• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Nilai-Nilai Otentik

Otentik berarti kita menjadi diri sendiri. Otentik berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya (Suseno, 1989: 143).

6.4.3 Kesediaan untuk bertanggung jawab

Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri.

Bertanggung jawab berarti: (1) kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan, dengan sebaik mungkin, (2) mengatasi segala etika peraturan, (3) wawasan orang yang bertanggung jawab tidak terbatas, tidak hanya terbatas pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, tetapi juga bertanggung jawab di mana saja diperlukan, dan (4) kesediaan unruk diminta, dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan, atas pelaksanaan tugas dan kewajiban (Suseno, 1989: 145--146).

6.4.4 Kemandirian moral

Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam

lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya (Suseno, 1989: 147). Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat “dibeli” oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

6.4.5 Keberanian moral

Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan (Suseno, 1989: 147). Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibikin malu, dicela, ditentang atau diancam oleh yang banyak, oleh orang-orang yang kuat dan mempunyai kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya kita segani.

6.4.6 Kerendahan hati

Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk

memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu segala-galanya dan bahwa penilaian moral kita masih sering digelapkan oleh pengaruh-pengaruh emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang masih ada dalam diri kita.

Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya (Suseno, 1989: 149). Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain. Kita tidak merasa kalah kalau pendapat kita tidak menang. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dank arena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

6.4.7 Realistis dan kritis

Kita wajib membuka mata lebar-lebar terhadap realitas. Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar.

Sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis (Suseno, 1989: 150). Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang lebih bahagia.

7 Relevansi dalam Pembelajaran Sastra di SMA 7.1 Kurikulum

7.1.1 Pengertian Kurikulum

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untu mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajarn, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran.

7.1.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (BNSP, 2006: 5). Di dalam mendiknas (2006: 5), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BNSP. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.

7.1.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar KTSP

Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap tingkat dan/atau semester.

Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

1) Mendengarkan 2) Berbicara

3) Membaca 4) Menulis.

Dalam penelitian ini, peneliti akan merelevansikan hasil penelitian pada pembelajaran sastra untuk SMA kelas XI semester 1. Uraian tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jenjang SMA kelas XI semester 1 adalah sebagai berikut:

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Membaca 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan

7.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat

7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan

7.1.4 Perencanan Pembelajaran KTSP a. Silabus

Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. Komponen silabus terdiri atas:

 Identitas mata pelajaran;

 Identitas sekolah, meliputi nama satuan pendidikan dan kelas;

 Standar kompetensi;  Kompetensi dasar;

 Materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi;

 Pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik danpeserta didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan;

 Penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukanpencapaian hasil belajar peserta didik;

 Alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur kurikulum untuk satu semester atau satu tahun;

 Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak, dan elektronik, alam sekitar atau sumber belajar lain yang relevan.

b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai kompetensi dasar (KD). Komponen RPP terdiri atas:

 Identitas sekolah, yaitu nama satuan pendidikan;  Identitas mata pelajaran atau tema/subtema;  Kelas/semester;

 Materi pokok;

 Alokasi waktu, ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai;  Tujuan pembelajaran, yang dirumuskan berdasarkan

KD dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan;

 Kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi;

 Materi pembelajaran;  Metode pembelajaran;  Media pembelajaran;  Sumber belajar;

 Langkah-langkah pembelajaran, dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup;

7.2 Pembelajaran Sastra di Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) 7.2.1 Pengajaran Sastra

Sebagai seorang guru sastra, kita harus mempunyai semangat sehubungan dengan pengajarannya. Kita harus mempunyai kencintaan pribadi terhadap sastra. Kita perlu gemar membaca karya-karya sastra. Kita pun harus yakin bahwa pengajaran sastra itu bermanfaat bagi murid-murid. Karena itu kita akan selalu mempersiapkan pengajaran dengan baik. Semangat dan kecintaan kepada karya sastra dan kepada tugas dalam mengajar itu akan berpengaruh kepada murid.

Mengajarkan sastra bukan hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi mengajarkan sikap terhadap nilai-nilai (Rusyana, 1982: 10). Karena itu, maka sikap guru besar peranannya dalam mencapai tujuan pengajaran. Rusyana (1982: 10) mengemukakan bahwa guru sastra dituntut pula agar ia dapat memberikan pengaruh yang tepat terhadap kelasnya pada waktu ia melaksanakan pengajaran. Pengajaran sastra merupakan usaha untuk menumbuhkan standar penilaian.

Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, maka tentu saja pengajaran sastra tidak

akan ada gunanya lagi untuk diadakan. Sebagai seorang guru, kita harus dapat menunjukkan bahwa sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam masyarakat (Rahmanto, 1988: 15).

7.2.2 Tujuan Pengajaran Sastra

Pengajaran sastra mempunyai peranan dalam mencapai berbagai aspek dari tujuan pendidikan susila, social, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan (Rusyana, 1982: 6). Rusyana (1982: 6-9) mengemukakan bahwa tujuan pengajaran sastra itu ada dua, yaitu (1) tujuan untuk memperoleh pengalaman sastra dan (2) tujuan untuk memperoleh pengetahuan sastra.

Tujuan untuk memperoleh pengalaman sastra itu dapat dibagi menjadi dua bagian, seperti yang dikemukakan di bawah ini.

 Apresiasi sastra

Dalam hasil karya sastra itu terkandung pengalaman manusia yang indah dan mendalam. Pengenalan yang semakin mendalam terhadap pengalaman hidup yang

terkandung dalam sastra, serta hasrat dan jawaban kita terhadapnya, disebut apresiasi sastra (Rusyana, 1982: 7).

Menurut Rusyana (1982: 7), dalam pengajaran apresiasi sastra, guru harus memberikan kesempatan agar murid memperkembangkan apresiasinya sendiri. Tugas guru adalah membantu murid, dengan menyajikan lingkungan yang memadai, misalnya berupa bahan bacaan sastra dan dorongan agar murid senang membaca. Murid didorong untuk berkenalan dengan karya sastra, mengadakan kontak dengan jalan membacanya, dan kemudian menikmatinya.

 Ekspresi sastra

Tujuan pengajaran sastra yang lain adalah untuk memperoleh pengalaman dalam ekspresi sastra. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan daya mencipta pada anak.

Dalam pengajaran sastra, kita juga harus memberikan perhatian pada kegiatan ekspresi ini. Kegiatan ekspresi dalam pengajaran sastra dapat dilakukan dalam bercerita, bercakap, mengarang, berdeklamasi, membaca indah, dan memerankan teks drama (Rusyana, 1982: 8).

Tujuan untuk memperoleh pengetahuan sastra berjalinan erat dengan tujuan memperoleh pengalaman sastra. Bertolak dari pengalaman murid tentang sastra, kemudian diberikan pengetahuan, sehingga murid akan beroleh wawasan tentang pengalamannya itu (Rusyana, 1982: 9). Misalnya pengetahuan tentang lagu sastra, irama sastra, dan bentuk sastra diberikan setelah murid beroleh pengalaman membaca hasil sastra. Pengalaman yang mereka miliki itu kemudian diperjelas dengan pengetahuan tentang hal itu (Rusyana, 1982: 9).

7.2.3 Pemilihan Bahan Pengajaran Sastra

Bahan pengajaran yang disampaikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswa pada suatu tahapan pengajaran tertentu. Sesuai dengan tingkatan para siswa, karya sastra yang akan disajikan hendaknya juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukarannya dan criteria-kriteria tertentu lainnya (Rahmanto, 1988: 26).

Kemampuan untuk dapat memilih bahan pengajaran sastra ditentukan oleh berbagai macam faktor, antara lain: berapa banyak karya sastra yang tersedia di perpustakaan sekolah, kurikulum yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus diberikan agar dapat menempuh tes hasil belajar akhir tahun, serta masih banyak faktor lain yang harus

dipikirkan oleh guru pengajar sastra di sekolah menengah (Rahmanto, 1988: 27). Malahan, kadang bahan yang ditentukan dari atasan lewat kurikulum kurang sesuai dengan lingkungan siswa.

Agar dapat memilih bahan pengajaran sastra secara tepat, beberapa aspek perlu dipertimbangkan. Rahmanto (1988: 27-33) mengemukakan tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pengajaran sastra, yaitu: (1) sudut bahasa, (2) kematangan jiwa (psikologi), dan (3) latar belakang kebudayaan para siswa.

 Bahasa

Aspek kebahasan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tapi juga faktor-faktor lain seperti: cara penulisan yang dipakai pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Agar pengajaran sastra dapat lebih berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran sastra yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswanya (Rahmanto, 1988: 27).

Rahmanto (1988: 28) mengemukakan bahwa dalam usaha meneliti ketepatan teks yang terpilih, guru

hendaknya tidak hanya memperhitungkan kosa kata dan tata bahasa, tetapi perlu mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Di samping itu, perlu juga diperhatikan cara penulis menuangkan ide-idenya dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga pembaca dapat memahami kata-kata kiasan yang digunakan.

 Psikologi

Dalam memilih bahan pengajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis ini hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keenggana anak didik dalam banyak hal (Rahmanto, 1988: 29). Tahap perkembangan psikologis ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap: daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi.

Karya sastra yang terpilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tahap psikologis pada umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja, tidak semua siswa dalam satu kelas mempunyai tahapan psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya menyajikan karya

sastra yang setidak-tidaknya secara psikologis dapat menarik minat sebagian besar siswa dalam kelas itu (Rahmanto, 1988: 31).

 Latar belakang budaya

Latar belakang karya sastra ini hampir meliputi semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti: geogradi, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika, dan sebagainya. Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka (Rahmanto, 1988: 31).

Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati oleh para siswanya sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar jangkauan kemampuan pembayangan yang dilakukan oleh para siswanya. Meski demikian, guru hendaknya selalu ingat bahwa pendidikan secara keseluruhan bukan hanya menyangkut situasi dan masalah lokal saja. Dalam hal ini, sastra merupakan salah

satu bidang yang menawarkan kemungkinan cara-cara terbaik bagi setiap orang yang ada dalam suatu bagian dunia untuk mengenal bagian dunia orang lain (Rahmanto, 1988: 32).

44 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat (Ratna, 2004: 61). Dasar filosofis pendekatan sosiologi adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Sebagai sumber estetika dan etika karya sastra hanya bisa menyarankan. Oleh karena itulah, model pendekatannya adalah pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat (Ratna, 2004: 60).

Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Sapardi, 1978: 2). Sapardi (1978: 2) mengemukakan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan.

B. Metode Penelitian

Metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat (Ratna, 2004: 34). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Ratna (2004: 53) mengemukakan bahwa metode dekriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan metode tersebut, peneliti akan menggali nilai-nilai moral yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna. C. Teknik Pengumpulan Data

Sudaryanto (1993: 26) mengemukakan bahwa teknik merupakan penjabaran dari metode dalam sebuah penelitian, yang disesuaikan dengan alat dan sifat. Pengumpulan data pada penelitiaan ini diawali peneliti dengan membaca novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna secara teliti kemudian mencatat hal-hal yang berkaitan dengan tokoh, penokohan, dan alur dalam novel tersebut, serta mengidentifikasi masalah yang akan dikupas, yaitu nilai-nilai moral.

Berdasarkan teknik yang digunakan, penelitian ini menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis ini terdiri dari buku-buku kesusastraan yang menguraikan tentang sosiologi sastra, unsur-unsur intrinsik karya sastra, dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam karya sastra. Dalam hal ini data yang diambil adalah data-data yang berkaitan dengan sasaran yang diinginkan oleh penulis.

D. Teknik Analisis Data

Setelah data diperoleh, penulis akan menganalisa data tersebut secara kepustakaan. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengambil langkah-langkah dalam penelitian ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menentukan buku yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian, yaitu novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna.

2. Mengumpulkan bahan dari berbagai sumber.

3. Mengidentifikasi tokoh dan penokohan dari novel tersebut.

4. Menganalisa nilai-nilai moral yang ada dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna.

5. Menarik kesimpulan.

6. Merelevansikan hasil penelitian ke dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XI.

47 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tokoh

Peneliti mengidentifikasi ada empat puluh tujuh nama tokoh dalam novel Pertempuran 2 Pemanah: Arjuna-Karna ini.

1. Prabu Pandu.

Raja negeri Hastinapura; suami Dewi Kunti; ayah para Pandawa. 2. Dewi Kunti.

Putri Prabu Basukunti; adik Raden Basudewa; istri Prabu Pandu; ibu para Pandawa.

3. Raden Yudistira.

Putra sulung Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Samiaji; suami dari Dewi Drupadi; setelah menjadi Raja negeri Amarta bergelar Prabu Yudhistira.

4. Raden Bima.

Putra kedua Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Bratasena; setelah menjadi raja negeri Jodipati bergelar Raden Bima; ayah Raden Gatotkaca.

5. Raden Arjuna.

Putra ketiga Prabu Pandu dan Dewi Kunti; ketika muda bernama Raden Permadi; setelah menjadi Raja negeri Madukara bergelar Raden Arjuna. 6. Raden Nakula.

7. Raden Sadewa.

Putra Prabu pandu dan Dewi Madrim; saudara kembar Raden Nakula. 8. Raden Gatotkaca.

Putra Raden Bima dan Dewi Arimbi; Raja negeri Pringgodani. 9. Raden Kresna.

Putra kedua Raden Basudewa; ketika muda bernama Raden Narayana; kakak dari dewi Rara Ireng; bergelar Prabu kresna sejak memerintah negeri Dwarawati.

10.Adipati Karna .

Putra Batara Surya dan Dewi Kunti; sejak kecil diasuh oleh kusir Adirata; suami dari Dewi Surtikanti; menjadi raja negeri Awangga.

11.Raden Duryudana.

Putra sulung Prabu Drestarata dan Dewi Gendari; menobatkan diri menjadi raja negeri Hastinapura.

12.Raden Dursasana.

Putra Prabu Drestarata dan Dewi Gendari; adik Raden Duryudana. 13.Raden Bhisma .

Sesepuh kerajaan Hastinapura; kakek dari Pandawa dan Kurawa. 14.Resi Durna.

Resi yang berasal dari negeri Hargajembangan; guru dari Pandawa dan Kurawa.

15.Raden Arya Widura.

Adik bungsu Prabu Pandu; sesepuh negeri Hastinapura; paman dari Pandawa.

16.Raden Basudewa.

Putra prabu Basukunti; kakak dari Dewi Kunti; ayah Raden Kresna; menjadi raja negeri Mandura bergelar Prabu Basudewa.

17.Prabu Salya.

Ketika muda bernama Raden Narasoma; menjadi Raja negeri Mandraka bergelar Prabu Salya; kakak Dewi Madrim; ayah Dewi Surtikanti.

18.Arya Sengkuni.

Putra keempat Prabu Keswara; adik dari Dewi Gendari; ksatriadari negeri Plasajenar; menobatkan diri sebagai mahapatih negeri Hastinapura.

19.Dewi Sumbadra.

Putri bungsu Prabu Basukunti; adik dari Prabu Kresna; ketika muda bernama Rara Ireng; istri pertama Raden Arjuna.

20.Dewi Drupadi.

Putri sulung Prabu Drupada, Raja negeri Cempalreja; kakak dari Dewi Srikandi; istri Prabu Yudhistira.

21.Dewi Srikandi.

Putri kedua Prabu Drupada; adik Dewi Drupadi; salah satu istri Raden Arjuna; kelak yang akan membunuh Raden Bhisma dalam perang Bharatayuda.

22.Kusir Adirata.

Bernama asli Radeya; mendapat julukan Kusir Adirata setelah menjadi kusir yang khusus melayani Prabu Pandu; ayah angkat Adipati Karna. 23.Radha Nyi Adirata.

Istri kusir Adirata; ibu angkat Adipati Karna. 24.Resi Druwasa.

Seorang Resi dari Kerajaan Mandura yang ditugaskan Prabu Basukunti untuk membantu kelahiran anak dari putrinya; salah satu guru Dewi Kunti. 25.Kiai Antagopa .

Sesepuh wilayah Widarakandang; yang dipercaya Prabu Basudewa untuk menjaga putra-putranya, Raden Kakrasena dan Raden Narayana, dari ancaman salah satu bangsa raksasa.

26.Rama Bargawa.

Bernama Resi Jamadagni ketika jaman kejayaan Prabu Harjunasasra dari negeri Maespati; guru Adipati Karna.

27.Begawan Manikara.

Seorang bijak pertapa di wilayah Andongsekar; ayah dari Endang Manuhara, salah satu istri Raden Arjuna; salah satu guru Raden Arjuna. 28.Antaboga.

Pemimpin bangsa ular, penguasa dasar bumi bernama negeri Sapta Pratala; ayah Dewi Nagagini.

29.Bambang Ekalaya.

Ketika muda bernama Raden Bambang Ekalaya; berganti nama menjadi Prabu Palgunadi setelah menjadi raja di negeri Paranggelung; berniat berguru kepada Resi Durna.

30.Dewi Nagagini.

Putri Batara Antaboga; salah satu istri Raden Bima. 31.Endang Manuhara.

Putri Begawan Manikara; salah satu istri dari Raden Arjuna. 32.Dewi Surtikanti.

Putri ketiga Prabu Salya; adik dari Dewi Banowati, istri Raden Duryudana; menjadi istri Adipati Karna.

33.Prabu Matswapati.

Raja dari Kerajaan Wirata, tempat Pandawa melaksanakan hukuman pengasingan.

34.Resi Seta.

Putra sulung Prabu Matswapati. 35.Raden Arya Utara.

Putra kedua Prabu Matswapati. 36.Raden Wiratsangka.

Putra ketiga Prabu Matswapati.

Dokumen terkait