• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai penghambatan ekstrak etil asetat jahe maserasi bertingkat

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK JAHE (Zingiber

officinale Roscoe) TERHADAP BEBERAPA BAKTERI PATOGEN

SKRIPSI

SARAH FATHIA

F24061987

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF GINGER EXTRACT (Zingiber officinale

Roscoe) AGAINST SEVERAL PATHOGEN BACTERIAL

1)

Siti Nurjanah and

1)

Sarah Fathia

1)

Bogor Agricultural University, Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java

Department of Food Sience and Technology, Faculty of Agricultural Technology

Indonesia

ABSTRACT

Foodborne diseases caused by the microbial pathogens are globally recognized

as hazards to the human health. Ginger (Zingiber officinale Roscoe) is commonly

used as traditional medicine. It has a potential as antimicrobial agent by inhibit or

kill microbes in dose dependent manner. The principle compounds of ginger are

essential oils and non volatile compounds which maximum have antimicrobial

activity. The objectives of this research are: (1) to study the yield of ginger extracts

by multistage maceration with different polarity solvents, (2) to study antimicrobial

activity of hexane, ethyl acetate and ethanol extract of ginger against foodborne

pathogen such as Staphylococcus aureus, Bacillus cereus and Salmonella enterica

serovar Typhimurium. Ginger extracts were prepared by multistage maceration

method using solvent hexane, ethyl acetate and ethanol. The ginger extracts were

assayed for antimicrobial activity by agar well diffusion method with Diameter

Inhibition Zone (DIZ) and dillution broth method. The yield of hexane, ethyl acetate

and ethanol ginger extracts from multistage maceration were respectively 3,57;

3,17; 3,02 g/100 g dry ginger. The DIZ value for Staphylococcus aureus were 5,0;

5,7; 1,3 mm with hexane, ethyl acetate and ethanol ginger extracts respectively 6,1;

6,6; 6,0 mm for Bacillus cereus and Salmonella Typhimurium were show no

inhibitory zone. This results showed that the ginger extracts from multistage

maceration have a weak antimicrobial activity (1,3 – 6,6 mm) against Gram-positive

bacterial. The inhibition activity was determined for ethyl acetate ginger extract that

showed the relatively highest inhibition zone. The minimum inhibition concentration

did not reach in a range concentration between 5 – 20 mg/ml against

Staphylococcus aureus and Bacillus cereus, therefore ginger extracts from

multistage maceration with rotavapor temperature 50

o

C and freeze dry process

were not efficient to developed as natural antimicrobial.

Keywords: ginger extract, antimicrobial activity, Staphylococcus aureus, Bacillus

cereus, Salmonella enterica serovar Typhimurium

SARAH FATHIA. F24061987. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe (Zingiber

officinale Roscoe) Terhadap Beberapa Bakteri Patogen. Di bawah bimbingan Siti

Nurjanah, STP MSi. 2011.

RINGKASAN

Kebutuhan pangan masa depan menghendaki penggunaan pengawet pangan yang

berasal dari sumber alami. Pemanfaatan jahe (Zingiber officinale Roscoe) telah

banyak digunakan dalam pengobatan tradisional disebabkan kandungan komponen

bioaktifnya.

Penelitian kajian antimikroba jahe telah banyak dilakukan terhadap bakteri,

kapang maupun khamir tetapi belum ada publikasi aktivitas jahe dalam menghambat

bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan Salmonella enterica serovar

Typhimurium. Hasil analisis pemetaan kajian antimikroba yang dilakukan oleh

Mawaddah (2008) terhadap hasil penelitian yang dipublikasikan di PITP – IPB

(Pusat Informasi Teknologi Pertanian) memberikan rekomendasi berkaitan dengan

aktivitas antimikroba jahe yang belum lengkap yaitu belum adanya penelitian yang

menggunakan oleoresin jahe yang diperoleh dari hasil ekstraksi. Penelitian ini

bertujuan mempelajari aktivitas antimikroba ekstrak heksan, etil asetet dan etanol

jahe terhadap beberapa bakteri patogen pangan yaitu

Staphylococcus aureus,

Bacillus cereus dan Salmonella enterica serovar Typhimurium.

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: (1) ekstraksi jahe dengan

pelarut (heksan, etil asetat, etanol) menggunakan maserasi bertingkat, (2) menguji

aktivitas antimikroba ekstrak jahe pada bakteri Bacillus cereus, Staphylococcus

aureus, Salmonella enterica serovar Typhimurium dengan menggunakan metode

difusi sumur dan metode dillution broth. Pada penelitian ekstraksi dengan maserasi

bertingkat menggunakan beberapa jenis pelarut dihasilkan rendemen ekstrak jahe

dengan menggunakan pelarut heksan sebesar 3,57 % (w/w), rendemen ekstrak jahe

dengan menggunakan pelarut etil asetat sebesar 3,17 % (w/w) dan rendemen ekstrak

jahe dengan menggunakan pelarut etanol sebesar 3,02 % (w/w).

Ekstrak heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dengan

maserasi bertingkat menghasilkan diameter penghambatan yang beragam pada

konsentrasi 100 mg/ml secara berturut-turut yaitu 6,1; 6,6; 6,0 mm pada Bacillus

cereus, pada Staphylococcus aureus berturut-turut yaitu 5,0;5,7; 1,3 mm, sedangkan

pada

Salmonella enterica

serovar Typhimurium tidak menunjukkan aktivitas

penghambatan. Konsentrasi ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dari maserasi

bertingkat pada suhu pemekatan 50

o

C antara 5 – 20 mg/ml tidak menunjukkan nilai

hambat minimal. Penggunaan konsentrasi hambat yang lebih besar tidak dilakukan

karena tidak efektif dalam aplikasinya sehingga diperlukan penelitian mengenai

metode ekstraksi komponen aktif pada jahe dengan menggunakan maserasi

bertingkat pada suhu pemekatan yang lebih rendah dan tanpa perlakuan kering-beku.

1

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Penanganan yang kurang higienis pada saat produksi dapat menimbulkan kontaminasi bakteri patogen dalam produk makanan sehingga menyebabkan keracunan pangan (Todd et al., 2009). Beberapa bakteri yang dapat menyebabkan keracunan yaitu Staphylococcus aureus (S. aureus),

Salmonella enterica serovar Typhimurium (S. Typhimurium) dan Bacillus cereus (B. cereus). Bakteri

S. aureus dapat mencemari pangan melalui peralatan dan kulit pekerja dengan membentuk

enterotoksin yang dapat menyebabkan penyakit jika dikonsumsi manusia. Bakteri S. Typhimurium dapat mencemari pangan melalui pangan mentah seperti daging, yang dapat menyebabkan penyakit diare. Keracunan pangan bakteri B. cereus terjadi secara intoksikasi yaitu masuknya enterotoksin yang diproduksi oleh B. cereus ke dalam tubuh manusia (Prescott et al., 2005).

Keberadaan pengawet pangan alami sangat diharapkan dapat mempertahankan mutu pangan. Pengawet pangan bertujuan untuk menghambat pembusukan dan menjamin mutu awal pangan agar sifat fisik dan kimia pangan dapat dipertahankan selama penyimpanan. Pengawet pangan alami lebih disukai karena dianggap lebih aman terhadap kesehatan manusia dibandingkan pengawet sintetis (Houghton dan Raman, 1998).

Jahe (Zingiber officinale var Roscoe) termasuk salah satu komoditas rempah yang penting di Indonesia. Berdasarkan data statistika, produksi jahe Indonesia pada tahun 2009 mencapai lebih dari 154 ton dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan di tahun mendatang. Saat ini luas penanaman rimpang jahe di Indonesia mencapai lebih dari 60 juta m2

Penelitian pemanfaatan ekstrak jahe sebagai bahan antimikroba telah dilakukan di luar negeri (Singh et al., 2008). Di Indonesia, penelitian aktivitas antimikroba dari jahe sudah banyak dilakukan, diantaranya oleh Undriyani (1987), Lienni (1991) dan Radiati (2002). Selain sebagai antimikroba, penelitian jahe telah dilaporkan memiliki banyak khasiat terhadap kesehatan manusia diantaranya dapat berperan sebagai antikanker (Surh et al., 1998), antiinflamasi (Jolad et al., 2004), antioksidan (Chan et al., 2008). Dengan perkembangan teknologi, karakteristik jahe dalam bentuk superfine (Zhao

et al., 2010) dapat semakin memperluas pemanfaatan jahe.

(BPS, 2010) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan daerah utama penghasil jahe yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komoditi rempah Indonesia telah dikenal ke mancanegara dan mempunyai peluang pasar yang baik sehingga diharapkan mampu merajai pasar rempah dunia. Saat ini Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China dalam kontribusi produksi jahe dunia (FAO, 2011).

Sari jahe telah diketahui dapat menghambat bakteri penyebab infeksi makanan yaitu Escherichia

coli, Salmonella thompson dan Vibrio cholerae (Lienni, 1991). Diketahui pula bahwa perlakuan

sterilisasi dengan otoklaf tidak merusak aktivitas antimikroba dalam sari jahe dan penghambatan akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi sari jahe yang ditambahkan.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh Mawaddah (2008), jahe termasuk dalam jenis sumber antimikroba alami yang dinyatakan layak untuk dijadikan pengawet pangan karena memiliki efektivitas dalam menghambat beberapa bakteri dan memiliki ketersediaan yang tinggi. Namun penelitian mengenai aktivitas antimikroba jahe telah diketahui oleh Mawaddah (2008) menunjukkan bahwa riset dari sisi metode ekstraksi pada jahe belum lengkap dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu masih perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas antimikroba dengan menggunakan ekstrak jahe terhadap bakteri patogen yaitu B. cereus, S. aureus, S. Typhimurium. Hal ini bertujuan untuk

2 mendapatkan ekstrak jahe yang secara efektif dapat menghambat bakteri sebagai salah satu upaya mengatasi keracunan pangan akibat bakteri patogen dan aplikasi nilai tambah pada produk jahe.

B.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan:

(1) menguji besar rendemen ekstrak jahe dengan maserasi bertingkat menggunakan pelarut heksan, etil asetat dan etanol,

(2) menguji aktivitas antimikroba dari ekstrak heksan, etil asetat dan etanol jahe terhadap beberapa bakteri patogen yaitu Bacillus cereus, Staphlyococcus aureus dan Salmonella

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

JAHE (Zingiber officinale var Roscoe)

Jahe berasal dari Asia tropis. Bentuk liar dari tanaman jahe tidak diketahui asalnya dengan pasti, namun diperkirakan berasal dari India. Jahe disebarkan ke Eropa dan Afrika Timur oleh pedagang arab dari India. Saat ini jahe dibudidayakan di seluruh daerah tropis (Sutarno et al., 1999) termasuk Indonesia.

Berdasarkan taksonomi, jahe termasuk dalam: Kerajaan: Plantae (tumbuhan),

Divisi: Spermatophyta, Kelas: Angiospermae, Bangsa: Musales, Suku: Zingiberaceae, Marga: Zingiber, Jenis: Zingiber officinale

(Situs Dunia Tumbuhan, 2008). Gambar 1. Jahe varietas gajah

Di Indonesia, jahe memiliki nama yang berbeda-beda diantaranya yaitu halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Karo), pege (Toba), goraka (Ternate), gora (Tidore), sipodè (Mandailing), lahia (Nias), goraka (Manado), halia, pĕdas (Besemah), pĕmĕdas (Kutai), sipadas (Pantai Sumatra Barat), sipadeh, sipodèh (Minangkabau), jahi (Lampung), jahè (Sunda), jaé (Jawa), jhai (Madura) dan jae (Bali) (Heyne, 1987).

Rimpang jahe memiliki ciri-ciri diantaranya bentuk rimpang bercabang tidak beraturan, berkulit agak keras, dagingnya berwarna kuning, berserat dan berbau harum (Paimin dan Murhananto, 2002). Jahe dapat dibudidayakan di semua negara tropis dan subtropis dan menyukai iklim lembab (Heyne, 1987).

Berdasarkan ukuran bentuk dan warna kulit rimpang jahe diklasifikasikan menjadi tiga varietas yaitu: (1) Zingiber officinale var Roscoe yang dikenal dengan jahe gajah atau jahe badak atau jahe putih besar, mempunyai rimpang yang besar dan ruas yang menggelembung, (2)

Zingiber officinale var Rubrum, yang dikenal dengan jahe merah atau jahe sunti, dengan kulit

rimpang yang berwarna merah, (3) Zingiber officinale var Amarum, yang dikenal dengan jahe putih kecil atau jahe emprit, mempunyai rimpang dengan ruas yang kecil dan agak menggelembung (Paimin dan Murhananto, 2002). Jenis yang digunakan dalam penelitian yaitu varietas jahe gajah (Gambar 1).

Rimpang jahe dipanen pada umur 8 – 10 bulan. Waktu pemanenan tergantung pada tujuan penggunaan. Jahe yang ditujukan untuk pembuatan kembang gula, sirup gula atau untuk pembuatan kristal jahe digunakan jahe berumur 5 – 7 bulan. Sedangkan jahe berumur 8 – 10 bulan digunakan dalam pembuatan jahe kering untuk bahan baku pembuatan biskuit, puding, kue, roti jahe, sup, pikel, bumbu, ginger ale dan ginger wine (Vaughan dan Geissler, 2009) serta untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin (Purseglove et al., 1981).

Jahe diketahui memiliki aktivitas analgesik, antiaggregan, antialkohol, antiallergik, antimikroba, antikanker, antidepresan, antiedemik, antiemetik, antiinflamasi, antimutagenik, antinarkotik, antioksidan, antiserotonigenik, antipiretik, antitrombik, antitusif, immunostimulan

4 (Duke et al., 2002). Dalam perdagangan, jahe digunakan secara luas sebagai rempah-rempah dengan tiga produk utama yaitu jahe segar, jahe kering dan jahe olahan (Sutarno et al., 1999).

B.

KOMPOSISI KIMIA JAHE

Rimpang jahe segar mengandung komposisi kimia per100g yang dapat disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Komposisi kimia rimpang jahe segar per 100g Kandungan Jumlah Energi 51 kJ Protein 1,50 g Lemak 1,00 g Karbohidrat 10,10 g Kalsium 21,00 mg Besi 2,00 mg Fosfor 39,00 mg Vitamin A 30 IU Vitamin B1 0,02 mg Vitamin C 4,00 mg Sumber : Departemen Kesehatan RI (1992)

Jahe terdiri atas minyak esensial atau minyak jahe dan oleoresin atau ekstrak jahe yang menjadi sifat khas dari jahe. Minyak jahe berperan dalam aroma jahe. Kandungan minyak jahe beragam antara 1,0 – 3,0 %, sedangkan oleoresin pada jahe berperan dalam menimbulkan rasa pedas dengan kandungan berkisar antara 4,0 – 7,5 %. Minyak jahe umumnya digunakan sebagai flavor minuman, kosmetika, manisan, parfum dan farmasetikal. Oleoresin jahe memiliki aroma, flavor dan rasa pedas (Sutarno et al., 1999). Kandungan senyawa yang terdapat di dalam jahe dapat dilihat pada Tabel 2.

Rasa pedas pada jahe segar disebabkan golongan fenilalkil keton atau yang biasa disebut

gingerol dan [6]-gingerol merupakan komponen teraktif pada jahe. Gingerol memiliki rantai karbon beragam antara (C5 – C9). Selama pengeringan dan penyimpanan gingerol berubah menjadi shogaol yang lebih berpotensi dibanding gingerol. Senyawa [6]-gingerol yang terpapar peningkatan suhu menyebabkan perubahan bentuk menjadi zingeron, yang menghasilkan rasa pedas yang sedang (Fennema, 1996), diantara bentuk komponen bioaktif jahe yaitu zingiberen, [6]-gingerol, geraniol dan farnesen yang dapat dilihat pada Gambar 2.

5 Tabel 2. Kandungan senyawa yang terdapat dalam jahe

Kandungan senyawa dalam jahe Senyawa

Minyak atsiri - geranial (25,9%), - a-zingiberen (9,5%), - (E,E)-a-farnesen (7,6%), - neral (7,6%), - ar-curcumen (6,6%), - β-sesquiphellandren (27,16%), * - caryophyllen (15,29%), * - β-bisabolen (11,4%) ** Etanol oleoresin jahe - eugenol (49,8%),

- zingeron (14,5%),

- trans-6-shogaol (5,9%),

- geraniol (3,7%),

- borneol (1,9%);

Metanol oleoresin jahe - zingeron (33,6%), - trans-6-shogaol (14,9%), - diacetoxy-[6]-gingerdiol (4,9%),

- decanal (3,8%),

- a-zingiberen (2,7%); CCl4 oleoresin jahe - zingeron (33,3%),

- trans-6- shogaol (10,4%),

- geranial (7,5%),

- neral (4,9%),

- methyldiacetoxy- [6]-gingerdione (3,5%) Isooktan oleoresin jahe - zingeron (30,5%),

- palmitoleic acid (10,9%), - trans-6-shogaol (9,3%), - palmitic acid (8,9%),

- diacetoxy-[6]-gingerdiol (3,3%) Sumber: Singh et al. (2008); * El-Baroty et al. (2010); ** Sacchetti et al. (2005)

C.

SENYAWA ANTIMIKROBA DAN KOMPONEN BIOAKTIF JAHE

Kontaminasi bahan pangan dapat terjadi akibat adanya pertumbuhan mikroba baik bakteri, kapang dan khamir pada bahan pangan yang tidak dikehendaki, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan. Keberadaan antimikroba alami diharapkan dapat menjadi solusi untuk mencegah kontaminasi bakteri dalam bahan pangan (Branen, 1993).

Senyawa antimikroba merupakan senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Penghambatan terhadap bakteri uji dapat bersifat bakterisidal maupun bakteriostatik. Bahan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik sedangkan bakterisidal merupakan bahan yang dapat membunuh bakteri (Madigan et al., 2003). Bakteri dalam kondisi bakteriostatik dicirikan dengan jumlah pertumbuhan sel yang dapat terlihat berada lebih rendah dibanding jumlah total sel normal, sedangkan bakteri dalam kondisi bakterisidal dicirikan dengan jumlah pertumbuhan sel yang dapat terlihat pada fase stasioner menurun drastis dibanding jumlah total sel normal (Gambar 3).

6 Gambar 3. Kurva pertumbuhan bakteri pada kondisi bakteriostatik dan bakterisidal (Sumber:

Madigan et al., 2003)

Senyawa antimikroba diharapkan memiliki kriteria yaitu aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan cita rasa dan aroma, tidak mengalami penurunan aktivitas disebabkan adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya strain resisten dan memiliki spektrum yang luas dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa yang dapat bersifat antimikroba yaitu sodium benzoat, asam benzoat, asam sorbat, sorbat, asam organik, sulfit, sulfur dioksida, nitrit, paraben, komponen fenolik, asam lemak rantai sedang, halogen, surfaktan dan peroksida. Selain itu senyawa fitokimia yang terdapat dalam tumbuhan seperti golongan fenolik, alkaloid dan terpenoid juga bersifat antimikroba (Branen, 1993). Penghambatan bakteri yang dapat dihasilkan oleh jahe dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penghambatan mikroba yang dapat dihasilkan oleh jahe Bentuk jahe Mikroba Nilai

penghambatan

Pustaka

Minyak atsiri jahe Khamir patogen: - C. albicans - R. glutinis - S. cerevisiae - S. pombe - Y. lypolitica 0,15 mg/ml 0,15 mg/ml 0,09 mg/ml 0,06 mg/ml 0,18 mg/ml Sacchetti et al. (2005)

Minyak atsiri jahe dosis 2 µl Kapang: - Aspergillus flavus - Aspergillus solani - Aspergillus oryzae - Aspergillus niger - Fusarium moniliforme 7,0 ± 0,4 mm 44,4 ± 1,0 mm 25,2 ± 1,6 mm 27,9 ± 1,8 mm 49,4 ± 0,9 mm Singh et al. (2008)

Bubuk jahe Bakteri Gram-positif:

- Micrococcus varians - Leuconostoc sp. - Bacillus subtilis 2 % (v/v) bakteriosidal Undriyani (1987)

Bubuk jahe Kapang:

- Aspergillus niger 0,25 % (v/v) Fungisidal Undriyani (1987) Ekstrak diklorometan jahe Bakteri enteropatogen: - E. coli O157: H7 - S. Typhi - V. cholerae O1 10 mg/ml 10 mg/ml 5 mg/ml Radiati (2002)

Ekstrak etanol jahe Khamir:

- Candida albicans 2 mg/ml

7 Senyawa antimikroba memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda-beda. Mekanisme kerja senyawa antimikroba yaitu dapat berupa merusak dinding sel hingga terjadi lisis, mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga sel bocor, menyebabkan denaturasi protein sel, menghambat kerja enzim dalam sel, merusak molekul protein dan asam nukleat dan menghambat sintesis asam nukleat (Prescott et al., 2005).

Senyawa antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari metabolit bakteri dan memiliki kemampuan membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Selanjutnya antibiotik dibuat lebih efektif dengan modifikasi kimia dalam laboratorium yang dikenal sebagai antibiotik semisintetis (Madigan et al., 2003). Umumnya bakteri Gram-positif lebih rentan dibanding bakteri Gram-negatif. Antibiotik yang dapat bekerja baik pada bakteri Gram-negatif maupun Gram-positif disebut antibiotik dengan spektrum yang luas.

Antibiotik dapat digolongkan berdasarkan struktur kimianya atau berdasarkan cara kerjanya dalam menghambat mikroba. Pada bakteri, sasaran utama dari kerja antibiotik yaitu menyerang pada dinding sel (seperti vankomisin), menyerang membran sitoplasma (seperti polimixin) dan menyerang sintesis protein (seperti makrolid, kloramfenikol dan tetrasiklin) dan menyerang sintesis asam nukleat (seperti rifamin) (Madigan et al., 2003).

Mekanisme antibiotik dalam menghambat sintesis protein melalui interaksi dengan ribosom. Interaksi ini sangat spesifik dan melibatkan banyak rRNA seperti streptomisin menghambat sintesis protein pada tahap inisiasi sedangkan puromisin, kloramfenikol, sikloheksimid dan tetrasiklin menghambat pada tahap elongasi. Antibiotik yang dapat menghambat dalam tahap sama pun dapat memiliki mekanisme kerja sangat berbeda seperti puromisin berikatan dengan sisi A pada ribosom dan perpanjangan rantai polipeptida dipindahkan ke puromisin, kemudian kompleks puromisin-polipeptida keluar dari ribosom dan berhenti pada tahap elongasi secara prematur. Kloramfenikol menghambat pada tahap elongasi dengan cara mencegah pembentukan ikatan peptida. Antibiotik secara spesifik menghambat ribosom pada organisme tertentu seperti kloramfenikol dan streptomisin spesifik hanya pada ribosom bakteri saja sedangkan sikloheksimid hanya mempengaruhi ribosom dari golongan eukaria saja (Madigan et al., 2003).

D.

EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF

Ekstraksi merupakan tahap untuk pemisahan senyawa dengan matriksnya menjadi senyawa terlarut untuk tujuan identifikasi komponen maupun komersial (Houghton dan Raman, 1998). Senyawa terlarut berupa ekstrak penting didapatkan disebabkan: (1) keragaman komponen yang terkandung dalam bahan segar dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan tempat tumbuh tanaman, (2) adanya perubahan komponen selama penyimpanan dalam bentuk segar dan (3) memenuhi konsentrasi tertentu terhadap senyawa yang diinginkan. Hal yang harus diperhatikan diantaranya yaitu tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen yang akan diekstrak, sifat pelarut yang akan digunakan, penggunaan ekstrak serta penggunaan ulang pelarut (Houghton dan Raman, 1998).

Komponen bioaktif pada tanaman dapat diekstrak dengan beragam cara diantaranya menggunakan metode Soxhlet (Mishra dan Behal, 2010), hidrodistilasi (Singh et al., 2008), maserasi (Ahmad dan Beg, 2001), supercritical CO2

Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk jahe dalam pelarut. Prinsip metode maserasi yaitu terjadinya peristiwa leaching pada komponen aktif dalam bahan yang memiliki sifat

(Puengphian dan Sirichote, 2008). Penelitian ini menggunakan maserasi bertingkat dengan pertimbangan penggunaannya yang sederhana, relatif murah dan mudah.

8 kelarutan yang sama dengan pelarut yang digunakan (Singh, 2008). Maserasi yang berulang untuk memperoleh ekstrak yang semakin banyak. Metode ini tergolong metode konvensional namun masih populer digunakan disebabkan kemudahan pengerjaan dan biaya pengerjaan yang cukup murah dibandingkan metode lainnya (Yang et al., 2010).

Maserasi bertingkat merupakan metode ekstraksi bertahap dengan menggunakan pelarut yang berbeda. Metode maserasi bertingkat lebih banyak digunakan dalam mengekstraksi senyawa antimikroba disebabkan lebih efisien karena dalam prosesnya akan didapatkan lebih dari satu jenis senyawa antimikroba tergantung jenis pelarut yang digunakan (Mawaddah, 2008).

Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda untuk memperoleh komponen terlarut pada kisaran yang luas (Cowan, 1999). Sifat komponen yang akan diekstrak bergantung pada polaritas, termostabilitas dan pH. Sifat pelarut yang akan digunakan bergantung pada polaritas, toksisitas, kemudahan terbakar, reaktivitas, ketersediaan dan harga. Berdasarkan perbandingan polaritasnya, heksan tergolong sebagai pelarut non polar, etil asetat tergolong sebagai pelarut semi polar dan etanol tergolong sebagai pelarut polar (Carey dan Sundberg, 2007). Derajat polaritas bergantung pada ketetapan dielektrik (ε), semakin besar tetapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut. Berikut ini karakteristik dan struktur pelarut yang digunakan dalam penelitian (Tabel 4 dan Gambar 4).

Tabel 4. Karakteristik pelarut heksan, etil asetat, etanol Pelarut T d (o Kelarutan dalam air

(%)

C) Ketetapan dielektrik (ε)* Heksan 69 <0,01 1,9

Etil asetat 77 80 6,0 Etanol 78 Sangat larut 24,5 Sumber: Handa (2008);* Carey dan Sundberg (2007)

(a) Heksan (b) Etil asetat (c) Etanol Gambar 4. Struktur pelarut yang digunakan

(Sumber: (a) http://www.hull.ac.uk/chemistry/masspec3/images/pic%20hexane.gif; (b) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/ea/Ethyl_acetate2.png; (c) http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/ae/Ethanol-structural.png)

Menurut Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan hendaknya mempunyai titik didih yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Dalam pertimbangan ekonomi, diupayakan pemilihan pelarut yang murah harganya dan mudah didapatkan.

E.

BAKTERI PATOGEN PANGAN

Bakteri patogen merupakan bakteri penyebab penyakit (Madigan et al., 2003). Bakteri patogen merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia baik secara infeksi maupun intoksikasi. Penyakit yang terjadi secara infeksi merupakan istilah yang digunakan jika bakteri tertelan dalam bentuk vegetatifnya sedangkan penyakit yang terjadi secara intoksikasi

9 merupakan istilah yang digunakan jika toksin yang dihasilkan oleh bakteri masuk dalam tubuh (Madigan et al., 2003). Bakteri yang akan diuji dalam penelitian ini termasuk dalam bakteri patogen yaitu meliputi B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium.

Berdasarkan susunan dinding sel bakteri dapat digolongkan menjadi bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif. Gram-positif merupakan sel prokariotik yang memiliki dinding sel terdiri atas peptidoglikan dan sedikit membran luar, sedangkan Gram-negatif merupakan sel prokariotik yang memiliki dinding sel terdiri atas peptidoglikan yang relatif lebih sedikit namun memiliki membran luar yang terdiri atas lipopolisakarida (LPS), lipoprotein dan kompleks makromolekul lainnya (Madigan et al., 2003). Dinding sel bakteri Gram-positif terdiri atas 90 % lapisan peptidoglikan dan lapisan tipis asam teikoat, sedangkan pada bakteri Gram-negatif terdiri atas 5 – 20 % lapisan peptidoglikan dan lapisan lain meliputi protein, lipopolisakarida dan lipoprotein (Fardiaz, 1992). Perbedaan ini menyebabkan perbedaan sensitivitas bakteri terhadap senyawa antimikroba. Perbedaan sifat kedua jenis bakteri tersebut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbedaan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif

Ciri-ciri Perbedaan

Gram-positif Gram-negatif Dinding sel Tebal dinding 20 – 80 nm berupa

peptidoglikan dan terdapat pula polisakarida dan asam teikoat

Lapisan peptidoglikan inner 2 – 7 nm dan membran outer 7 – 8 nm berupa lipid, protein dan lipopolisakarida Reproduksi Membelah diri Membelah diri, terkadang dengan

tunas Bentuk sel Bulat, batang atau filamen, dapat

menunjukkan cabang

Oval, bulat, batang kaku atau seperti kurva, terkadang seperti kapsul Metabolisme Umumnya kemoorganotropik Fototropik, kemolitoautotropik,

kemoorganoheterotropik Motilitas Kebanyakan non-motil, memiliki

flagel peritrik ketika motil

Motil atau non-motil, flagel dapat beragam-polar, lopotrik, peritrik Endospora Dapat membentuk endospora Tidak dapat membentuk endospora

Sumber : Prescott et al. (2005)

Bacillus cereus

Dokumen terkait