• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HIKAYAT ALI KAWIN: NASKAH DAN TEKS

C. Nilai-nilai Religi dalam Hikayat Ali Kawin

Suatu nilai berpengaruh terhadap moral seseorang. Nilai moral yang tidak didasarkan kepada religi akan terus berubah. Nilai yang tetap adalah nilai religi. Nilai religi besifat absolut dan berlaku sepanjang masa. Orang yang kuat keyakinan agamanya yang mampu mempertahankan nilai religi dalam kehidupan sehari-hari.39 Religi adalah ajaran yang mengandung aturan, hukum, kaidah, historis, i’tibar serta pengetahuan tentang alam, manusia, roh, Tuhan, dan metafisika. Ajaran metafisika biasa dikenal dengan tentang natural dan supranatural atau alam riil dan gaib, baik agama yang datangnya dari manusia maupun Tuhan.40

Menurut Ancok dan Suroso, religi diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan. Aktivitas religi bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan yang terlihat oleh mata, tapi juga yang tidak napak dan terjadi dalam hati seseorang.41 Terdapat lima dimensi religi. Pertama, dimensi keyakinan yang berisi pengharapan, dimana seseorang berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran dari doktrin yang dianutnya. Kedua, dimensi praktek agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen pada agama yang dianut.42

Dimensi religi selanjutnya adalah dimensi penghayatan yang memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung

39

Zakiyah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009), h. 147

40

Rusmin Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kenca Prenamedia Group, 2014), h. 9

41

Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 76

42

pengharapan tertentu. Keempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci dan tradisi. Terakhir dimensi pengalaman, mengacu identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.43 Ancok dan Suroso berpendapat bahwa konsep dari dimensi religi mempunyai kesusaian dengan Islam. Meskipun tidak sepenuhnya sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan aqidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah, dan dimensi pengalaman disejajarkan dengan akhlak.

Hikayat Ali Kawin memiliki nilai-nilai religi tersebut, meliputi nilai aqidah, syariah, dan akhlak. Kesemua dimensi dalam hikayat diperlihatkan melalui perbuatan tokoh.

1. Aqidah

Aqidah adalah suatu yang dianut oleh manusia dan diyakininya, apakah berwujud agama atau lainnya.44 Aqidah disamakan dengan keimanan. Isi nilai aqidah menyangkut keyakinan kepada Allah, malaikat, nabi/rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta takdir Allah. Kepercayaan dalan Hikayat Ali Kawin terlihat bagaimana tokoh menjalankan perintah Tuhan. Selain itu, kepercayan tehadap makhluk Tuhan yang diimani digambarkan secara jelas keberadannya, baik masuk dalam percakapan peristiwa maupun penyebutan saja tetapi memiliki dampak dalam cerita.

a. Iman kepada Allah

Iman kepada Allah merupakan rasa percaya akan adanya Allah dengan menyerahkan segala kehidupan. Keimanan kepada Allah adalah dasar seluruh keimanan, sehingga mampu mempercayai semua jenis keimanan yang lain. Dalam Hikayat Ali Kawin terdapat penegasan akan kepercayaan kepada Allah. Kepercayaan itu terwujud

43

Ibid, h. 77-78

44

Zainal Arifin Djamaris, Islam Aqidah dan Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 19

dengan menyakini adanya Allah yang patut disembah, tidak ada Tuhan selain Allah. Sebagaimana dalam ucapan Nabi Muhammad,

Allah ta’ālā lā ilāhaillallāh45

arti dalam ucapan Nabi Muhammad yakni Allah yang maha tinggi, tidak ada Tuhan selain Allah sebagai keimanan yang patut diyakini. Selain kepercayaan hanya menyembah kepada Allah, yaitu kesadaran batin tentang adanya Allah. Kesadaran batin manusia dalam Hikayat Ali Kawin kepada Allah terlihat ketika Ali bin Abi Thalib berdoa menginginkan Fatimah dalam shalat.

Saat itu, Ali sedang melaksanakan shalat di suatu tempat dan memohon doa kepada Allah terhadap keinginan hatinya, Fatimah.46 Ali bin Abi Thalib dengan kesadaran batinnya merasa lebih dekat kepada Allah dari pada dirinya sendiri. Kesadaran batin itu terbentuk karena adanya rasa percaya kepada Allah. Pada saat itulah ia mulai berdoa dan memohon kepada Allah terhadap hajatnya.

b. Iman kepada malikat

Percaya adanya malaikat merupakan rukun Iman kedua. Malaikat adalah makhluk Allah yang terpelihara dari maksiat. Rasa tunduknya atas segala perintah Allah, terpatri dalam menjalankan segala tugas yang diberikan. Salah satu sifat malaikat yang ditunjukkan dalam Hikayat Ali Kawin dengan memperlihatkan kekuatan luar biasa atas izin Allah. Kekuatan luar biasanya dapat mengubah dirinya dalam wujud manusia.

“Hamba tidak tahu.” Kata nabi, “Wahai Ali, unta itu adalah unta ṣalih dan yang menjual unta itu adalah Jibril, sedangkan yang membeli adalah Mikail.47

Jibril dan Mikail atas izin Allah menampakkan dirinya kepada Ali bin Abi Thalib sebagai manusia. Pemberitaan dari nabi kepada Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah atas makhluk-Nya,

45

Hikayat Ali Kawin 46

Ibid, 47

Malaikat. Peristiwa itu juga sebagai bukti kepada Ali bin Abi Thalib untuk menambah keimanan tentang keberadaan malaikat.

c. Iman kepada Al-Quran

Al-Quran merupakan salah satu kitab yang diturunkan ke bumi sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW. Al-Quran menjadi undang-udang bagi umat Islam. Al-Quran sebagai kitab suci yang terakhir diturunkan Allah sebagai tuntunan dan hidayah dalam kehidupan di dunia menuju akhirat. Kepercayaan tentang Al-Quran juga terlihat dalam Hikayat Ali Kawin yang menjadi alasan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah dalam menjalani kehidupan.

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yng menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir itu seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.48

Kutipan di atas merupakan Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 261 yang tertera dalam naskah. Ayat tersebut menjelaskan tentang pahala yang berlipat bagi siapa saja yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Begitu juga yang tergambar dalam Hikayat Ali Kawin terhadap para tokohnya. Ali bin Abi Thalib dan Fatimah tetap bersedekah kepada fakir miskin, meskipun mereka sendiri juga membutuhkan. Perbuatan mereka semata-mata mengharap rida Allah. Sebab keikhlasan dan keyakinan mereka terhadap Al-Quran, kitab yang diyakininya, Allah membalas dengan nilai yang berlipat.

d. Iman kepada Nabi Muhammad

Nabi Muhammad adalah rasul terakhir. Percaya adanya rasul merupakan salah satu rukun Iman yang wajib diyakini. Tanpa adanya rasul, manusia tidak dapat mengetahui kebenaran hakiki. Rasul bertugas sebagai guru, pendidik, penyampai wahyu Allah dan suri

48

tauladan bagi manusia.49 Begitu juga yang ditunjukkan dalam Hikayat Ali Kawin. Rasul bertugas menyampaikan kabar kepada umatnya, Ali bin Abi Thalib.

Kemudian Rasūlullāh bersabda kepadanya, “Wahai baginda Ali, aku hendak memberi suatu kabar kepadamu.” Sembah baginda Ali, “Wahai Rasūlullāh, junjunganku, tuanku, kabarkanlah kepadaku.” Kemudian Rasūlullāh bersabda kepadanya, “Wahai baginda Ali, aku hendak memberi suatu kabar kepadamu.” Sembah baginda Ali, “Wahai Rasūlullāh, junjunganku, tuanku, kabarkanlah kepadaku.”50

Nabi Muhammad bertugas menyampaikan kabar kepada Ali bin abi Thalib tentang peristiwa yang terjadi. Nabi Muhammad memberi petunjuk sebagaimana tugasnya. Dari kabar yang diberikan, menunjukkan bahwa baru saja Ali bertemu dengan malaikat JIbril dan Mikail. Hal tersebut membuat keimanan bertambah, baik kepada Nabi Muhammad, Malaikat, dan Allah atas kekuasaan-Nya yang begitu hebat dengan berubah malaikat berwujud manusia.

e. Iman kepada surga dan neraka

Meyakini adanya surga dan neraka mutlak sebagai representasi mengimani yang gaib. Surga dan neraka tidak dapat dilihat dengan mata begitu saja. Dalam hal ini berbeda dengan mempercayai hal-hal yang empiris karena dapat dibuktikan dengan sentuhan indera. Adanya surga dan neraka perlu diyakini, salah satunya dengan adanya Al-Quran dan cerita nabi tentang keduanya. Artinya, setiap mepercayai salah satu rukun Iman, maka akan meyakini pula rukun Iman yang lain. Dalam Hikayat Ali Kawin terdapat beberapa penyebutan tetang surga dan neraka.

Adapun unta tersebut berasal dari syurga yang diserahkan Allah51 Allah ta’ālā lalu menyuruh Jibril membukakan pintu syurga.52 “Wahai malaikat Zabaniyah tutuplah pintu neraka itu”53

49

Ahmad Daudy, Kuliah Akidah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 118

50

Hikayat Ali Kawin 51 Ibid, 52 Ibid, 53 Ibid,

Perintah Allah kepada Malaikat Jibril dan Zabaniyah untuk membuka dan menutup pintu neraka dalam hikayat untuk membuktikan adanya surga dan neraka. Jika manusia mengimani malaikat, maka ia juga akan mengimani adanya surga dan neraka. Sebab, tugas dari malaikat Zabaniyah adalah membuka dan menutup pintu neraka. Kutipan di atas tidak secara langsung disebutkan agar meyakini adanya surga dan neraka, akan tetapi dihubungkan dengan kepercayaan lain, di antaranya percaya kepada malaikat.

f. Iman kepada takdir

Mempercayai adanya takdir merupakan salah satu rukun Iman. Kehendak Allah yang menciptakan sesuatu dalam bentuk tertentu. Kemudian Allah jadikan dalam bentuk wujud yang nyata dan kongkret sesuai dengan kehendak-Nya.54 Sebagaimana di dalam Hikayat Ali Kawin yang menunjukkan makna percaya akan takdir Allah.

Sayid Fatimah pun berkata, “Hamba riḍa dengan perintah Allah subḥānahu wata’ālā dinikahkan dengan Ali.55

Setelah Shalat Ali pun terbesit dalam hatinya, “Satu pun aku tidak memberi sesuatu untuk Fatimah.” Ali pun pergi dari rumahnya seraya berkata, “Tutuplah pintu rumah Fatimah!” Maka Ali pun turun dari atas rumahnya ia pergi menuju qāḍī Syam meminta pendapatannya untuk Fatimah ke banu Syam dari pekerjaannya.

Kedua kutipan di atas merupakan bentuk percaya kepada takdir Allah. Hanya saja, kepercayan terhadap takdir Allah dalam hikayat ini memiliki unsur yang sedikit berbeda. Ucapan Fatimah yang menerima pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib atas perintah Allah begitu saja. kutipan kedua dari pilihan Ali bin Abi Thalib untuk merubah keadaanya. Ia berusaha mendapatkan upahnya dengan pergi ke Syam. Takdir yang tersirat dalam hikayat ini memiliki kesan hakiki dan terdapat sebab akibat. Manusia itu sendiri yang dapat memilihnya.

54

Daudy, Op., Cit, h. 157

55

2. Syariah

Syariah adalah segala sesuatu yang disyariatkan atau dimestikan dalam agama bagi seseorang untuk dilaksanakan. Syariah itu berupa peraturan-peraturan dan hukum-hukum sebagai manifestasi atau konsekuensi dari aqidah.56 Dimensi syariah dalam Islam meliputi pelaksaan ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, berdoa, perkawinan, dan sebagainya. Hikayat Ali kawin dalam dimensi syariah meliputi salat dan perkawinan.

Amiru al-mukminin Ali pun shalat serta Fatimah di suatu tempat.57 Salat merupakan tiang agama. Melaksanakan shalat tidak hanya bertujuan sebagai tugas dari Tuhan. Salat bila dicari lebih jauh, bisa saja sebagai jalan keluar dari masalah. Di dalam shalat terdapat beberapa kegiatan ibadah, seperti membaca Al-Quran, berdoa dan berzikir. Semua perbuatan tersebut bernilai ibadah. Oleh karena itu, mengapa setelah Ali bin Abi Thalib salat, ia menemukan jalan keluar dari kebimbangan hatinya dalam menafkahi Fatimah.

Perkawinan dalam Hikayat Ali Kawin meski tidak disebutkan secara gamblang dari tujuannya, namun memiliki nilai ibadah dalam Islam. Allah menciptakan lelaki dan perempuan agar dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan, memperoleh ikatan kekerabatan, dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera58 Ali bin Abi Thalib yang begitu mencintai Fatimah menginginkan hubungannya halal dan menjadi ibadah.

3. Akhlak

Akhlak berasal dari bahasa Arab khuluqun yang berarti perangai, budi pekerti, sopan santun, etika, kelakuan. Secara etimologi berarti sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan manusia, menghargai sesuatu. Oleh karena itu akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam ajaran

56

Djamaris, Op., Cit, h. 19

57

Hikayat Ali Kawin 58

A. Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 203

Islam di samping aqidah dan syariah. Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa akhlak berkaitan dengan iman dan syariah, karena keduanya berkaitan dengan unsur berikut ini: (1) berkeyakinan bahwa Allah adalah sang pencipta satu-satunya, pemberi rezeki dan penguasa seluruh kerajaan, (2) meyakini dan mengenalnya bahwa Dia patut disembah, (3) cinta kepada Allah melebihi segala cinta kepada semua makhluk-Nya, dan terakhir (4) cinta kepada Tuhannya akan mengantarkannya kepada tujuan yang satu, yaitu demi Allah SWT.59

a. Amanah

Sikap amanah merupakan perbuatan yang dapat dipercaya. Muhammad merupakan seorang rasul. Setiap perbuatannya tentu memiliki sifat wajib bagi rasul. Sifat ini tercermin dalam Hikayat Ali Kawin berupa amanah.

Kemudian Rasūlullāh bersabda kepadanya, “Wahai baginda Ali, aku hendak memberi suatu kabar kepadamu.”60

“Wahai Jibrail, ceritakanlah kepadaku harta apa itu?/ Apa yang dibawa oleh malaikat itu?” Maka Jibrail berkata, “Wahai Nabi Allah, aku membawa kabar untukmu bahwa Ali telah dinikahkan dengan anakmu”.

Dua kutipan di atas menunjukkan bahwa Muhammad merupakan orang yang amanah. Muhammad pada kutipan pertama memberikan kabar yang diamanatkan untuk Ali bin Abi Thalib. Kutipan kedua, Muhammad mendapatkan amanah melalui malaikat Jibril untuk disampaikan kepada Fatimah. Amanah tersebut berupa pernikahan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib. Sikap amanah tersebut terlihat ketika nabi Muhammad langsung menyampaikannya kepada Fatimah.

b. Kasih sayang

Kasih sayang berupa sikap saling menghormati dan mengasihi seluruh makhluk Tuhan baik makhluk hidup maupun benda mati

59

Nasiruddin Zuhri, Ensiklopedi Religi, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 41

60

berdasarkan hati nurani. Sikap seperti ini seharusnya ditanam sejak dini. Sebagaimana yang dilakukan oleh Fatimah.

“Wahai Tuanku, jika bisa hamba memohon kehadirat Allah

ta’ālā ampunan dosa seluruh perempuan yang durhaka kepada

suaminya.”

Rasa kasih yang diberikan Fatimah terhadap para istri yang durhaka kepada suami sangat mengagumkan. Dia begitu saja menolak mas kawin dari surga dan menggantikannya dengan permohonan ampun dari Allah. Sikapnya tersebut tidak memperdulikan perbedaan dan hubungan kedekatan dengan Fatimah. Atas dasar kepercayaan dan pengharapan ridha Allah, Fatimah tidak memikirkan hal-hal duniawi. Dia menggantikannya dalam bentuk kasih sayang terhadap sesama. c. Tolong menolong

Tolong menolong adalah saling membantu antarsesama. Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri, tentu memerlukan bantuan orang lain. Membantu di sini tidak mengharap balasan atau imbalan apapun dari pertolongannya. Konsep Islam sendiri, tolong menolong sesama haruslah berdasarkan kebaikan dan takwa. Ali bin Abi Thalib pun memberikan pertolongan kepada orang meminta sedekah kepadanya.

Berapa lama hamba dengan karunia Allah Ta’ala Tuhan hamba ini/ bahwa hamba terlalu lapar tujuh hari lamanya tiada makan.” Maka diberi oleh baginda Ali` satu dinar akan dia.61

Maka baginda Ali` pun bertemulah dengan seorang tuah /23/ pada jalan itu. Maka kata orang tuah, “Ya baginda Ali` raḍiallāhu ‘anhu meminta sedeqa dinugerahi Allah. Berapa hamba barang satu dengan karunia Allah Ta’ala kepada tuhan hamba ini kelaparan tujuh hari tujuh malam. Sekarang pun tiada hamba makan. Maka dibukakan baginda Ali` kandungannya. Maka diberinya satu dinar orang tuah itu.62

“Ya baginda Ali` kasihan hamba.” Maka didengar oleh baginda Ali` pun segerah iya membukakan kandungannya. Maka

61

Ibid, 62

diberikannya dinar satu lagih kepada perempuan itu. Tiada lagih tinggal kepada baginda Ali` itu.63

Sudah sepantasnya bagi seorang muslim menolong kepada yang membutuhkan. Begitu pula yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Ia menolong siapa saja yang meminnta sedekah kepadanya. Meski ia membutuhkan juga untuk nafkah istrinya, tetapi ia mendahulukan orang yang lebih membutuhkan.

d. Malu

Perasaan malu merupakan suatu kemampuan dalam jiwa yang dapat berfungsi sebagai penghalang bagi seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela.64 Sifat malu merupakan akhlak yang terpuji sifat malu dalam Hikayat Ali Kawin terlihat ketika pertemua Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah.

Maka Ali` raḍiallāhu ‘anhu hendaq/ berkata kepada Fatimah terlalu malunya/ sebab tiada tapak tangan Ali` akan/ Fatimah hatta berapa lamanya. Demikian jugah berdiam-diam pada semalam sampai setelah siang/ hari.65

Rasa malu Ali bin Abi Thalib merupakan manefesti dari keimanan kepada Allah. Sebab, antara malu dengan aqidah keimanan merupakan dua sisi yang saling melengkapi. Orang mukmin akan utuh nilainya kepada Allah bila masih ada perasaan malu. Sebab keimanan Ali bin Abi Thalib yang begitu besar kepada Allah, menimbulkan rasa malu yang besar. Belum terbiasanya Ali bin Abi Thalib terhadap lawan jenis bersentuhan tangan, menyebabkan ia malu memegang Fatimah.

e. Belaku sederhana (Qanaah)

Qanaah adalah sifat menerima apa adanya atau tidak serakah.66 Sikap sederhana dan tidak serakah dalam kehidupan sehari-hari mendorong ikhtiar sebenar-benarnya agar memberi manfaat bagi orang lain. Sebagaimana halnya Fatimah, ketika Ali bin Abi Thalib hendak

63 Ibid, 64

Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h 214

65

Hikayat Ali Kawin 66

mencari nafkah untuknya, ia mendorong usaha suaminya. Dorongan yang dilakukannya untuk Ali bin Abi Thalib dengan mengikuti perintah suaminya sebelum pergi, agar tidak khawatir dalam usahanya.

Maka Ali` pun turunlah dari rumahnya serta berkata, “Tutuplah pintu rumah Fatimah.”

Maka diambil oleh Fatimah arta itu. Maka Fatimah pun memanggil segala faqir dan mitskin di banu Madinah.

Dorongan yang kuat dari Fatimah berbuah hasil dengan Ali bin Abi Thalib mendapatkan harta yang cukup banyak. Meski telah mendapat nafkah dari usaha Ali bin Abi Thalib, Fatimah tidak menggunakan begitu saja. Ia memberikan uang tersebut kepada faqir miskin. Kesederhanaannya membuat dia memberikan harta kepada yang berhak. Sifat kesederhanaan lain yang nampak dalam Hikayat Ali Kawin terlihat pada kutipan di bawah ini.

“Hamba riḍa dengan perintah Allah subḥānahu wata’ālā dinikahkan dengan Allah. Adapun mas kawin itu, hamba tidak ridha.’’67

Ya Tuhanku, Fatimah, hambamu riḍa dinikahkan. Akan tetapi, ia tidak riḍa dengan mas kawinnya.68

Rasa cukup yang diyakini Fatimah, meyakinkan ia untuk menolak mas kawin yang beirisi berbagai emas. Fatimah malah menggantinya dengan memohon ampun dosa para istri yang durhaka kepada suaminya.

Dokumen terkait