• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PEMBAHASAN

3. Nilai pendidikan akhlak kepada keluarga

a. Hak, kewajiban dan kasih sayang suami istri

Salah satu tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk mencari ketentraman atau sakinah, dalam keluarga juga harus memiliki rasa sayang dan cinta terhadap pasanganya. Bisa di lihat dalam novel Moga

Bunda Disayang Allah bahwa tuan HK sangat mennyayangi istrinya dan anaknya.

Kutipan :

34 “ Maaf, aku baru bisa pulang sekarang!” tuan HK mengecup lembut dahi istrinya (Liye, 2006: 44).

35 Tidak usaha, yang! Malam ini kau istirahat saja, biar aku yang menyiapkan keperluanku sendiri!” Tuan HK tersenyum, memberi tanda agar istrinya tetap berbaring di ranjang (Liye, 2006: 45)

36 “Apa ku bilang? Terlalu lelah, bukan? Kau sudah seharusnya banyak istirahat, nyonya! Dasar anak nakal!” tuan HK tertawa lebih lebar, bergurau sambil melepas jas hitam mahalnya (Liye, 2006: 45)

37 Diam sejenak. Tuan HK beranjak duduk pinggir ranjang. Meraih tangan istrinya. Mencium lembut jemari yang dilingkari cincin pernikahan mereka. Untuk ukuran mereka yang sudah beruban, pemandangan itu terlihat amat romantis (Liye, 2006: 46-47).

38 Terdiam sejenak. Tuan HK mengelus pipi istrinya, “kau tahu, kita sudah bertahan dengan baik atas segala kesuitan ini. Aku bahkan sedikit pun tidak bisa membayangkan harus melaluinya sendirian tanpa kau. Kau ibu yang baik bagi Melati, bagi keluarga ini. Aku sungguh mencintaimu, yang!” (Liye, 2006: 119). 39 Saat Karang melangkah ke anak tangga pualam, tuan

HK menelepon dari bandara. Bergetar bunda bilang kalau Karang sdang berbenah. Tuan HK berseru puas di seberang gagang. Mengucap beberapa kalimat. Mengucap beberapa pengingat. Lantas menutup pembicaraan dengan kalimat, “ aku mencintaimu, yang.”

“ Aku juga mencintaimu,” bunda menjawab lirih. Meletakkan handset telepon di atas meja. Menghela napas pelan. Beranjak menuju kamar Melati. Tadi pagi, putrinya masih tertidur. Makanya ia urung menyuapinya. Bunda hanya meletakkan mangkuk sup jagung itu di meja kecilnya. Putrinya sekarang pasti sudah bangun. Saatnya ia menyuapi Melati sarapan (Liye, 2006: 176).

40 Tuan HK mencium kening bunda. Mengangguk ke arah Krang, tersenyum. Tidak. Tentu saja tuan HK tidak marah-marah lagi. Bahkan sebenarnya, kalau

karang masih suka mabuk-mabukan sekalipun, tuan HK mungkin bisa menerimanya. Seminggu terakhir, hatinya juga buncah melihat kemajuan Melati. Tidak, pernah terbayangkan putrinya yang tuli, bisu, dan buta akan memeluknya, menggerung pelan memanggil namanya (Liye, 2006: 282).

b. Kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak

Kasih sayang adalah suatu ungkapan perasaan jiwa secara naluriah yang dimiliki oleh setiap manusia sebenarnya tidak hanya manusia saja hewan pun mempunyai perasaan kasih sayang seperti yang manusia rasakan terutama seorang ibu kepada anaknya.

Kutipan :

41 “Terima kasih sudah membangunkan bunda sayang!” bunda lembut meraih tangan putri semata wayangnya. Tertatih mencoba berdiri. Menghela napas pelan. Bunda tahu persis tak ada siapa yang membangunkan siapa. Ini hanyalah ritual pagi Melati (Liye, 2006: 15).

42 “Pelan-pelan, sayang!” bunda yang duduk di sebelahnya membantu membenarkan posisi piring. “Ayo dimakan, sayang!” bunda sekali lagi membantu membenarkan posisi piring yang hampir jatuh tersenggol gerakan jemari Melati (Liye, 2006: 55). 43 “Jangan teriak-teriak, sayang!” bunda tersenyum

menenangkan (Liye, 2006: 56).

44 “Anak yang berani kemari sayang! Peluk bunda!” (Liye, 2006: 64).

45 “Ayo sayang, dimakan!” bunda tersenyum,

membenarkan posisi piring untuk kelima kalinya dua menit terakhir (Liye, 2006: 88).

46 Bunda pelan membimbing Melati naik ke tempat tidur. Birunya. Melati menurut. Mulutnya terus mengeluarkan suara. Merangkak menuju sudut ranjang, posisi favoritnya. Memeluk lutut. Bunda seperti biasa akan menemani hingga Melati sedikit tenang. Hingga mata hitamnya mulai tertutup. Melati tidak suka ditepuk-tepuk seperti anak lainnya. Ia akan berteriak marah. Jadi bunda berbaring di sebelahnya.

Hanya menatap lamat-lamat wajah putrinya (Liye, 2006: 89-90).

47 Setengah jam, suara gerungan Melati melemah. Matanya mulai terkatup satu dua. Meski jemari tangannya di balik selimut terus mengetuk-ngetuk dinding. Bunda memperbaiki posisi selimut Melati. Tersenyum. Sudah saatnya meninggalkan putrinya. Ia ingin sekali mencium putrinya. Teramat ingin mengecup dahinya dan bilang, “selamat bobo, sayang.” Tapi Melati tidak suka dicium. Ia akan berteriak-teriak. Terjaga seketika. Langsung mengamuk (Liye, 2006: 90).

48 “Makannya pelan-pelan sayang!” bunda tersenyum, memperbaiki posisi meangkuk yang hampir jatuh di tepi meja (Liye, 2006: 99).

49 “Waktunya tidur, sayang” bunda berbisik serak, merengkuh tubuh Melati yang terlipat. Penuh kasih sayang.

Dan bunda seketika menangis menatap wajah mengadu Melati. Ia menciumi wajah putrinya, seperti tidak pernah berjumpa berpuluh-puluh tahun. Bertahanlah anakku... bertahanlah! Bunda tersedu. Semoga janji kemudahan Tuhan akhirnya datang. Semoga keajaiban itu akhirnya tiba. Bunda berbisik di tangan sedannya. Putri kecilnya menggerung lemah. Kepalanya terkulai di leher bunda (Liye, 2006: 139).

50 Bunda menghela napas pelan. Ah, lima hari terakhir banyak sekali kejadian seru yang dialami putri semata wayangnya. Bunda pelan menyelimuti Melati. Mengecup lembut dahinya. Putrinya sudah jatuh tertidur. Seperti malaikat kecil. Hari-hari terakhir meski di sana sini banyak hal mengharukan, membuat panik, tegang, susah, tapib semuanya berjalan penuh harapan dan janji masa depan yang lebih baik. perubahan-perubahan...(Liye, 2006: 302).

51 “Apa, apa yang kau lakukan, sayang...” bunda berseru amat cemas, “ hujan! Di luar sedang hujan, Melati kau bisa kedinginan (Liye, 2006: 270).

52 Bunda sudah menangis haru memeluk putrinya. Ya Tuhan, ia belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi demi melihat senyum putrinya. Senyum pertama anak semata wayangnya. Merasakan jemari pitrinya itu lembut menyentuh wajahnya. Gerungan pelannya. Gerungan putrinya seperti sedang

memenggil lembut. Bunda tergugu, tersedu haru (Liye, 2006: 275).

53 “Sayang…. Ja-ngan—“ Bunda sambil tersenyum, berusaha menahan gerakan tangan putrinya yang berusaha mengangkat keramik lainnya, lenih besar dari yang tadi (Liye, 2013: 191).

54 ”Nanti sore Ayah pulang jam lima, sayang! Kita akan sama-sama pergi ke festival. Ayah, Bunda, Pak Guru Karang, Salamah, Mang Jeje, semuanya ikut….” (Liye, 2013: 282).

c. Birrul walidain

Birrul walidain adalah perilaku berbakti dan berbuat baik yang harus dilakukan oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya, menaati perintah orang tua, menghormatinya, mendoakan, dan membantu tugas dan pekerjaan keduanya. Dalam novel Moga Bunda Disayang Allah terdapat beberapa nilai birrul walidain seperti yang dilakukan gadis kecil yang rela mengambil alih pekerjaan rumah demi ibunya yang sedang hamil.

Kutipan :

55 “Tapi ia tidak ingin rasa sedihnya menambah kesedihan ibunya. Lihatlah, ibunya yang hamil tua terbaring lemah di atas ranjang. Sebulan terakhir jatuh sakit. Membuat semakin sulit situasi. Ibunya tidak bisa melakukan apa pun, bergerak saja susah. Maka gadis kecil itu mulai mengambil alih pekerjaan rumah. Menyelimuti ibunya yang setiap malam menggigil. Membersihkan salju yang menumpuk di depan pintu. Memetik dedaunan yang tersisa. Memandang sedih perut buncit ibunya yang mengandung adik yang selalu diharap-harapkannya (Liye, 2006: 250).

Dari uraian di atas bisa di liahat apa yang dilakukan seorang gadis kecil yang rela mengambil pekerjaan ruamh demi membantu

ibunya yang sedang hamil tua dan sakit. Jadi gadis kecil itu merupakan anak yang benar-benar menghormati orang tua, menyayangi orang tuanya.

4. Nilai akhlak terhadap sesama a. Menerima tamu

Dalam novel Moga Bunda Disayang allah juga di ceritakan menjamu tamu dengan baik dan sopan satun terhadap tamu yang datang kerumah. Tuan HK menyalami Karang yang datang kerumahnya. Kutipan :

56 Tuan HK demi sopan santun berdiri, menyalami tangan dingin tanpa ekspresi itu. Berpikir sejenak. Bergumam dalam hati. Ia agak tidak menyukai penampilan “misterius” tamu di depannya. Tapi apa mau bilang? Istrinya sendiri menyambut dengan hangat (Liye, 2006: 98).

57 Bunda tersenyum, menarikkan kursi untuk Karang, dekat Melati. Lantas memanggil Salamah mendekat, memintanya membawakan piring tambahan, “Karang akan makan pagi bersama kita, tolong tambahkan makanannya, sala” (Liye, 2006: 98-99).

B.Karakteristik tokoh dalam novel Moga Bunda Disayang Allah

1. Melati

Dia adalah tokoh utama dalam novel Moga Bunda Disayang Allah, ia merupakan anak yang periang, lucu dan suka bercanda. Disebabkan Melati kehilangan indera penglihatan dan pendengarannya, maka aksesnya dengan dunia sekitar pun harus terputus. Hal tersebut membuat Melati menjadi keras kepala.

a. Periang, lucu, dan suka bercanda

“Bunda, bangun! Sudah pagi….” Melati berseru sambil melompat riang ke atas ranjang ukuran king-size. Tertawa. (Liye, 2013:4)

”Bunda, Bangun! Bunda Kesiangan, nih!” Jahil! Melati menarik selimut bundanya. Berteriak lagi. Tertawa lagi. Merangkak lebih dekat. Mengeluarkan sehelai bulu ayam (yang diperoleh kemaren dari Mang Jeje, tukang kebun). Jahil! (Liye, 2013:5)

b. Keras kepala

“BA …. BAAA…. MAAA” Berteriak lagi. Melati memukul-mukul meja dekat ranjang. Menaraik gagang telpon. Melemparnya sembarangan. Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Baju tidurnya berantakan. Tangannya seperti moncong tapir yang mencari-cari semut di dalam lubang pohon, bergerak-gerak, menjalar tidak terkendali. (Liye, 2013: 14).

2. Bunda HK

Bunda HK adalah sosok yang menjadi ibu dari Melati, ia menjadi seorang ibu yang penuh tanggung jawab dan menjadi istri yang setia, taat kepada suaminya. Bunda HK merawat Melati dengan penuh kasih sayang, dan kesabaran.

a. Penyayang

“Waktunya tidur, sayang” bunda berbisik serak, merengkuh tubuh Melati yang terlipat. Penuh kasih sayang.

Dan bunda seketika menangis menatap wajah mengadu Melati. Ia menciumi wajah putrinya, seperti tidak pernah berjumpa berpuluh- puluh tahun. Bertahanlah anakku... bertahanlah! Bunda tersedu. Semoga janji kemudahan Tuhan akhirnya datang. Semoga keajaiban itu akhirnya tiba. Bunda berbisik di tangan sedannya. Putri kecilnya menggerung lemah. Kepalanya terkulai di leher bunda (Liye, 2006: 139).

b. Sabar

Bunda tak sempat berpikir panjang. Menatap gelas yang dipegang putri semata wayangnya. Uap mengepul perlahan dari cangkir besar. Jeruk panas? Ya bunda selalu memberikan secangkir jeruk panas

untuk Melati kalau gadis kecilnya sedang flu. Membantu meminumkannya dengan amat sabaaar.... sekarang? Melatinya yang segelas jeruk panas. Hati-hati sekali, takut tumpah. Ia mengenggam erat piring tatakannya, bahkan dengan kedua belah telapak tangan (Liye, 2006: 8).

c. Taat kepada suami

Bunda mengangguk. Tersenyum, berjanji. Membimbing tuan HK melangkah keluar dari ruang makan. Berseru kepada Salamah agar membawa koper kecil di dekat meja makan. Salamah yang tegang menyaksikan pertengkaran terlonjak. Buru-buru menurut (Liye, 2006: 168).

3. Tuan HK

Tuan HK adalah sosok yang menjadi ayah dari Melati, ia merupakan ayah pekerja keras, tegas, dan menyayangi keluarganya.

a. Tegas

“APA YANG KAU LAKUKAN!” Tuan HK mendesis. Melangkah galak mendekati Karang. Tangannya mengepal. Rambutnya boleh jadi beruban. Otot-ototnya boleh jadi sudah dimakan usia tengah baya. Tapi pagi ini ia tidak akan segan-segan berkelahi dengan tamu yang tak tau diuntung ini. Baru lima menit di ruang makannya, berani sekali

membanting putrinya duduk (Liye, 2013: 103).

b. Pekerja keras

“Aku dua minggu lagi ke Frankurt, Yang! Agak lama. Ada banyak yang harus dikerjakan di sana. Mungkin dua atau tiga minggu –“ Tuan HK diam sejenak, menatap lembut istrinya, “Mempelajari banyak hal disana, tidak apa-apa, kan?” (Liye, 2013: 46).

c. penyayang keluarga

Tuan HK mencium kening Melati, berpamitan. ”Nanti sore Ayah pulang jam lima, sayang! Kita akan sama-sama pergi ke festival. Ayah, Bunda, Pak Guru Karang, Salamah, Mang Jeje, semuanya ikut….” (Tere-Liye, 2013: 282).

Tuan HK mencium kening bunda. Mengangguk ke arah Krang, tersenyum. Tidak. Tentu saja tuan HK tidak marah-marah lagi. Bahkan sebenarnya, kalau karang masih suka mabuk-mabukan sekalipun, tuan HK mungkin bisa menerimanya. Seminggu terakhir, hatinya juga buncah melihat kemajuan Melati. Tidak, pernah terbayangkan putrinya yang tuli, bisu, dan buta akan memeluknya, menggerung pelan memanggil namanya (Liye, 2006: 282).

4. Karang

Karang adalah orang yang membantu keluarga tuan HK untuk menatasi keterbatasan Melati, dia adalah sosok yang menyayangi anak-anak sehingga dia membuat taman baca. Tapi semuanya itu hilang setelah Tragedi tenggelamnya kapal yang telah menewaskan Qintan dan tujuh belas anak- anak dari taman bacaan, membuat Karang berubah dan terlihat memiliki peran antagonis. Karang lebih suka mabuk-mabukan. Pertemuan dengan Melati membuat Karang kembali memiliki semangat dan rasa sayang yang besar kepada anak-anak.

“Dengarkan aku, Sayang…. Kita akan membuat keadilan itu terlihat! Kita akan membuatnya terlihat agar semua orang di dunia mengerti. Menjadi saksinya! Karena tidak setiap hari Tuhan berbaik hati menunjukkannya. Kita akan membuatnya terlihat, Melati. Pa-s-t-i….” Karang mengusap rambut ikal gadis kecil dalam dekapannya, menciumnya, lantas berdiri menggendong gadis kecil itu, melangkah menuju pintu ruang makan (Liye, 2013: 146).

5. Kinasih

Dia adalah sosok yang mengubah kehidupan karang menjadi orang yang baik, dia merupakan gadis yang sholikah, setiap hari dia menggunakan hijab. Kinasih digambarkan sebagai sosok gadis yang ramah, lemah lembut, dan penyayang.

a. Ramah

“Sudah seminggu , Bun. Sebenarnya dua hari lalu aku sudah mau berkunjung, menjenguk… Tapi masih ada keperluan mengurus izin praktik. Kinasih kangen Bunda. Kangen Melati. Kangen Tuan HK. Bahkan aku juga kangen masakan Salamah!” Gadis berkerudung yang dipanggil Kinasih itu tertawa, menoleh ke Salamah yang masih sibuk melirik tarian kunang-kunang di luar sana (Liye, 2013: 34).

b. Lemah lembut dan penyayang

“Melati akan baik-baik saja, Bun…. Jika Bunda tetap yakin, maka ia pasti akan baik-baik saja.” Kinasih berbisik pelan. Tersenyum. Memotong cerita dua hari lalu. Mencoba membesarkan hati. (Liye, 2013: 39).

“Kau pergi tanpa bilang. Meninggalkan Taman Bacaan meninggalkan anak-anak, meninggalkan...” Kinasih menggigit bibirnya. Ia sebenarnya ingin bilang: meninggalkanaku (Liye, 2013: 216).

6. Salamah

Salamah adalah seorang pembantu ruamh tangga yang setia terhadap majikaannya, ia sangat menyayangi keluarga HK. Salamah digambarkan sebagai pembantu yang pelupa, namun cekatan dalam berkerja.

a. Pelupa

“Aduh, maaf! Seharusnya Salamah letakkan gelasnya di tempat yang lebih tinggi! Aduh, Salamah lupa lagi…” Salamah mendekat rusuh . berusaha membereskan sisa “keributan.” (Liye, 2013: 15).

b. Setia

setia:“Apa Melati… apa Melati akan sembuh, Pak Guru?” Karang menghela napas. Terdiam. Berpikir. Lantas menggeleng pelan. Muka Salamah seketika kecewa. Raut wajahnya terlipat tiga. (Liye, 2013: 260).

7. Ibu-ibu gendut

Dia adalah sosok yang telah membesarkan Karang, dia merupakan sosok seorang ibu yang sangat lembut, penuh kasih sayang, dan penyabar. Ibu-ibu gendut merupakan berperan penting dalam merubah sifat dan sikap Karang.

a. Lembut dan sabar

Ibu-ibu gendut menelan ludah, berkata pelan, “ Kau tahu, ada anak yang memerlukan bantuanmu, Karang. Surat itu bilang. Mereka membutuhkanmu….” (Liye, 2013: 65).

b. Kasih sayang

“Kondisi kesehatanmu semakin memburuk, Karang! Sebaiknya malam ini kau beristirahat” Ibu-ibu itu berdiri. Melangkah mendekat. Berusaha mencegah. (Liye, 2013: 40).

8. Dokter Riyan

Dokter riyan merupakan ayah dari kinasih beliau sangat bertanggung jawab dalam penuh atas keluarganya. Terbukti dengan Kinasih yang merupakan anaknya juga menjadi seorang dokter. Sosoknya digambarkan sebagai seorang pengagum dan tanggung jawab.

“Untuk ukuran seseorang yang tidak memiliki pendidikan akademis mendidik anak-anak, kau benar-benar hebat, Karang! Aku tersanjung bisa bertemu danganmu.” Dokter Ryan tersenyum. (Liye, 2013: 290). “Papa masih di China, Bun…. Ada pertemuan di Perfektur Hanjin. Seminar, symposium, entahlah, tentang pengobatan tradisional. (Liye, 2013: 33)

BAB IV PPEMBAHASAN

A.Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

1. Nilai pendidikan akhlak kepada Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuataan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Khalik (Nata, 2002: 147). Akhlak kepada Allah juga dapat diartikan sebagai wujud seseorang dalam menanamkan aqidah dalam bentuk percaya kepada Allah. Aqidah adalah proses manusia dalam mempercayai Tuhannya, yang mana dalam setiap sikap dan perilaku manusia selalu didasari kepercayaan akan Tuhannya. Orang berakidah dapat diartikan sebagai orang yang beriman kepada akidahnya, dengan beriman seseorang hamba akan selalu menjalankan dan melaksanakan perintahnya dan menjauhi segala larangannya.

Menurut Muhaimin (2003: 148), mengatakan bahwasanya iman juga dapat diartikan sebagai sebuah potensi rohani atau fitrah manusia, yang harus diaktualisasikan, dikembangkan dan ditingkatkan secara terus menerus dengan cara melakukan amal saleh, sehingga dapat dicapai prestasi rohani (iman) dalam bentuk taqwa.

Dari beberapa pemaparan di atas dapat diketahui bahwa akidah/iman adalah sebuah hal yang wajib seorang muslim percayai guna menuju muslim yang sesungguhnya. Adapun bentuk-bentuk iman diantaranya:

a. Percaya kepada Allah

Menurut Tatapangarsa (1980: 20), mengatakan bahwasannya beriman kepada Allah ialah mengakui, mempercayai atau meyakini bahwa Allah SWT itu ada, dan bersifat dengan segala sifat yang baik dan maha suci dari segala sifat yang buruk.

Tetapi beriman kepada Allah tidak hanya mempercayai adanya Allah SWT, melainkan juga harus diikuti dengan beribadah dalam kehidupan sehari-hari berupa: diamalkannya segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah dan semua ini harus dikerjakan dengan setulus hati, semata-mata karena Allah SWT. Makna iman kepada Allah juga dimaknai dalam kalimat syahadat yang berlafadz: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah” Makna aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allahialah, hendaknya kamu mengetahui, mempercayai, beriman,dan membenarkan bahwa tiada yang wajib disembah di alam wujud ini selain Allah yang maha Esa (Anwar, 1992: 2).

1) Salat tahajud

Tahajjud diambil dari kata al-hujud yang diartikan tidak tidur. Dikatakan untuk salat malam tahajjud. Dikatakan pula al-

hajid, artinya orang yang salat di malam hari (Al-Khuzaim,

2004:55). Salat tahajud adalah salat sunah yang dilakukan pada malam hari setelah tidur. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al- Isra’:79 sebagai berikut:



























Artinya : dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah- mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.

Disunahkan untuk melaksanakan salat tahajud di malam hari. Allah akan mengangkat derajat hamba-Nya yang istiqomah dalam mengerjakan salat tahajud. Salat tahajud merupakan salat sunah sebagai ibadah tambahan.

“...Malah sejak pukul dua tadi malam, disepertiga akhir waktu terbaik yang dijanjikan. Menghabiskan sisa malam dengan bersimpuh menangis di atas sepotong sajadah...” (Liye, 2006: 5).

Kutipan novel di atas mengajarkan kepada kita untuk melaksanakan salat tahajud. Salat tahajud merupakan ibadah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah mencintai hamba-Nya yang selalu mendekatkan diri dan berdoa kepada-Nya. Salat tahajud juga bisa digunakan untuk meminta agar permasalah yang di hadapi manusia bisa cepat selesai, dalam kutipan di atas menceritakan seorang ibu yang memohon kepada Allah agar anak semata wayangnya yang memiliki keterbelakan mental agar Allah memberikan keajaiban terhadap anaknya dan bisa sembuh seperti semula.

2) Berdoa

Doa merupakan inti dari ibadah, yaitu muara semua ibadah yang kita lakukan. Dengan berdoa, kita mengharap dengan kerendahan hati untuk diterima amal yang telah kita lakukan dan mendapat keridhaan dari-Nya (Al-Qudsy, 2011:5). Jadi doa adalah permohonan sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Allah mencintai seorang hamba yang berdoa kepada- Nya. Allah berfirman: (Q.S. Al-Mukmin:60).





























Artinya : dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina".

Orang yang merasa cukup dengan apa yang dia miliki, sehingga enggan berdoa, maka bagi dia neraka jahanam dalam keadaan terhinakan. Oleh karena itulah bagi muslim, doa harus dijadikan kegiatan pokok yang tidak boleh ditinggalkan.

ibu-ibu gendut itu mendesis lirih ke langit-langit ruangan. Berdoa doa dengan tulus. Kemudian sambil menghela napas panjang, pelan melanjutkan merajut sweater biru (Liye, 2006: 44).

Kutipan di atas mengajarkan kita agar berdoa kepada Allah harus dengan ketulusan hati, Kita harus selalu berdoa kepada Allah agar segala sesuatu yang kita kerjakan mendapat ridha-Nya. Ketika

berdoa kita harus dengan khusyuk, memohon dengan tulus ikhlas kepada Allah SWT.

b. Meyakini Qada dan Qadarnya Allah.

“...kehidupan ini memang ada takdir seseorang yang digariskan untuk tidak pernah mengenal siapa penciptanya...”

Kutipan novel di atas mengajarkan kita untuk menjalankan dan menerima takdir yang diberikan oleh Allah kepada hambanya. Karena hanya kekuasan Allah dalam menentukan ukuran, susunan, aturan dan bentuk manusia itu semua sudah di gariskan oleh Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al Hijr ayat 21 sebagai berikut:

























Artinya: dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.

Dari ayat tersebut yang dimaksud dengan qadar atau takdir ialah suatu peraturan tertentu yang telah dibuat oleh Allah SWT untuk segala yang ada dalam seluruh alam semesta ini (Supadie, 2012: 195- 197).

Demikian iman kepada qada dan qadar adalah beriman bahwa setiap muslim diwajibkan beriman, dalam artian manusia diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib dirinya, dengan segala usaha dan permohonan kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al Hadid ayat 22-23 sebagai berikut:











































































Artinya: tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang

Dokumen terkait