• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) - Akurasi Duke Model Score Sebagai Prediktor Infeksi Extended-Spectrum Beta Lactamase (ESBL) Pada Pasien Rawat Inap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) - Akurasi Duke Model Score Sebagai Prediktor Infeksi Extended-Spectrum Beta Lactamase (ESBL) Pada Pasien Rawat Inap"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL)

Antibiotik pertama ditemukan oleh Sir Alexander Fleming pada tahun 1927 dan

dinamakan penisilin, yang merupakan beta laktam, yang mempunyai empat cincin beta laktam;

tiga cincin karbon dan satu nitrogen. Pada awal 1940an, Florey, Chain dan Heatley dari

Universitas Oxford menyempurnakan penisilin dan mulai digunakan untuk mengobati infeksi

bakteri secara luas. Antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesa dinding sel bakteri,

dimana cincin beta laktam meniru komponen dinding sel tempat ikatan transpeptidase, dan

secara kompetitif menghambat ikatan dari transpeptidase. Akibatnya, bakteri tidak lagi dapat

memproduksi dinding sel, sehingga pecah dan mati.2,11

Untuk mengatasi kerja dari antibiotik beta laktam ini, bakteri menghasilkan enzim, yang

disebut dengan beta laktamase, yang dapat merusak cincin beta laktam dari penisilin dengan

hidrolisis, dan tanpa cincin beta laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan bakteri (gambar

(2)

Gambar 2.1. Mekanisme Resistensi terhadap Beta laktam. Dikutip dari: John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance, 2004.2

Enzim beta laktamase yang pertama ditemukan pada bakteri gram negatif, diperantarai

oleh plasmid di Yunani pada tahun 1960an. Enzim ini dinamai dengan TEM, sesuai dengan

nama pasien asal isolat bakteri penghasil enzim ini, Temoniera. Kemudian TEM-2 ditemukan

dan sangat identik strukturnya secara biokimiawi dengan TEM-1, hanya berbeda pada satu asam

amino yang menyebabkan perbedaan titik isoelektris dari kedua enzim ini.3 Kedua enzim ini adalah enzim beta laktamase-diperantarai plasmid yang paling lazim ditemukan pada bakteri

gram negatif, termasuk Enterobacteriaceae, Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenza,

dan Neisseria gonnorhoeae. TEM-1 dan TEM-2 menghidrolisis penisilin dan sefalosporin

spektrum sempit, seperti sefalotin atau sefazolin. Namun, mereka tidak efektif terhadap

sefalosporin generasi yang lebih tinggi dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim,

seftazidim, seftriakson, atau sefepim.3,5,12 Enzim beta laktamase yang berhubungan dengan enzim-enzim tadi, tetapi lebih jarang ditemukan, dinamai SHV, karena reagen sulfhydryl

memiliki efek spesifik terhadap substrat ini. SHV merupakan hasil dari mutasi serin menjadi

glisin pada posisi 238 enzim beta laktamase TEM.3

Saat bakteri menemukan mekanisme resistensi terhadap golongan beta laktam ini, banyak

obat-obatan baru yang dikembangkan dari penisilin untuk menandingi resistensi yang muncul

pada bakteri. Turunan dari antibiotik ini disebut dengan beta laktam spektrum luas (extended spectrum beta-lactams), termasuk di dalamnya sefalosporin, monobaktam.11

Penggunaan antibiotik sefalosporin spektrum luas semakin intensif digunakan dalam dua

dekade terakhir. Penggunaan obat ini secara luas dan tidak tepat mengakibatkan munculnya

strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan menghasilkan enzim-enzim extended spectrum beta lactamase (ESBL).4 ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hampir seluruh antibiotik beta laktam, termasuk penisilin, sefalosporin, dan

monobaktam aztreonam.3

Pada tahun 1983, sebuah enzim beta laktamase yang mampu menghidrolisis sefalosporin

spektrum luas ditemukan pada suatu strain Klebsiella pneumonia di Jerman. Kemampuan untuk menghidrolisis sefalosporin spektrum luas ini muncul akibat adanya mutasi pada satu nukleotide

(dibandingkan dengan gen yang menghasilkan SHV), dan diberi nama SHV-2. Enzim beta

(3)

TEM-2. Laporan serupa bermunculan secara cepat di Amerika Serikat (1988) dan Perancis

(1984). Distribusi yang cepat ini disebabkan oleh ekspansi klonal dari bakteri ESBL, dan transfer

horizontal dari gen ESBL. Karena spektrum aktivitasnya mencakup oxyiminocephalosporins, enzim ini kemudian dikenal dengan extended spectrum beta laktamase (ESBL).3,6,13,14

Kelompok dari enzim-enzim ESBL ini heterogenus. Enzim tipe SHV dan TEM muncul

dari pergantian asam amino yang memungkinkan enzim dengan spektrum yang lebih sempit

untuk menyerang beta laktam oxyimino baru. Kelompok lainnya, dari keluarga CTX-M,

mempunyai kemampuan menyerang beta laktam dengan spektrum luas, yang didapat dari

plasmid, yang ditentukan oleh gen-gen kromosom. Famili enzim ESBL yang lain yang telah

cukup lama dikenal adalah OXA beta laktamase, agak jarang ditemukan dan dimediasi oleh

plasmid juga. OXA beta laktamase dapat menghidrolisis oksasilin dan berhubungan dengan

penisilin anti stafilokokus. Enzim beta laktamase yang lain, seperti PER, VEB, dan GES telah

dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada P. aeruginosa dan hanya didapati pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang juga cukup jarang, dan ditemukan di

Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA.3

Enzim-enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat

beta laktam oxyimino, tetapi tidak dapat menyerang sefamisin (sefoksitin, sefotetan dan

sefmetazole) dan karbapenem (imipenem, meropenem, doripenem, dan ertapenem).

Enzim-enzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor beta laktamase, seperti klavulanat, sulbaktam,

dan tazobaktam, sehingga dapat digabungkan dengan substrat beta laktam untuk menguji apakah

ada mekanisme resistensi ini. Enzim-enzim ESBL ini ditemukan secara khusus pada bakteri

gram negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi dapat juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.3

Strain Enterobacteriaceae di atas, yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim ESBL menjadi sangat penting, karena kebanyakan dari kelompok bakteri ini adalah flora normal pada

saluran cerna manusia dan hewan, dan juga tersebar luas di lingkungan bebas. Lebih jauh,

bakteri-bakteri ini dapat menyebabkan infeksi-infeksi yang berbeda, seperti septikaemia, infeksi

saluran kemih, pneumonia, kolesistitis, kolangitis, peritonitis, infeksi luka, meningitis, dan

(4)

2.2 Epidemiologi Infeksi Bakteri ESBL

Strain bakteri ESBL ini tersebar luas di seluruh dunia, lebih sering didapati pada

spesimen yang berasal dari rumah sakit tetapi juga dapat dijumpai di masyarakat. Prevalensi dan

fenotipnya berbeda dari satu daerah dengan daerah yang lain.4

Seperti disebutkan di atas, bakteri ESBL pertama sekali ditemukan di Jerman, tetapi

kebanyakan laporan tentang ditemukannya ESBL pada dekade pertama berasal dari Perancis.

Wabah pertama dilaporkan terjadi di Perancis pada tahun 1986; dimana 54 pasien di tiga ruang

rawat intensif terinfeksi bakteri ESBL dan menyebarkannya ke empat bangsal lainnya. Namun,

pada beberapa tahun terakhir, dengan gencarnya tindakan pengendalian infeksi, terjadi

penurunan insidensi infeksi bakteri ESBL. Di Perancis utara, proporsi isolat Klebsiella

pneumonia menurun dari 19,7% pada 1996 menjadi 7,9% pada tahun 2000. Terdapat perbedaan prevalensi secara geografis di Negara-negara Eropa. Di dalam suatu negara juga terjadi

perbedaan antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Di Swedia, bakteri ESBL dapat

ditemukan di masyarakat maupun di rumah sakit. Swedia telah melaporkan ke EARSS, the

European surveillance system, bahwa pada tahun 2006, 1,1% dari seluruh E.coli dan 0,8% dari

K. pneumoniae pada kultur darah ditemukan menghasilkan ESBL. Jumlah isolat ESBL telah meningkat secara tajam di Swedia dalam beberapa tahun, dan beberapa wabah telah dilaporkan.

Sejak Februari 2007, dalam enam bulan berikutnya, lebih dari 1000 kasus dilaporkan, yang

tersebar di seluruh wilayah. Artinya di Swedia, kasus ESBL berjumlah dua kali lipat daripada

MRSA.16 Kejadian di Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal. Secara keseluruhan di Eropa, penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection

(Mystic Study) tahun 2008 melibatkan 12 negara diperoleh kejadian ESBL 5,6%.17

Di USA, National Nosocomial Infection Surveillance (NNIS) menemukan sejak Januari 1998 sampai Juni 2002 didapati 6,1% dari 6.101 isolat Klebsiella pneumonia dari 110 ruang rawat inap intensif resiten terhadap sefalosporin generasi ke-tiga.6

Di Asia sendiri, pada tahun 1988, isolat Klebsiella pneumonia dari China yang mengandung ESBL untuk pertama kali dilaporkan. Dalam suatu laporan yang mengumpulkan

(5)

Kariadi Semarang, selama kurun waktu 2004-2005 didapatkan proporsi bakteri penghasil ESBL

sebesar 50,6% berdasarkan tes skrining awal.7 Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in

Indonesia: prevalence and prevention (AMRIN Study) tahun 2010-2011 menemukan bahwa

kejadian ESBL cukup tinggi yakni 29% pada E. coli dan 36% pada K. pneumoniae.18

Penelitian di Medan, tahun 2012 oleh Mayasari melaporkan dari 282 sampel urin dengan

kultur positif, diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7%.8 Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik Medan, dijumpai kejadian infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012

kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL K. pneumoniae dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K. pneumoniae dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahun 2013. Disamping itu, dari tahun 2013 diketahui bahwa 67,81% isolate K. pneumoniae dan 61,83% isolate E. coli

merupakan ESBL E. coli.

2.3 Faktor Risiko Infeksi Bakteri ESBL

Patogen-patogen yang memiliki resistensi terhadap berbagai macam obat ini

menyebabkan meningkatnya kemunculan dari kejadian infeksi baik yang didapatkan di fasilitas

kesehatan maupun yang didapatkan di masyarakat. Keterlambatan dalam pemberian antibiotik

yang tepat sebagai akibat dari resistensi menyebabkan meningkatnya morbiditas, mortalitas,

lamanya rawatan, dan biaya rawatan. Angka mortalitas pada pasien-pasien yang terinfeksi oleh

kuman yang multi resisten ini apabila diobati dengan antibiotik yang tidak tepat, berkisar

42-100%. Untuk memulai terapi yang tepat dengan cepat, klinisi harus mengenali faktor-faktor

risiko seorang pasien untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL.5,10

Demirdag dkk, tahun 2010, telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko yang secara

signifikan berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi bakteri ESBL di Firat University Hospital, Turki. Masa rawat inap diatas tujuh hari sebelum terjadinya infeksi, pemakaian antibiotik sebelumnya, penggunaan kateter, dan intervensi bedah adalah beberapa faktor risiko

tersebut.19

Rupp dkk, dari departemen penyakit dalam di University of Nebraska Medical Centre, tahun 2003 mencoba merumuskan beberapa populasi yang pernah mengalami wabah dari bakteri

ESBL, faktor-faktor risiko untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL, dan beberapa

(6)

Tabel 2.1. Populasi wabah, faktor-faktor risiko, dan vektor/reservoir bakteri ESBL 5.

Dikutip dari: Rupp, ME, Drugs,2003

2.4 Sistem Skoring Duke Model Score

Untuk memulai terapi antibiotik secara tepat waktu, beberapa institusi kesehatan

memahami pentingnya untuk memiliki sebuah alat stratifikasi faktor risiko untuk

mengidentifikasi pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi bakteri

penghasil ESBL pada saat masuk RS. Walaupun beberapa peneliti telah mengidentifikasi

faktor-faktor risiko infeksi ESBL, namun penulis hanya menemukan dua sistem skoring yang berisikan

faktor-faktor risiko tersebut. Namun kedua sistem skoring ini dibuat dalam populasi spesifik

(7)

pertama yang ditemukan oleh Tumbarello dkk tahun 2011 di Italia, dengan cara mengidentifikasi

faktor-faktor risiko dengan model regresi logistik yang kemudian diubah ke sebuah aturan yang

berdasarkan nilai yang memberikan skor untuk tiap-tiap faktor risiko.4 Sistem skoring ini dikenal dengan Italian Score. (table 2.2)

Italian Model Score4

Kriteria penilaian Skor

Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir

2

Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 3

Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3

Charlson Comorbidity Score≥ 4 2

Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 2

Usia ≥ 70 tahun 2

Dikutip dari: Tumbarello dkk, Antimicrob Agents Chemoter, 2011

Pada penelitian itu, Tumbarello dkk menggunakan cutoff skor 8 atau lebih untuk mendapatkan spesifisitas yang tinggi (96%) dan positive predictive value 80%, namun hanya memiliki sensitivitas 50%. Namun pada saat divalidasi di institusi lain, yaitu di Duke University

Hospital, maka pada tahun 2013, Steven dkk mengusulkan suatu sistem skoring baru yang lebih

(8)

Tabel 2.3. Duke model score10

Kriteria penilaian Skor

Mendapat antibiotik beta laktam dan atau fluorokuinolon dalam 3 bulan terakhir

3

Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 2

Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 4

Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 5 Riwayat Penggunaan imunosupresan 3 bulan terakhir 2

Dikutip dari: Steven dkk, Infection Control and Hospital Epidemiology, 2013

Penggunaan antibiotik empirik untuk ESBL membutuhkan spesifisitas dan positive

predictive value yang tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan atau lebih dari 8, maka pada Duke model score memiliki spesifisitas 95% dan positive predictive value 79%.10 Namun sekali lagi, sistem skoring ini belum diuji pada populasi dan organisme lain, seperti di Indonesia, khususnya

di RS. H. Adam Malik, Medan.

2.5 Manajemen Infeksi Bakteri ESBL

Adanya sistem skoring yang valid akan sangat membantu klinisi dalam menghadapi

infeksi bakteri ESBL. Keputusan dalam bagaimana menghadapi bakteri ESBL ini semestinya

tidak hanya berdasarkan laporan mikrobiologis saja. Pemahaman menyeluruh terhadap kondisi

klinis pasien dan pertimbangan praktis seperti biaya, kenyamanan dalam pemberian obat,

kepatuhan pasien, efek samping obat, efikasi antibiotik yang dipilih harus menjadi unsur-unsur

penting dalam pembentukan keputusan dalam pemilihan intervensi klinis yang paling cocok.

Pertanyaan yang juga harus dijawab sebelum memutuskan terapi yaitu apakah isolat bakteri

menunjukkan suatu infeksi atau kolonisasi.

Untuk membedakan suatu infeksi dari kolonisasi, dapat dilihat dari berbagai hal, a) asal

spesimen (isolat dari spesimen yang secara fisiologis steril seperti darah, cairan bronko alveolar,

biopsi jaringan harus dipertimbangkan secara serius; namun isolat dari lokasi yang tidak steril,

seperti apusan dari luka kronis, sputum sepertinya lebih mengarah ke kolonisasi; isolat dari

spesimen kateter dari urin biasanya menampilkan suatu kolonisasi dibandingkan isolat dari urin

porsi tengah; namun, isolat dari kateter intravena meskipun dapat berupa kolonisasi tetapi harus

dianggap sebagai sumber potensial untuk infeksi sistemik), b) parameter inflamasi dari pasien-

(9)

adanya gangguan dari parameter ini, c) keadaan umum pasien, seperti temperatur, tekanan darah,

frekuensi nadi, saturasi oksigen, kebutuhan akan inotropik, dan alat penyokong hidup.

Faktor-faktor ini harus dilihat secara menyeluruh, dan tidak terpisah-pisah, dan perubahan dari

parameter diagnostik lebih signifikan daripada suatu nilai tunggal.

A. Pendekatan non farmakologis

Pendekatan tanpa antibiotik dalam manajemen infeksi ESBL merupakan suatu langkah

kritis dalam terapi. Eliminasi dari sumber infeksi adalah manajemen penting dari infeksi, tidak

terkecuali infeksi ESBL. Jika sumber infeksi merupakan benda asing seperti alat prostetik,

penggantian atau pengeluaran alat prostetik itu menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan

karena infeksi ESBL dihubungkan dengan tindakan operasi implan atau alat-alat lainnya, dengan

terbentuknya biofilm. Pertumbuhan bakteri yang lambat, yang diikuti dengan penetrasi antibiotik

yang terhalang oleh biofilm ini menyebabkan eradikasi dan terapi dari infeksi yang berhubungan

dengan implan ini menjadi sulit.20 Pendekatan non farmakologis dalam manajemen infeksi ESBL termasuk penggantian jalur intravaskular yang terkolonisasi (central venous catheter, peripheral venous catheter), kateter urin yang terkolonisasi, drainase dari abses intra abdominal maupun intra viseral lainnya, dan pengeluaran dari katup jantung atau sendi buatan. Hal ini menunjukkan

bahwa pemberian antibiotik saja dalam infeksi ESBL yang terkait dengan alat-alat implan tidak

memberikan hasil klinis yang baik.21

B. Pendekatan Farmakologis

Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya

kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya resisten

terhadap antibiotik beta laktam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin. Selain itu

resistensi terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti trimetroprim-sulfametoksazol,

aminogikosida khususnya gentamisin.

Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi seperti yang disebutkan

sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya.

Pada hasil kultur umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap bakteri

(10)

Tabel 2.4 Rekomendasi pengobatan22

Tipe infeksi Pilihan terapi Terapi second-line Infeksi traktus urinarius

Dikutip dari: Rishi dkk, Critical Care Research and Practice, 2012

Berikut ini dipaparkan kemampuan beberapa golongan antibiotik terhadap infeksi bakteri

ESBL:

2.5.1 Karbapenem

Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam

golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pemilihan

antara imipenem dan meropenem sukar dilakukan karena memiliki profil yang hampir sama.

Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih

baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari.4 Doripenem merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi

Pseudomonas aeruginosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan

antibitik golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda.

Penelitian oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5

hari memiliki angka mortalitas yang lebih rendah.23

Dari penelitian oleh Muharrmi dkk, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem)

100% sensitif terhadap ESBL.24 Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni dkk, Aminzadeh dkk, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL.23,25 Chien Lye dkk meneliti pada 47 pasien ESBL dengan sumber infeksinya saluran kemih, hepatobilier dan akses vaskular yang

diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien.26 Penelitian Auer dkk, ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.27 Adapun dosis standar pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem 500 mg 4 kali sehari

(11)

muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaannya haruslah rasional.29

2.5.2 Βeta lactam/Βeta lactamase inhibitor

Βeta lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki kemampuan menghambat enzim beta laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada

enzim beta laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik beta lactamase inhibitor ini. Oleh karena itu, antibiotik beta lactam/beta lactamase inhibitor dapat digunakan untuk ESBL yang tidak berat. Amoksisilin/Klavulanat efektif untuk infeksi saluran kemih

komunitas akibat ESBL. Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan beta

lactam lainnya dan sulbaktam lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium

sederhana pemeriksaan fenotif ini sulit dilakukan.6,29 Penelitian Rodriquez-Bano dkk, penggunaan amoxicillin/clavulanat selama 5-7 hari pada indeksi saluran kemih tanpa komplikasi

memiliki angka kesembuhan 84%.30 Adapun dosis standar pada dewasa amoxicillin-clavulanat 625 mg/1,2 mg /8 jam baik oral maupun intravena.28

Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian

Muharrmi dkk memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap ESBL

K.pneumonia.31 DiAmerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif ESBL

E.coli dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1 % terhadap ESBL K.pneumonia.31 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasi-kannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Piperasilin-tazobactam

dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 93,1 % terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam dengan gentamisin 73,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL K.pneumonia.26Penelitian Aminzadeh dkk, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL.23 Adapun dosis standar pada dewasa 4,5 gr setiap 8jam intravena.28

2.5.3 Aminoglikosida

Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin

(12)

Muharrmi dkk, memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL

K.pneumonia.25 Penelitian Kulkarni dkk, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL.25 Penelitian Aminzadeh dkk, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL.23 Adapun dosis standar pada dewasa 5 mg/KgBB perhari intravena.28

Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian Muharrmi dkk memperoleh

kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 90,1% terhadap ESBL K.pneumonia).24 Penelitian Kulkarni dkk, amikasin 70,4% sensitif terhadap ESBL.26Penelitian Aminzadeh dkk, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL.23 Adapun dosis standar pada dewasa 15 mg/KgBB perhari terbagi dalam dua dosis intravena.28

2.5.4 Kuinolon

Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun

belakangan semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL

dengan penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin

bakteri untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel.10,29 Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi dkk, diperoleh

hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL ( 24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia).24MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8% terhadap ESBL

K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitif ESBL E.coli dan 57,5% ESBL

K.pneumonia.31 Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya dengan

obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan dengan

amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL

K.pneumonia. Sedangkan kombinasi siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia.26Penelitian Kulkarni dkk, siprofloksasin 30,2% sensitif terhadap ESBL.25

2.5.5 Sefalosporin

Secara umum sefalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL. Antibiotik

golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak mendukung

(13)

sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk walaupun hasil kultur

masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai pilihan pertama. Penelitian

Kulkarni dkk, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL.27

2.5.6 Nitrofurantoin

Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi.

Penelitian Kulkarni dkk, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh

dkk, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL.21Penelitian Auer dkk, Nitrofurantoin 94% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.24 Adapun dosis standar pada dewasa 50 mg setiap 6 jam oral.28

2.5.7 Fosfomisin

Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas dkk melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan bahwa fosfomisin sensitif pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano dkk, penggunaan

Gambar

Tabel 2.1. Populasi wabah, faktor-faktor risiko, dan vektor/reservoir bakteri ESBL 5.
Tabel 2.3. Duke model score10

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang telah dilaksanakan selama dua siklus dalam upaya untuk meningkatkan perilaku disiplin dan prestasi belajar

Diharapkan akan dapat meminimalkan terjadi komplikasi baik akut maupun kronis (Setyorini, 2017). Pasien DM yang menjalani diet meng- alami tingkat stres yang tinggi. Hal

Keunggulannya yaitu (1) sistem ini sudah dapat diakses dimana saja apabila komputer yang digunakan terhubung dengan internet, dan (2) sistem ini digunakan untuk melakukan transaksi

Sehubungan dengan adanya dua model regresi untuk memprediksi kemampuan peserta, yakni regresi tunggal dan regresi ganda, pada tulisan ini akan dibandingkan

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh skarifikasi dan suhu terhadap perkecambahan biji kepel yang paling efektif pada kondisi in vitro

Struktur sosial desa yang homogen, ketika ia berpindah maka perlu penyesuaian dengan struktur sosial kota yang heterogen bilamana status sosial seseorang dan perannya tidak lagi

Pembagiaa Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Gas Bumi Dalam Rangka Otonomi Khusus Triwulan IV Tahun 2013 kepada Kabupaten/Kota

Penerapan jenis bahan dan waktu proses demineralisasi dalam proses produksi ekstrak kolagen berbahan baku tulang ayam ras pedaging (broiler) berpengaruh nyata