• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persiapan kultur bakteri uji bertujuan menjamin keseragaman kultur yang digunakan selama pengujian. Kultur bakteri uji terlebih dahulu dilakukan uji konfirmasi sederhana menggunakan pewarnaan Gram untuk mengetahui bakteri uji yang digunakan tidak terkontaminasi dengan bakteri lain. Bakteri diwarnai dengan zat warna kristal violet dan iodium, dibilas dengan alkohol, kemudian diwarnai lagi dengan zat warna merah safranin. Struktur dinding sel akan menentukan respon pewarnaan. Bakteri Gram-positif ditandai dengan warna violet sedangkan bakteri Gram- negatif ditandai dengan warna merah. Selanjutnya kultur bakteri uji disegarkan dalam media NB inkubasi 24 jam. Kemudian bakteri uji ditumbuhkan dalam media NA menggunakan metode tuang untuk mengetahui jumlah bakteri awal.

Gambar 16. Bentuk morfologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x

S. aureus ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan

perbesaran 1.000x berwarna biru dan berbentuk kokus (bulat). Jumlah awal bakteri S. aureus pada penelitian ini sebesar 5,2 x 108 CFU/ml (Lampiran 1). Kultur bakteri disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri S. aureus memerlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105. Bentuk morfologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 16.

21

B. cereus ditandai dengan bentuk morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan

perbesaran 1.000x berwarna biru dan berbentuk basil (batang). Jumlah awal bakteri B. cereus pada penelitian ini sebesar 7,4 x 106 CFU/ml (Lampiran 1). Jumlah Kultur bakteri disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri B. cereus memerlukan pengenceran sebesar 1/10 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105. Bentuk morfologi bakteri B. cereus dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 18. Bentuk morfologi bakteri S.Typhimurium dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x

S. Typhimurium ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x berwarna merah dan berbentuk basil (batang). Jumlah awal bakteri S.

Typhimurium pada penelitian ini sebesar 6,2 x 108 CFU/ml (Lampiran 1). Kultur bakteri ini disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri S.

Typhimurium memerlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105

Hasil pewarnaan yang dilakukan menunjukkan kultur bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri lain. Campbell et al. (2003) menyatakan sebagian besar dinding sel bakteri Gram-positif terdiri dari peptidoglikan akan menjerap warna violet. Sedangkan bakteri Gram-negatif memiliki lebih sedikit peptidoglikan, yang terletak di suatu gel periplasmik antara membran plasma dan suatu membran bagian luar selnya tetap menahan zat warna merah.

. Bentuk morfologi bakteri S. Typhimurium dengan pewarnaan Gram perbesaran 1.000x dapat dilihat pada Gambar 18.

Jumlah awal kultur bakteri ini digunakan penyeragaman jumlah bakteri pada saat pengujian sehingga dapat terukur secara proporsional. Jumlah bakteri yang digunakan dalam pengujian aktivitas antimikroba berkisar 105. Jumlah bakteri dengan kisaran tersebut dianggap jumlah yang cukup yaitu bakteri dapat tumbuh cukup sehat dan tidak terlalu banyak. Inokulum berkisar 105 direkomendasikan dalam pengujian aktivitas antimikroba (CDRH, 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk bakteri uji B. cereus diperlukan pengenceran sebesar 1/10 sedangkan untuk bakteri uji S. aureus dan S. Typhimurium diperlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam cawan yaitu berkisar 105

Bakteri uji dalam penelitian ini diduga telah mencapai fase pertumbuhan stasionernya. Bakteri

B. cereus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 20 jam, bakteri S. aureus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 16 jam dan bakteri S. Typhimurium mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 12 jam (Parhusip, 2006).

.

Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada sensitivitas bakteri terhadap senyawa antimikroba. Menurut Sheu dan Freese (1972) bakteri pada fase stasioner lebih sensitif terhadap antimikroba

22 asam lemak rantai pendek seperti asam asetat, asam propionat dan asam butirat daripada fase pertumbuhannya. Hal ini disebabkan penambahan asam lemak rantai pendek dapat dimanfaatkan oleh bakteri pada saat pertumbuhan sebagai sumber pembentuk asam lemak.

B.

PEMBUATAN SERBUK JAHE

Sebanyak 3,06 kg rimpang jahe gajah segar dicuci bersih, ditiriskan dan diiris menggunakan

slicer dengan ketebalan 1,5 mm. Jahe yang digunakan untuk ekstraksi minyak atsiri dan

oleoresin yaitu jahe yang berumur 8 – 10 bulan (Purseglove et al., 1981). Pengupasan kulit tidak dilakukan untuk menghindari hilangnya kandungan minyak atsiri dalam jahe (Guenther, 1952). Semakin tipis lembaran jahe yang dikeringkan, semakin cepat penguapan air sehingga mempercepat waktu pengeringan (Sirait, 1985). Selanjutnya lembaran jahe dikeringkan dengan menggunakan oven suhu 55 o

Rendemen serbuk jahe gajah kering yang diperoleh dalam penelitian yaitu sebesar 9,98 % (w/w) (Lampiran 2). Serbuk jahe yang diperoleh kemudian disimpan dalam lemari pendingin untuk meminimalisir kerusakan. Serbuk jahe yang digunakan dalam penelitian hanya mengalami penyimpanan dalam lemari pendingin selama dua hari untuk selanjutnya dilakukan tahap ekstraksi.

C selama 5 jam hingga kering. Proses pengeringan dapat menghilangkan air dengan baik sehingga sampel tidak mudah rusak dalam jangka waktu yang lama. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30 °C sampai 90 °C, tetapi suhu yang terbaik tidak melebihi 60 °C (Sirait, 1985). Selanjutnya lembaran jahe dihaluskan dan diayak dengan ukuran 20 mesh hingga didapatkan serbuk jahe halus yang homogen. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas permukaan dan meningkatkan interaksi antara pelarut dengan senyawa yang akan diekstrak sehingga senyawa yang terekstrak semakin banyak pada tahap ekstraksi (Singh, 2008).

C.

EKSTRAKSI

MASERASI BERTINGKAT

DENGAN PELARUT

HEKSAN, ETIL ASETAT DAN ETANOL

Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa yang terkandung dalam serbuk jahe dan mendapatkan ekstrak kasarnya. Serbuk jahe sebanyak 100 g diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi bertingkat pada suhu ruang dengan kecepatan putar shaker

sebesar 150 rpm. Pada metode maserasi bertingkat digunakan pelarut pada berbagai tingkat kepolaran maka akan diperoleh jenis ekstrak dengan kandungan senyawa yang lebih spesifik.

Tiap filtrat dipisahkan dari pelarut dengan menguapkan dalam rotavapor. Pelarut heksan dan etil asetat diuapkan pada suhu 50 oC dan pelarut etanol diuapkan pada suhu 70 o

Ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi bertingkat diperoleh beberapa jenis ekstrak yaitu ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe. Masing-masing jenis ekstrak yang diperoleh dihitung rendemennya berdasarkan persentase bobot ekstrak jahe setelah dipekatkan dengan rotavapor dibandingkan dengan bobot serbuk jahe kering (100 gram). Data rendemen ekstrak jahe dapat dilihat pada Tabel 10 dan Lampiran 3.

C. Sisa pelarut dihilangkan dengan dihembus gas nitrogen hingga pelarut yang masih tersisa dalam ekstrak jahe menguap. Setelah itu pemekatan disempurnakan dengan proses keringbeku menggunakan freeze dry. Kemudian ditutup rapat dalam vial dan disimpan dalam lemari pendingin hingga dilakukan analisis lanjut.

23 Tabel 10. Hasil ekstraksi jahe metode maserasi bertingkat dengan berbagai pelarut

Jenis ekstrak Rendemen ekstrak jahe (g/100g serbuk jahe kering) *

Warna ekstrak jahe

Ekstrak Heksan (EH) 3,57 Coklat pekat Ekstrak Etil asetat (EEA) 3,17 Coklat pekat Ekstrak Etanol (EE) 3,02 Coklat pekat Keterangan: * Rendemen merupakan rerata ± standar deviasi dari dua ulangan

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa ekstraksi yang diperoleh dari maserasi bertingkat dengan pelarut heksan menghasilkan rendemen ekstrak yang paling besar yaitu 3,57 % (w/w) kemudian ekstraksi dengan pelarut etil asetat yaitu 3,17 % (w/w) dan rendemen yang terkecil yaitu ekstraksi dengan etanol yaitu 3,02 % (w/w). Hasil ini menunjukkan kandungan pada jahe yang bersifat non-polar lebih dominan dibandingkan dengan komponen semi-polar dan polar pada jahe. Rendemen ekstrak jahe dihasilkan serupa dengan yang telah dilakukan oleh Radiati (2002) yang menyatakan ekstrak heksan dan etanol jahe dengan menggunakan metode maserasi bertingkat diperoleh sebesar 3,23 ± 0,25 dan 2,16 ± 0,31 % (w/w). Perbedaan tingkat kematangan jahe yang digunakan dapat menyebabkan perbedaan perolehan rendemen ekstrak. Hal ini disebabkan akibat perbedaan kandungan senyawa dan jumlah senyawa yang terekstrak (Houghton dan Raman, 1998) .

Pemekatan ekstrak jahe menggunakan suhu 50 oC untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut heksan dan etil asetat serta suhu 70 o

Perlakuan keringbeku dimaksudkan untuk menghilangkan air yang masih terkandung dalam ekstrak dan menghindari pengeringan dengan panas yang dapat menghilangkan komponen volatil dalam ekstrak, namun perlakuan kering-beku menyebabkan rendemen ekstrak jahe berkurang. Kehilangan ekstrak jahe setelah perlakuan kering-beku berakibat pada hilangnya komponen aktif yang bersifat volatil yang terdapat dalam ekstrak jahe (Tabel 11, Lampiran 3).

C untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol yang diharapkan dapat menguapkan sisa pelarut heksan, etil asetat dan etanol yang terdapat pada ekstrak jahe namun diduga menyebabkan komponen aktif pada ekstrak jahe ikut menguap dan dimungkinkan komponen aktif terdegradasi pada suhu pemekatan tersebut.

Tabel 11. Kehilangan ekstrak jahe setelah freeze dry Jenis ekstrak Rendemen

ekstrak jahe (%) (g ekstrak /100g serbuk jahe kering) *

Rendemen ekstrak jahe setelah freeze dry (%) (g ekstrak setelah freeze dry

/100g serbuk jahe kering) *

% kehilangan ekstrak setelah freeze dry

(((rendemen ekstrak– rendemen ekstrak setelah

freeze dry) / rendemen ekstrak) x 100 %) Ekstrak Heksan (EH) 3,57 2,68 24,82 Ekstrak Etil asetat

(EEA)

3,17 2,08 34,23

Ekstrak Etanol (EE) 3,02 0,44 85,43 Keterangan: * Rendemen merupakan rerata ± standar deviasi dari dua ulangan

Ekstrak jahe kering menggunakan metode soxhlet dengan pelarut heksan didapatkan rendemen yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi bertingkat yaitu sebesar 1,00 % (w/w) dan ekstrak jahe kering menggunakan metode soxhlet dengan pelarut

24 etanol didapatkan rendemen lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi bertingkat yaitu sebesar 1,13 % (w/w) dan ekstrak jahe menggunakan microwave didapatkan rendemen sebesar 0,88 % (w/w) dengan pelarut heksan sedangkan dengan pelarut etanol didapatkan rendemen sebesar 1,14 % (w/w) (Alfaro et al., 2003).

Menurut Fakhrudin (2008) ukuran serbuk jahe yang berbeda serta lamanya waktu ekstraksi dapat berpengaruh terhadap rendemen ekstrak jahe yang dihasilkan. Rendemen yang dihasilkan diduga masih terdapat kadar air dalam jumlah yang sangat kecil pada ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan esktrak etanol jahe dapat dilihat dari karakteristik fisik hasil ekstrak yang berbentuk pasta setelah tahap perlakuan keringbeku.

Pasta merupakan sistem koloid dengan fase pendispersi berupa bahan cair dan fase terdispersi berupa bahan padatan. Fase cair dalam sistem koloid tersebut diduga mencakup di dalamnya kandungan air yang belum terpisahkan serta kandungan minyak pada ekstrak jahe gajah sehingga menyebabkan ekstrak jahe yang dihasilkan berbentuk pasta. Gambar beragam ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Ekstrak kasar jahe dengan maserasi bertingkat

Dokumen terkait