ABSTRACT
COMPARATIVE ANALYSIS OF THE PRESENCE OF THE EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) IN KLEBSIELLA PNEUMONIAE
FROM FAECES SAMPLES OF NURSES IN INPATIENT CHILD AND ADULT INPATIENT RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI
LAMPUNG
By
Vina Zulfiani
Background: Nosocomial infections are infections in patients who are in the process treatment in hospital. Klebsiella pneumoniae is one of the important bacterial pathogens in nosocomial infections. Class of beta-lactam antibiotics are the most commonly used antibiotics in the treatment of infections Klebsiella pneumonia. As the running time, antibiotics are becoming less sensitive due to improper usage, so it appears resistant bacteria that have mutated and produce enzymes Extended Spectrum Beta lactamase
(ESBL). The aim of this study was to compare the presence of Extended-spectrum β -lactamase (ESBL) produced by Klebsiella pneumoniae in faeces samples of nurses in inpatient adult and children's inpatient hospital Abdul Moeloek Bandar Lampung. Methods: This research was conducted with cross sectional approach. Klebsiella pneumoniae examination conducted by the bacteria identification test of stool samples of nurses in inpatient children and adults. The resistance test by Kirby bauer method and test for the presence of ESBL by Double Diffusion Test (DDT) methods.
Results: Results of this study showed that Klebsiella pneumoniae was found 5,9% in inpatient children, 8,8% in the adult inpatient unit and besides Klebsiella pneumoniae are found as much as 85,3%. ESBL is not found in DDT test, so it could not analyzed statistically.
Conclusions: There is no comparison of the presence of Extended-Spectrum β-lactamase
(ESBL) produced by bacteria Klebsiella pneumoniae in faeces samples of nurses in inpatient adult and children's inpatient hospital Abdul Moeloek Bandar Lampung.
ABSTRAK
ANALISIS PERBANDINGAN KEBERADAAN EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) PADA KLEBSIELLA PNEUMONIAE DARI
FESES PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP DEWASA DAN RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI
LAMPUNG
Oleh
Vina Zulfiani
Latar Belakang: Infeksi nosokomial adalah infeksi pada pasien yang sedang dalam proses perawatan di rumah sakit. Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu bakteri patogen penting dalam infeksi nosokomial. Antibiotik golongan betalaktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dalam penanganan infeksi Klebsiella pneumonia. Seiring berjalan waktu, antibiotik ini menjadi kurang sensitif akibat penggunaan yang tidak sesuai, sehingga munculah bakteri resisten yang telah bermutasi dan menghasilkan enzim
Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan keberadaan Extended spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional. Pemeriksaan
Klebsiella pneumoniae dilakukan dengan uji identifikasi bakteri dari sampel feses perawat diruang rawat inap anak dan dewasa. Uji resistensi dengan metode kirby bauer
dan uji keberadaan ESBL dengan metode Double Diffusion Test (DDT).
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ditemukan Bakteri Klebsiella pneumoniae
5,9% % di ruang rawat inap anak, sebanyak 8,8% diruang rawat inap dewasa dan bakteri selain Klebsiella pneumoniae yang ditemukan sebanyak 85,3%. Tidak ditemukan ESBL pada uji DDT sehingga tidak dapat diuji analisis secara statistik.
Simpulan: Tidak terdapat perbandingan keberadaan Extended Spectrum β-lactamase
FESES PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP DEWASA DAN RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI
LAMPUNG
Oleh VINA ZULFIANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Jurusan Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ANALISIS PERBANDINGAN KEBERADAAN EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) PADA KLEBSIELLA PNEUMONIAE DARI FESES PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP DEWASA DAN RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD. Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI
LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2016 Oleh
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Mikroskopis Klebsiella pneumoniae... 13
2. Koloni Klebsiella pneumoniae... 14
3. Peningkatan zona hambat ke arah amoksiklav... 31
4. Prosedur Uji Double Diffusion Test... 32
5. Kerangka Teori ………... 36
6. Kerangka Konsep... 36
7. Alur Penelitian... 53
8. Distribusi Bakteri Yang Ditemukan di Feses... 57
DAFTAR ISI
2.2. Klebsiella pneumoniae... 11
2.1.1. Taksonomi... 12
2.1.2. Morfologi Klebsiella pneumoniae... 13
2.1.3. Struktur Antigen... 14
2.3.Antibiotik 2.3.1. Aktivitas dan Spektrum Antibiotik... 15
2.3.2. Mekanisme Kerja... 16
2.3.3. Golongan Antibiotik... 17
2.3.4. Cefotaxim, Ceftazidim dan Asam Klavulanat... 21
2.3.5. Mekanisme Resistensi Antibiotik... 23
2.4.Uji Sensitivitas Antibiotik... 25
2.5.Enzim B- Laktamase dab Extended Spectrum B- Lactamase (ESBL) 2.5.1. Definisi... 26
2.5.2. Klasifikasi... 27
2.5.3. Identifikasi ESBL... 30
2.6.Tenaga Medis dan Paramedis... 32
2.6.1. Personal Hygiene Pada Perawat... 33
2.7.Kerangka Teori ... 34
2.9.Hipotesis ... 37
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ………..……...……… 38
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ………...……... 38
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi... 38
3.3.2. Kriteria Inklusi... 39
3.3.3. Kriteria Eksklusi... 39
3.3.4. Sampel... 39
3.4. Alat Dan Bahan Penelitian 3.4.1. Alat Penelitian... 40
3.6.3. Pengambilan dan transpor sampel tinja... 44
3.6.4. Prosedur untuk mengumpulkan bahan tinja... 45
3.6.5. Pemeriksaan visual spesimen tinja... 45
3.6.6. Isolasi Bakteri dari Sampel Feses... 46
3.6.7. Identifikasi bakteri/Uji biokimia... 46
3.6.8. Uji Resistensi... 49
3.6.9. Uji konfirmasi dengan Metode difusi Kirby Bauer menggunakan Disc Diffusion Test (DDT)... 51
3.7. Alur Penelitian ………...……….. 53
3.8. Pengolahan Data... 54
3.9. Aspek Etika... 54
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 55
4.2 Pembahasan... 61
4.3 Keterbatasan Penelitian... 67
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan... 68
5.2 Saran... 69
DAFTAR PUSTAKA... 70
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Definisi Operasional ……...………...………....……….…... 42
2. Kriteria penilaian diameter zona hambatan beberapa antibiotik untuk bakteri Enterobacteriaceae berdasarkan CSLI (Clinical Laboratory Standards Institude)... 51
3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 55
4. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Kerja... 56
5. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 56
6. Distribusi Pembagian Klebsiella pneumoniae... 58
7. Distribusi Kepekaan Antibiotik... 59
Sebuah persembahan untuk Orang tua dan
Keluarga
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Metro pada 17 Maret 1995, sebagai anak pertama dari dua
bersaudara, dari Bapak Zulkifli S dan Ibu Sri Hardiyani.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Al-qur’an Metro pada
tahun 2000, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di Al-qur’an Metro pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan SMP Kartikatama Metro pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Islamic Village
Karawaci, Tangerang diselesaikan pada tahun 2012.
Pada tahun 2012, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung (FK Unila) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tertulis. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah
SANWACANA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Shalawat beserta
salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya, dan kita
selaku umatnya sampai akhir zaman.
Skripsi dengan judul “Analisis perbandingan keberadaan Extended spectrum β
-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri oleh Klebsiella pneumoniae pada
sampel feses tenaga medis di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung”
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Muhartono, M.Kes, Sp.PA, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
kesediaannya memberikan bimbingan, motivasi, saran, kritik, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes, selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, kritik, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. dr. Ety Apriliana, M.Biomed, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi; terima kasih atas masukan dan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. dr. Khairun Nisa Berawi, M.Kes., AIFO selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi selama masa perkuliahan dan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Mbah Putri, Papa, Mama, Mami dan Adikku Aldi yang selama ini mendoakan, mendukung dan memberi
semangat walaupun dari jauh.
7. Seluruh dokter dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, terima kasih telah banyak memberikan pemahaman dan tambahan
wawasan ilmu pengetahuan serta pengalaman untuk mencapai cita-cita. Bapak dan Ibu Staf pegawai dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.
8. Eva Nur Lizar, Jose Adelina dan Widyastuti Ayu yang selalu menemani, berbagi tangis dan tawa selama kuliah dan selamanya.
9. Hera Julia Garamina yang selalu ada dan bersama saat melakukan penelitian ini, serta keluarga FK Unila 2012 terima kasih atas segala bantuan dan
Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan baik dari
Allah SWT. Aamiin. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Bandar Lampung, Februari 2016. Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit merupakan tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien
mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh. Tetapi, rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga merupakan tempat berbagai macam penyakit terutama penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yang merupakan
penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012).
Cara penularan bakteri dapat melalui udara, pengunjung, kontak langsung
dengan pasien yang terinfeksi atau melalui perantara petugas medis yaitu dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012). Salah satu penyakit infeksi yang merupakan penyebab meningkatnya angka
kesakitan dan angka kematian di rumah sakit adalah infeksi nosokomial (Purnomo, Andaru dan Prabowo 2012).
Infeksi nosokomial adalah infeksi pada pasien yang sedang dalam proses perawatan di rumah sakit dan didapatkan setelah 72 jam sejak mulai perawatan. Sumber infeksi nosokomial dapat hidup dan berkembang
benda-2
benda medis maupun non medis. Infeksi dapat melalui tangan petugas kesehatan atau peralatan yang digunakan pada pasien serta personal hygiene
yang kurang baik (Hapsari dan Kurniawan, 2007)
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial adalah
bakteri (Novelni, 2011). Bakteri patogen penyebab infeksi nosokomial yang paling umum adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp, dan Klebsiella pneumoniae (Tennant dan
Harding, 2005; Prabhu et al, 2006). Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu anggota famili Enterobacteriaceae dan merupakan salah satu bakteri
patogen penting dalam infeksi nosokomial. Bakteri ini berada dalam sistem pernafasan dan pencernaan kurang lebih 5% pada individu normal (Jawetz et al, 2008).
Infeksi pada bakteri Gram negatif, seperti P.aeruginosa, E.coli, Enterobacter spp, dan Klebsiella pneumoniae biasa diobati dengan
golongan antibiotika tertentu, seperti antibiotika golongan penicilin (amoksisilin klavulanat, amoksisilin dan ampisilin), aminoglikosida (gentamicin dan tobramicin), sefalosporin (ceftazidime, cefotaxime,
cefadroxil dan cefuroxime), kotrimoksazol (Sulfametoxazol /trimetropin), dan kuinolons ( ciprofloxacin dan norfloxacin) (Jawetz et al, 2008).
Antibiotik golongan betalaktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dalam penanganan infeksi Klebsiella pneumonia. Namun, dengan
dihasilkannya enzim betalaktamase oleh bakteri. Produksi enzim betalaktamase ini merupakan mekanisme utama terjadinya resistensi bakteri
terhadap antibiotik betalaktam dengan cara menghidrolisis cincin betalaktam pada antibiotik (Al-Jasser, 2006).
Seiring penggunaan antibiotik yang meluas, timbul permasalahan baru dengan munculnya bakteri resisten yang telah bermutasi menghasilkan enzim Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Enzim ESBL ini dapat
menghidrolisis penisilin, sefalosporin generasi pertama, kedua, ketiga, dan aztreonam (kecuali sefamisin dan karbapenem). Aktivitas enzim ESBL
dapat dihambat oleh inhibitor betalaktamase seperti asam klavulanat. Gen pengkode enzim ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke bakteri lain sehingga terjadi penyebaran resistensi (Winarto, 2009). Bakteri
yang paling banyak memproduksi enzim ESBL adalah bakteri famili Enterobacteriaceae, terutama Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli
(Afunwa et al., 2011).
Studi yang dilakukan oleh PEARLS (The Pan European Antimicrobial Resisstance using Local Surveillance) tahun 2001-2002 didapatkan
persentase bakteri Klebsiella pneumonia penghasil enzim ESBL sebesar 18,2 %. Hasil tertinggi didapatkan di Mesir sebesar 38,5 % dan tingkat
terendah didapatkan di Belanda yang hanya 2 % (Al-Jasser, 2006). Sedangkan di Indonesia, Prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita mencapai 16% dengan
4
pneumoniae (45%), diikuti oleh E. coli (19%). Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang, selama kurun waktu 2004-2005 didapatkan
proporsi bakteri penghasil ESBL sebesar 50,6% berdasarkan tes skrining awal (Winarto, 2009).
Bakteri yang memproduksi ESBL perlu diwaspadai karena ESBL diproduksi oleh gen yang berlokasi pada plasmid, yang dengan mudahnya dapat berpindah ke bakteri lain. (Wahyono, 2007). Bakteri lain yang telah
mendapatkan gen resisten tersebut dapat menginfeksi pasien melalui feses yang dapat menyebar akibat higenitas yang buruk dari perawat. Misalnya
seperti mencuci tangan yang kurang baik atau tidak memotong kuku.
Di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek sendiri belum dilakukan pengujian untuk mengetahui keberadaan enzim ESBL dari feses perawat. Pengujian ini
perlu dilakukan mengingat dampak klinis yang ditimbulkan oleh infeksi bakteri penghasil enzim ESBL menimbulkan tantangan yang besar dalam
penanganan terhadap infeksi nosokomial yang bisa terjadi pada perawat.
Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbandingan keberadaan Extended spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel
feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah untuk mengetahui perbandingan keberadaan Extended Spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri oleh Klebsiella pneumoniae
pada sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap
anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan keberadaan Extended Spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri
Klebsiella pneumoniae sampel feses perawat di ruang rawat inap
dewasa dan ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi bakteri apa saja yang terdapat pada feses Perawat di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.
2. Mengetahui sensitivitas dari Klebsiella pneumoniae terhadap
antibiotik seperti seperti amoksisilin klavulanat, cefotaxim, ceftazidim, amoksisilin, tobramicin, gentamicin, ampisilin,
6
3. Mengetahui hasil dari pemeriksaan uji konfirmasi Double Diffusion Test (DDT) terhadap keberadaan ESBL pada Klebsiella
pneumoniae.
4. Mengetahui Perbandingan jumlah ESBL pada Klebsiella pneumoniae yang terdapat pada feses perawat antara Ruang rawat
inap dewasa dan ruang rawat inap anak.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan diharapkan hasil yang diperoleh dapat
bermanfaat. Adapun manfaat penelitian ini : 1. Bagi peneliti
dapat menerapkan ilmu yang sudah didapatkan selama perkuliahan di kampus dan menambah wawasan serta pengetahuan dibidang ilmu mikrobiologi khususnya mengenai perbandingan keberadaan Extended spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella
pneumoniae sampel feses perawat di ruang rawat inap dewasa dan
ruang rawat inap anak RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. 2. Bagi Instansi terkait (petugas kesehatan)
Memberikan informasi tambahan mengenai sensitivitas bakteri terhadap
antibiotik seperti golongan penicilin, aminoglikosida, kuinolon, sefalosporin, dan kotrimoksazol terhadap bakteri Klebsiella
pneumoniae.
3. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran untuk penelitian
4. Bagi Universitas lampung
Menambah sumber pengetahuan dalam kepustakaan Universitas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terdapat pada pasien selama berada di rumah sakit maupun di fasilitas kesehatan yang lain. Infeksi nosokomial
juga dikenal sebagai Hospital-acquired infection atau sekarang lebih dikenal sebagai Healthcare Acquired Infection (HAI) karena infeksi ini bisa didapat sebagai konsekuensi dari pengasuhan tenaga kerja medis dalam
menjalankan tugas mereka. HAI juga sering dikaitkan dengan lingkungan rumah sakit, tetapi bisa juga dikaitkan dengan tenaga yang memberi asuhan
medis kepada komunitas seperti dari rumah ke rumah (Frost dan Sullivan, 2010).
Ciri-ciri infeksi nosokomial antara lain : Saat masuk rumah sakit tidak ada tanda gejala atau tidak dalam masa inkubasi infeksi tersebut, Infeksi terjadi
Mekanisme penularan infeksi nosokomial dapat melalui : a. Melalui Kontak
1. Transmisi kontak langsung dapat terjadi pada kontak kulit dengan kulit dan berpindahnya organisme selama kegiatan perawatan pasien.
Transmisi kontak langsung juga bisa terjadi antar dua pasien.
2. Transmisi kontak tidak langsung dapat terjadi bila ada kontak seseorang yang rentan dengan obyek tercemar yang berada di
lingkungan pasien. b. Melalui Percikan (droplet)
Transmisi droplet terjadi melalui kontak dengan konjungtiva, membran mukosa hidung atau mulut individu yang rentan oleh percikan partikel besar yang mengandung mikroorganisme. berbicara, batuk bersin dan
tindakan sperti penghisapan lendir dan broknkoskopi dapat menyebarkan organisme.
c. Melalui Udara (airborne) transmisi airborne terjadi melalui penyebaran partikel partikel kecil ke udara, baik secara langsung atau melalui partikel debu yang mengandung mikroorganisme infeksius. Partikel
infeksius dapat menetap di udara selama beberapa jam dan dapat disebarkan secara luas dalam suatu ruangan atau dalam jarak yang lebih
jauh.
d. Melalui perantara organisme yang ditularkan oleh benda benda
terkontaminasi seperti makanan, air dan peralatan.
10
Menurut (Darmadi, 2008), beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial, adalah :
1. Faktor-faktor yang ada di dalam diri pasien (faktor intrinsik) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi,
atau adanya penyakit lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya. Faktor ini merupakan faktor predisposisi.
2. Faktor-faktor yang ada diluar diri pasien (faktor ekstrinsik) seperti pasien lain, lingkungan, makanan dan minuman, pengunjung atau
keluarga, peralatan medis, petugas kesehatan.
3. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan, menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu
ruangan.
4. Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta
tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan antara sumber penularan dengan penderita.
Angka prevalensi bakteri patogen yang resisten terhadap lebih dari satu
antibiotik cenderung meningkat, hal ini menjadi masalah kesehatan yang serius. Umumnya resistensi ini disebabkan oleh infeksi yang terjadi di
rumah sakit (infeksi nosokomial). Banyak terdapat bakteri yang menyebabkan infeksi, salah satunya Klebsiella sp yang merupakan bakteri patogen penting dalam infeksi nosokomial. Umumnya infeksi Klebsiella
dilaporkan karena adanya Enzim Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBL) dan juga Klebsiella neumoniae carbapenemase (KCP). Klebsiella
pneumoniae juga merupakan patogen nosokomial yang dapat menimbulkan konsolidasi hemorrhagic intensif pada paru-paru (Jawetz et
al, 2008).
2.2 Klebsiella pneumoniae
Klebsiella adalah bakteri Gram negatif yang termasuk dalam genus
non-motil, berbentuk batang dengan kapsul polisakarida. Genus Klebsiella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae yang meliputi bakteri patogen
manusia penting lainnya seperti Salmonella dan Escherichia coli. Organisme ini dinamai oleh Edwin Klebs, salah satu peneliti mikrobiologi Jerman abad ke-19 (Umeh, 2011).
Klebsiella pneumonia dapat menyebabkan berbagai infeksi, terutama, infeksi saluran kemih, septikemia, dan infeksi jaringan lunak. Bakteri ini
merupakan flora normal di mulut, kulit dan usus, namun dapat menjadi bakteri patogen oportunistik dan dapat menginfeksi individu
immunocompromised yang dirawat inap dan menderita penyakit yang berat
(Jawetz et al, 2008). Pasien yang membutuhkan alat ventilator, kateter intravena dan pasien dengan pemakaian antibiotik tertentu dalam waktu
yang lama adalah yang paling berisiko (Kramer, Schwebke dan Gunahow, 2006). Klebsiella pneumoniae (K. pneumoniae) terdapat dalam saluran
12
Diperkirakan Klebsiella pneumoniae menjadi penyebab 8% dari semua infeksi bakteri nosokomial di Amerika Serikat dan Eropa dan merupakan
salah satu bakteri patogen menular yang paling penting di rumah sakit. Organisme ini menjadi penyebab 6-17% kasus infeksi saluran kemih, 7-14%
kasus pneumonia, 4-15% kasus septikemia dan 2-4% kasus infeksi luka (Hidron et al., 2008). Tingkat kematian dilaporkan karena infeksi bakteri ini adalah sekitar 24-35%. Angka ini dapat meningkat secara dramatis dalam
kasus-kasus infeksi dengan strain yang resistan terhadap obat dengan tingkat kematian hingga 52-72% (Kang, 2006).
2.2.1 Taksonomi
Menurut buku Bergey's Manual of Systematic Bacteriology 2nd Edition (2005), taksonomi Klebsiella pneumoniae adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Bacteriae
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae Genus : Klebsiella
Gambar 1 Klebsiella pneumoniae (Wulandari, 2013)
2.2.2 Morfologi Koloni dan Sifat Biakan Klebsiella pneumoniae
Bakteri Klebsiella pneumoniae merupakan golongan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, dan memiliki ukuran 0,5-1,5 x
1,2µ. Bakteri ini memiliki kapsul, tetapi tidak membentuk spora. Klebsiella tidak mampu bergerak karena tidak memiliki flagel tetapi
mampu memfermentasikan karbohidrat membentuk asam dan gas.
Spesies Klebsiella menunjukan pertumbuhan mukoid, dan kapsul polisakarida yang besar (Jawetz et al, 2008).
Sifat biakan atau kultur dari Klebsiella pada media Mac Conkey koloni menjadi merah. Pada media padat tumbuh koloni mukoid dalam waktu 24 jam. Bakteri ini mudah dibiakan di media sederhana
14
Gambar 2 Koloni Klebsiella pneumonia (Wulandari, 2013).
2.2.3 Struktur Antigen
Klebsiella memiliki struktur antigen. Anggota dari genus Klebsiella
biasanya mengungkapkan 2 jenis antigen pada permukaan sel mereka,
yaitu:
Antigen O merupakan bagian terluar dinding sel lipopolisakarida
dan terdiri dari unit berulang polisakarida. Beberapa polisakarida spesifik O mengandung gula unik. Antigen O tahan terhadap panas
dan alkohol dan biasanya dideteksi dengan cara aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O adalah IgM.
Antigen K merupakan bagian terluar dari antigen O pada beberapa
bakteri, tetapi tidak pada Enterobacteriaceae. Beberapa antigen K
adalah polisakarida dan yang lainnya protein.
Keragaman struktur antigen ini membentuk dasar untuk klasifikasi dalam berbagai serotipe. Virulensi dari semua serotipe hampir mirip.
Bentuk S : mukoid, virulen, berkapsul, mempunyai Ag spesifik
dalam badan bakteri dan mempunyai tipe Ag spesifik polisakarida yang terdapat pada kapsul
Bentuk R : tidak ganas, tidak berkapsul, mempunyai Ag dalam
badan bakteri
Strain Klebsiella pneumoniae dibagi menjadi 4 tipe: A, B, C dan X dengan menggunakan antiserum pada uji aglutinasi dan uji presipitasi
(Sujudi, 2002).
2.3 Antibiotik
Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan ataumenghambat pertumbuhan
kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja,
2007).
2.3.1 Aktivitas dan spektrum Antibiotik
Aktivitas dan spektrum Antibiotik mempunyai aktivitas spektrum
sempit dan luas. Antibiotik spektrum yang luas aktif terhadap banyak spesies bakteri manakala antibiotik spektrum sempit hanya aktif terhadap satu atau beberapa bakteri. Antibiotik spektrum sempit
seperti penisilin-G, eritromisin dan klindamisin hanya bekerja terhadap bakteri gram positif manakala streptomisin, gentamisin dan
16
Antibiotik spektrum luas seperti sulfonamida, ampisilin dan sefalosporin bekerja terhadap lebih banyak bakteri gram positif
maupun gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007).
2.3.2 Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja antimikroba diklasifikasikan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya, sebagai berikut:
1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri,
termasuk golongan β-laktam misalnya, penisilin, sefalosporin,
dan carbapenem dan bahan lainnya seperti cycloserine,
vankomisin, dan bacitracin.
2. Antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan
kebocoran senyawa intraseluler, termasuk deterjen seperti polimiksin, anti jamur poliena misalnya, nistatin dan amfoterisin
B yang mengikat sterol dinding sel, dan daptomycin lipopeptide. 3. Antibiotik yang mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau
50S untuk menghambat sintesis protein secara reversibel, yang
pada umumnya merupakan bakteriostatik misalnya, kloramfenikol, tetrasiklin,eritromisin, klindamisin,
streptogramin, dan linezolid.
4. Antibiotik berikatan pada subunit ribosom 30S dan mengganggu sintesis protein, yang pada umumnya adalah bakterisida
5. Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti rifamycin misalnya, rifampisin dan rifabutin
yang menghambat enzim RNA polimerase dan kuinolon yang menghambat enzim topoisomerase.
6. Antimetabolit, seperti trimetoprim dan sulfonamid, yang menahan enzim - enzim penting dari metabolisme folat (Goodman dan Gillman, 2007).
2.3.3 Golongan Antibiotik
Ada beberapa golongan – golongan besar antibiotik, yaitu
(Katzung, 2012): 1. Golongan Penisilin
Penisilin diklasifikasikan sebagai obat β-laktam karena cincin
laktam mereka yang unik. Mereka memiliki ciri-ciri kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, efek klinis, dan karakteristik
imunologi yang mirip dengan sefalosporin, monobactam, carbapenem, dan β-laktamase inhibitor, yang juga merupakan senyawa β-laktam.
2. Golongan Sefalosporin dan Sefamisin
Sefalosporin mirip dengan penisilin secara kimiawi, cara kerja,
dan toksisitas. Hanya saja sefalosporin lebih stabil terhadap banyak beta-laktamase bakteri sehingga memiliki spektrum yang lebih lebar. Sefalosporin tidak aktif terhadap bakteri
18
Sefalosporin terbagi dalam beberapa generasi, yaitu:
a. Sefalosporin generasi pertama meliputi cefadroxil,
cephazolin, cephalexin, cephalothin, cephapirine, dan cephadrine. Obat ini sangat aktif terhadap kokus gram
positif, termasuk pneumokokus, streptokokus, dan stafilokokus (Katzung, 2012).
b. Sefalosporin generasi kedua meliputi cefaclor,
cefamandole, cefonicid, cefuroxime, dan cephamycin. Obat ini punya aktifitas yang tinggi terhadap mikroorganisme H.
Influenxa, N. Meningitides dan N. Cattarhallis. Obat ini
juga digunakan secara luas untuk pengobatan infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah (Carol,
2007).
c. Sefalosporin generasi ketiga memiliki rentang paparan gram
negatif lebih luas dan kemampuan beberapa dari agen ini untuk melintasi sawar darah otak. Sefalosporin generasi ketiga dapat dihidrolisasi oleh β-laktamase kromosomal
yang diproduksi oleh enterobacter. Karena agen ini memproduksi cephalosporinase yang dikode secara
kromosomal, sehingga secara konstitusif menunjukkan resistensi terhadap sefalosporin generasi ketiga (Jawetz et al, 2008).
ketiga dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh β-laktamase. Antibiotika tersebut dapat berguna untuk mengatasi infeksi
kuman yang resisten terhadap generasi ketiga. 3. Golongan Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan inhibitor yang poten terhadap sintesis protein mikroba. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan memiliki spektrum luas dan aktif terhadap masing – masing
bakteri gram positif dan negatif baik yang aerob maupun anaerob (Katzung, 2012)
4. Golongan Tetrasiklin
Golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama untuk mengobati infeksi dari M.pneumonia, klamidia, riketsia, dan
beberapa infeksi dari spirokaeta. Tetrasiklin juga digunakan untuk mengobati ulkus peptikum yang disebabkan oleh H.pylori.
Tetrasiklin menembus plasenta dan juga diekskresi melalui ASI dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang dan gigi pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium. Tetrasiklin
diekskresi melalui urin dan cairan empedu. 5. Golongan Makrolida
Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spektrum antikuman, sehingga merupakan alternatif untuk
20
golongan ini adalah eritromisin. Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif .
6. Golongan Aminoglikosida
Yang termasuk golongan aminoglikosida, antara lain:
streptomisin, neomisin, kanamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin, dan lain – lain. Golongan aminoglikosida pada umumnya digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri
gram negatif enterik, terutama pada bakteremia dan sepsis, dalam kombinasi dengan vankomisin atau penisilin untuk
mengobati endokarditis, dan pengobatan tuberkulosis (Katzung, 2012).
7. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim
Sulfonamida menghambat bakteri gram positif dan gram negatif. Trimetropim menghambat asam dihidrofolik reduktase bakteri.
Kombinasi sulfamektoksazol dan trimetoprim untuk infeksi saluran kencing, salmonelosis dan prostatitis.
8. Golongan Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidixat, siprofloxasin, norfloxasin, ofloxasin, levofloxasin, dan lain–
lain. Golongan fluorokuinolon aktif terhadap bakteri gram negatif. Golongan fluorokuinolon efektif mengobati infeksi
2.3.4 Cefotaxim, Ceftazidim dan Asam Klavulanat.
Cefotaxim merupakan sefalosporin generasi ketiga berspektrum
luas. Cara kerjanya adalah dengan menghambat sintesa dinding sel mikroba pada proses transpeptidase tahap keetiga dalam reaksi
pembentukan dinding sel. Obat ini sangatefektif terhadap bakteri gram negatif dan kurang untuk bakteri gram positif. Obat ini dapat melintasi daerah sawar darah otak. Obat ini dapat dihidrolisa oleh
enzimβ-laktamase yang diproduksi oleh enterobakter sehingga obat
ini tidak efektif tehadap infeksi yang disebabkan oleh enterobakter
(Tarigan, 2008).
Ceftazidim merupakan golongan sefalosforin yang bersifat bakteriasidal. Ceftazidim dapat bekerja langsung pada sel bakteri
dan sangat stabil terhadap sebagian besar betalactam plasmid dan kromosoma yang secara klinis dihasilkan oleh Bakteri Gram
negatif dan aktif terhadap beberapa stain resisten terhadap ampisilin dan sefalosporin. Waktu paruhnya di plasma adalah 1.5 jam. Obat ini tidak dimetabolisme di dalam tubuh dan terutama
diekskresi melalui saluran kemih. Dosis bagi orang dewasa adalah 1-2 gram sehari IM atau IV setiap 8-12 jam. Dosis obat perlu
disesuaikan dengan kondisi gagal ginjal (Katzung, 2012).
Cefotaxim dan ceftazidim merupakan antibiotik golongan
22
diisolasi pada tahun 1948 oleh Brotzu. Fungus ini menghasilkan tiga macam antibiotik, yaitu sefalosporin P, N, dan C (Jawetz et al,
2008).
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen merupakan permasalahan kesehatan yang pernah dihadapi oleh hampir setiap
orang. Hingga saat ini, cara yang dilakukan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit infeksi adalah dengan pemberian antibiotik.
Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah betalaktam. Antibiotik ini dipilih karena tingkat selektivitasnya tinggi, mudah diperoleh, dan analog sintetiknya tersedia dalam jumlah banyak.
Meningkatnya penggunaan antibiotik betalaktam, memacu meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut
(Kusuma, 2010).
Mekanisme utama resistensi bakteri Gram-positif dan Gram-negatif terhadap antibiotik betalaktam yakni dengan menghasilkan enzim
betalaktamase, yang berperan memotong cincin betalaktam, sehingga aktivitas antibakterinya hilang. Enzim betalaktamase
merupakan enzim perusak penisilin yang dihasilkan oleh sejumlah bakteri gram negatif. Enzim ini membuka cincin betalaktam dari pensilin dan sefalosporin serta menghilangkan daya
antimikrobanya. Klasifikasi betalaktamase sangat kompleks, didasarkan atas sifat genetik, sifat-sifat biokimia, dan substrat yang
Inhibitor betalaktamase adalah suatu zat yang dapat menghambat
kerja enzim betalaktamase. Inhibitor betalaktamase dalam keadaan
tunggal tidak memberikan aktivitas antibakteri sehingga perlu adanya kombinasi dengan antibiotik betalaktam. Inhibitor
betalaktamase yang telah digunakan dalam pengobatan adalah asam klavulanat, tazobaktam dan sulbaktam. Inhibitor tersebut tidak memperlihatkan aktivitas antibakteri, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai obat tunggal untuk menanggulangi penyakit infeksi (Kusuma, 2010).
Bila dikombinasi dengan antibiotik betalaktam, inhibitor ini akan mengikat enzim betalaktamase, sehingga antibiotika pasangannya bebas dari pengrusakan oleh enzim betalaktamase dan dapat
menghambat sintesis dinding sel bakteri yang dituju. Sifat ikatan betalaktamase dengan penghambatnya umumnya menetap,
penghambatnya seringkali bekerja sebagai suicide inhibitor, karena ikut hancur di dalam betalaktamase yang diikatnya (Kusuma, 2010).
2.3.5 Mekanisme Resistensi Antibiotik
Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat bersifat
intrinsik atau didapat. Resistensi intrinsik disebabkan bakteri tidak memiliki atau dapat juga mengubah struktur yang menjadi sasaran
24
bersifat dapatan terjadi akibat perubahan genetis kuman (Chambers, 2006 ; Jawetz et al, 2008).
Ada beberapa mekanisme resistensi bakteri terhadap antiobiotik, antara lain :
1. Mengurangi Permeabilitas, yaitu dengan mencegah antiobiotik
masuk ke dalam sel. Dapat dilakukan dengan mengubah struktur membran. Contohnya adalah resistensi Pseudomonas aeruginosa terhadap penicillin
2. Inaktivasi antibiotik, yaitu dengan memiliki enzim khusus yang akan memodifikasi antibiotik, sehingga antibiotik tidak berbahaya
lagi bagi si bakteri. Contohnya adalah resistensi Staphylococcus aureus terhadap kloramfenikol.
3. Mengubah tempat antibiotik menempel (berikatan), yaitu dengan mengubah tempat dimana biasanya antibiotik akan membentuk ikatan kimia lalu merusak bakteri. Dengan mengubah binding
site ini, antibiotik tidak bisa menempel, dan tidak memiliki efek
pada bakteri. Contohnya adalah Staphylococcus aureus
mengubah PBP (penicillin binding protein).
4. Mengubah jalur metabolisme, yaitu dengan mengganti atau tidak memakai lagi suatu bahan intermediate dalam reaksi metabolisme
yang diganggu oleh antibiotik. Contohnya beberapa bakteri sulfoamida-resisten tidak memakai lagi PABA (Para amino
dapat dihambat oleh antibiotik. Bakteri ini menggunakan preformed-folic-acid sebagai gantinya.
5. Memompa (efflux), yaitu dengan mengembangkan protein pump khusus pada membrannya untuk memompa antibiotik keluar sel.
Contohnya resistensi Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus terhadap tetrasiklin (Kasper et al, 2005 ; Billater, 2006).
2.4 Uji Sensitivitas Antibiotik
Uji sensitivitas antibiotik merupakan tes yang digunakan untuk menguji kepekaan suatu bakteri terhadap antibiotik. Uji kepekaan/sensitivitas
bertujuan untuk mengetahui daya kerja/efektifitas dari suatu antibiotik. dalam membunuh bakteri. Metode Kirby Bauer adalah uji sensitivitas dengan metode difusi agar menggunakan teknik disc diffusion, dalam uji
sensitivitas metode Kirby Bauer menggunakan media selektif, yaitu media Muller Hinton Agar (Kuncoro, 2010).
Mekanisme kerja metode Kirby Bauer cukup sederhana, pertama transfer koloni bakteri uji pada media BHI cair, inkubasi 370C selama 18 jam. Pada
umur 18 jam bakteri uji mengalami fase eksponensial atau logaritma (dimana bakteri dalam fase aktif, metabolisme dan enzim yang terbentuk maksimal serta berada pada fase patogenitas). Pisahkan beberapa tetes
suspensi ke dalam tabung reaksi yang berbeda, tambahkan NaCl Fisiologis. Masukkan lidi kapas steril ke dalam suspensi tersebut dan tekan lidi kapas
26
menit. Tempatkan disc antibiotik, inkubasi 370C selama 18 jam, amati zona pertumbuhan bakteri di sekitar disc dan ukur diameter zona hambatannya,
tentukan bakteri uji sensitive atau resisten terhadap antibiotik dengan menggunakan tabel interpretative standar. (Kuncoro, 2010).
Bakteri uji resisten apabila pada zona hambatan yang terbentuk < tabel interpretative standar (bakteri uji tahan terhadap daya kerja antibiotik), Bakteri uji sensitive apabila pada zona hambatan yang terbentuk > tabel
interpretative standar (bakteri uji peka terhadap daya kerja antibiotik). (Kuncoro, 2010).
2.5 Enzim β-Lactamase dan Extended Spectrum β-Lactamase (ESBL) 2.5.1 Definisi
β-lactamase merupakan enzim yang dihasilkan oleh beberapa bakteri
yang berfungsi untuk melawan / mempertahankan diri terhadap serangan antibiotik β-lactam seperti penicillin, sefamisin dan karbapenem (entapenem), dan sefalosporin. Antibiotik golongan ini
memiliki unsur yang sama dalam struktur molekul mereka yaitu 4 cincin atom dan disebut sebagai β-laktam. Enzim β -Laktamase
bekerja merusak cincin ini dan nonaktifkan molekul ini (Paterson, David dan Bonomo 2010).
ESBL merupakan β-laktamase yang mampu menyebabkan resistensi
dengan cara hidrolisis dari antibiotika-antibiotika tersebut, dimana
aktivitas enzim dapat dihambat oleh inhibitor β-laktamase seperti
asam klavulanat. Gen pengkode ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke kuman lain sehingga terjadi penyebaran resistensi
(Paterson, David dan Bonomo 2010).
Kuman yang paling banyak memproduksi ESBL adalah kuman famili Enterobacteriaceae, terutama Klebsiella pneumonia dan Escherichia
coli. Sefalosporin generasi ketiga yang dipasarkan tahun 1980-an
semula ditujukan untuk mengatasi kuman resisten penghasil β
-laktamase, mempunyai efek nefrotoksik yang lebih kecil dibandingkan dengan aminoglikosida dan polimiksin sehingga lebih disenangi dan banyak digunakan. Penggunaan sefalosporin generasi ketiga dan
aztreonam secara luas diduga menjadi penyebab utama terjadinya mutasi sehingga muncul kuman ESBL. Dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa kuman ESBL menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kuman non-ESBL (Blomberg , 2005; Nathisuwan, Burgerss dan Lewis, 2005; Paterson,
David dan Bonomo 2010).
2.5.2 Klasifikasi Enzim β-Lactamase
28
akhir – akhir ini sudah banyak ditemukan bakteri penghasil β– lactamase yang resisten terhadap golongan antibiotik sefalosporin.
Jenis ESBL yang sering ditemukan adalah sebagai berikut :
1. TEM-β Lactamase
Klasifikasi TEM berdasarkan perbedaan perubahan kombinasi
asam amino. TEM-1 dihasilkan oleh bakteri gram negatif dan umumnya resisten terhadap ampicillin serta memiliki daya hidrolisis yang sangat kuat terhadap ampicillin, namun lemah
terhadap carbenicillin, oxacilin, cephalotin atau cephalosporin. Kemampuan hidrolisis enzim ini dihambat oleh asam klavulanat.
Tem-2 memiliki profil hidrolitik yang sama dengan TEM-1 (Paterson, David dan Bonomo 2010).
2. SHV β-lactamases
ESBL SHV adalah tipe yang sering ditemukan di isolat klinis dibanding jenis lainnya. SHV-1 dan TEM-1 memiliki struktur yang
mirip dan sering ditemukan pada k. pneumoniae yang merupakan chromosomally encoded-enzyme yang menimbulkan resistensi pada
penisilin dan generasi pertama sefalosporin (Livermore, 2005). 3. OXA β Lactamase
Diberi nama OXA β-Lactamases karena golongan ini mampu
menghidrolisis antibiotik golongan oxacillin. OXA sering ditemukan pada pseudomonas aeruginosa, namun telah dilaporkan
lainnya. Saat ini telah dilaporkan bahwa sekitar 10% dari E. Coli dapat menghasilkan ESBL golongan ini.
4. CTX-M β Lactamase
Pada awalnya ESBL merupakan enzim β- laktamase golongan
TEM, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan timbul tipe baru yaitu tipe CTX-M yang frekuensinya makin meningkat. Bakteri yang memproduksi ESBL perlu diwaspadai karena ESBL diproduksi
oleh gen yang berlokasi pada plasmid, yang dengan mudahnya dapat berpindah ke bakteri lain, dan sering kali juga membawa gen
resisten terhadap antibiotika lain termasuk aminoglikosida, kuinolon dan co-trimoxazole, sehingga sulit mencari alternatif terapi (Jensen et al, 2006; Wahyono, 2007). Enzim ini diberi nama
karena mampu menghidrolisis cefotaxime dibandingkan terhadap substrat oxyimino β- lactam lainnya seperti ceftazidime,
ceftriazone atau cefepime. Organisme penghasil CTX-M tipe β -lactamase memiliki MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
cefotaxime dalam rentang resisten > 64 μg/ml, sedangkan MIC
ceftazidime dalam rentang sensitif 2-8 μg/ml, namun CTX-M yang membentuk ESBL dapat menghidrolisis ceftazidime dan resisten
terhadap sefalosporin (MIC ≥ 256 μg/ml). Enzim ini banyak ditemukan di Salmonella enterica serovar typhimurium dan E. coli, juga dapat ditemukan di spesies lain golongan enterobacteriaceae.
30
ditemukan di Salmonella enterica serovar typhimurium dan E. coli, K. pneumoniae juga dapat ditemukan di spesies lain golongan
enterobacteriaceae. CTX-M tipe β- lactamase memiliki kesamaan dengan ESBL TEM dan SHV, namun kesamaan ini biasanya <
40%. Enzim ini terdiri dari 1, 2 sampai
CTX-M-10
(
Paterson, David dan Bonomo 2010).2.5.3 Identifikasi ESBL
Metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kuman
penghasil enzim Extended-Spectrum Beta-Lactamases menurut Clinical Laboratory Standard Institute ialah Double Disk Synergy
Test (DDST). Uji double disk synergy dilakukan dengan menggunakan cakram augmentin (20 µg) amoxicillin dan 10 µg asam klavulanat) dan cakram cefotaxim (30 µg), ceftazidime (30 µg) serta
cefpodoxime (30 µg) yang diletakkan di sekitar cakram augmentin sekitar 16-20 mm. Seperti yang diketahui, ESBL adalah enzim yang
mampu menghidrolisis antibiotik golongan pencillin, cephalosporin golongan I,II,III serta aztreonam. Dengan pemberian asam klavulanat sebagai inhibitor beta laktamase maka enzim beta laktamase dapat
dihambat. Oleh karena itu, interpretasi hasil yang positif ESBL dari metode uji Double Disk Synergy adalah dengan adanya peningkatan
negatif, tingkat subjektivitas dalam menginterpretasikan hasil merupakan kelemahan dalam metode ini (Rupp dan Fey, 2003).
Gambar 3 Peningkatan zona hambat ke arah amoksiklav Keterangan : a) disk antibiotik, b) diameter zona hambat,
c) peningkatan zona hambat akibat sinergi antibiotik d) Klebsiella pneumonia (Saragih, 2012).
Metode lain untuk mengidentifikasi kuman penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase ialah dengan menggunakan metode Disc
Diffusion Test (DDT). Metode ini menggunakan cefotaxim (30 μg)
serta ceftazidim (30 μg) dengan atau tanpa klavulanat (30 μg)
diletakkan ditengah dan ceftazidim dan cefotaxim dikiri kanan dengan berjarak 15/20 mm dari disk amoksicillin-clavulanat 20/10 μg.. Dengan menggunakan media Mueller-Hinton agar apabila terjadi
perbedaan sebesar ≥ 5 mm antara diameter disk cephalosporin dan
disk kombinasi sefalosporin-klavulanat menyatakan kuman tersebut
32
Gambar 4 Prosedur Uji Double Diffusion Test (DDT) (D’Azevedo et al, 2004)
2.6 Tenaga Medis dan Paramedis
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik yang dimaksud dengan tenaga medis adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis,
sedangkan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Permenkes No.262/1979 yang dimaksud dengan tenaga medis
adalah lulusan Fakultas Kedokteran atau Kedokteran Gigi dan Pascasarjana yang memberikan pelayanan medik dan penunjang medik. Sedangkan
Ceftazidime 30µg, cefotaxime 30µg
Amoksisilin klavulanat 20/10µg
menurut PP No.32 Tahun 1996 Tenaga Medis termasuk tenaga kesehatan. Berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan tersebut, yang dimaksud dengan tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga medis adalah mereka yang
profesinya dalam bidang medis yaitu dokter maupun dokter gigi.
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No.262/Menkes/Per/III/1979 tentang ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah, paramedis perawatan adalah
pinata rawat, perawat kesehatan, bidan, perawat khusus, dan lain-lain. Tenaga paramedis non perawatan yaitu asisten apoteker, fisioterapi, penata
rontgen dan lain-lain (Mahmudah,2013).
2.6.1 Personal Hygiene Pada Perawat
Personal Hygiene adalah kebersihan Perorangan. Yang dimaksud
adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Personal Hygiene
merupakan tindakan keperawatan diri yang biasanya rutin dilakukan Petugas Kesehatan dirumah sakit (Tarwoto dan
Martonah 2006).
Petugas medis dan paramedis di rumah sakit merupakan objek yang memiliki faktor resiko tinggi terkontaminasi bakteri. Perawat
merupakan salah satu Tenaga Paramedis yang sering bersinggungan langsung dengan pasien dirumah sakit, sehingga
34
Nosokomial (Noer, 2012). Tangan merupakan bagian tubuh yang paling sering kontak dengan dunia luar dan digunakan sehari-hari
untuk melakukan aktivitas. Hal ini sangat memudahkan terjadinya kontak dengan mikroorganisme dan mentransfernya ke objek lain.
Berbagai prosedur penangan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari pasien.
Penularan melalui tangan perawat dapat secara langsung melalui
peralatan yang invasif. Salah satu pencegahan tranmisi penyakit melalui tangan yaitu dengan menjaga higenitas dari tangan
perawat itu sendiri. Salah satunya ialah dengan pemakaiaan sarung tangan ketika menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine. Darah, cairan tubuh, feses maupun urine merupakan faktor yang
mempengaruhi transmisi penyakit (Hidayat, 2006).
2.7 Kerangka Teori
Infeksi nosokomial adalah infeksi pada pasien yang sedang dalam proses perawatan di rumah sakit dan didapatkan setelah 72 jam sejak mulai
perawatan. Penularan infeksi nosokomial dapat melalui kontak, baik secara langsung maupun tak langsung. Contohnya seperti seperti udara, air, lantai, makanan, serta benda-benda medis maupun non medis. Infeksi juga dapat
melalui tangan petugas kesehatan atau peralatan yang digunakan pada pasien. Perawat merupakan salah satu tenaga medis yang paling sering
sampel feses pada perawat untuk mengidentifikasi bakteri apasaja yang terdapat pada perawat.
Pada penelitian ini, difokuskan pada bakteri Klebsiella pneumoniae. Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu anggota famili
Enterobacteriaceae dan merupakan salah satu bakteri patogen penting dalam infeksi nosokomial. Bakteri ini ada di saluran pencernaan sekitar 5% pada individu normal. Antibiotik yang paling sering digunakan dalam
penanganan infeksi Klebsiella pneumonia adalah Antibiotik Golongan Betalaktam. Namun, belakangan ini bakteri tersebut mengalami resistensi
akibat dihasilkannya enzim betalaktamase oleh bakteri itu sendiri.
Akibat penggunaan antibiotik yang kuang tepat, akhirnya muncul bakteri resisten yang telah bermutasi menghasilkan enzim Extended Spectrum Beta
Lactamase (ESBL). Gen pengkode enzim ESBL berada di plasmid yang
mudah dipindahkan ke bakteri lain sehingga terjadi penyebaran resistensi.
Bakteri lain yang telah mendapatkan gen resisten tersebut dapat menginfeksi pasien melalui feses yang dapat menyebar akibat higenitas perawat yang
36 Yang dipengaruhi faktor faktor Yang mempengaruhi
gen resisten dibawa plasmid ke Bakteri lain
Gambar 5 Kerangka Teori (Hapsari dan kurniawan, 2013; Hidayat, 2006; winarto 2009) dengan modifikasi
2.8 Kerangka konsep
Variabel Independen Variabel dependen
Gambar 6 Kerangka Konsep
Klebsiella pneumoniae
2.9 Hipotesis
Tidak terdapat perbandingan keberadaan Extended spectrum β-lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae sampel feses tenaga
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif dan dengan pendekatan cross sectional. Dengan melakukan analisis keberadaan ESBL terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae yang diambil dari feses
tenaga medis lalu dibandingkan dengan keberadaan ESBL pada Klebsiella pneumoniae yang terdapat di dalam feses perawat di ruang
rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Abdul Moelek, di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan di Laboratorium Kesehatan Daerah Lampung. Selama 3 bulan,
yaitu terhitung dari bulan September hingga November 2015.
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
3.3.2 Kriteria Inklusi
Adapun Kriteria Inklusi sebagai berikut :
1. Perawat yang bekerja diruang rawat inap anak dan
dewasa di RSUD Abdul Moeloek.
2. Responden Bersedia Untuk Mengikuti penelitian dan menandatangani Inform consent.
3.3.3 Kriteria Ekslusi
Adapun Kriteria Inklusi sebagai berikut : 1. Perawat yang sedang sakit
2. Responden mengkonsumsi antibiotik dan imunosupresan 3. Responden tidak hadir saat pengambilan sampel atau
pengumpulan sampel.
3.3.4 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih secara tertentu dan dianggap mewakili populasinya. Pada uji ini
rancangan acak lengkap, besar sampel penelitian yang digunakan ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin :
Keterangan :
n : Jumlah Sampel N : Jumlah Populasi
d : Tingkat Kepercayaan/Ketepatan (0,05)
40
Teknik pengambilan sampling yaitu Stratified disproportionate sampling, masing-masing diambil 32
sampel dari ruang rawat inap dewasa dan ruang rawat inap anak.
3.4 Alat dan Bahan Penelitian 3.4.1 Alat Penelitian
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah tabung
reaksi, jarum Ose, cawan petri, l-glass, bekaer glass, jangka sorong, bunsen, pinset steril, kapas lidi steril, handscoon, masker, rak tabung
reaksi, gelas ukur (PyrexR), labu erlenmeyer (PyrexR), batang pengaduk (PyrexR), pipet mikro (TranferpetteR), kertas perkamen, timbangan analitik, spatel, mikroskop, penggaris, inkubator
(GallenkampR), autoklaf (All AmericanR), lemari aseptis, laminar air flow (EscoR), lemari pendingin, hot plate (IECR), penggaris, vortex.
3.4.2 Bahan Penelitian
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah isolat bakteri dari feses perawat diruang rawat inap dewasa dan anak
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung, biakan bakteri, antibiotik (amoksisilin klavulanat, cefotaxim, ceftazidim,
cefuraxime, sulfametoxazol, ciprofloxacin, dan norfloxacin), NaCl
fisiologis, aquades steril, Paper disk/cakram antibiotik, spiritus, media agar Muller Hinton, untuk menguji pola resistensi antibiotik
pada isolat bakteri, larutan standar Mc Farland, nutrient Broth.
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel Penelitian
Variabel independen dari penelitian ini yaitu, Klebsiella pneumonia yang berasal dari ruang rawat inap anak dan dewasa
di RSUD Abdul Moeloek.
Variabel dependen dari penelitian ini yaitu, ESBL (+)
3.5.2 Definisi Operasional
42
Tabel 1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil Skala Variabel
Independen:
Klebsiella pneumoniae
Makhluk hidup yang merupakan flora normal usus, yang biasanya
Alat-alat yang akan dipakai disterilkan terlebih dahulu dengan cara dicuci bersih dan dikeringkan, cawan petri dibungkus dengan
kertas perkamen. Alat-alat gelas seperti tabung reaksi, gelas ukur dan labu Erlenmeyer yang ditutup mulutnya dengan kapas steril
perkamen, kemudian disterilkan semuanya dalam autoklaf pada
suhu 1210 C, tekanan 15 lbs selama 15 menit. Pinset, jarum ose, dan kaca objek disterilkan dengan cara flambir. Laminar air flow
disterilkan dengan menyalakan lampu UV selama 5 menit. Lemari aseptis dibersihkan dari debu lalu disemprot dengan alkohol 70%, dibiarkan selama 15 menit (Bonang, Gerard dan Koeswardono,
2002).
3.6.2 Penyiapan dan Pembuatan Media
1. Media Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
65 g serbuk media Triple Sugar Iron Agar dilarutkan dalam 1 L aquadest, lalu dipanaskan hingga mendidih, setelah itu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mL, kemudian
disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada 121⁰ C tekanan 15 lbs, dibiarkan membeku pada posisi miring.
2. Media Sulfite Indol Motility (SIM)
30 g serbuk media SIM dilarutkan dalam 1 L aquadest, lalu dipanaskan hingga melarut, setelah itu dimasukkan ke dalam
tabung reaksi sebanyak 10 mL, kemudian disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121oC tekanan 15 lbs.
3. Media Urea Agar (UA)
24,02 g serbuk media Urea Christensen Agar dilarutkan dalam 1 L aquadest, lalu dipanaskan hingga mendidih, setelah itu
44
disterilkan dengan penyaringan, setelah itu secara aseptik
dicampurkan 50 mL larutan urea ke dalam 95 mL larutan urea agar, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10
mL dan dibiarkan membeku dalam posisi miring. 4. Media Simmons Citrate Agar (SC)
24,2 g serbuk Simmons Citrate dilarutkan dalam 1 L aquadest,
lalu dipanaskan hingga mendidih, setelah itu dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 mL, kemudian disterilkan
dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210 C tekanan 15 lbs.
5. Mueller Hinton Agar (MHA)
38 g serbuk Mueller Hinton Agar dilarutkan dalam 1 L aquadest, dipanaskan sampai homogen, kemudian disterilkan dengan
autoklaf pada suhu 121oC tekanan 15 lbs selama 15 menit, setelah steril dituang ke dalam cawan petri sebanyak 15 mL (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002).
3.6.3 Pengambilan dan transpor sampel tinja
1. Sampel diambil dari perawat RSUD Abdul Moeloek sebaiknya diambil pagi hari supaya tiba di laboratorium sebelum tengah hari, sehingga dapat diperiksa pada hari itu juga.
2. Spesimen tinja yang segar lebih baik dibandingkan apusan rektum, tetapi apusan rektum dapat diterima jika pengambilan
3.6.4 Prosedur untuk mengumpulkan bahan tinja
1. Berikan kepada perawat Pot penampung Feses yang telah disediakan.
2. Cara pengambilan sampel (feses) dijelaskan oleh peneliti kepada responden (perawat).
3. Spesimen harus mengandung sedikitnya 5 g tinja dan jika ada
bagian yang mengandung darah, lendir, pus. Hindari tinja tercemar urine. Begitu spesimen telah ditempatkan pada
penampung tutupnya harus segera disegel.
4. Jika spesimen tidak memungkinkan untuk dikirim ke laboratorium dalam waktu 2 jam setelah pengumpulan, sejumlah
kecil spesimen harus diambil dengan dua atau tiga lidi kapas dan dimasukkan kedalam penampung dengan media transpor (
Cary-Blair, Stuart, atau Amies) atau 33mmol/l buffer gliserol fosfat. (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002)..
3.6.5 Pemeriksaan visual spesimen tinja
1. Periksalah sampel tinja secara visual dan catat yang berikut ini : a. Konsistensinya (berbentuk, tidak berbentuk (lembek), atau
cair).
b. Warnanya ( putih, kuning, coklat, hitam).
46
2. Tempatkan sedikit spesimen tinja atau apusan rektum dalam
setetes larutan metilen biru 0,05% pada kaca objek bersih dan campur secara merata.
3. Letakkan kaca penutup pada suspensi yang telah diwarnai, jangan sampai terbentuk gelembung udara. Tunggu 2-3 menit. Periksalah sediaan dibawah mikroskop menggunakan lensa
objektif pembesaran 100 x. (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002).
3.6.6 Isolasi Bakteri dari Sampel Feses
Sampel feses yang berasal dari perawat sebanyak ±1 gram feses, kemudian dilarutkan ke dalam 10 ml larutan penyubur BHI
inkubasi 37ºC selama 6 jam. Feses yang telah disuburkan dengan media BHI diinokulasikan pada Mac Conkey diinkubasi pada suhu 37°C slama 24 jam di dalam inkubator, hari berikutnya diamati
koloni yang tumbuh. (Sulfur Indole Motility) (Steven et al, 2004)
3.6.7 Identifikasi bakteri/Uji biokimia 1. Identifikasi Bakteri
Pembiakan bakteri Gram positif menggunakan media selektif lempeng agar darah dan Gram negatif menggunakan lempeng
menanamnya pada TSIA (Triple Sugar Iron Agar), Simmon’s
citrate Agar, dan Media SIM.
2. Uji Katalase
Uji katalase berguna dalam mengidentifikasi kelompok bakteri yang dapat menghasilkan enzim katalase sehingga dapat dibedakan antara bakteri aerob dan anaerob. Uji katalase
dilakukan dengan cara, di atas kaca objek ditetesi satu tetes H2O2 3%, kemudian ditambahkan koloni bakteri dan langsung
diamati terjadinya penguraian hidrogen peroksida. Hasil dinyatakan positif apabila menghasilkan enzim katalase yang
ditandai dengan terbentuknya gelembung udara. Hasil dinyatakan negatif apabila tidak ada gelembung udara.
3. Uji Fermentasi Glukosa pada medium TSIA
Uji fermentasi glukosa pada medium TSIA digunakan untuk membedakan organisme enterik berdasarkan kemampuannya memfermentasi glukosa, sukrosa dan laktosa pada medium. Uji
reaksi TSI Agar dilakukan dengan cara, koloni yang diuji dipindahkan ke agar miring TSIA dengan cara menggores
bagian miringnya dan menusuk bagian tegaknya. Diinkubasi
pada suhu 37⁰C selama 24-48 jam. Diamati perubahanperubahan sebagai berikut: Pada bagian tegak, jika
bakteri dapat memfermentasi glukosa, warna media berubah dari ungu menjadi kuning. Tidak memfermentasi sukrosa, media
48
dari ungu menjadi hitam, karena bakteri mampu mendesulfurasi
asam amino dan metion yang akan menghasilkan H2S, dan H2S akan bereaksi dengan Fe2+ yang terdapat pada media yang
menghasilkan endapan hitam. Pada bagian miring, jika bakteri dapat memfermentasi laktosa dan sukrosa, warna media berubah jadi kuning, tidak dapat memfermentasi laktosa atau sukrosa,
warna media tetap merah atau tidak berubah.
4. Hidrolisis Tryptophan dan Motilitas Bakteri pada Medium SIM
Uji hidrolisis tryptophan digunakan untuk melihat kemampuan
bakteri dalam menghidrolisis tryptophan menjadi indol. Uji ini dilakukan dengan cara, diino-kulasikan 1 ose bakteri pada
medium SIM kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah itu diteteskan reagen Ko-vacks (terdiri dari dimetil amino benzaldehid, namyl alkohol & HClp), jika terbentuk
cincin merah berarti indol positif dan jika terbentuk cincin kuning berarti indol negatif. Terbentuknya cincin merah menandakan positif karena bakteri mem-bentuk indol dari
tryptopan sebagai sumber karbon. Uji motilitas digunakan untuk melihat pergerakan dari bakteri. Uji motilitas dilakukan dengan
cara, satu ose bakteri ditanam secara tegak lurus di tengah-tengah Medium SIM dengan cara ditusukkan, diinkubasi pada
5. Uji Penggunaan Sitrat pada Medium SC
Uji ini digunakan untuk melihat kemampuan bakteri menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Uji
sitrat dilakukan dengan cara, diambil 1 ose bakteri dan diinokulasikan ke dalam medium Simmon Citrate Agar,
diinkubasi pada suhu 35⁰C selama 48-96 jam, warna biru
me-nunjukkan reaksi positif, warna hijau meme-nunjukkan reaksi negatif.
6. Uji Hidrolisis Urea
Uji hidrolisis urea dilakukan untuk melihat bakteri yang mampu menghasilkan enzim urease. Uji hidrolisis urea dilakukan
dengan cara, digoreskan 1 ose biakan pada permukaan Urea Agar miring, setelah itu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Timbulnya warna merah muda berarti reaksi positif dan
negatif warna tidak berubah (Bonang, Gerard dan Koeswardono, 2002).
3.6.8 Uji Resistensi
Media difusi menggunakan kertas disk yang berisi antibiotik dan telah diketahui konsentrasinya. Pada metode difusi, media yang
dipakai adalah agar Mueller Hinton. Cara Kirby-Bauer merupakan suatu metode uji sensitivitas bakteri yang dilakukan dengan membuat suspensi bakteri pada media Brain Heart Infusion (BHI)