penelitian Aminzadeh et al, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL.23
Hal ini mungkin dapat diakibatkan adanya perbedaan genotif dari bakteri ESBL.
Beberapa genotif ESBL TEM resisten terhadap antibiotik β-lactamase inhibitor. Variant TEM ini ada yang resisten terhadap asam clavulanat dan sulbaktam. Selaian itu, SHV-10 juga resisten
terhadap β-lactamase inhibitor.3 Diduga tingginya resistensi terhadap β-lactamase inhibitor
diakibatkan ESBL genotif ini walaupun tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan pada penelitian ini.
Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Pada penelitian ini
diperoleh 17,4% sensitif siprofoksasin sedangkan 26,1% sensitif untuk levofloksasin untuk
melawan bakteri ESBL.Dari penelitian Muharrmi et al, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap
ESBL.21 MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli
dan 36,8% terhadap ESBL K.pneumonia.21 Penelitian Kulkarni et al, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL.22
Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Pada penelitian ini 43,5% sensititif
gentamisin terhadap ESBL. Penelitian Kulkarni et al, gentamisin 19,4% sensitif terhadap
ESBL.19 Penelitian Aminzadeh et al, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL.20
Sedangkan untuk amikasin, Pada penelitian ini, amikasin masih 100% sensitif terhadap
ESBL. Penelitian Kulkarni et al memperoleh amikasin 70,4% sensitif terhadap ESBL.22
Sehingga dari hasil uji kepekaan terhadap ESBL tersebut diketahui ada beberapa
antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL hanya amikasin, imipenem,
ertapenem, meropenem dan tigeciclin.
Selain berkurangnya pilihan antibiotik yang dapat diberikan untuk infeksi ESBL, untuk
memperoleh hasil kultur mikroorganisme dan tes kepekaannya terhadap antibiotik memerlukan
waktu 3-5 hari, hal ini sering mengakibatkan keterlambatan pemberian antibiotik yang tepat. Hal
ini akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien dengan infeksi ESBL.
Oleh karena itu, identifikasi pasien dengan resiko tinggi terkena infeksi bakteri ESBL sangat
diperlukan. Dengan adanya identifikasi awal yang tepat terhadap adanya infeksi ESBL ini akan
sangat membantu dalam hal pemberian terapi antibiotik empirik pada pasien dengan infeksi.
Untuk memprediksi adanya infeksi bakteri ESBL dikembangkan berbagai instrument, salah
satunya adalah Italian score. Italian score ini terdiri dari adanya penggunaan antibiotik golongan beta lactam dan atau fluorokuinolon (skor 2), riwayat rawatan rumah sakit sebelumnya (skor 3),
pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain (skor 3), Charlson Comorbidity score ≥4 (skor 2), penggunaan kateter urin sebelumnya (skor 2) dan usia ≥ 70 tahun (skor 2).
Pada penelitian ini tidak semua item Italian Score menjadi prediktor infeksi ESBL yaitu pada item usia ≥70 tahun (p=0,748), hal ini diduga karena perbedaan angka harapan hidup ditempat penelitian ini dibandingkan dengan tempat penelitian dimana skor ini dibuat yaitu
Italia. Sedangkan item Italian Score lainnya merupakan prediktor infeksi ESBL, hal ini kemungkinan disebabkan karena kesamaan tempat penelitian yaitu sama-sama di lakukan di
rumah sakit pusat rujukan.
Pada penelitian ini diperoleh nilai Cut Off untuk Italian Score adalah nilai 7. Dengan menggunakan skor ≥7 maka didapatkan nilai sensitivitas Italian Score adalah 95,7% dan spesifisitas 89,1%. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan tumbrello et al skor ≥6 dapat memprediksi ESBL dengan sensitivitas 73% dan spesifisitas 95% dengan akurasi 92%. Steven at
al dengan skor ≥ 8 dapat memprediksi infeksi ESBL dengan spesifisitas 96% dan Positive Predictive Value (PPV) 80%, sedangkan sensitifitasnya hanya 50%. Dari data tersebut dijumpai perbedaan cut off skor yang diperoleh, hal ini mungkin diakibatkan perbedaan populasi tempat penelitian seperti pada penelitian ini usia > 70 tahun tidak berbeda bermakna antara kelompok
ESBL dan non-ESBL dan angka harapan hidup rata-rata tempat penelitian berbeda dengan