• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK HEKSAN, ETIL ASETAT DAN

ETIL ASETAT DAN ETANOL JAHE

Ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat diujikan aktivitas antimikrobanya terhadap B. cereus, S. aureus dan S.

Typhimurium menggunakan metode difusi sumur pada konsentrasi ekstrak jahe sebesar 100 mg/ml dengan diameter sumur sebesar 5 mm ketebalan 4 mm. Pemilihan konsentrasi tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shan et al. (2007) yang secara efektif dapat menghambat bakteri Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Salmonella anatum dengan menggunakan ekstrak metanol dari 46 jenis tanaman.

Uji difusi sumur bertujuan mengetahui potensi awal beragam ekstrak jahe sebagai antimikroba alami (Parish dan Davidson, 1993). Aktivitas antimikroba ekstrak jahe dapat diketahui melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada media NA yang diisikan ekstrak sampel, kontrol positif serta kontrol negatif. Zona bening yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong. Adanya zona bening menunjukkan bakteri tidak tumbuh. Zona hambat diukur dari selisih diameter zona bening yang terbentuk dengan diameter sumur. Nilai zona hambat ekstrak jahe dapat dilihat pada Tabel 12 dan pada Lampiran 4.

25 Tabel 12. Zona hambat ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri uji

Bakteri uji Zona hambat (mm)

EH EEA EA Kontrol (+) Kontrol (-)

B. cereus 6,1 6,6 6,0 20,6 0,0

S. aureus 5,0 5,7 1,3 16,6 0,0

S. Typhimurium 0,0 0,0 0,0 15,0 0,0 Keterangan : EH: ekstrak heksan jahe; EEA: ekstrak etil asetat jahe; EA:

ekstrak etanol jahe; (+) kontrol positif /antibiotik kloramfenikol 100µg/ml air steril; (-) kontrol negatif /DMSO

Gambar 20 menunjukkan diameter hambat berupa zona bening yang menandakan adanya penghambatan dihasilkan oleh beragam ekstrak pada bakteri uji.

Gambar 20. Zona bening ekstrak jahe pada bakteri uji

Secara umum terlihat bahwa kloramfenikol dengan konsentrasi 100 µg/ml air steril sebagai kontrol positif menunjukkan diameter penghambatan terbesar (15,0 – 20,6 mm). Pelarut DMSO sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan adanya zona bening yang menandakan tidak adanya diameter penghambatan yang dihasilkan, sedangkan ekstrak jahe yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut heksan, etil asetat dan etanol menunjukkan diameter penghambatan yang beragam terhadap bakteri uji (1,3 – 6,6 mm), kecuali bakteri S. Typhimurium tidak menunjukkan adanya diameter penghambatan pada konsentrasi ekstrak jahe 100 mg/ml.

Kontrol negatif yaitu DMSO merupakan pelarut untuk melarutkan ekstrak jahe sebelum digunakan dalam pengujian. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa DMSO tidak menunjukkan adanya zona bening sehingga peranannya sebagai pelarut tidak berdampak pada pengaruh aktivitas antimikroba ekstrak jahe. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh Singh et al. (2008) yang menyatakan bahwa DMSO tidak berpengaruh terhadap aktivitas antimikroba. DMSO merupakan pelarut umum yang digunakan dalam pengujian karena kemampuannya untuk melarutkan senyawa organik baik non-polar maupun polar. DMSO berperan sebagai emulsifier. Selain itu, DMSO juga direkomendasikan sebagai pelarut komponen organik yang baik (Carey dan Sundberg, 2007).

Kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai antimikroba yang kuat. Kontrol positif merupakan antimikroba yang telah murni dan karenanya digunakan dalam konsentrasi

Kontrol (-) / DMSO

Kontrol (+) / kloramfenikol Ekstrak etanol Ekstrak etil asetat Ekstrak heksan

26 yang kecil yaitu 0,01 % (w/v) sehingga perbandingan konsentrasi antara ekstrak dengan kontrol positif yaitu sebesar 10.000 : 1. Kontrol positif merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai antimikroba yang kuat, penggunaan perbandingan ini bertujuan mengukur potensi aktivitas antimikroba jahe. Kloramfenikol dapat menghambat sintesis protein pada tahap elongasi dengan cara mencegah pembentukan ikatan peptida pada ribosom. Kloramfenikol dapat melumpuhkan sel bakteri tanpa mengganggu sel manusia dan eukariota lain (Madigan et al., 2003).

Penggunaan antibiotik kloramfenikol mengacu pada penelitian Ahmad dan Beg (2001) yang secara efektif dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 100 µg/ml. selain itu kloramfenikol termasuk antibiotik yang memiliki spektrum penghambatan yang luas (Fardiaz, 1992). Berdasarkan hasil penelitian antibiotik kloramfenikol diketahui dapat menghambat bakteri B. cereus, S. aureus dan S. Typhimurium berturut-turut yaitu 20,6; 16,6; 15,0 mm. Kloramfenikol dilaporkan dapat menghambat bakteri patogen lain diantaranya pada 20 serogroups E. coli yaitu serogroups yang bersifat patogen seperti E. coli O8 (enterotoxigenic

E. coli, ETEC) dan E. coli O157 (enterohemorrhagic E. coli, EHEC) serta E. coli yang bersifat non-patogen seperti E. coli O86, O30, O1, O69, O80, O88, O91, O51, O25, O116, O78, O22, O101, O33, O173, O104, O165 dan O63 dengan penghambatan berkisar antara 22 – 31 mm pada konsentrasi 30 µg/disk (Indu et al., 2006). Kloramfenikol pada konsentrasi 10 mg/ml DMSO dilaporkan tidak dapat menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri

Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa dan

Klebsiella pneumoniae (Singh et al., 2008).

Ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat pada konsentrasi 100 mg/ml tidak dapat menghambat bakteri uji S.

Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri S. Typhimurium lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dari ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat. Kandungan ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat pada konsentrasi 100 mg/ml belum mampu melisis sel bakteri S. Typhimurium.

Perbedaan respon ini terjadi akibat perbedaan permukaan luar dari dinding sel yaitu lapisan lipopolisakarida (LPS) antara bakteri Gram-negatif dan bakteri Gram-positif. Bakteri Gram- positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana, dengan jumlah peptidoglikan yang relatif banyak. Dinding sel bakteri Gram-negatif memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara struktural lebih kompleks. Membran bagian luar pada dinding sel Gram-negatif mengandung lipopolisakarida, yaitu karbohidrat yang terikat dengan lipid. Lapisan lipopolisakarida ini bersifat toksik (beracun) dan membran bagian luar membantu melindungi bakteri dalam melawan sistem pertahanan sel inangnya (Campbell et al., 2003). Adanya lapisan lipopolisakarida dan membran luar pada bakteri S.Typhimurium ini menyebabkan struktur bakteri menjadi lebih kokoh sehingga diduga sulit ditembus oleh senyawa antimikroba dari ekstrak jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat.

Penggolongan sifat aktivitas penghambatan ekstrak jahe terhadap bakteri S. aureus, B. cereus

dan S. Typhimurium pada penelitian ini didasarkan pada ketentuan Sagdic et al. (2005) yang menyatakan bahwa aktivitas penghambatan bakteri tergolong sangat kuat bila menghasilkan zona penghambatan sebesar > 20 mm, tergolong sedang bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 16 – 20 mm, tergolong tipis bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 10 – 15 mm dan tergolong lemah bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 6 – 9 mm.

27 Gambar 21. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak jahe konsentrasi 100 mg/ml

(diameter lubang = 5 mm, rata – rata diameter hambat diperoleh dari duplo)

Secara umum dapat dilihat pada Gambar 21 bahwa ekstrak heksan jahe, ekstrak etil asetat jahe dan ekstrak etanol jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mempunyai kemampuan antimikroba yang tergolong lemah terhadap bakteri uji (1,3 – 6,6 mm), kecuali S. Typhimurium yang tidak menunjukkan aktivitas penghambatan pada konsentrasi ekstrak jahe 100 mg/ml. Secara umum bakteri Gram-positif paling baik dihambat oleh ekstrak etil asetat jahe. Aktivitas antimikroba ekstrak jahe yang tergolong lemah ini disebabkan pemekatan ekstrak jahe menggunakan suhu 50 oC untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut heksan dan etil asetat serta suhu 70 o

Komponen yang dapat terekstrak oleh pelarut heksan bersifat non-polar meliputi parafin, asam lemak, asam lemak metil ester, di-, dan tri-terpen serta pigmen (Shi et al., 2007). Pelarut etil asetat bersifat semi-polar sehingga dapat melarutkan komponen yang bersifat semi-polar meliputi senyawa steroid, terpenoid, alkaloid, flavonoid dan glikosida sedangkan pelarut etanol bersifat polar sehingga dapat melarutkan komponen polar meliputi senyawa tannin, terpenoid, alkaloid, sterol dan polifenol (Cowan, 1999).

C untuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol yang tinggi serta perlakuan kering-beku sehingga menyebabkan komponen volatil dalam ekstrak jahe menguap.

Pelarut heksan merupakan pelarut organik non-polar yang digunakan pertama dalam tahap ekstraksi menggunakan maserasi bertingkat. Pelarut heksan hanya dapat mengekstrak senyawa- senyawa yang juga bersifat non-polar dari jahe. Kandungan utama senyawa yang ada dalam ekstrak heksan jahe yaitu zingiberen, farnesen, ß-phellandren. Senyawa ini diduga berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus dan S. aureus (Singh et al., 2008). Diameter penghambatan yang terukur diketahui bahwa senyawa non-polar yang terkandung dalam ekstrak jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba tertinggi kedua (5,0 – 6,1 mm) setelah ekstrak jahe menggunakan pelarut etil asetat (5,7 – 6,6 mm) dengan maserasi bertingkat. Ekstrak heksan jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan diameter penghambatan yang lebih tinggi dibanding ekstrak etanol jahe (1,3 – 6,0 mm) yang diperoleh dengan maserasi bertingkat terhadap bakteri S. aureus dan B. cereus.

28 Senyawa steroid dan terpenoid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi heksan jahe gajah dengan maserasi bertingkat. Senyawa steroid dan terpenoid merupakan golongan minyak atsiri termasuk senyawa yang berperan sebagai antimikroba. Nychas (1995) menyatakan bahwa minyak atsiri dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural sehingga pembentukan dinding sel bakteri terganggu. Senyawa ini memiliki mekanisme penghambatan dengan cara merusak dinding sel disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya juga mengandung fenol yang merupakan gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil (- CO) (Beuchat, 1994).

Minyak atsiri dapat terekstrak dalam pelarut heksan yang bersifat non-polar. Komponen bioaktif terbesar dalam minyak atsiri jahe telah dikarakterisasi oleh El-Baroty et al. (2010) dengan menggunakan bioautografi TLC yaitu β-sesquiphellandren, caryophyllen dan zingiberen. Senyawa tersebut menurut El-Baroty et al. (2010) merupakan senyawa yang berperan dalam menghambat bakteri B. subtilis, S. aureus dan K. pneumoniae. Daya penghambatan yang dihasilkan oleh senyawa antimikroba tidak hanya ditentukan dari jumlah komponen terbesar pada bahan. Senyawa antimikroba dapat pula dihasil dari komponen minor pada bahan.

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa ekstrak heksan pada jahe dapat menghambat bakteri Coliform bacillus, Strapylococcus epidermidis dan Streptococcus viridans berturut-turut yaitu 4,0; 4,5 dan 5,0 mm pada konsentrasi 1 % (v/v) (Malu et al., 2009). Hal ini menunjukkan ekstrak heksan jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat dapat menghasilkan aktivitas penghambatan pada bakteri namun masih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat. Selain itu, penggunaan pelarut heksan, metanol dan aseton sebagai pelarut pangan sangat dibatasi akibat sifat pelarut yang tidak ramah lingkungan (Singh, 2008) serta limit residu pelarut heksan dalam bahan makanan tidak dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut heksan (Handa, 2008), dengan demikian ekstrak heksan bukan merupakan sumber antimikroba yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai sumber pengawet pangan alami.

Pelarut etil asetat merupakan pelarut kedua yang digunakan pada ekstraksi jahe gajah maserasi bertingkat setelah pelarut heksan. Pelarut etil asetat jahe dapat mengekstrak senyawa alkaloid, flavonoid dan glikosida yang terdapat pada ekstrak jahe gajah. Senyawa tersebut dapat bersifat antimikroba dengan mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri yang berbeda sesuai karateristiknya(Cowan, 1999).

Senyawa flavonoid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi etil asetat jahe gajah dengan maserasi bertingkat. Senyawa flavonoid termasuk dalam salah satu subklas senyawa fenolik. Subklas senyawa fenolik lainnya yaitu fenol sederhana, asam fenolik, quinone, flavon, flavonol dan tannin (Cowan, 1999). Senyawa flavonoid pada tumbuhan berfungsi mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan antivirus, serta mengatur kerja antiserangga (Harborne, 1993). Senyawa flavonoid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara membentuk kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan, 1999). Membran sitoplasma pada bakteri berperan mempertahankan kandungan yang di dalam sel serta mengatur keluar masuknya bahan-bahan yang dibutuhkan oleh sel bakteri. Membran berfungsi memelihara integritas komponen-komponen seluler. Senyawa yang bersifat antimikroba dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada membran sel. Kerusakan pada membran sel dapat mengakibatkan pertumbuhan sel terganggu bahkan dapat menyebabkan sel mati (Madigan et al., 2003).

29 Senyawa alkaloid pada jahe diduga terekstrak dalam fraksi etil asetat jahe gajah dengan maserasi bertingkat. Senyawa alkaloid merupakan senyawa alami amina yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne, 1993). Senyawa alkaloid memiliki mekanisme penghambatan dengan cara mengganggu sintesis DNA dan dinding sel (Cowan, 1999).

Ekstrak etil asetat yang diperoleh dengan maserasi bertingkat mampu menghambat pertumbuhan B. cereus dan S. aureus dengan zona penghambatan lebih tinggi dibanding ekstrak heksan dan etanol yang diperoleh dengan maserasi bertingkat yaitu sebesar 6,6 mm dan 5,7 mm. Pelarut etil asetat termasuk dalam kelas tiga berdasarkan toksisitasnya yang rendah toksik dan penggunaannya dalam bahan pangan dibatasi oleh praktik produksi yang baik (GMP/ Good

Manufacturing Practices). Limit residu pelarut dalam bahan makanan dapat ditoleransi untuk

keberadaan pelarut etil asetat sebesar 400 ppm (Handa, 2008).

Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat jahe disebabkan karena pelarut etil asetat yang bersifat semi-polar sehingga senyawa yang terkandung di dalam ekstrak jahe merupakan senyawa-senyawa yang bersifat semi-polar. Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk mendapatkan aktivitas antimikroba yang optimal. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat larut di dalam senyawa polar (air) tempat bakteri biasa tumbuh, sedangkan sifat lipofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat berikatan dengan membran bakteri (Branen, 1993), sehingga pada bakteri uji, komponen aktif bersifat lipofilik yang terdapat dalam ekstrak etil asetat jahe diduga dapat berikatan dengan membran sel B. cereus dan S. aureus sedangkan komponen hidrofilik menyeimbangkan dengan lingkungan sekitar sehingga membran sel mengalami peningkatan permeabilitas membran yang kemudian dapat menyebabkan kandungan mineral dalam sitoplasma keluar sehingga menyebabkan sel lisis.

Pelarut etanol merupakan pelarut polar yang digunakan pada tahap akhir dari ekstraksi jahe maserasi bertingkat. Ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat mempunyai kemampuan menghambat bakteri uji terendah (1,3 – 6,6 mm) dibandingkan ekstrak heksan jahe (5,0 – 6,1 mm) dan ekstrak etil asetat jahe (5,7 – 6,6 mm). Rendahnya aktivitas penghambatan dari ekstrak etanol jahe gajah ini dapat diakibatkan oleh kandungan komponen aktif pada ekstrak etanol yang berkurang akibat ekstraksi sebelumnya dengan menggunakan etil asetat, diduga senyawa bersifat polar yang ikut terekstrak dalam pelarut etil asetat sehingga menyebabkan berkurangnya komponen aktif yang ada pada ekstrak etanol jahe diantaranya senyawa alkaloid dan senyawa flavoniod. Hal ini terlihat pula pada rendemen ekstrak etanol jahe diperoleh lebih rendah dibanding ekstrak heksan dan ekstrak etil asetat jahe dengan maserasi bertingkat. Ekstrak etanol jahe mempunyai kemampuan hambat dengan diameter penghambatan 6,0 mm terhadap B.

cereus dan 1,3 mm terhadap S. aureus namun penghambatannya tidak sebesar ekstrak heksan

jahe dan ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dengan maserasi bertingkat.

Senyawa tannin yang bersifat polar diduga terlarut dalam fraksi ekstrak etanol jahe dengan maserasi bertingkat. Senyawa tannin yang berada dalam fraksi ekstrak etanol jahe dapat berperan sebagai senyawa antimikroba. Senyawa tannin merupakan salah satu subklas dari senyawa fenolik polimer. Senyawa tannin memiliki mekanisme penghambatan terhadap bakteri dengan cara membentuk kompleks dengan protein sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim sel bakteri (Cowan, 1999).

Penelitian sebelumnya menyatakan ekstrak etanol jahe dapat menghambat kapang diantaranya Aspergillus flavus, Aspergillus solani, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger dan

30

Fusarium moniliforme dengan dosis 2 µl secara berturut-turut 9,2 ± 1,2; 35,6 ± 1,1; 29,2 ± 1,0; 25,3 ± 0,4; 20,6 ± 1,1 mm (Singh et al., 2008). Limit residu pelarut dalam bahan makanan dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut etanol cukup besar yaitu 1000 ppm (Handa, 2008). Namun dalam penelitian ini didapat bahwa ekstrak etanol jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat bukan merupakan senyawa antimikroba yang baik untuk dikembangkan sebagai pengawet alami. Hal ini dapat terlihat dari rendemen ekstrak etanol yang rendah setelah perlakuan kering-beku (0,44 % (w/w)) dibanding rendemen ekstrak heksan jahe dan ekstrak etil asetat jahe, sehingga dimungkinkan kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak etanol lebih sedikit daripada ekstrak heksan dan etil asetat jahe.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat jahe yang diperoleh dari maserasi bertingkat memiliki aktivitas antimikroba yang tertinggi terhadap bakteri B. cereus dan S.

aureus. Aktivitas penghambatan yang dihasilkan dengan menggunakan difusi sumur bersifat

kualitatif (Parish dan Davidson, 1993). Berdasarkan hasil penelitian ini, ekstrak etil asetat yang diperoleh dari maserasi bertingkat dijadikan sebagai ekstrak terpilih untuk tahap selanjutnya yaitu tahap pengujian aktivitas penghambatan dengan menggunakan metode dillution broth

terhadap bakteri yang menunjukkan penghambatan oleh ekstrak etil asetat yaitu bakteri B. cereus

dan S. aureus.

Dokumen terkait