• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akurasi Duke Model Score Sebagai Prediktor Infeksi Extended-Spectrum Beta Lactamase (ESBL) Pada Pasien Rawat Inap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akurasi Duke Model Score Sebagai Prediktor Infeksi Extended-Spectrum Beta Lactamase (ESBL) Pada Pasien Rawat Inap"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

AKURASI

DUKE MODEL SCORE

SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI

EXTENDED-SPECTRUM BETA LACTAMASE

(ESBL) PADA PASIEN

RAWAT INAP

TESIS

Oleh

JHON EFFRAIM GINTING

097101019

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

AKURASI

DUKE MODEL SCORE

SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI

EXTENDED-SPECTRUM BETA LACTAMASE

(ESBL) PADA PASIEN

RAWAT INAP

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis

Ilmu Penyakit Dalam

pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JHON EFFRAIM GINTING

097101022

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : AKURASI DUKE MODEL SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED-SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) PADA PASIEN RAWAT INAP

Nama Mahasiswa : Jhon Effraim Ginting Nomor Induk Mahasiswa : 097101019

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI

Ketua Anggota

dr. Fransciscus Ginting, SpPD

Ketua Program Studi Ketua Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam

dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Jhon Effraim Ginting

NIM : 097101019

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Jhon Effraim ginting

NIM : 097101019

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis

Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam

Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas

Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right ) atas

tesis saya yang berjudul:

AKURASI DUKE MODEL SCORE SEBAGAI PREDIKTOR INFEKSI EXTENDED-SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) PADA PASIEN RAWAT INAP

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini,

Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam

bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama

tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : 18 Januari 2015

Yang menyatakan

(6)

Telah diuji Pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : DR.Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD

Anggota : Dr. Dairion Gatot, SpPD-KHOM

Dr. E.N Keliat, SpPD-KP

(7)

ABSTRAK

Penggunaan antibiotik spektrum luas yang intensif dalam dua dekade terakhir mengakibatkan munculnya strain bakteri Enterobacteriaceae yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim-enzim Extended

Spectrum β Lactamase (ESBL). Angka kematian akibat infeksi bakteri ESBL, apabila tidak diobati dengan antibiotik yang tidak tepat, berkisar antara 42%-100%. Untuk memulai terapi dengan cepat, diperlukan suatu prediktor adanya infeksi. Suatu prediktor dengan sistem scoring paling mutakhir adalah Duke Model Score.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi Duke Model Score sebagai prediktor infeksi ESBL.

Penelitian cross sectional dilakukan mulai Januari 2014 - Agustus 2014 di RSUP H Adam Malik Medan pada pasien infeksi. Dihitung Duke Model Score dan dilakukan kultur bakteri dari sumber infeksinya.

Dengan menggunakan cut off skor 8 didapatkan sensitivitas Duke Model Score 91,3%, spesifisitas 82,6%, nilai prediksi positif 84% dan nilai prediksi negatif 90,5%. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh akurasi Duke Model Score adalah 93,1% (95%CI : 88,1% - 98,1%; p=0,0001). Antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL hanyalah amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigecicline.

Kesimpulan: Duke Model Score dapat digunakan sebagai prediktor adanya infeksi ESBL.

(8)

ABSTRACT

In the last two decades, intensive use of broad spectrum antibiotics has led to the emerge of antibiotics-resistant strains of Enterobacteriaceae that produce Extended-Spectrum β-Lactamases (ESBLs). The mortality rate in ‘susceptibility/treatment mismatched patients’ has ranged from 42-100%. To begin initial appropriate antibiotic therapy in a timely manner, a predictor will be needed. One of the latest scoring system to predict ESBL infection is Duke Model Score.

This study aims to assess the accuracy of the Duke Model Score as a predictor of ESBL infection.

Cross-sectional study was conducted from January - August 2014 in RSUP H Adam Malik Medan, in patients with infections. Italian Score was calculated and bacterial cultures were taken from the source of infection.

By using a cut off point of ≥8, Duke Model Score sensitivity of 91.3% was obtained, specificity was 82.6%, positive predictive value was 84% and negative predictive value was 90.5%. From the analysis using ROC curves, the Duke Model Score accuracy was 93.1% (95% CI: 88.1 to 98.1%, p = 0.0001). Antibiotics that can be used against ESBL infections only amikacin, imipenem, ertapenem, meropenem and tigeciclin.

Conclusion: Duke Model Score can be used as predictors of the presence of ESBL infection.

Key words : ESBL, Duke Model Score, carbapenem

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis pada Program Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk

tesis ini, penulis telah mendapat banyak bimbingan, petunjuk, bantuan, arahan

serta dorongan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu

perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan hormat yang tiada

terhingga kepada :

Dekan Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A Siregar

SpPD-KGEH yang telah memberikan izin dan menerima penulis untuk mengikuti

Program Magister Ilmu Penyakit Dalam di FK USU.

Direktur RSUP H Adam Malik dan Direktur RSUP Dr. Pirngadi Medan

yang telah memberikan kemudahan dan izin menggunakan fasilitas dan sarana

rumah sakit untuk menunjang pendidikan dan penelitian.

Dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FK USU yang telah memberikan bimbingan, kemudahan dan perhatian

yang besar selama penulis mengikuti pendidikan.

Dr. Zainal Safri SpPD,SpJP sebagai Ketua Program Studi Ilmu Penyakit

Dalam yang telah senantiasa membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis

selama mengikuti pendidikan.

Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI selaku Kepala Divisi Penyakit Tropis dan

Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan sebagai pembimbing pertama tesis

serta Dr. Fransciscus Ginting,SpPD-KPTI sebagai pembimbing kedua tesis yang

telah memberikan kesempatan, izin, kemudahan dan bimbingan mulai dari dari

awal penyususan proposal penelitian, pengambilan sampel penelitian dan

(10)

yang dapat penulis berikan semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa dapat

melimpahkan berkat yang berlimpah kepada mereka beserta keluarga.

Rasa terima kasih dan hormat penulis sampaikan kepada seluruh staf

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU khususnya divisi Penyakit Tropis dan

Infeksi kepada dr.Armon Rahimi KPTI, dr.Tambar Kembaren

Sp.PD-KPTI, dr.Endang Sembiring Sp.PD, dr. Restuti Saragih, SpPD dan para senior

peserta PPDS-Penyakit Tropis dan Infeksi.

Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada para senior dan rekan-rekan

PPDS Ilmu Penyakit Dalam terutama rekan seangkatan penulis, dr. Dian Anindita

Lubis, dr. Andri Iskandar Mardia, dr. Sahat Halim, dr. Mevina R Pane, dr. Erwin

P Siregar, dr. Firman S Wibawanto, dr. Farik Zarmal, dr. Silvia Bukit, dr. Adi S

Sembiring, dr. Yusleni Yusuf, dr. Ida Pane, dan dr. Chairun Alrasyid atas

kerjasama, persahabatan, bantuan, motivasi dan kekompakan yang kita jalin

selama ini.

Kepada kedua orang tua penulis Drs. Bartolomeus S Ginting dan Bujur br.

Bangun yang penulis sayangi, dan kepada kedua mertua penulis Pendapaten

Surbakti, dan Katarina br Ginting, tiada kata yang paling tepat untuk

mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala

jasa yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Kepada kedua saudari

penulis, Ir. Lucia Rita Anggraeni dan Elisabeth RD Ginting, AmKeb yang

memberi doa, dukungan dan motivasi tanpa henti kepada penulis.

Kepada sahabat-sahabat penulis, Andar Sibuea, Johannsyah Sembiring,

Naek Pasaribu, dr. Juang Pasaribu, dr. Herman Simamora, dr. Rudi Siambaton, dr.

Jubilatte Sigalingging, Kompol Boy Situmorang, dan sahabat-sahabat lain yang

telah memberikan dukungan materil, menyediakan tempat berteduh bagi penulis

untuk mengerjakan tesis dan tugas-tugas lain selama mengikuti pendidikan, dan

memberikan setiap bantuan yang diperlukan agar pendidikan penulis dapat

selesai. Semoga Tuhan membalas jasa-jasa mereka, dan memberikan kebahagiaan

bagi keluarga mereka.

Kepada anak penulis, Darryl AD Ginting, yang telah memberikan motivasi

terbesar kepada penulis melalui canda, tawa, tangis, dan kasih sayang yang

(11)

Kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu

pada kesempatan ini penulis ucakan terimakasih yang setulus-tulusnya. Izinkanlah

penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang terkait atas

segala kekurangan dan kesalahan selama penulis mengikuti Pendidikan Program

Magister Ilmu Penyakit Dalam dan penulisan tesis ini. Semoga tulisan ini dapat

bermanfaat bagi kita semua dan masyarakat.

Medan, Januari 2015

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak... i

Abstract... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... vi

Daftar Tabel... Viii Daftar Gambar... Ix Daftar Singkatan dan Lambang... x

Daftar Lampiran... Xi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Hipotesis... 3 1.5 Manfaat Penelitian... 4

1.6 Kerangka Konseptual... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum β Lactamase (ESBL)…….. 6

2.2 Epidemiologi Infeksi Bakteri ESBL... 9

2.3 Faktor Risiko Infeksi Bakteri ESBL………. 2.4 Sistem Skoring Duke Model Score……….. 11 12 2.5 Manajemen Infeksi Bakteri ESBL……... 14

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian... 21

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 21

3.3 Populasi Terjangkau... 3.4 Sampel Penelitian ……….. 3.5 Kriteria Inklusi... 21 21 3.6 Kriteria Eksklusi... 22

3.7 Besar Sampel... 22

3.8 Cara Penelitian... 22

3.9 Defenisi Operasional... 23

3.10 Analisis Statistik... 26

3.11 Kerangka Operasional... 27

(13)

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Proporsi bakteri ESBL……….. 5.2 Kepekaan Bakteri ESBL terhadap Antibiotik…………. 5.3 Duke Model Score………...

36 36 39 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan... 42 6.2 Saran... 42 DAFTAR KEPUSTAKAAN...

LAMPIRAN ………

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Populasi wabah, faktor-faktor risiko, dan vektor/reservoir

bakteri ESBL………... 12

2.2 Italian Model Score... 13

2.3 Duke Model Score ………... 14

2.4 Rekomendasi pengobatan... 16

4.1 4.2 4.3 4.4 4.5

4.6

Karakteristik Responden ……… Karakteristik Infeksi ………. Duke Model Score……… Sensitivitas dan Spesifisitas Duke Model Score……… Sensitivitas, spesifisitas, positive dan negative predictive value dari Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL……. Kepekaan Antibiotik terhadap ESBL……….

28 29 30 27

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 2.1

Kerangka Konseptual... Mekanisme Resistensi terhadap Bakteri ESBL……….

4 8 3.1

4.1 4.2 4.3

Kerangka Operasional... Grafik antara Duke Model Score dan Jumlah Pasien………. Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Duke Model Score……. Kurva ROC dari Duke Model Score..………

(16)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama Pemakaian

pertama kali pada

halaman

ESBL Extetnded Spectrum Beta Lactamase……… 1

MYSTIC Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection……… 1

AMRIN WHO Antimicrobial Resistance in Indonesia: prevalence and prevention………..….. Receiver Operating Characteristic ……….. Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial…… Intensive Care Unit……….. KPC Klebsiella Producing Carbapenemase……… 12

NDM New Delhi Metalo Beta lactamase……… 12

DM Diabetes Melitus ……… 18

AIDS Aquered Imunodefficiency Syndrome……… 18 SIRS

AUC

Systemic Imflammatory Respone Syndrome……… Area Under Curve………

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Persetujuan Komisi Etik Penelitian... 48 2 Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian... 49 3

4

Surat Persetujuan Setelah Penjelasan... Kuosioner Penelitian ………...

(18)

ABSTRAK

Penggunaan antibiotik spektrum luas yang intensif dalam dua dekade terakhir mengakibatkan munculnya strain bakteri Enterobacteriaceae yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim-enzim Extended

Spectrum β Lactamase (ESBL). Angka kematian akibat infeksi bakteri ESBL, apabila tidak diobati dengan antibiotik yang tidak tepat, berkisar antara 42%-100%. Untuk memulai terapi dengan cepat, diperlukan suatu prediktor adanya infeksi. Suatu prediktor dengan sistem scoring paling mutakhir adalah Duke Model Score.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi Duke Model Score sebagai prediktor infeksi ESBL.

Penelitian cross sectional dilakukan mulai Januari 2014 - Agustus 2014 di RSUP H Adam Malik Medan pada pasien infeksi. Dihitung Duke Model Score dan dilakukan kultur bakteri dari sumber infeksinya.

Dengan menggunakan cut off skor 8 didapatkan sensitivitas Duke Model Score 91,3%, spesifisitas 82,6%, nilai prediksi positif 84% dan nilai prediksi negatif 90,5%. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh akurasi Duke Model Score adalah 93,1% (95%CI : 88,1% - 98,1%; p=0,0001). Antibiotik yang dapat digunakan untuk melawan infeksi ESBL hanyalah amikasin, imipenem, ertapenem, meropenem dan tigecicline.

Kesimpulan: Duke Model Score dapat digunakan sebagai prediktor adanya infeksi ESBL.

(19)

ABSTRACT

In the last two decades, intensive use of broad spectrum antibiotics has led to the emerge of antibiotics-resistant strains of Enterobacteriaceae that produce Extended-Spectrum β-Lactamases (ESBLs). The mortality rate in ‘susceptibility/treatment mismatched patients’ has ranged from 42-100%. To begin initial appropriate antibiotic therapy in a timely manner, a predictor will be needed. One of the latest scoring system to predict ESBL infection is Duke Model Score.

This study aims to assess the accuracy of the Duke Model Score as a predictor of ESBL infection.

Cross-sectional study was conducted from January - August 2014 in RSUP H Adam Malik Medan, in patients with infections. Italian Score was calculated and bacterial cultures were taken from the source of infection.

By using a cut off point of ≥8, Duke Model Score sensitivity of 91.3% was obtained, specificity was 82.6%, positive predictive value was 84% and negative predictive value was 90.5%. From the analysis using ROC curves, the Duke Model Score accuracy was 93.1% (95% CI: 88.1 to 98.1%, p = 0.0001). Antibiotics that can be used against ESBL infections only amikacin, imipenem, ertapenem, meropenem and tigeciclin.

Conclusion: Duke Model Score can be used as predictors of the presence of ESBL infection.

Key words : ESBL, Duke Model Score, carbapenem

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antibiotik pertama ditemukan oleh Sir Alexander Fleming pada tahun 1927 dan

dinamakan penisilin, yang merupakan beta laktam, yang mempunyai empat cincin beta laktam;

tiga cincin karbon dan satu nitrogen. Untuk mengatasi kerja dari antibiotik beta laktam ini,

bakteri menghasilkan enzim, yang disebut dengan beta laktamase, yang dapat merusak cincin

beta laktam dari penisilin dengan hidrolisis, dan tanpa cincin beta laktam, penisilin menjadi tidak

efektif melawan bakteri.1,2 Enzim beta laktamase yang pertama ditemukan pada bakteri gram

negatif di Yunani pada tahun 1960an, yang diperantarai oleh plasmid. Enzim ini dinamai dengan

TEM, sesuai dengan nama pasien asal isolat bakteri penghasil enzim ini, Temoniera.3

Saat bakteri menemukan mekanisme resistensi terhadap golongan beta laktam ini, banyak

obat-obatan baru yang dikembangkan dari penisilin untuk menandingi resistensi yang muncul

pada bakteri. Turunan dari antibiotik ini disebut dengan beta laktam spektrum luas (extended

spectrum beta-lactams), termasuk di dalamnya sefalosporin dan monobaktam.1

Penggunaan antibiotik sefalosporin spektrum luas semakin intensif digunakan dalam dua

dekade terakhir. Hal ini mengakibatkan munculnya strain bakteri golongan Enterobacteriaceae

yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim-enzim extended spectrum β lactamase (ESBL).4 ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir

seluruh antibiotik beta laktam, termasuk penisilin, sefalosporin generasi II, III, dan monobaktam

aztreonam.3 ESBL lahir dari mutasi pada suatu nukleotida dari gen-gen penghasil enzim beta

laktamase. Bakteri yang pertama sekali ditemukan menghasilkan enzim ini adalah K.

pneumoniae, tahun 1983, di Jerman.4,5 Enzim- enzim ESBL ini ditemukan khususnya pada

bakteri gram negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxyotica, dan Eschericia coli.3

Bakteri- bakteri yang dapat memproduksi enzim-enzim ESBL ini disebut bakteri ESBL.

Strain bakteri ESBL ini tersebar luas di seluruh dunia, namun prevalensi dan fenotipnya

berbeda dari satu daerah dengan daerah yang lain.4 Survey nasional tahun 2005

(21)

Malaysia, dan Singapura. Tetapi mencapai 12%-24% di Thailand, Taiwan, Filipina, dan

Indonesia.6 Di RSUP dr. Kariadi Semarang, selama kurun waktu 2004-2005 didapatkan proporsi

bakteri ESBL sebesar 50,6% berdasarkan tes skrining awal.7 Penelitian di Medan, oleh Mayasari

tahun 2012 menunjukkan dari 282 sampel urin dengan kultur bakteri positif diperoleh kejadian

infeksi E.coli ESBL 18,7%.8

Salah satu penyebab peningkatan angka kejadian ESBL adalah penggunaan antibiotik

yang tidak rasional, data regional World Health Organization (WHO) tahun 2004

menyimpulkan, rata-rata 50% peresepan disertai dengan antibiotika di Asia dan hanya 40-50%

pasien yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar pedoman pengobatan. Penelitian

yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2000 memperlihatkan hasil bahwa sekitar 60% antibiotika

yang tidak perlu diresepkan di Nigeria dan sekitar 50% di Nepal serta rata-rata pemberikan

antibiotik tidak perlu di seluruh dunia mencapai angka 50%.9

Infeksi oleh bakteri ESBL memberikan akibat yang signifikan bagi pasien rawat inap

dikarenakan pilihan terapi infeksi untuk bakteri penghasil ESBL sangat terbatas dan

keterlambatan pemberian antibiotik yang tepat sebagai akibat dari resistensi menyebabkan

meningkatnya morbiditas, mortalitas, lamanya rawatan, dan biaya rawatan. Angka kematian

akibat infeksi bakteri ESBL, apabila diobati dengan antibiotik yang tidak tepat, berkisar

42%-100%. Untuk memulai terapi dengan cepat, klinisi harus mengenali faktor-faktor risiko seorang

pasien untuk terinfeksi bakteri ESBL.5,10

Identifikasi adanya infeksi bakteri ESBL diperoleh setelah adanya hasil kultur, dimana

untuk memperoleh hasil kultur diperlukan waktu beberapa hari. Lagipula tidak semua fasilitas

kesehatan dilengkapi dengan pemeriksaan kultur. Beberapa institusi kesehatan telah memahami

pentingnya untuk memiliki sebuah alat stratifikasi faktor risiko untuk mengidentifikasi

pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi bakteri ESBL ini. Dua sistem

skoring telah diajukan sebagai model prediksi, namun kedua model sistem skoring ini dibuat

dalam populasi spesifik dengan organisme-organisme spesifik pula tanpa validasi dari institusi

lain. Salah satunya adalah Italian model score yang diajukan oleh Tumbarello dkk tahun 2011

dengan mengidentifikasi faktor-faktor risiko dengan model regresi logistik yang kemudian

diubah ke sebuah aturan yang berdasarkan nilai yang memberikan skor untuk tiap-tiap faktor

risiko. Namun pada saat divalidasi di institusi lain, yaitu di Duke University Hospital, Durham,

(22)

sederhana) yang dikenal dengan Duke model score. Dimana oleh Steven dkk, setiap variabel

pada Italian model score dianalisis, dan variabel yang tidak signifikan dalam memprediksi ESBL

disingkirkan, dan digantikan oleh variabel yang memberikan hasil signifikan pada institusi

mereka.4,10

Akurasi Duke model score ini di Indonesia terutama di Medan belum diketahui. Oleh

karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui akurasi sistem skoring ini sehingga dapat

menjadi pertimbangan dalam pemberian terapi empirik pasien-pasien rawat inap.

1.2Perumusan Masalah

- Apakah Duke model score dapat memprediksi adanya infeksi ESBL pada pasien rawat inap

di Medan.

- Mengetahui nilai cutoff Duke model score untuk memprediksi adanya infeksi ESBL pada

pasien rawat inap di Medan.

1.3 Hipotesis

Duke model score dapat memprediksi adanya infeksi ESBL pada pasien rawat inap di RS.

H.Adam Malik, Medan.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1Tujuan utama

- Untuk mengetahui keakuratan Duke model score dalam memprediksi adanya infeksi ESBL

pada pasien rawat inap di RS. H. Adam Malik, Medan

- Untuk menentukan cutoff dari Duke model score yang memiliki akurasi paling baik dalam

memprediksi infeksi ESBL

1.4.2Tujuan tambahan

- Mengetahui karakteristik dasar penderita ESBL meliputi usia, jenis kelamin, diagnosis, hasil

kultur dan penyakit komorbid.

- Mengetahui Receiver Operating Characters (ROC) dari Area Under Curve (AUC) dari Duke

(23)

1.5 Manfaat Penelitian

Untuk menilai keakuratan Duke model score yang sederhana dan non invasif dalam

memprediksi adanya infeksi ESBL.

1.6 Kerangka Konseptual

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual

Infeksi ESBL

Prevalensi meningkat

Morbiditas dan Mortalitas tinggi

Kultur

Waktu, biaya, tidak selalu positif

Fasilitas

Duke model score Prediktor infeksi ESBL

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL)

Antibiotik pertama ditemukan oleh Sir Alexander Fleming pada tahun 1927 dan

dinamakan penisilin, yang merupakan beta laktam, yang mempunyai empat cincin beta laktam;

tiga cincin karbon dan satu nitrogen. Pada awal 1940an, Florey, Chain dan Heatley dari

Universitas Oxford menyempurnakan penisilin dan mulai digunakan untuk mengobati infeksi

bakteri secara luas. Antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesa dinding sel bakteri,

dimana cincin beta laktam meniru komponen dinding sel tempat ikatan transpeptidase, dan

secara kompetitif menghambat ikatan dari transpeptidase. Akibatnya, bakteri tidak lagi dapat

memproduksi dinding sel, sehingga pecah dan mati.2,11

Untuk mengatasi kerja dari antibiotik beta laktam ini, bakteri menghasilkan enzim, yang

disebut dengan beta laktamase, yang dapat merusak cincin beta laktam dari penisilin dengan

hidrolisis, dan tanpa cincin beta laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan bakteri (gambar

1).2 Sehingga bakteri tetap dapat membentuk dinding sel bahkan ketika diberikan antibiotik beta

(25)

Gambar 2.1. Mekanisme Resistensi terhadap Beta laktam. Dikutip dari: John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance, 2004.2

Enzim beta laktamase yang pertama ditemukan pada bakteri gram negatif, diperantarai

oleh plasmid di Yunani pada tahun 1960an. Enzim ini dinamai dengan TEM, sesuai dengan

nama pasien asal isolat bakteri penghasil enzim ini, Temoniera. Kemudian TEM-2 ditemukan

dan sangat identik strukturnya secara biokimiawi dengan TEM-1, hanya berbeda pada satu asam

amino yang menyebabkan perbedaan titik isoelektris dari kedua enzim ini.3 Kedua enzim ini

adalah enzim beta laktamase-diperantarai plasmid yang paling lazim ditemukan pada bakteri

gram negatif, termasuk Enterobacteriaceae, Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenza,

dan Neisseria gonnorhoeae. TEM-1 dan TEM-2 menghidrolisis penisilin dan sefalosporin

spektrum sempit, seperti sefalotin atau sefazolin. Namun, mereka tidak efektif terhadap

sefalosporin generasi yang lebih tinggi dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim,

seftazidim, seftriakson, atau sefepim.3,5,12 Enzim beta laktamase yang berhubungan dengan

enzim-enzim tadi, tetapi lebih jarang ditemukan, dinamai SHV, karena reagen sulfhydryl

memiliki efek spesifik terhadap substrat ini. SHV merupakan hasil dari mutasi serin menjadi

glisin pada posisi 238 enzim beta laktamase TEM.3

Saat bakteri menemukan mekanisme resistensi terhadap golongan beta laktam ini, banyak

obat-obatan baru yang dikembangkan dari penisilin untuk menandingi resistensi yang muncul

pada bakteri. Turunan dari antibiotik ini disebut dengan beta laktam spektrum luas (extended

spectrum beta-lactams), termasuk di dalamnya sefalosporin, monobaktam.11

Penggunaan antibiotik sefalosporin spektrum luas semakin intensif digunakan dalam dua

dekade terakhir. Penggunaan obat ini secara luas dan tidak tepat mengakibatkan munculnya

strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim-enzim extended

spectrum beta lactamase (ESBL).4 ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi

terhadap hampir seluruh antibiotik beta laktam, termasuk penisilin, sefalosporin, dan

monobaktam aztreonam.3

Pada tahun 1983, sebuah enzim beta laktamase yang mampu menghidrolisis sefalosporin

spektrum luas ditemukan pada suatu strain Klebsiella pneumonia di Jerman. Kemampuan untuk

menghidrolisis sefalosporin spektrum luas ini muncul akibat adanya mutasi pada satu nukleotide

(dibandingkan dengan gen yang menghasilkan SHV), dan diberi nama SHV-2. Enzim beta

(26)

TEM-2. Laporan serupa bermunculan secara cepat di Amerika Serikat (1988) dan Perancis

(1984). Distribusi yang cepat ini disebabkan oleh ekspansi klonal dari bakteri ESBL, dan transfer

horizontal dari gen ESBL. Karena spektrum aktivitasnya mencakup oxyiminocephalosporins,

enzim ini kemudian dikenal dengan extended spectrum beta laktamase (ESBL).3,6,13,14

Kelompok dari enzim-enzim ESBL ini heterogenus. Enzim tipe SHV dan TEM muncul

dari pergantian asam amino yang memungkinkan enzim dengan spektrum yang lebih sempit

untuk menyerang beta laktam oxyimino baru. Kelompok lainnya, dari keluarga CTX-M,

mempunyai kemampuan menyerang beta laktam dengan spektrum luas, yang didapat dari

plasmid, yang ditentukan oleh gen-gen kromosom. Famili enzim ESBL yang lain yang telah

cukup lama dikenal adalah OXA beta laktamase, agak jarang ditemukan dan dimediasi oleh

plasmid juga. OXA beta laktamase dapat menghidrolisis oksasilin dan berhubungan dengan

penisilin anti stafilokokus. Enzim beta laktamase yang lain, seperti PER, VEB, dan GES telah

dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada P. aeruginosa dan hanya didapati

pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang juga cukup jarang, dan ditemukan di

Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA.3

Enzim-enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat

beta laktam oxyimino, tetapi tidak dapat menyerang sefamisin (sefoksitin, sefotetan dan

sefmetazole) dan karbapenem (imipenem, meropenem, doripenem, dan ertapenem).

Enzim-enzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor beta laktamase, seperti klavulanat, sulbaktam,

dan tazobaktam, sehingga dapat digabungkan dengan substrat beta laktam untuk menguji apakah

ada mekanisme resistensi ini. Enzim-enzim ESBL ini ditemukan secara khusus pada bakteri

gram negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi

dapat juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella,

Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.3

Strain Enterobacteriaceae di atas, yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim ESBL

menjadi sangat penting, karena kebanyakan dari kelompok bakteri ini adalah flora normal pada

saluran cerna manusia dan hewan, dan juga tersebar luas di lingkungan bebas. Lebih jauh,

bakteri-bakteri ini dapat menyebabkan infeksi-infeksi yang berbeda, seperti septikaemia, infeksi

saluran kemih, pneumonia, kolesistitis, kolangitis, peritonitis, infeksi luka, meningitis, dan

(27)

2.2 Epidemiologi Infeksi Bakteri ESBL

Strain bakteri ESBL ini tersebar luas di seluruh dunia, lebih sering didapati pada

spesimen yang berasal dari rumah sakit tetapi juga dapat dijumpai di masyarakat. Prevalensi dan

fenotipnya berbeda dari satu daerah dengan daerah yang lain.4

Seperti disebutkan di atas, bakteri ESBL pertama sekali ditemukan di Jerman, tetapi

kebanyakan laporan tentang ditemukannya ESBL pada dekade pertama berasal dari Perancis.

Wabah pertama dilaporkan terjadi di Perancis pada tahun 1986; dimana 54 pasien di tiga ruang

rawat intensif terinfeksi bakteri ESBL dan menyebarkannya ke empat bangsal lainnya. Namun,

pada beberapa tahun terakhir, dengan gencarnya tindakan pengendalian infeksi, terjadi

penurunan insidensi infeksi bakteri ESBL. Di Perancis utara, proporsi isolat Klebsiella

pneumonia menurun dari 19,7% pada 1996 menjadi 7,9% pada tahun 2000. Terdapat perbedaan

prevalensi secara geografis di Negara-negara Eropa. Di dalam suatu negara juga terjadi

perbedaan antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Di Swedia, bakteri ESBL dapat

ditemukan di masyarakat maupun di rumah sakit. Swedia telah melaporkan ke EARSS, the

European surveillance system, bahwa pada tahun 2006, 1,1% dari seluruh E.coli dan 0,8% dari

K. pneumoniae pada kultur darah ditemukan menghasilkan ESBL. Jumlah isolat ESBL telah

meningkat secara tajam di Swedia dalam beberapa tahun, dan beberapa wabah telah dilaporkan.

Sejak Februari 2007, dalam enam bulan berikutnya, lebih dari 1000 kasus dilaporkan, yang

tersebar di seluruh wilayah. Artinya di Swedia, kasus ESBL berjumlah dua kali lipat daripada

MRSA.16 Kejadian di Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal. Secara

keseluruhan di Eropa, penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection

(Mystic Study) tahun 2008 melibatkan 12 negara diperoleh kejadian ESBL 5,6%.17

Di USA, National Nosocomial Infection Surveillance (NNIS) menemukan sejak Januari

1998 sampai Juni 2002 didapati 6,1% dari 6.101 isolat Klebsiella pneumonia dari 110 ruang

rawat inap intensif resiten terhadap sefalosporin generasi ke-tiga.6

Di Asia sendiri, pada tahun 1988, isolat Klebsiella pneumonia dari China yang

mengandung ESBL untuk pertama kali dilaporkan. Dalam suatu laporan yang mengumpulkan

isolat dari tahun 1998 dan 1999, 30,7% isolat Klebsiella pneumonia dan 24,5% isolat Eschericia

coli diketahui menghasilkan ESBL. Survey nasional mengindikasikan didapatinya ESBL pada

5%-8% isolat Eschericia coli di Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura. Tetapi mencapai

(28)

Kariadi Semarang, selama kurun waktu 2004-2005 didapatkan proporsi bakteri penghasil ESBL

sebesar 50,6% berdasarkan tes skrining awal.7 Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in

Indonesia: prevalence and prevention (AMRIN Study) tahun 2010-2011 menemukan bahwa

kejadian ESBL cukup tinggi yakni 29% pada E. coli dan 36% pada K. pneumoniae.18

Penelitian di Medan, tahun 2012 oleh Mayasari melaporkan dari 282 sampel urin dengan

kultur positif, diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7%.8 Dari data di bagian Mikrobiologi RS H

Adam Malik Medan, dijumpai kejadian infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012

kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL K. pneumoniae dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi

19,51% (12,24% ESBL K. pneumoniae dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahun 2013. Disamping

itu, dari tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolate K. pneumoniae dan 61,83% isolate E. coli

merupakan ESBL E. coli.

2.3 Faktor Risiko Infeksi Bakteri ESBL

Patogen-patogen yang memiliki resistensi terhadap berbagai macam obat ini

menyebabkan meningkatnya kemunculan dari kejadian infeksi baik yang didapatkan di fasilitas

kesehatan maupun yang didapatkan di masyarakat. Keterlambatan dalam pemberian antibiotik

yang tepat sebagai akibat dari resistensi menyebabkan meningkatnya morbiditas, mortalitas,

lamanya rawatan, dan biaya rawatan. Angka mortalitas pada pasien-pasien yang terinfeksi oleh

kuman yang multi resisten ini apabila diobati dengan antibiotik yang tidak tepat, berkisar

42-100%. Untuk memulai terapi yang tepat dengan cepat, klinisi harus mengenali faktor-faktor

risiko seorang pasien untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL.5,10

Demirdag dkk, tahun 2010, telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko yang secara

signifikan berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi bakteri ESBL di Firat University

Hospital, Turki. Masa rawat inap diatas tujuh hari sebelum terjadinya infeksi, pemakaian

antibiotik sebelumnya, penggunaan kateter, dan intervensi bedah adalah beberapa faktor risiko

tersebut.19

Rupp dkk, dari departemen penyakit dalam di University of Nebraska Medical Centre,

tahun 2003 mencoba merumuskan beberapa populasi yang pernah mengalami wabah dari bakteri

ESBL, faktor-faktor risiko untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL, dan beberapa

(29)

Tabel 2.1. Populasi wabah, faktor-faktor risiko, dan vektor/reservoir bakteri ESBL 5. Populasi wabah

Unit rawat intensif Transplantasi organ padat Transplantasi sumsum tulang Long term care units

Faktor risiko ESBL Keparahan penyakit Lama rawatan inap

Lama rawatan unit intensif Prosedur invasif

Gastrostomi, yeyunostomi, atau NGT Usia

Hemodialisis Ulkus dekubitus

Status nutrisi yang jelek Berat lahir rendah

Dikutip dari: Rupp, ME, Drugs,2003

2.4 Sistem Skoring Duke Model Score

Untuk memulai terapi antibiotik secara tepat waktu, beberapa institusi kesehatan

memahami pentingnya untuk memiliki sebuah alat stratifikasi faktor risiko untuk

mengidentifikasi pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi bakteri

penghasil ESBL pada saat masuk RS. Walaupun beberapa peneliti telah mengidentifikasi

faktor-faktor risiko infeksi ESBL, namun penulis hanya menemukan dua sistem skoring yang berisikan

faktor-faktor risiko tersebut. Namun kedua sistem skoring ini dibuat dalam populasi spesifik

(30)

pertama yang ditemukan oleh Tumbarello dkk tahun 2011 di Italia, dengan cara mengidentifikasi

faktor-faktor risiko dengan model regresi logistik yang kemudian diubah ke sebuah aturan yang

berdasarkan nilai yang memberikan skor untuk tiap-tiap faktor risiko.4 Sistem skoring ini dikenal

dengan Italian Score. (table 2.2)

Italian Model Score4

Kriteria penilaian Skor

Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir

2

Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 3

Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3

Charlson Comorbidity Score≥ 4 2

Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 2

Usia ≥ 70 tahun 2

Dikutip dari: Tumbarello dkk, Antimicrob Agents Chemoter, 2011

Pada penelitian itu, Tumbarello dkk menggunakan cutoff skor 8 atau lebih untuk

mendapatkan spesifisitas yang tinggi (96%) dan positive predictive value 80%, namun hanya

memiliki sensitivitas 50%. Namun pada saat divalidasi di institusi lain, yaitu di Duke University

Hospital, maka pada tahun 2013, Steven dkk mengusulkan suatu sistem skoring baru yang lebih

(31)

Tabel 2.3. Duke model score10

Kriteria penilaian Skor

Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir

3

Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 2 Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 4 Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 5 Riwayat Penggunaan imunosupresan 3 bulan terakhir 2

Dikutip dari: Steven dkk, Infection Control and Hospital Epidemiology, 2013

Penggunaan antibiotik empirik untuk ESBL membutuhkan spesifisitas dan positive

predictive value yang tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan atau lebih dari 8, maka pada Duke

model score memiliki spesifisitas 95% dan positive predictive value 79%.10 Namun sekali lagi,

sistem skoring ini belum diuji pada populasi dan organisme lain, seperti di Indonesia, khususnya

di RS. H. Adam Malik, Medan.

2.5 Manajemen Infeksi Bakteri ESBL

Adanya sistem skoring yang valid akan sangat membantu klinisi dalam menghadapi

infeksi bakteri ESBL. Keputusan dalam bagaimana menghadapi bakteri ESBL ini semestinya

tidak hanya berdasarkan laporan mikrobiologis saja. Pemahaman menyeluruh terhadap kondisi

klinis pasien dan pertimbangan praktis seperti biaya, kenyamanan dalam pemberian obat,

kepatuhan pasien, efek samping obat, efikasi antibiotik yang dipilih harus menjadi unsur-unsur

penting dalam pembentukan keputusan dalam pemilihan intervensi klinis yang paling cocok.

Pertanyaan yang juga harus dijawab sebelum memutuskan terapi yaitu apakah isolat bakteri

menunjukkan suatu infeksi atau kolonisasi.

Untuk membedakan suatu infeksi dari kolonisasi, dapat dilihat dari berbagai hal, a) asal

spesimen (isolat dari spesimen yang secara fisiologis steril seperti darah, cairan bronko alveolar,

biopsi jaringan harus dipertimbangkan secara serius; namun isolat dari lokasi yang tidak steril,

seperti apusan dari luka kronis, sputum sepertinya lebih mengarah ke kolonisasi; isolat dari

spesimen kateter dari urin biasanya menampilkan suatu kolonisasi dibandingkan isolat dari urin

porsi tengah; namun, isolat dari kateter intravena meskipun dapat berupa kolonisasi tetapi harus

dianggap sebagai sumber potensial untuk infeksi sistemik), b) parameter inflamasi dari pasien-

(32)

adanya gangguan dari parameter ini, c) keadaan umum pasien, seperti temperatur, tekanan darah,

frekuensi nadi, saturasi oksigen, kebutuhan akan inotropik, dan alat penyokong hidup.

Faktor-faktor ini harus dilihat secara menyeluruh, dan tidak terpisah-pisah, dan perubahan dari

parameter diagnostik lebih signifikan daripada suatu nilai tunggal.

A. Pendekatan non farmakologis

Pendekatan tanpa antibiotik dalam manajemen infeksi ESBL merupakan suatu langkah

kritis dalam terapi. Eliminasi dari sumber infeksi adalah manajemen penting dari infeksi, tidak

terkecuali infeksi ESBL. Jika sumber infeksi merupakan benda asing seperti alat prostetik,

penggantian atau pengeluaran alat prostetik itu menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan

karena infeksi ESBL dihubungkan dengan tindakan operasi implan atau alat-alat lainnya, dengan

terbentuknya biofilm. Pertumbuhan bakteri yang lambat, yang diikuti dengan penetrasi antibiotik

yang terhalang oleh biofilm ini menyebabkan eradikasi dan terapi dari infeksi yang berhubungan

dengan implan ini menjadi sulit.20 Pendekatan non farmakologis dalam manajemen infeksi ESBL

termasuk penggantian jalur intravaskular yang terkolonisasi (central venous catheter, peripheral

venous catheter), kateter urin yang terkolonisasi, drainase dari abses intra abdominal maupun

intra viseral lainnya, dan pengeluaran dari katup jantung atau sendi buatan. Hal ini menunjukkan

bahwa pemberian antibiotik saja dalam infeksi ESBL yang terkait dengan alat-alat implan tidak

memberikan hasil klinis yang baik.21

B. Pendekatan Farmakologis

Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya

kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya resisten

terhadap antibiotik beta laktam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin. Selain itu

resistensi terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti trimetroprim-sulfametoksazol,

aminogikosida khususnya gentamisin.

Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi seperti yang disebutkan

sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya.

Pada hasil kultur umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap bakteri

ESBL dan untuk membantu memilih antibiotik diantara beberapa antibiotik yang sensitif untuk

(33)

Tabel 2.4 Rekomendasi pengobatan22

Tipe infeksi Pilihan terapi Terapi second-line

Infeksi traktus urinarius Dikutip dari: Rishi dkk, Critical Care Research and Practice, 2012

Berikut ini dipaparkan kemampuan beberapa golongan antibiotik terhadap infeksi bakteri

ESBL:

2.5.1 Karbapenem

Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam

golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pemilihan

antara imipenem dan meropenem sukar dilakukan karena memiliki profil yang hampir sama.

Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih

baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari.4 Doripenem

merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi

Pseudomonas aeruginosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan

antibitik golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda.

Penelitian oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5

hari memiliki angka mortalitas yang lebih rendah.23

Dari penelitian oleh Muharrmi dkk, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem)

100% sensitif terhadap ESBL.24 Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni dkk,

Aminzadeh dkk, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL.23,25 Chien Lye dkk meneliti pada 47

pasien ESBL dengan sumber infeksinya saluran kemih, hepatobilier dan akses vaskular yang

diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien.26 Penelitian Auer dkk,

ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.27 Adapun dosis standar

pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari

(34)

muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta

Lactamase (NDM) sehingga penggunaannya haruslah rasional.29

2.5.2 Βeta lactam/Βeta lactamase inhibitor

Βeta lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki kemampuan menghambat enzim beta laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada

enzim beta laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik beta lactamase

inhibitor ini. Oleh karena itu, antibiotik beta lactam/beta lactamase inhibitor dapat digunakan

untuk ESBL yang tidak berat. Amoksisilin/Klavulanat efektif untuk infeksi saluran kemih

komunitas akibat ESBL. Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan beta

lactam lainnya dan sulbaktam lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium

sederhana pemeriksaan fenotif ini sulit dilakukan.6,29 Penelitian Rodriquez-Bano dkk,

penggunaan amoxicillin/clavulanat selama 5-7 hari pada indeksi saluran kemih tanpa komplikasi

memiliki angka kesembuhan 84%.30 Adapun dosis standar pada dewasa amoxicillin-clavulanat

625 mg/1,2 mg /8 jam baik oral maupun intravena.28

Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian

Muharrmi dkk memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap ESBL

K.pneumonia.31 DiAmerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif ESBL

E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1

% terhadap ESBL K.pneumonia.31 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan

mengkombinasi-kannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Piperasilin-tazobactam

dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 93,1 % terhadap

ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam dengan gentamisin 73,1%

sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL K.pneumonia.26Penelitian Aminzadeh

dkk, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL.23 Adapun dosis standar pada dewasa

4,5 gr setiap 8jam intravena.28

2.5.3 Aminoglikosida

Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin

dan amikasin. Gentamisin memiliki kerja bakterisidal yang cepat, namun penggunaan sebagai

(35)

Muharrmi dkk, memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL

K.pneumonia.25 Penelitian Kulkarni dkk, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL.25 Penelitian

Aminzadeh dkk, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL.23 Adapun dosis standar pada dewasa

5 mg/KgBB perhari intravena.28

Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian Muharrmi dkk memperoleh

kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 90,1% terhadap

ESBL K.pneumonia).24 Penelitian Kulkarni dkk, amikasin 70,4% sensitif terhadap

ESBL.26Penelitian Aminzadeh dkk, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL.23 Adapun dosis

standar pada dewasa 15 mg/KgBB perhari terbagi dalam dua dosis intravena.28

2.5.4 Kuinolon

Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun

belakangan semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL

dengan penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin

bakteri untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel.10,29 Siprofloksasin

memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi dkk, diperoleh

hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL ( 24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia).24MYSTIC Study di

Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL

K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitif ESBL E.coli dan 57,5% ESBL

K.pneumonia.31 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan

obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan dengan

amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL

K.pneumonia. Sedangkan kombinasi siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif

ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia.26Penelitian Kulkarni dkk, siprofloksasin 30,2%

sensitif terhadap ESBL.25

2.5.5 Sefalosporin

Secara umum sefalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL. Antibiotik

golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak mendukung

(36)

sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk walaupun hasil kultur

masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai pilihan pertama. Penelitian

Kulkarni dkk, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL.27

2.5.6 Nitrofurantoin

Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi.

Penelitian Kulkarni dkk, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh

dkk, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL.21Penelitian Auer dkk, Nitrofurantoin 94%

sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.24 Adapun dosis standar pada dewasa 50 mg

setiap 6 jam oral.28

2.5.7 Fosfomisin

Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N

Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas

dkk melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan

bahwa fosfomisin sensitif pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano dkk, penggunaan

(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Desain Penelitian

Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan merupakan suatu uji diagnostik.27

3.2Waktu dan Tempat Penelitian

- Penelitian dimulai bulan Desember 2013 sampai sampel minimal terpenuhi.

- Penelitian dilaksanakan ruang rawat inap RS. H.Adam Malik dengan persetujuan Komisi

Etik Penelitian FK USU.

- Pengambilan dan pemeriksaan sampel dilaksanakan oleh Instalasi Mikrobiologi Klinik RS.

H.Adam Malik.

3.3 Populasi Terjangkau 3.3.1 Populasi target

Populasi target merupakan seluruh pasien dengan infeksi.

3.3.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau yaitu seluruh pasien dengan infeksi yang dilakukan kultur bakteri di

RS. H. Adam Malik

3.4Sampel Penelitian

Sampel penelitian merupakan pasien dengan infeksi dan dijumpai pertumbuhan bakteri

dari hasil kultur bakteri yang dilakukan di RS. H.Adam Malik

3.5Kriteria Inklusi 1. Usia di atas 18 tahun

2. Pasien dengan infeksi dan dilakukan kultur bakteri

3. Subjek menerima informasi serta memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian secara

(38)

3.6 Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang sudah diketahui menderita ESBL dari fasilitas kesehatan lain sewaktu masuk

rumah sakit.

2. Pasien dengan hasil kultur dijumpai lebih dari satu jenis bakteri.

3. Pasien dengan hasil kultur tidak dijumpai pertumbuhan bakteri.

3.7 Besar Sampel

Rumus perhitungan besar sampel untuk penelitian uji diagnostik:

(

)

Z = deviat baku alpha. untuk α= 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96 Sen = Sensitivitas yang diinginkan dari alat yang diuji nilai diagnostiknya

ditetapkan sebesar 0,85 (85%)

d = presisi ditetapkan sebesar 0,15 (15 %)

P = prevalensi ESBL 0,24 (24 %)6

Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok sebanyak 46 orang.

3.8Cara Penelitian

1. Seluruh pasien yang memiliki hasil kultur bakteri baik dari spesimen darah, urin, sputum,

atau pus positif dilakukan pengumpulan data berupa usia, jenis kelamin, diagnosis, asal

spesimen, dan hasil kultur.

2. Seluruh pengambilan spesimen kultur dan pemeriksaannya dilakukan oleh Laboratorium

Mikrobiologi RS. H. Adam Malik, Medan.

3. Dilakukan perhitungan skor Duke Model (seperti tertera di atas)

4. Hasil kultur akan dibagi menjadi dua yaitu kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus

adalah semua sampel dengan hasil kultur dijumpai pertumbuhan bakteri ESBL positif dan

kelompok kontrol adalah semua sampel dengan hasil kultur dijumpai pertumbuhan kuman

(39)

5. Selanjutnya dilakukan analisa uji diagnostik untuk mengetahui akurasi Duke model score

dalam memprediksi adanya infeksi ESBL pada pasien rawat inap.

3.9Definisi Operasional

a. Usia : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan satuan tahun

b. Jenis kelamin : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan hasil pria atau wanita

c. Bakteri ESBL : bakteri yang mengahasilkan enzim ESBL yaitu enzim yang dapat menghidrolisis penisilin, cephalosporin generasi I, II, III dan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem)

d. Pengumpulan spesimen

a. Spesimen darah , dilakukan pada pasien dengan sepsis, prosedurnya berupa :

i. Bersihkan lokasi yang akan diambil darah dengan alkohol 70% (swab) dari tengah memutar ke tepi, biarkan kering

ii. Tusukkan jarum ke dalam pembuluh darah, tarik penghisap semprit dengan menggunakan tangan kiri hingga darah masuk ke dalam semprit 10 ml iii. Tekan bekas tusukan dengan kapas

iv. Desinfektan septum tutup botol kultur dan isikan darah ke dalam botol media yang sesuai

b. Spesimen urin dilakukan pada pasien dengan infeksi saluran kemih, prosedurnya berupa :

i. Urin porsi tengah

Urin diambil oleh penderita sendiri setelah mendapat penjelasan yaitu:

3.9.1.1Penderita harus mencuci tangan dengan sabun dan dikeringkan dengan handuk kemudian tanggalkan pakaian dalam

3.9.1.2Untuk wanita, bersihkan labia dan vulva dengan kasa steril dengan arah dari depan ke belakang kemudian bilas dengan air hangat dan keringkan dengan kasa steril

3.9.1.3Untuk laki-laki, jika tidak disunat tarik preputium kebelakang

3.9.1.4Keluarkan urin, aliran urin pertama dibuang, aliran selanjutnya ditampung dalam wadah yang sudah disediakan , pengumpulan urin selesai sebelum urin habis kemudian tutup wadah.

3.9.1.5Jika tidak mampu melakukan sendiri , hal ini dilakukan dengan bantuan perawat

(40)

1. Lakukan disinfeksi dengan alkohol 70% pada bagian selang kateter yang terbuat dari kare (jangan bagian yang terbuat dari plastik)

2. Aspirasi urin dengan menggunakan semprit sebanyak kurang lebih 10 ml

3. Masukkan ke wadah steril dan tutup rapat iii. Urin aspirasi suprapubik

1. Aspirasi dilakukan pada kandung kemih yang penuh, lalukan desinfeksi kulit didaerah suprapubik dengan povidone iodine 10% kemudian bersihkan sisanya dengan kapas alkohol 70%

2. Aspirasi tepat di titik suprapubik menggunakan semprit

3. Ambil urin sebanyak 20 ml dengan cara aspetik, dan masukkan kedalam wadah steril c. Spesimen Sputum, dilakukan pada pasien dengan

pneumonia, prosedurnya berupa :

i. Sebelum pengambilan spesimen pasien diminta berkumur dengan air. Bila memakai gigi palsu, sebaiknya dilepas

ii. Pasien berdiri tegak atau duduk tegak, pasien diminta untuk menarik napas dalam, 2-3 kali kemudian keluarkan napas bersamaan dengan batuk yang terkuat dan berulang kali sampai sputum keluar

iii. Sputum yang dikeluarkan ditampung langsung di dalam wadah dengan cara mendekatkan wadah ke mulut, sputum yang berkualitas baik akan tampak kental purulen dengan volume cukup 3-5 ml, kemudian tutup wadah

d. Spesimen pus, dilakukan pada pasien dengan luka purulen atau ulkus, atau Infeksi luka operasi, prosedurnya berupa :

i. Bersihkan luka dengan lain kasa yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis sebanyak 3 kali untuk menghilangkan kotoran dan eksudat yang mongering

ii. Buka kapas lidi dan usapkan bagian kapasnya pada luka tanpa menyentuh bagian tepi luka, lakukan 2 kali dengan menggunakan 2 kapas lidi iii. Kapas lidi dapat diinokulasikan langsung pada

agar atau masukkan kedalam tabung media transpor

(41)

i. Lakukan tindakan aseptik, tusukkan jarum dan hisap dengan semprit steril cairan eksudat atau pus, cabut dan tutup dengan kapas steril

ii. Teteskan cairan aspirasi pada kapas lidi, Kapas lidi dapat diinokulasikan langsung pada agar atau masukkan kedalam tabung media transfor, sisa eksudat dapat dimasukkan dalam wadah steril.

e. Kultur bakteri Kultur dilakukan dengan cara materi urin, sputum dan pus pasien dikultur di medium plat agar darah dan McConkey lalu dieramkan pada suhu 37°C selama 24 jam. Materi darah dimasukkan ke dalam botol Fan Aerob Culture Bottles (BacT/ALERT) untuk, diinkubasikan di inkubator BacT/ALERT pada suhu 37°C. Botol yang menunjukkan pertumbuhan kuman kemudian dilakukan pengecatan Gram dan dilakukan isolasi primer di medium plat agar darah dan McConkey, dieramkan pada suhu 37°C semalam. Dari koloni yang tumbuh diambil untuk membuat suspensi inokulum dalam 0,45% NaCl fisiologis steril, lalu kekeruhan suspensi disesuaikan dengan standar 0,5 McFarland. Kemudian suspensi inokulum tersebut diisikan ke dalam kartu uji Vitek2 compact sesuai dengan instruksi dari bioMerieux: GN untuk identifikasi batang Gram negatif dan AST-N100 untuk uji kepekaan bakteri batang Gram negatif terhadap antibiotika.34

f. Antibiotik Beta laktam

:golongan antibiotik dengan gugus inti asam 6-amidinopenisilanat, yang termasuk didalamnya adalah penisilin dan sefalosporin I sampai IV

g. Antibiotik Fluorokuinolon

: golongan antibiotik dimana ada atom fluor pada cincin kuinolonnya, yang termausk didalamnya adalah siprofloksasin, norfloksasin, ofloksasin.

h. Imunosupresan : Obat yang memiliki efek menekan sistem imun tubuh, seperti: (i) glukokortikoid (ekuivalen dengan prednison 20 mg/ hari atau lebih setidaknya dalam 2 minggu), (ii)atau lebih dari 48 jam memakai takrolimus, sirolimus, siklosporin, mikofenolat, atau globulin anti timosit, (iii) obat-obatan kemoterapi yang termasuk ke dalam agen alkilating.

(42)

3.10 Analisa Statistik

Untuk menampilkan gambaran deskriptif data dasar pasien digunakan sistem tabulasi. Uji

t atau mann-Whitney U test digunakan untuk perbadingan data kontiniu antara kasus dan kontrol.

Uji X2 atau Fisher Exact test untuk perbandingan data variabel antara kasus dan kontrol. Uji

Diagnostik digunakan untuk sensitivitas, spesifisitas, positive predictive values (PPV), negative

predictive values (NPV), akurasi, dan dianalisi kurva ROC (Receiver Operating Characteristic).

3.11 Kerangka Operasional

j. Pneumonia : Infeksi akut yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus respiratorik dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Diagnosis ditegakkan dari klinis berupa baruk, sesak napas, demam dan dari pemeriksaan fisik dijumpai adanya infiltrat paru serta dari pemeriksaan penunjang adanya leukositosis, infiltrat pada foto toraks, dan pertumbuhan bakteri pada kultur sputum.37,38

k. Infeksi Saluran Kemih

: Adanya Mikroorganisme di dalam urin, ditandai dijumpainya bakteri > 105 cfu/ml pada kultur urin porsi tengah dan urin kateter, serta dijumpai bakteri dalam jumlah berapapun pada kutur urin suprapubik.39

l. Infeksi Luka Operasi

(43)
(44)

BAB IV HASIL

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian dan Infeksi

Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 92 pasien, yang terbagi dengan pasien ESBL dan

pasien non-ESBL masing-masing berjumlah 46 orang yang telah memenuhi kriteria inklusi.

Kebanyakan kedua kelompok berjenis kelamin laki-laki, 26 orang (56,5%) di kelompok pasien

ESBL dan 24 orang (52,2%) di kelompok pasien non-ESBL. Rerata umur kelompok pasien

ESBLadalah 49,8 tahun (SD = 14,81 tahun) dan kelompok pasien non-ESBL 51,15 tahun (SD =

16,04 tahun).

Tabel 4.1. Karakteristik Responden

Karakteristik ESBL

n=46(%)

Non-ESBL

n=46 (%) P Jenis kelamin

Laki-laki 26 (56,5) 24 (52,2)

Umur, rerata (SD), tahun 49,8 (14,81) 51,15 (16,04) 0,676 Komorbid

Spesimen dari pasien paling banyak diambil dari spesimen sputum, di kedua kelompok.

Jenis bakteri yang ditemukan di kelompok pasien ESBL adalah E. coli dari 17 pasien (37%), K.

pneumonia dari 27 pasien (58,7%) dan lainnya dari 2 pasien (4,3%) yaitu Klebsiella ozaena dan

(45)

Tabel 4.2 Karakteristik Infeksi

Karakteristik ESBL

n=46 (%)

Mayoritas di kelompok pasien ESBL merupakan pasien dengan riwayat pengguna

antibiotik beta laktam dan atau florokuinolon dalam 3 bulan terakhir yaitu sebanyak 34 orang

(73,9%) sedangkan di kelompok pasien non-ESBL pengguna antibiotik hanya 14 orang (30,4%).

Tiga puluh empat orang di kelompok pasien ESBL pernah dirawat di fasilitas kesehatan

sedangkan pada kelompok pasien non-ESBL hanya 7 orang pasien. Lebih dari 70 % persen

pasien di kedua kelompok merupakan pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain. Riwayat

penggunaan kateter urin lebih banyak dijumpai pada kelompok ESBL yaitu 36 orang (78,3%)

dibandingkan pada kelompok non-ESBL hanya 9 orang (19,6%). Namun riwayat menggunakan

immunosupresan tidak berbeda antara pasien ESBL (89,1%) dan pasien non-ESBL (91,3%)

secara bermakna.

Tabel 4.3 Duke Model Score

Item Duke Model Score ESBL

n (%)

Non-ESBL n (%)

(46)

Mendapat antibiotik beta laktam dan atau florokuinolon dalam 3 bulan terakhir

Tidak ada 12 (26,1) 32 (69,6)

Ada 34 (73,9) 14 (30,4) 0,0001a

Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir

Tidak ada 12 (26,1) 39 (84,8)

Ada 34 (73,9) 7 (15,2) 0,0001a

Riwayat rujukan dari fasilitas kesehatan lain

Tidak 3 (6,5) 12 (26,1)

Ya 43 (93,5) 34 (73,9) 0,011a

Riwayat menggunakan kateter 30 hari terakhir

Tidak ada 10 (21,7) 37 (80,4)

Ya 36 (78,3) 9 (19,6) 0,0001a

Riwayat penggunaan immunosupresan 3 bulan terakhir

Tidak 41 (89,1) 42 (91,3)

Ya 5 (10,9) 4 (8,7) 1,000b

a

Chi Square, b Fisher’s Exact

Dari tabel 4.3 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok

ESBL dan non-ESBL dalam hal riwayat penggunaan antibiotikbeta laktam dan atau

florokuinolon dalam 3 bulan terakhir (P=0,0001), riwayat dirawat dalam 12 bulan terakhir

(P=0,0001), rujukan dari fasilitas kesehatan lain (P=0,011), riwayat menggunakan kateter 30 hari

terakhir (P=0,0001),. Oleh karena itu, bila dijumpai hal tersebut saat anamnesis pasien infeksi

kemungkinan besar pasien tersebut terkena infeksi ESBL.

Pada kelompok ESBL yang memiliki skor 0,2, dan 3 tidak ada seorangpun, sedangkan

untuk skor ≥4, ≥5, ≥6, ≥7, ≥8, ≥9, ≥10, ≥11, ≥12, ≥13, ≥14, dan ≥16 berturut turut adalah 46, 45, 43, 43, 42,29, 24, 18,18, 1, dan 1 orang. Pada kelompok non-ESBL untuk skor 13, 14, dan 16

tidak ada seorangpun, sedangkan untuk skor 0,≥2, ≥3, ≥4, ≥5, ≥6, ≥7, ≥8, ≥9, ≥10, ≥11, dan ≥12 berturut-tururt adalah 46, 41, 41, 39, 23, 13, 11, 8, 1, 1, 1, dan 1 orang. Hal ini dapat dilihat pada

(47)

Gambar 4.1 Grafik antara skor Duke Model Score dan Jumlah pasien

4.1.3 Nilai Diagnostik Duke Model Score untuk Memprediksi Infeksi ESBL

Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa skor 2,3, dan 4 memiliki sensitivitas tinggi

100% namun spesifisitasnya rendah yaitu berturut-turut 0%, 10,9%, dan 15,2%. Sedangkan skor

12, 13, 14, dan 16 memiliki spesifisitas yang tinggi 100% dengan sensitivitas yang rendah yaitu

berturut-turut 39,1%, 22,0%, 0% dan 0%. Untuk skor 5, 6, 7, dan 8 memiliki sensitivitas cukup

tinggi (di atas 90%) yaitu 97,8%, 93,5%, 93,5%, dan 91,3% dengan spesifitas berturut-turut

50,0%, 71,7%, 76,1%, dan 82,6%. Skor 9, 10, dan 11 memiliki spesifitas yang cukup tinggi yaitu

97,8% tetapi sensitivitasnya rendah yaitu berturut-turut 63,50%, 52,2%, dan 39,1%. Skor 1 dan

(48)

Tabel 4.4 Sensitivitas dan Spesifisitas Duke Model Score

Score Sensitivitas(%) Spesifisitas (%)

2 100 0,0

3 100 10,9

4 100 15,2

5 97,8 50,0

6 93,5 71,7

7 93,5 76,1

8 91,3 82,6

9 63,0 97,8

10 52,2 97,8

11 39,1 97,8

12 39,1 100

13 22,0 100

14 0,0 100

16 0,0 100

Berdasarkan kurva sensitivitas dan spesifisitas pada gambar 4.2 maka diperoleh nilai Cut

Off yang terbaik untuk Duke Model Score adalah titik skor 8. Dengan menggunakan cut off point

8 maka didapatkan nilai sensitivitasDuke Model Score adalah 91,3% dan spesifisitas 82,6%.

Gambar 4.2 Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL

(49)

Infeksi ESBL Sensiti Fitas

Spesifi

sitas NPP NPN RKP RKN Ya Tidak

Duke Score

≥ 8 42 8 91,3% 82,6% 84% 90,5% 5,25 0,11

< 8 4 38

Nilai Prediksi Positif (NPP) Duke Model Score adalah sebesar 84% dan Nilai Prediksi

Negatif (NPN) adalah 90,5%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah 5,25 dan rasio

kemungkinan negatif adalah 0,11.

Duke Model Score dalam studi ini memiliki kemampuan untuk memprediksi seorang

penderita akan mengalami infeksi ESBL atau tidak. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC

diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 93,1 % (95% CI: 88,1% - 98,1%; p =

0,0001).

Gambar 4.2. Kurva ROC dari Duke Model Score terhadap Infeksi ESBL

4.1.4 Kepekaan Bakteri ESBL terhadap Antibiotik

Bakteri ESBL di RS. H. Adam Malik ternyata sudah resisten 100% terhadap beberapa

antibiotik antara lain: seftriaxon, sefotaxim, seftazidim, amoxicillin, bahkan

(50)

-lactamase. Terhadap dua golongan Β-lactam/Β-lactamase inhibitor lainnya yaitu piperasilin-tazobactam dan cefoperazone-sulbactam, bakteri ESBL juga memiliki sensitivitas yang rendah

yaitu 52,2% dan 4%.

Terhadap antibiotik golongan kuinolon seperti levofloxacin, bakteri ESBL memiliki

sensitivitas yang rendah yaitu 26,1% dan terhadap ciprofloxacin memiliki sensitivitas 17,4%.

Terhadap antibiotik golongan aminoglikosida yaitu gentamisin sensitivitas bakteri ESBL

rendah yaitu 43,5%. Sedangkan terhadap amikasin, ESBL memiliki sensitivitas yang sangat baik

yaitu 100%.

Bakteri ESBL memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap golongan karbapenem seperti

imipenem 91,7%, ertapenem 95,2% dan meropenem 95,7%.

Antibiotik lainnya seperti cotrimoxazole memiliki efikasi yang buruk yaitu 21,7%

sedangkan terhadap tigeciclin, bakteri ESBL masih memiliki sensitivitas yang baik yaitu 89,1%.

(51)

Tabel 4.6.Kepekaan Antibiotik Terhadap ESBL

Antibiotik Sensitif (%)

β-Laktam

Amoxicilin 0

Β-laktam/β-laktamase inhibitor

Ampisilin-sulbactam 0 Amoxicillin-clavulanat 0 Piperasilin-tazobactam 52,2 Cafoperazon-sulbactam 4 Sefalosporin

Seftriaxon 0

Sefotaxim 0

Seftazidim 0

Kuinolon

Levofloxacin 26,1

Ciprofloxacin 17,4

Aminoglikosida

Amikasin 100

Gentamisin 43,5

Karbapenem

Imipenem 91,7

Ertapenem 95,2

Meropenem 95,7

Lainnya Cotrimoxazol Tigeciclin

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual
Tabel 2.1. Populasi wabah, faktor-faktor risiko, dan vektor/reservoir bakteri ESBL 5.
Tabel 2.3. Duke model score10
Gambar 3.1 Kerangka Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan keberadaan Extended spectrum β -lactamase (ESBL) yang dihasilkan bakteri Klebsiella pneumoniae

Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Identifikasi Bakteri Gram Negatif Galur ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase) Pada Ruang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi bakteri ESBL, evaluasi kesesuaian antibiotik definitif beserta prediksi nilai parameter farmakokinetiknya yang

Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Identifikasi Bakteri Gram Negatif Galur ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase) Pada Ruang NICU

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi dengan judul: “PENGGUNAAN METODE PCR DALAM MENDETEKSI GEN TEMONEIRA (TEM) PADA EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL)

Bakteri batang Gram negatif penghasil enzim Extended Spectrum Beta- Lactamase (ESBL) merupakan salah satu bakteri Multi Drugs Resistant Gram Negative Bacteria

Pada penelitian ini didapatkan bahwa proporsi terbesar infeksi oleh bakteri penghasil ESBL adalah di ruang rawat intensif dan BBRT, maka dari itu perlu dilakukan

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat penggunaan antibiotik secara umum (kecuali ampicillin dan gentamycin), dan secara