• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Langsat

Tanaman langsat (Lansium domesticum) termasuk dalam famili Meliaceae

dan penyebaran tumbuhan ini berasal dari Peninsula, Thailand sampai Borneo dalam jumlah besar. Pada jumlah kecil, L. domesticum Corr. ditanam di Vietnam, Myanmar, India, Srilanka, Hawaii, Australia, Suriname, dan Puerto Rico. Tumbuhan ini tumbuh subur di daerah tropis dengan ketinggian 800 m diatas permukaan laut, tanah dengan drainase yang baik dan pH tanah sedikit asam sampai netral sekitar 5.5-6.6, curah hujan yang cukup sekitar 2000-3000 mm per tahun dan suhu 25-35 oC.

Langsat merupakan tanaman buah musiman yang cukup dikenal di Indonesia. Langsat termasuk dalam spesies L. domesticum. Spesies ini terdiri dari beberapa varietas yang sangat bervariasi dalam sifat-sifat pohon dan buahnya, sehingga ada para ahli yang memisahkannya kedalam kelompok yang berlainan. Pada garis besarnya, ada dua kelompok besar buah ini, yakni yang dikenal dengan duku dan yang dinamakan langsat. Kemudian ada kelompok campuran duku-langsat, serta kelompok terakhir yang di Indonesia dikenal sebagai kokosan (Muhamad 2010). Kelompok duku dicirikan dengan butiran buahnya agak besar, cenderung bulat, berkulit agak tebal namun cenderung tidak bergetah bila masak. Kelompok langsat dicirikan dengan bentuk buah yang berbentuk bulat telur, berkulit tipis dan bergetah (putih) sekalipun telah masak (Ashari 2006).

Manfaat utama tanaman langsat, yaitu dimakan dalam keadaan segar atau diolah menjadi makanan olahan lainnya, seperti kismis, selai, dan pure. Bagian tanaman lainnya yang bermanfaat dan digunakan secara tradisional adalah biji yang pahit rasanya, ditumbuk dan dicampur air untuk obat cacing, obat demam, dan juga obat malaria. Kulit kayunya dimanfaatkan sebagai obat disentri dan malaria, sementara tepung kulit kayu ini dijadikan tapal untuk mengobati gigitan kalajengking. Kulit buahnya juga digunakan sebagai obat diare, dan kulit buah yang dikeringkan biasanya dibakar sebagai pengusir nyamuk.

Buah langsat mengandung daging buah sebanyak 68%, sisanya berupa kulit dan biji. Daging buah kaya akan gula sukrosa, fruktosa dan glukosa sehingga

8

terasa manis. Setiap 100 g buah langsat mengandung 56 kalori, 0.9 g protein, 0.20 g lemak, 14.30 g karbohidrat, 17 mg kalsium, 24 mg fosfor, 1.10 mg zat besi, 0.07 mg vitamin B1, 3 mg vitamin C, dan 84.10 g air (Depkes 1992).

Gambar 1 Buah langsat

Penelitian aktivitas biologis dan kandungan fitokimia tanaman langsat masih belum banyak dilakukan dan dipublikasikan, hanya terdapat empat publikasi, diantaranya : ekstrak etanol 95% biji langsat digunakan sebagai insektisida larva Lepidoptera (Leatemia dan Muray 2004). Ekstrak etanol kulit buah langsat mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli,

Salmonella typhi, Vibrio cholerae, dan Staphylococcus aureus dengan diameter hambat masing –masing sebesar 9.0, 11.0, 8.7, dan 11.0 mm (Korompis et al. 2010). Ekstrak etanol 75% kulit batang langsat basah dan kering mengandung senyawa fitokimia golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid dan steroid. Ekstrak ini memiliki aktivitas antioksidan, dengan metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) dengan nilai IC50 sebesar 205.38 dan 174.19 ppm, dengan metode asam tiobarbiturat (TBA) dengan daya hambat sebesar 85.22% dan 82.83% pada konsentrasi 200 ppm, aktivitas antikanker pada sel murine leukimia P388 dengan nilai IC50 15.48 dan 12 ppm (Mokosuli 2008). Ekstrak hidroetanol buah langsat dengan dosis 2-5% digunakan sebagai bahan kosmetik (Tilaar et al. 2008).

Beberapa varietas dari spesies L. domesticum, yaitu duku dan kokosan yang telah diteliti bioaktivitasnya adalah kulit kayu tanaman duku digunakan untuk mengobati penyakit lambung dan diare kolik (Julius 2003). Ekstrak daun duku

digunakan sebagai penghambat pertumbuhan Plasmodium falciparum (Angela et al. 2003). Ekstrak etanol, fraksi n-heksana, diklorometana, dan etil asetat biji duku secara maserasi memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E. coli, S. typhi, dan Shigella flexneri. Fraksi diklrometana mempunyai aktivitas paling kuat dengan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) untuk E. coli 0.3125 mg/ml, S.

flexneri 0.625 mg/ml dan S. typhi 0.625 mg/ml (Loekitowati dan Hermansjah 2000). Ekstrak etanol kulit buah duku secara refluks memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E. coli, S. typhi, dan S. dysenteriae, ekstrak 1 mg kulit buah duku setara dengan 0.0490 µg tetrasiklin hidroklorida terhadap E. coli, setara dengan 0.0116 µg tetrasiklin hidroklorida terhadap S. typhi, dan setara dengan 0.2170 µg tetrasiklin hidroklorida terhadap S. dysenteriae (Inayah et al. 2004). Fraksi etil asetat kulit batang kokosan yang diekstrak secara maserasi dengan metanol memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E. coli pada konsentrasi 1000 ppm dengan diameter hambat 8 mm (Mayanti et al. 2006).

Senyawa dari kulit buah duku yang berhasil diisolasi, yaitu asam lansat, merupakan senyawa mayor pada kulit buah (Kiang et al. 1967). Senyawa minornya, yaitu asam lansiolat merupakan triterpen dari golongan lanosta dan lansiosida yang merupakan triterpen glikosida (Nishizawa et al. 1983). Senyawa Onoceroid berhasil diisolasi dari fraksi n-heksana kulit buah kokosan (Kosela et al. 2001). Senyawa mayor pada daun duku, yaitu asam lansiolat, sedangkan senyawa minor adalah triterpen sikloartanoid yang memiliki aktivitas antitumor (Nishizawa et al. 1989). Senyawa mayor pada biji duku, yaitu senyawa tetranotriterpenoid dan triterpenoid, sedangkan senyawa minornya adalah

mexicanolida yang memiliki aktivitas antimalaria (Nishizawa et al. 1985, 1988, 1989; Saewan et al. 2006). Senyawa onoceroid berhasil diisolasi dari fraksi n-heksana kulit buah kokosan (Kosela et al. 2001). Senyawa pada kulit batang duku adalah triterpen onoceranoid yang bersifat antifeedant (Omar et al. 2007). Senyawa triterpen onoceranoid pada kulit buah dan biji duku memiliki aktivitas antimikroba terhadap P. aeruginosa, B. subtilis, C. albicans, A. niger, dan T.

mentagrophytes (Ragasa et al. 2006). Senyawa terpenoid dari kulit batang L.

domesticum kultivar kokosan memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E.

10

Senyawa Antibakteri dari Tanaman

Senyawa antibakteri adalah senyawa kimia atau biologi yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Beberapa bagian tanaman mengandung senyawa yang dapat bersifat sebagai antibakteri. Senyawa tersebut diproduksi secara biologis oleh tanaman, dan dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Senyawa tersebut dapat berasal dari bagian tanaman seperti seperti daun, bunga, buah, biji, akar, rimpang, kulit buah atau kulit batang. Senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman sebagian besar diketahui merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama dari golongan alkaloid, fenolik dan terpenoid (Cowan 1999).

Alkaloid secara umum merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dan banyak sekali ragamnya termasuk struktur kimianya. Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi adapula yang sangat berguna dalam pengobatan. Misalnya kuinin, morfin, dan stignin adalah alkaloid yang terkenal dan mempunyai efek fisiologis dan psikologis. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit batang.

Gambar 2 Struktur kimia senyawa alkaloid (Robinson 1995)

Sebagian besar alkaloid dibentuk dari asam-asam amino seperti lisin, fenilalanin, tirosin dan triptofan, serta kerangka-kerangka asam amino tersebut sebagian besar masih tetap dalam struktur senyawa-senyawa alkaloid dan turunannya. Banyak jenis alkaloid yang bersifat terpenoid atau sebagai terpenoid termodifikasi, beberapa jenis lainnya berupa senyawa aromatik, seperti kolkhisina yang mengandung gugus basa sebagai gugus rantai samping (Harbone 2006).

Aktivitas senyawa-senyawa alkaloid dari tanaman sebagai senyawa antibakteri diantaranya, senyawa diaboline (1-acetyl-19.20-didehydro

-17,18-epoxycuron-17-ol) yang diisolasi dari biji Strychnos potatorum dan bersifat antibakteri dengan nilai MIC 100 dan 200 µg/ml terhadap S. aureus, S. typhi dan

V. cholerae (Mallikharjuna dan Seetharam 2009). Senyawa alkaloid cryptolepine

dan quindoline yang diisolasi dari tanaman Sida acuta bersifat antibakteri dengan nilai MIC 16-400 µg/ml dan MBC 80-400 µg/ml terhadap bakteri S. aureus, B.

cereus, S. carmonum, L. inoccua, E. faecalis, S. flexneri, S. dysenteriae, S. typhi,

S. paratyphi dan E. coli (Karou et al. 2005). Tujuh senyawa alkaloid yang diisolasi dari bagian tanaman Hypecoum erectum L. bersifat antibakteri khususnya bakteri S. aureus, B. Cereus, B. subtilis, E. coli, P. aeruginosa dan E. carotovora

(Yinfen et al, 2011).

Senyawa fenolik merupakan substansi yang mempunyai satu cincin aromatik dengan satu atau lebih substitusi gugus hidroksil (OH) yang termasuk gugus fungsional. Senyawa golongan fenolik sejak lama telah digunakan sebagai senyawa antimikroba. Sebagian besar senyawa fenol dalam bentuk glikosida cenderung bersifat polar, karena adanya gugus-gugus hidroksil pada struktur dasar fenolik, sehingga mudah larut dalam pelarut polar, seperti etanol, metanol dan air (Houghtan dan Raman 1998).

Gambar 3 Struktur kimia senyawa fenol (http: www.wikipedia.org/wiki/fenol)

Senyawa fenolik diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu (1) golongan fenol sederhana (vanilin, gingerol, shogaol, guaiakol dan eugenol), asam fenol (ρ -kresol, 3-etilfenol, hidrokuinon dan asam galat), (2) turunan asam hodroksinamat (ρ-kumarin, kafein dan firulin), (3) flavonoid (antosianin, flavonon, flavonol dan tanin) (Nychas 1995; Shahidi dan Nackzk 1995).

Beberapa senyawa fenolik yang bersifat antibakteri, seperti senyawa caffeic acid, verbascoside, oleuropein, luteolin 7-0-glucosidase, rutin dan apigenin yang disolasi dari daun zaitun bersifat antibakteri terhadap bakteri B. cereus, B. subtilis,

S. aureus, P. aeruginosa, E. coli, dan Klebsiella pneumoniae (Pereira et al. 2007). Senyawa terpenoid terbentuk sebagai metabolit sekunder dari tanaman melalui jalur piruvat, asetil ko-A, asam mevalonat, lalu dihasilkan

senyawa-12

senyawa terpenoid yang dikenal sebagai senyawa utama pada tanaman yang bersifat sebagai penyusun minyak atsiri. Sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh penyambungan dua atau lebih unit C-5 yang disebut unit isopren. Terpenoid mempunyai rumus dasar yaitu (C5H8)n atau dengan nama lain adalah isoprene-2 metil-2,3 butadiena (Teiser 1994 diacu dalam Naufalin 2005).

Gambar 4 Struktur kimia senyawa isopren (Robinson 1995)

Secara kimia terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Kebanyakan terpenoid alam mempunyai struktur siklik dan mempunyai suatu gugus fungsi atau lebih (hidroksil, karbinil, dll), sehingga pada langkah akhir sintesis terjadi siklisasi dan oksidasi atau penggabungan struktur lainnya (Harborne 2006).

Golongan terpenoid yang mempunyai aktivitas antibakteri antara lain

phytadiene dan 1,2-seco-cladieallan yang diisolasi dari herba meniran aktif menghambat bakteri S. aureus dan E. coli (Gunawan et al. 2008). Senyawa borneol, sineol, pinene, kamfene, kamfor, nerelidol, linalool, indol dan kadinen efektif menghambat pertumbuhan B. subtilis, S. aureus, Salmonella enterica dan

E. coli (Friedman et al. 2004).

Senyawa Antioksidan dari Tanaman

Antioksidan didefenisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi (Moein et al. 2007). Proses atau reaksi oksidasi menghasilkan produk radikal bebas yang dapat memicu reaksi berantai yang kemudian dapat merusak sel. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang elektron terluarnya tidak berpasangan, sehingga menjadikannya tidak stabil dan sangat reaktif. Radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di

sekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron dalam mencapai kestabilan atom atau molekul.

Senyawa antioksidan dapat menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dan reaksi oksidasi lainnya. Mekanisme antioksidan dalam menghambat radikal bebas diantaranya dengan mendonorkan atom hidrogen pada radikal bebas

Mekanisme penghambatan radikal bebas merupakan suatu deret reaksi bertahap, meliputi tahap inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap permulaan (inisiasi) adalah tahap pembentukan awal radikal-radikal bebas. Tahap perambatan (propagasi) merupakan tahapan radikal bebas mengawali sederetan reaksi sampai terbentuk radikal bebas baru yang sering disebut sebagai reaksi berantai. Tahap pengakhiran (terminasi) adalah tahap terputusnya daur propagasi oleh reaksi-reaksi pengakhiran (terminasi). Reaksi ini mengubah radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tidak reaktif

Inisiasi : RH R• + H• Propagasi : R• + O2 ROO•

: ROO• + RH ROOH + R• Terminasi : ROO• + ROO• non radikal

R• + ROO• non radikal

Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan sintetik dan alami. Antioksidan sintetik diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia, seperti butyl hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluena (BHT), dan tersier butil hidrokuinon (TBHQ). Antioksidan alami diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami atau terbentuk dari reaksi-reaksi kimia selama pengolahan (Trilaksani 2003) Antioksidan alami umumnya berasal dari tanaman dan komponen tersebut terkandung dalam seluruh bagian tanaman, seperti akar, daun, bunga, buah, biji, serbuk sari, kulit kayu, dan kulit buah (Mokbel dan Hashinaga 2005; Runtuwene dan Tangkuman 2008; Mosquera et al. 2007; Sartini et al. 2007; Juniarti et al. 2009; Kognou et al. 2011). senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat (asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat,dan lainnya), tokoferol, dan asam organik polifungsi.

14

Beberapa senyawa antioksidan alami yang diisolasi dari tumbuhan, diantaranya, senyawa flavonoid luteolin, kaempferol, quercetin, dan isoquercetin yang diisolasi dari herba Sonchus oleraceus L memiliki aktivitas oksidan yang kuat dengan IC50 12, 13, 11, dan 22 µg/ml dibandingkan senyawa standar α

-tocopherol (IC50 24 µg/ml) dan curcumin (IC50 24 µg/ml) (Yin Jie et al. 2008), senyawa fenol (-)epikatekin, dan isosantomisol dari kulit batang manggis hutan memiliki aktivitas antioksidan kuat dengan nilai IC50 8.6, dan 9.7 µg/ml lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa standar asam askorbat (IC50 18.1 µg/ml), α -tokoferol (IC50 32.8 µg/ml), dan BHA (IC50 35.1 µg/ml) (Muharni et al. 2009). Senyawa fenol geraniin, corilagin, ellagic acid, dan galiic acid yang diisolasi dari kulit buah rambutan dengan nilai IC50 0.79, 1.42, 1.64, dan 2.49 ppm lebih kuat dibandingkan dengan standar BHT IC50 68.8 ppm (Thitilertdecha et al. 2010).

Aktivitas antioksidan tidak dapat diukur secara langsung, melainkan melalui efek antioksidan dalam mengontrol proses oksidasi. Terdapat beberapa metode yang bisa digunakan untuk mengukur aktivitas antioksidan dan setiap metode memiliki mekanisme yang berbeda, sesuai dengan kandungan senyawa antioksidannya. Beberapa metode pengukuran aktivitas antioksidan diantaranya, metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrasil), 2,2-azinobis(3-ethyl-benzothiazoline -6-sulfonic acid) (ABTS), ferric reducing antioxidant power (FRAP), dan cuprac reducing antioxidant capacity (CUPRAC) (Thaipong et al. 2006; Krishnaiah et al. 2011). Pada penelitian ini dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH.

Senyawa DPPH (dalam etanol) berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. DPPH bersifat peka terhadap cahaya, oksigen dan pH. Radikal bebas DPPH dapat menangkap atom hidrogen dari senyawa antioksidan yang dicampurkan, kemudian bereaksi menjadi bentuk tereduksinya yang ditandai dengan berkurangnya intensitas warna ungu larutan DPPH menjadi kuning. Senyawa antioksidan akan mendonorkan atom hidrogen kepada DPPH dan selanjutnya akan terbentuk radikal baru yang bersifat stabil atau tidak reaktif (1,1-difenil-2- pikrilhidrasil) (Wikanta et al. 2005). Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan (Wikanta et al. 2005)

Ekstraksi konvensional

Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen-komponen terlarut dari campuran komponen tidak terlarut dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan kedalam pelarut organik, sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut kedalam pelarut. Ekstraksi merupakkan proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut. Proses pemindahan zat terlarut (komponen bioaktif) dari dalam bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi. Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke cairan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahapan pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahapan kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan, kedua proses tersebut berlangsung secara seri.

Metode ekstraksi konvensional yang umum digunakan ada tiga macam, yaitu maserasi, refluks, dan perkolasi. Pada dasarnya, prinsip refluks disamakan dengan cara soxhlet, karena menggunakan sistem pemanasan pada suhu tertentu (Houghton dan Ramman 1998). Maserasi merupakkan ekstraksi dengan cara perendaman sampel ke dalam pelarut yang sesuai disertai pengadukan, sehingga senyawa aktif terlarut sempurna. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut dan bahan pada tempat yang sama , menggunakan pemanasan dan kondensor balik, sehingga pelarut akan masuk kembali secara kontinyu dalam tempat proses ekstraksi berlangsung. Metode soxhlet adalah ekstraksi dengan menggunakan peralatan soxhlet, pelarut dan sampel berada pada tempat terpisah, ekstraksi terjadi secara kontinyu akibat pergerakan pelarut melalui proses pemanasan dan kondensasi. Perkolasi adalah ekstraksi sampel menggunakan pelarut secara berkesinambungan sehingga senyawa aktif terlarut sempurna.

16

Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung dari sifat komponen yang akan diekstraksi. Salah satu sifat yang penting adalah polaritas suatu senyawa dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH, dan lain-lain). Suatu senyawa polar diekstrak dengan menggunakan pelarut polar, demikian juga untuk senyawa semi polar dan non polar. Derajat polaritas bergantung pada besarnya tetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut. Pelarut yang umum digunakan dalam ekstraksi komponen bioaktif dari tanaman, yaitu pelarut non polar (heksan, sikloheksan, dan toluen), pelarut semi polar (khloroform, diklorometana, dietil eter, dan etil asetat) dan pelarut polar (methanol, etanol, dan air) (Houghton dan Raman 1998).

Ada berbagai macam jenis pelarut yang dapat digunakan untuk proses ekstraksi. Jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus mempunyai persyaratan antara lain harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih yang cukup rendah, murah, tidak toksik, dan tidak mudah terbakar. Untuk menseleksi awal kemungkinan tumbuh-tumbuhan mempunyai aktivitas antimikroba dan antioksidan, maka untuk mengekstraksinya dapat digunakan air, alkohol, atau pelarut organik yang lainnya.

Ekstraksi Berbantu Gelombang Mikro

Ekstraksi dengan bantuan gelombang mikro merupakan proses ekstraksi yang memanfaatkan energi yang ditimbulkan oleh gelombang mikro. Gelombang mikro adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 1 cm – 1 m dengan frekuensi antara 0.3 – 30 GHz). Dalam spektrum frekuensi, gelombang mikro terletak antara gelombang radio dan inframerah (Mandal et al. 2007).

Pemanasan dengan menggunakan gelombang mikro merupakan akibat dari adanya interaksi antara kandungan bahan dengan gelombang elektromagnetik. Prinsip pemanasan menggunakan gelombang mikro berdasarkan tumbukan langsung dengan material atau pelarut dan diatur oleh dua fenomena, yaitu konduksi ionik dan rotasi dipol.

Konduksi ionik mengacu pada migrasi elektroforetik ion dalam pengaruh perubahan medan listrik. Dalam pengaruh suatu medan listrik, ion-ion yang terdapat pada bahan yang dipanaskan akan bergerak dan bergesekan sehingga menimbulkan panas. Rotasi dipol merupakan pengaturan kembali dipol-dipol molekul akibat medan listrik yang terus berubah dengan cepat. Gelombang mikro bekerja dengan melewatkan radiasi gelombang mikro pada molekul-molekul yang terdapat pada bahan, sehingga molekul-molekul ini akan menyerap energi elektromagnetik tersebut. Proses penyerapan energi ini disebut pemanasan dielektrik. Kebanyakan molekul pada bahan bersifat dipol elektrik (memiliki muatan negatif dan positif), sehingga dengan adanya medan listrik yang berubah-ubah yang diinduksikan melalui gelombang mikro, masing-masing sisi akan berputar untuk saling mensejajarkan diri satu sama lain. Perputaran molekul ini akan menimbulkan gesekan atau tabrakan antar molekul yang akhirnya akan membangkitkan panas. Energi panas yang dihasilkan inilah yang berfungsi sebagai agen pemanasan (Jain et al. 2009)

Pemanasan gelombang mikro melibatkan tiga konversi energi, yaitu konversi energi listrik menjadi energi elektromagnetik, energi elektromagnetik menjadi energi kinetik, dan energi kinetik menjadi energi panas. Poin kunci yang menjadikan energi gelombang mikro menjadi alternatif yang menarik guna menggantikan pemanasan konvensional adalah, pada pemanasan konvensional, pemanasan terjadi melalui gradien suhu, sedangkan pada pemanasan gelombang mikro, pemanasan terjadi melalui interaksi langsung antara material dengan gelombang mikro. Hal tersebut mengakibatkan transfer energi berlangsung lebih cepat, dan berpotensi meningkatkan kualitas produk (Zhang dan Hayward 2006; Das et al. 2009).

Ekstraksi berbantu gelombang mikro dipengaruhi oleh jenis pelarut, volume pelarut, waktu ekstraksi dan daya gelombang mikro (Mandal et al. 2007). Jenis

18

pelarut dipilih berdasarkan kelarutan senyawa target, interaksi antara pelarut dengan matriks bahan serta kemampuan pelarut dalam menyerap energi gelombang mikro (Brachet et al. 2002; Kaufman et al. 2007; Mandal et al. 2007). Ukuran kemampuan pelarut dalam menyerap energi gelombang mikro dan mengubahnya menjadi panas dinyatakan sebagai faktor disipasi atau tangen loss (tan ). Tangen loss merupakan perbandingan antara dielektrik loss ( '') yang mengindikasikan efisiensi pelarut dalam mengkonversi energi gelombang mikro menjadi panas dan konstanta dielektrik ( ') yang merupakan ukuran kemampuan pelarut untuk menyerap energi gelombang mikro . (Jain et al. 2009; Mandal et al

2007). Nilai konstanta dielektrik, dielektrik loss dan tangen loss disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai konstanta dielektrik beberapa pelarut

Pelarut Konstanta

dielektrik ( ') Dielektrik loss ( '') Faktor disipasi (tan x 104 ) Heksan 1.88 0.000019 0.1 Etil asetat 6.02 3.2 5316 Aceton 20.7 11.5 5555 Etanol 24.3 6.1 2500 Metanol 32.7 15.2 6400 Air 80 12 1500

Sumber : Mandal et al. (2007) dan Jain et al. (2009)

Volume pelarut harus cukup agar bahan yang akan diekstrak terendam seluruhnya dalam pelarut. Pada ekstraksi konvensional, volume pelarut yang lebih banyak dapat meningkatkan rendemen ekstrak, tetapi pada ekstraksi berbantu gelombang mikro volume pelarut yang lebih banyak dapat menghasilkan rendemen yang rendah. Hasil penelitian yang dilakukan pada ekstraksi kulit buah delima (Pomegranate) menggunakan gelombang mikro, menunjukkan bahwa kulit buah delima yang diekstrak dengan air destilat dengan rasio bahan per pelarut 1:20 memberikan rendemen total fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan rasio 1:10 dan 1:40 ( Zheng et al. 2011). Prazad et al. (2011) melakukan ekstraksi daun mangrove (Ceriops. decandra sp) menggunakan pelarut etanol dengan rasio bahan per pelarut 1:10, 1:15, 1:20, 1:25 dan 1:30 dengan menggunakan gelombang mikro, hasil penelitian menunjukan rendemen total triterpenoid lebih tinggi pada rasio 1:15.

Waktu menentukan jumlah komponen bioaktif yang dapat diekstraksi dari bahan. Secara umum dengan meningkatnya waktu ekstraksi maka jumlah komponen yang terekstrak akan semakin banyak, tetapi ekstraksi dengan bantuan gelombang mikro membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat. Seringkali waktu ekstraksi 15-20 menit memberikan hasil yang baik (Mandal et al. 2007; Prazad et al. 2011; Rafiee et al. 2011; Singh et al. 2011), bahkan pada bahan dan kondisi ekstraksi tertentu membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk memperoleh hasil yang optimum, seperti ekstraksi total fenol dari buah Canarium. album L membutuhkan waktu 15 detik (Zhiyong danXia 2007), ekstraksi pektin dari buah apel membutuhkan waktu 40 detik (Wang et al. 2007), ekstraksi asam fenol dari kulit buah jeruk (Citrus mandarin) membutuhkan waktu 49 detik (Hayat et al. 2009), dan ekstrasi total fenol dari kulit buah delima (Pomegranate) membutuhkan waktu 60 detik (Zheng et al. 2011).

Daya gelombang mikro dan waktu merupakan dua fator yang saling mempengaruhi. Kombinasi daya yang rendah atau sedang dengan waktu yang panjang merupakan pilihan yang bijak untuk menghindari terjadinya degradasi termal produk. Secara umum efisiensi ekstraksi dengan waktu ekstraksi yang singkat akan meningkat seiring dengan meningkatnya daya gelombang mikro, begitu pula sebaliknya. Tetapi pada daya yang tinggi, variasi daya tidak memberikan pengaruh yang nyata pada rendemen ekstrak (Zhiyoung et al. 2007; Hayat et al 2009; Dhobi et al. 2010).

Beberapa hasil penelitian penggunaan gelombang mikro untuk proses ekstraksi komponen aktif dari bahan alam disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rangkuman hasil penelitian ekstraksi kulit buah dengan gelombang

Dokumen terkait