• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Parameter Biotik

3.1.2 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), dan Indeks Keseragaman (E)

Perhitungan indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman merupakan analisa yang biasa digunakan dalam analisa populasi dan komunitas makrozoobentos.

Tabel 3.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobentos di Setiap Stasiun Penelitian

INDEKS STASIUN

I II III

Keanekaragaman (H’) 1,982 2,229 1,814

Keseragaman (E) 0,685 0,801 0,730

Berdasarkan Tabel 3.3 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) yang diperoleh dari ketiga stasiun berkisar antara 1,814 – 2,229. Nilai H’ tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 2,229. Hal ini disebabkan stasiun II memiliki keanekaragaman genus yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun III dan penyebaran jumlah genus lebih merata pada setiap ulangan dibandingkan dengan stasiun I yang tidak memiliki penyebaran genus yang merata pada setiap ulangan. Hal ini menyebabkan H’ di stasiun II lebih tinggi dari H’ di stasiun I maupun H’ di stasiun III. Nilai indeks keanekaragaman (H’) terendah terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 1,814. Hal ini disebabkan karena diantara semua stasiun, stasiun III memiliki jumlah genus yang paling sedikit dan penyebarannya yang tidak merata.

Menurut Barus (2004, hlm: 121) suatu komunitas dinyatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Nilai indeks keseragaman (E) yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 0,685 – 0,801. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 0,801. Hal ini disebabkan oleh penyebaran individu pada stasiun ini lebih merata dibandingkan dengan penyebaran individu di stasiun yang lain. Nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 0,685. Hal ini disebabkan pada stasiun ini penyebaran makrozoobentos tidak merata. Menurut Yulianda & Damar (1994, hlm: 15), nilai E berkisar 0 – 1 semakin kecil nilai E artinya

semakin kecil keseragaman suatu populasi dan ada kecendrungan bahwa suatu jenis mendominasi populasi tersebut.

Berdasarkan indeks diversitas Shannon Wienner, maka dapat disimpulkan bahwa Danau Lut Tawar yang berada di tempat penelitian merupakan suatu perairan yang memiliki keanekaragaman yang rendah. Berdasarkan klasifikasi tingkat pencemaran maka dapat disimpulkan bahwa perairan di lokasi penelitian termasuk ke dalam perairan yang tercemar ringan.

Menurut Barus (2004, hlm: 125), klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon-Wienner, >2,0 (tidak tercemar); 1,6 – 2,0 (tercemar ringan); 1,0 – 1,6 (tercemar sedang); < 1,0 (tercemar berat/parah). Menurut Yulianda & Damar (1994, hlm: 15) kisaran indeks Shannon dapat diklasifikasikan sebagai berikut: < 1,0 (keragaman kecil), 1,0 – 3,0 (keragaman sedang), > 3,0 (keragaman tinggi).

3.1.3 Nilai Indeks Similaritas (IS)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing – masing stasiun penelitian diperoleh nilai indeks similaritas seperti pada Tabel 3.4 berikut:

Table 3.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) atau Kesamaan di Stasiun Penelitian

STASIUN 1 2 3

1 - 70,58% 66,66%

2 - - 71,42%

3 - - -

Dari Tabel 3.4 dapat dilihat hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas yang tertinggi antara stasiun II dan stasiun III dengan nilai 71,42%. Berdasarkan pengelompokan tersebut, diketahui bahwa makrozoobentos antara stasiun I dan stasiun II terdapat 70,58% kesamaan. Ditinjau dari kesamaan jenis, terdapat 12 genus yang sama. Diantara stasiun I dan stasiun III terdapat 66,66% genus yang sama. Ditinjau dari kesamaan jenis, terdapat 9 genus yang sama dan antara stasiun II dan stasiun III terdapat 71,42% genus yang sama. Ditinjau dari kesamaan jenis, terdapat 10 genus yang sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makrozoobentos

mempunyai struktur yang mirip pada ketiga stasiun. Kemiripan ini karena faktor ekologi dan faktor fisik kimia yang tidak jauh berbeda antara ketiga stasiun.

3.2 Parameter Abiotik

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Perairan Danau Lut Tawar didapatkan nilai faktor fisik kimia seperti pada Tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5 Rata – rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Danau Lut Tawar

NO PARAMETER SATUAN STASIUN

1 2 3 1 Temperatur Air 0C 22,5 22,4 23,5 2 Penetrasi Cahaya cm 6,1 6 6 3 pH Air - 7,5 7,7 7,6 4 DO(Dissolved Oxygen) mg/l 6,1 6,2 5,7 5 BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)) mg/l 2,5 3,9 4,7

6 Kandungan Substrat Organik % 5,4520 3,8972 0,0874

7 Kejenuhan Oksigen % 72,10% 73,55% 68,51%

8 Intensitas cahaya candela 120 175 126

9 Substrat Dasar - Lumpur berpasir Lumpur berpasir Pasir

Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah Kontrol di Desa Toweran Tua

Stasiun 2 : Daerah Dermaga di Desa Toweran Uken

Stasiun 3 : Daerah Keluaran Air Danau di Desa Bale Bujang

Berdasarkan Tabel 3.5 menunjukkan bahwa nilai temperatur pada lokasi penelitian berkisar 22,40C – 23,50C, dengan nilai temperatur yang tertinggi pada stasiun III sebesar 23,50C yang merupakan daerah keluaran air danau. Temperatur yang terendah pada stasiun II sebesar 22,40C yang merupakan daerah dermaga. Temperatur pada setiap stasiun tidak jauh berbeda atau tidak mengalami fluktuasi (relatif konstan) karena tidak mengalami perubahan yang tinggi. Menurut Barus (2004, hlm: 46), fluktuasi temperatur di perairan tropis yang umumnya sepanjang tahun mempunyai fluktuasi temperatur udara yang tidak terlalu tinggi sehingga mengakibatkan fluktuasi temperatur air tahunan juga tidak terlalu besar. Broweer et

al.,(1990, hlm: 594) mengatakan bahwa kondisi temperatur perairan dipengaruhi oleh

kondisi atmosfir yang mengontol iklim, musim dan perubahan cuaca serta keadaan intensitas cahaya matahari pada permukaan air serta faktor kanopi disekitar perairan. Kisaran temperatur yang optimal untuk pertumbuhan bentos antara 200C – 300C.

Berdasarkan penelitian yang di lakukan di peroleh data penetrasi cahaya pada setiap stasiun hampir sama yaitu 6 m. Tingginya intensitas cahaya menyebabkan tingginya penetrasi cahaya. Kedalaman penetrasi ini menunjukkan bahwa kondisi air di danau ini masih jernih. Selain tingginya intensitas cahaya, kedalaman penetrasi juga disebabkan dengan tidak banyaknya bahan – bahan terlarut yang tersuspensi di dalam air. Sastrawijaya (1991, hlm: 99) menjelaskan bahwa cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam air dan demikian pula sebaliknya.

Berdasarkan Tabel 3.5 dapat dilihat bahwa pH air pada setiap stasiun berkisar 7,5 – 7,7. Nilai pH yang tinggi pada stasiun II di sebabkan karena stasiun ini memiliki aktifitas masyarakat yang lebih banyak dari stasiun lainnya sehingga menghasilkan limbah berupa sisa deterjen dari pencucian perahu, pupuk dari lahan pertanian dan sisa dari makanan ikan dikeramba yang terbawa aliran air permukaan mengakibatkan peningkatan nilai pH air. Menurut Wardhana (2004, hlm: 85) bahwa larutan sabun akan menaikkan pH air sehingga dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air. Ada sebagian bahan sabun maupun deterjen yang tidak dapat dipecah oleh mikroorganisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah tentu akan merugikan lingkungan. Menurut Supriharyono (2000, hlm: 106), ada beberapa jenis limbah yang biasanya dihasilkan dari aktivitas pertanian, diantaranya adalah pengolahan tanah, pemupukan, dan pemberantasan hama

Nilai oksigen terlarut pada stasiun penelitian berkisar 5,7 – 6,2 mg/l. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 6,2 mg/l dan terendah pada stasiun III sebesar 5,7 mg/l. Nilai DO pada stasiun II yang tinggi, berkaitan dengan rendahnya temperatur demikian pula sebaliknya pada stasiun III. Rendahnya DO pada stasiun III berkaitan dengan tingginya temperatur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sastrawijaya (1991) bahwa temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Kehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut sebanyak 5 mg/l dan tergantung pada daya tahan organisme tersebut.

Nilai kejenuhan oksigen yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 68,51% - 73,55%. Nilai kejenuhan tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 73,55% dan terendah pada stasiun III sebesar 68,51%. Nilai kejenuhan oksigen yang tinggi pada stasiun II berkaitan dengan tingginya nilai DO pada stasiun tersebut. Hal ini menunjukkan defisit oksigen pada stasiun tersebut sedikit. Sumber pemasukan O2

yang cukup besar yang berasal dari hasil fotosintesis plankton, kerapatan vegetasi sekitar yang rimbun, dan juga oksigen yang berasal dari kontak langsung dengan udara, sedangkan nilai kejenuhan Oksigen yang paling rendah yaitu sebesar 68,51% terdapat pada stasiun III. Rendahnya oksigen terlarut pada stasiun ini di sebabkan karena stasiun ini merupakan daerah keluaran air danau dan tidak ditemukannya pepohonan disekitar stasiun ini.

Berdasarkan hasil penelitian di peroleh data kisaran nilai BOD5 untuk seluruh stasiun sebesar 2,5 – 4,7 mg/l. Nilai BOD5 tertinggi pada stasiun III yang berada pada keluaran air danau dan terdapat pemukiman penduduk, sedangkan yang terendah berada pada stasiun I yaitu daerah kontol dimana tidak ada aktifitas penduduk. Nilai BOD5 tinggi pada stasiun III karena limbah dari rumah penduduk dan penimbunan limbah dari hulu danau yang terakumulasi pada bagian hilir. Menurut Wardhana (2004, hlm: 91), bahan buangan limbah organik biasanya berasal dari bahan buangan limbah rumah tangga, bahan buangan limbah pertanian, kotoran manusia, kotoran hewan dan lain sebagainya. Suin (2002, hlm: 46) menyatakan bahwa aliran air juga berpengaruh terhadap kelarutan udara dan garam-garam dalam air sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air.

Nilai kandungan substrat pada stasiun penelitian berkisar 0,0874% – 5,4520%. Nilai tertinggi berada pada stasiun I yang merupakan daerah kontrol. Nilai kandungan substrat yang tinggi pada stasiun I selain karena substrat berupa Lumpur berpasir yang memiliki kandungan organik yang tinggi disebabkan pula karena adanya aliran kecil yang masuk ke danau yang membawa bahan organik, sedangkan kandungan organik yang rendah berada pada stasiun III yang substratnya berupa pasir. Rendahnya kandungan substrat pada stasiun ini disebabkan keluarnya aliran air danau dimana kandungan substrat akan terbawa ke sungai. Hutapea (2006) menjelaskan bahwa kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat berdasarkan persentase

sebagai berikut, jika < 1% (sangat rendah); 1% - 2% (rendah); 2,01% - 3% (sedang); 3,01% - 5% (tinggi); > 5,01% (sangat tinggi).

Secara umum seluruh nilai parameter abiotik baik fisik maupun kimia yang terdapat di seluruh kedalaman dan stasiun di perairan Danau Lut Tawar masih cukup baik untuk kelangsungan hidup biota air yang terdapat di dalamnya termasuk organisme makrozoobentos. Menurut Wardhana (2004, hlm: 195) Baku mutu air golongan D merupakan golongan air yang tidak di pergunakan untuk keperluan air minum, perikanan, pertanian tetapi masih memenuhi syarat untuk kehidupan biota air memiliki batasan nilai parameter fisik dan kimia yang di ijinkan sebagai berikut : Suhu normal, pH 6 - 8,5, BOD5 30 mg/l, dan DO minimal 3 mg/l.

Dokumen terkait