• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Sosial Budaya kepala keluarga keseluruhan Responden

Salah satu upacara yang berkaitan dengan interaksi yaitu Seba, berasal

dari kata nyaba artinya menyapa yang mengandung pengertian datang

mempersembahkan laksa disertai hasil bumi lainnya kepada penguasa nasional. Substansi seba adalah silaturrahmi pemerintahan adat kepada pemerintah nasional seperti camat, bupati dan gubernur yang diadakan setahun sekali.

Dari konsep nilai kebersamaan Komunitas Adat Baduy, kebersamaan telah menjadi cita-cita bersama masyarakat Baduy. Hal ini terlihat dalam kegiatan gotong royong yang selalu dilaksanakan, mulai dari membuat jembatan, membuat rumah, membuat saung lisung, ronda malam, bahkan aktivitas perladangan, seperti ngaseuk serang, dan upacara adat lainnya.

Dari uraian tersebut Kepala Keluarga KAT Baduy Luar dalam menjalankan berbagai aktivitas hidup masih sangat dipengaruhi oleh nilai- nilai budaya yang mereka pegang dan jalankan secara konsekwen.

Seperti konsep saling mengahargai antar sesama, perilaku saling menghargai antar sesama warga sangat dijaga. Sekalipun tidak ada aturan tertulis, namun etika publik selalu dikedepankan, seperti dalam bait pikukuh adat di bawah ini,

mipit kudu amit ngala kudu menta nyaur kudu diukur nyabda kudu diunggang ulah ngomong segeto-geto ulah lemek sadaek-daek ulah maling papanjingan

Terjemahan bebas : memetik harus ijin

mengambil harus meminta bertutur haruslah diukur

berkata haruslah dipertimbangkan jangan berkata sembarangan jangan berkata semaunya

jangan mencuri walau kekurangan

Paham kebersamaan bagi masyarakat Baduy (Komunalisme) tidak berarti wilayah individu yang privat tercerabut. Baduy mengakui kepemilikan individu harus dihargai dan dijunjung tinggi, sehingga kemerdekaan orang lain diberi ruang sekaligus menjadi batas kemerdekaan individu. Seperti dalam bait: jangan

berkata sembarangan karena akan menyakiti orang lain, jangan mencuri

walaupun kekurangan, jika butuh lebih baik meminta baik-baik. Kekompakan

kelompok akan terjaga dengan adanya penghargaan antara satu sama lain.

Persepsi Kepala Keluarga pada Kebutuhan Keluarga

Persepsi terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di lokasi Bawah Barat (a) kebutuhan fisiologi / dasar Paling banyak 58.3% persepinya baik, kebutuhan rasa aman paling banyak 73.6% menyatakan persepinya baik, kebutuhan dicintai dan dimiliki meliputi paling banyak 70.8% dipersepsi baik atau dirasakan memadai. Kebutuhan dihargai paling banyak 79.2% dipersepsi baik atau dirasakan memadai.

Persepsi terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di lokasi Tengah Barat (b) sebagian besar kepala keluarga persepinya baik yaitu 69.8% pada kebutuhan dasar, pada kebutuhan rasa aman persepinya tinggi 91.7%, untuk kebutuhan dicintai dan dimiliki persepsinya baik yaitu, 70.3%, dan kebutuhan dihargai hampir seluruh kepala keluarga yaitu, 93.7% menyatakan persepsinya baik atau dirasakan memadai.

Persepsi terhadap kebutuhan keluarga yang dirasakan di Kaduketug (c) Untuk kebutuhan fisiologi 71.4% persepinya kurang baik, pada kebutuhan rasa aman 50.0% persepinya sedang kurang baik, sebanyak 78.6% kepala keluarga mempersepsi kurang baik untuk kebutuhan dicintai dan dimliki keluarga, dan kebutuhan dihargai juga persepsi kepala keluarga kurang baik sebanyak 71.4% atau dirasakan kurang memadai.

Dari deskripsi masing- masing jalur, dapat disimpulkan di dua jalur yaitu bawah barat (a), tengah barat (b) untuk kebutuhan dasar cenderung persepsinya sama yaitu baik, sedangkan jalur Kaduketug cenderung persepsinya kurang baik. Untuk kebutuhan rasa aman di kedua jalur cenderung persepsinya sama yaitu baik, sedangkan di Kaduketug cenderung persepsinya kurang baik. Kebutuhan dicintai dan dimiliki kedua jalur a dan b, cenderung persepsinya sama yaitu baik, sedangkan Kaduketug persepsinya kurang baik. Dan kebutuhan dihargai baik a dan b di kedua jalur cenderung persepsinya sama yaitu baik, sedangkan Kaduketug cenderung persepsinya kurang baik.

Jadi dari ketiga jalur yang persepsinya berbeda pada kebutuhan keluarga yang dirasakan hanya kepala keluarga di Kaduketug menyatakan persepsinya kurang baik atau dirasakan kurang memadai, sedangkan untuk kepala keluarga di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat sama menyatakan persepsinya baik atau dirasakan memadai.

Data tersebut menunjukkan bahwa seluruh kepala keluarga cenderung persepsinya terhadap kebutuhan dasar yang dirasakannya saat ini memadai baik pakaian, rumah, dan makanan. Hal ini menurut pengamatan dan wawancara bagi kepala keluarga kebutuhan tersebut sudah memadai karena adat mengajarkan pada mereka untuk tidak berlebihan harus secukupnya. Sebagaimana dikemukakan dalam adat dan nilai- nilai Baduy mengenai kebermaknaan hidup.

Menurut Mulyanto, Prihartanti, Moordiningsih (2006:15), orang Baduy menganggap hidup harus dijalani dengan sederhana, semampunya, dan sewajarnya. Pertama, hidup adalah untuk mencari kebahagian, bukan untuk mengejar materi. Kedua, tercukupi kebutuhan fisik; makan cukup, pakaian ada, dan bisa berbakti kepada orang tua. Ketiga, untuk mencari bahagia maka harus jujur, benar, dan pintar. Pintar saja tapi tidak benar, hal itu tidak indah. oleh karenanya jangan ada syirik, licik, jangan memfitnah, jangan berbohong, jangan selingkuh. Percuma hidup kalau hanya jadi tukang menipu dan menindas orang lain. Saling harga menghargai diantara keluarga inti, sesama anggota kelompok Komunitas Baduy Luar, dan kepala kampung. Terjadi di lingkungan KAT Baduy Luar. Saling menghargai adalah salah satu norma nilai budaya yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Baduy.

Persepsi Kepuasan Kepala Keluarga pada Kebutuhan Keluarga

Persepsi Kepuasan Terhadap Kebutuhan Keluarga di Jalur Bawah Barat (a) pada kepuasan kebutuhan fisiologi / dasar seluruhnya 100% persepinya baik atau kepuasan kebutuhan fisiologinya memadai. Untuk kebutuhan rasa aman sebanyak 62.5% kepala keluarga persepinya baik, kebutuhan dicintai dan dimiliki sebagian besar kepala keluarga yaitu, 62.50% persepsinya baik, dan kebutuhan

dihargai paling banyak 59.7% kepala keluarga mempersepsi kepuasannya baik atau memadai.

Persepsi Kepuasan Terhadap Kebutuhan Keluarga di Jalur Tengah Barat (b) kebutuhan fisiologi. seluruh kepala keluarga 100% persepinya baik, sebagian besar kepala keluarga 88.5% persepinya baik pada kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai dan dimiliki keluarga paling banyak 88.5% kepala keluarga persepsiya baik, dan 93.7% persepsinya baik pada kebutuhan dihargai.

Persepsi Kepuasan Terhadap Kebutuhan Keluarga di Jalur Kaduketug (c) paling banyak 78.6% kepala keluarga persepinya baik. Sebagian kepala keluarga (57.1 %) persepinya buruk pada kebutuhan rasa aman. Hampir seluruh kepala keluarga sebanyak 92.9% persepsinya kurang baik, dan kebutuhan dihargai sebagian kepala keluarga 50.0% persepsinya kurang baik.

Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan, hampir seluruh kepala keluarga disetiap jalur persepsinya baik terhadap kepuasannya pada kebutuhan dasar. kepala keluarga yang kepuasan keamanannya kurang terpenuhi hanya pada kepala keluarga di Kaduketug. Persepsi kepuasan kebutuhan dicintai dan dimiliki kepala keluarga pada jalur Bawah Barat dan Tengah Barat cenderung kepuasannya baik, di Kaduketug kepuasannya kurang baik. Ada kecenderungan hampir seluruh kepala keluarga merasa persepsinya puas pada kebutuhan dihargai.

Artinya apa yang mereka saat ini peroleh dan terima baik pakaian, rumah, dan makanan dianggap sudah memadai. Dari pengamatan peneliti kaitannya dengan kebutuhan fisiologi terlihat bahwa kesederhanaan dan kebersamaan dalam kelompok sangat terlihat baik dalam penampilan (berpakaian), rumah, dan makanan yang dikonsumsinya.

Pola pemenuhan kebutuhan dasar komunitas adat baduy luar kegiatan sehari- hari masyarakat Baduy Luar masih bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok / dasar, yaitu pangan, sandang, papan, dan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui sarana memanfaatkan sumberdaya alam setempat, dan mengintroduksi produk-produk dari luar.

(a) Pangan

Seperti telah dikemukakan di muka bahwa Padi merupakan hal yang tidak

terpisahkan dari dunia mereka yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci

Sanghyang Asri. Pada umumnya masyarakat Baduy mengkonsumsi nasi, dan

sebagai lauknya ikan asin, sambal, sayur bening, Sayuran biasanya kacang panjang, labusiam, oyong, dan terbiasa juga mengkonsumsi ikan pindang (cue), tahu, tempe, mie instan. Untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti ikan asin, ikan cue, terasi, minyak goreng, garam, gula putih, mereka peroleh di Ciboleger (tapal batas) antara tanah ulayat Baduy dengan masyarakat umum, atau dapat juga pergi ke Rangkas Bitung.

(b) Perumahan Tempat Tinggal

Kebutuhan setelah pangan adalah kebutuhan akan rumah. Rumah merupakan tempat mereka berteduh, melakukan aktivitas keluarga, mend idik anak, dan untuk melakukan pertemuan. Berdasarkan pengamatan, rumah orang Baduy nampak seragam. Semua terdiri dari kayu, bambu, kiray “daun rumbia”, ijuk pohon aren, rotan dan batu yang diperoleh dari alam sekitar.

Hasil pengamatan rumah-rumah masyarakat Baduy berbentuk panggung, oleh karenanya terdapat kolong antara lantai rumah dan tanah dengan ketinggian antara 50-70 cm. Rumah orang Baduy besarnya sekitar 7X5 meter pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu sosoro dan tepas ’bagian luar’, imah dan musung ’bagian tengah’, serta parak ’bagian dapur’. Semuanya disekat dengan bilik. Ciri khasnya rumah orang : (1) selalu menghadap utara-selatan, (2) tidak menggunakan tembok, kaca, (3) tidak ada jendela. Untuk sirkulasi udara dan penerang ruangan, hanya terdapat lubang kecil pada bilik dinding rumahnya, (4) tidak memiliki pagar pembatas halaman rumah, (5) di tangtu atau Baduy Dalam, lahan yang digunakan membangun rumah tidak diratakan terlebih dahulu sehingga konstruksinya disesuaikan dengan struktur tanah, dan (6) di panamping atau Baduy Luar, tanah yang digunakan untuk membangun rumah, diratakan terlebih dahulu. (Mulyanto, Prihartanti, Moordiningsih, 2006:12).

(c) Pakaian

Hasil pengamatan, pakaian warga Baduy Luar terdiri dari tiga bagian: (1) ikat kepala, (2) baju, dan (3) kain sarung atau calana komprang, sejenis celana pendek berukuran sebatas lutut. Warna khas pakaian warga Baduy Luar adalah hitam dan biru tua bermotif batik atau bergaris putih. Kain pakaian yang digunakan biasanya datang dari luar Baduy, seperti dari pasar Rangkasbitung, Tanah Abang Jakarta atau daerah lain yang kemudian di jahit dan ditenun sendiri.

Pakaian disebut jamang komprang atau mirip dengan baju orang tangtu (Baduy Dalam) hanya saja berkancing dan biasa memakai dua lapis, bagian dalam berwarna putih alami, sedangkan bagian luar berwarna hitam atau biru tua. Calana komprang yang dikenakan laki- laki Baduy Luar juga berwarna hitam atau biru tua.

Adapun pakaian perempuan Baduy Luar adalah kebaya berwarna biru dan kain dengan warna yang sama. Bahan pakaiannya juga diperoleh dari luar daerah. Namun, pakaian pada orang panamping baik lelaki maupun perempuan, hampir serupa dengan pakaian yang digunakan oleh masyarakat pedesaan di Banten umumnya.

Lebih jauh mengenai pakaian orang Baduy khususnya orang Baduy Dalam (Orang Tangtu) menurut Mulyanto, Prihartanti, Moordiningsih, (2006:12), dan hasil pengamatan dan wawancara sebagai tambahan informasi, pakaian Baduy Dalam berwarna putih dan hitam. Bahannya dibuat sendiri dari serat daun pelah yang ditenunkan oleh warga panamping. Lelaki tangtu menutupi tubuhnya dengan tiga bagian, yaitu: (1) ikat kepala berwarna putih (kecoklatan) yang sering disebut iket, telekung atau romal terbuat dari kain berbentuk segitiga, (2) baju berwarna putih, dan (3) sejenis kain sarung dengan panjang sekitar 30-40 cm, berwarna biru tua.

Baju yang dikenakan berlengan panjang, seperti kaos, tanpa kerah dan kancing. Sejenis kain sarung yang berfungsi sebagai penutup tubuh bagian bawah disebut aros, biasa dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang kemudian diikat memakai tali dari kain, mirip ikat pinggang dengan ukuran sampai lutut. Lelaki Baduy Dalam (tangtu) tidak mengenakan celana dalam.

Adapun pakaian perempuan tangtu terdiri dari (1) kemben ”sejenis selendang” yang digunakan untuk menutup tubuh bagian atas atau baju kaos, dan (2) lunas atau kain untuk menutupi tubuh bagian bawah. Seringkali di kalangan orang tua, hanya menggunakan kain lunas saja. Perempuan tangtu juga tidak mengenakan pakaian dalam.

Pada umumnya cara berpakaian orang Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam, adalah sama seragam Baduy Luar menggunakan corak warna hitam dan biru tua bermotif batik atau bergaris putih. Baduy Dalam berwarna putih dan hitam. Meskipun ada orang Baduy Luar ada yang sudah menggunakan pakaian seperti bukan orang Baduy tapi jumlahnya sangat sedikit.

Keseragaman orang Baduy dalam berpakaian ini dilakukan karena: (1) Merupakan ajaran dari leluhur harus seragam.

(2) Ciri khas kelompok, kalau tidak seragam nanti tertukar antara orang Baduy dengan orang non Baduy dan intinya jangan sampai menyerupai penampilan orang luar.

(3) Warna hitam-putih sebagai lambang dari waktu malam dan siang. Artinya manusia itu jangan terlalu banyak pikiran, sebab alam saja hanya ada dua pilihan: malam atau siang; ada senang, ada susah; ada gelap ada terang, dan itu abadi.

(4) Baik orang tangtu maupun panamping tidak beralas kaki, hal ini dilakukan karena: Pertama, ketentuan mutlak leluhur jadi harus seragam. Kedua, kalau pakai alas kaki, nanti menghilangkan ciri khas Baduy. Ketiga, kondisi geografis dapat membuat alas kaki cepat putus, dan karena hutan, pakai alas kaki juga percuma karena kaki akan tetap kotor. Keempat, merasakan alam karena menggambarkan keseimbangan dan kelestarian alam.

Makna hidup orang Baduy yang sederhana namun memiliki kualitas penghayatan yang dalam, kemudian menjadi satu panduan perilaku komunal. Pada saat bersamaan mengarah pada kesetaraan dan saling menghargai antara sesama. Adanya dorongan untuk mempertahankan identitas kelompok me njadi kekuatan munculnya perilaku konformitas.

Kepala keluarga mempersepsi rasa aman rasa, dicintai dan dimiliki, dan dihargai saat ini memadai baik di rumah, di kampung, di luar kampung, dan saat berusaha. Artinya kepuasan yang dirasakan saat ini karena ada rasa kebersamaan, dan rasa tanggung jawab baik pada keluarga maupun pada kampung yang mereka tinggali, dan saling menjaga saat mereka berusaha atau berjualan keluar kampung untuk memasarkan produk yang mereka hasilkan.

Basis ideologi Baduy tercermin dalam setiap doktrin-doktrin turunan Sunda Wiwitan yang terdiri dari pikukuh sapuluh, konsep tanpa perubahan, nilai- nilai kebersamaan, dan saling menghargai yang semuanya mempengaruhi bagaimana cara orang-orang Baduy memandang kehidupan. Dalam doktrin tersebut terkandung nilai- nilai yang lebih menghargai perilaku kebersamaan ”seiya sekata” dibanding nilai- nilai yang mendorong kemandirian, sehingga perilaku derap langkahnya cenderung seragam.

Korelasi antar Peubah

Diseluruh jalur lokasi penelitian korelasi antara peubah usaha-usaha, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan persepsi pada kebutuhan yang dirasakan. Seperti usaha berladang, usaha berjualan, dan hakekat interaksi dengan sesama berkorelasi nyata (r= 0.393) dengan terpenuhi kebutuhan dasar /fisiologi keluarga. Juga terlihat hakekat kerja (r= 0.497) dengan kebutuhan rasa aman. Ada korelasi juga antara berburu, keterampilan, dan interaksi media, dengan kebutuhan dicintai. Selain itu juga terlihat korelasi antara bekerja pada orang lain, usaha kerajinan, (r= 0.445) dengan kebutuhan dihargai. motivasi mencari pengetahuan, melakukan komunikasi interpersnal, hubungan dengan

agen pembaharu, hakekat hidup, dan hakekat tentang alam, (r= 0.378) dengan

kebutuhan dihargai.

Dari korelasi yang terjadi tampak kebutuhan dihargai paling banyak berkorelasi dan memiliki nilai koefisien korelasi yang tinggi dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain (kebutuhan fisiologi, rasa aman, dan dicintai /dimiliki) , artinya kebutuhan dan keinginan dihargai adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh Kepala keluarga Baduy Luar. Hal ini wajar karena segala

aktivitas yang dilakukan manusia atau masyarakat pada akhirnya membutuhkan Kebutuhan ini.

Korelasi antar peubah bebas dengan persepsi pada kepuasan kebutuhan keluarga, dari deskripsi data korelasi di atas terlihat usaha berladang, usaha berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, usaha kerajinan, motif mencari pengetahuan, motif menyikapi keadaan, hakekat hidup, hakekat kerja dan hakekat tentang alam berkorelasi nyata (r= 0.572) dengan kepuasan terpenuhi kebutuhan rasa aman. Motif memperoleh keterampilan berkorelasi nyata (r= 0. 375) dengan kebutuhan rasa aman. Dan Interaksi dengan sesama melalui komunikasi interpersonal, interaksi dengan agen pembaharu, interaksi dengan media berkorelasi nyata dengan kepuasan kepala keluarga pada kebutuhan dihargai.

Dari korelasi yang terjadi tampak kepuasan kebutuhan rasa aman paling banyak berkorelasi dan memiliki nilai koefisien korelasi yang tinggi dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain, kebutuhan dihargai, dan kebutuhan dasar. Sedangkan kepuasan kebutuhan dicintai cenderung lemah korelasinya dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Artinya bagi kepala keluarga Baduy Luar kebutuhan adanya rasa aman sangat diharapkan melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Strategi Peningkatan Kebutuhan Keluarga Komunitas Adat Terpencil Baduy

Mengacu pada hasil penelitian didasari harapan dan keinginan komunitas Baduy pada pemenuhan nyata (real need), yaitu kebutuhan dasar / fisiologi, kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan dihargai. Hal tersebut membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki makna yang cukup luas dalam kehidupan masyarakat umumnya. Kebutuhan ingin dihargai memiliki nilai yang lebih berarti dan penting bagi komunitas Baduy dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya (kebutuhan fisiologi, rasa aman, dan dicintai /dimiliki), artinya kebutuhan dan keinginan dihargai adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh Kepala keluarga Baduy Luar. Dalam hal usaha memenuhi kebutuhan keluarga berladang masih menjadi andalan utama dibandingkan dengan usaha lainnya (berjualan, berburu, dan bekerja pada orang

lain). Hasil penelitian juga menunjukkan motif atau dorongan untuk memperoleh pengetahuan memenuhi kebutuhan keluarga yang tinggi. Serta pengaruh nilai sosial budaya yang kuat pada pembentukan pesepsi baik yang dirasakan maupun kepuasannya pada kebutuhan keluarga.

Masyarakat Baduy merupakan contoh komunitas masyarakat yang selalu menjaga tata keseimbangan alam, sehingga hutan bagi mereka merupakan kawasan teramat penting yang harus dijaga kelestariannya. Pengertian hutan bagi masyarakat Baduy adalah “hutan titipan” dan bersifat agamis yakni berfungsi sebagai sarana utama dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan titipan” dikatakan sebagai dan bersifat agamawi yakni berfungsi sebagai sarana utama dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan titipan” dikatakan sebagai hutan adat. Luas hutan adat yang dikelola oleh masyarakat Baduy adalah seluas 5.105,85.

Berladang adalah usaha utama orang Baduy, maka pada sektor pertanian ini kebijakan yang diambil adalah peningkatan produksi pertanian tanaman pangan jenis padi ladang dengan intensifikasi pengunaan lahan sehingga potensi pembukaan hutan pada sistem ladang berpindah yang tidak sesuai dengan adat masyarakat Baduy yang sangat menjaga keseimbangan alam dapat dihindari. Kebijakan ini perlu karena seperti diketahui bahwa pada saat ini untuk jenis padi ladang, wilayah Baduy merupakan salah satu penghasil padi ladang di Desa Kanekes yang merupakan desa dengan potensi ekspor untuk jenis tanaman padi ladang, ini menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami surplus produksi/potensial (Kusdinar, 2004).

Mengacu pada temuan penelitian, bahwa nilai sosial budaya sangat berpengaruh pada tata cara dan perilaku kepala keluarga Baduy dan Komunitas Adat, temuan lainnya adalah adanya kebiasan kepala keluarga dalam berkomunikasi secara interpersonal diantara sesama kepala keluarga dalam bentuk obrolan dan diskusi, selain itu juga mereka umumnya selalu berkelompok, dan berinteraksi dengan pengunjung, manteri dan jaro. Selain itu ada motivasi yang kuat dalam diri kepala keluarga untuk memperoleh

pengetahuan dan keterampilan. Berikut strategi peningkatan kebutuhan keluarga Baduy disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5:

Strategi Peningkatan Kebutuhan Keluarga KAT Baduy Usaha-usaha dan Pola Produksi KAT Baduy Luar Dukungan Lembaga Adat Dukungan Agen Pembaharu Internal : Jaro, kepala kampung,

dan KK yang kosmopolit

Dorongan ingin Berubah

Kepuasan pada

Kebutuhan Keluarga, dan Derajat Kebutuhan Keluarga yang Optimal

Peningkatan Kesejahteraan KAT Baduy Forum Diskusi Komunitas Adat Baduy Standar Kabutuhan Dasar Keluarga

Strategi yang digambarkan dalam gambar 5 tersebut, maksudnya adalah forum diskusi komunitas adat tersebut dikembangkan atau di lembagakan dari kebiasaan mereka selalu berinteraksi dalam bentuk komunikasi interpersonal “ngobrol” di sela-sela waktu istirahat setelah makan malam, dan juga kebiasaan berkelompok dalam beberapa aktivitas hidup seperti berjualan, berladang. Forum diskusi ini tentunya harus didukung oleh lembaga adat, yang dimaksud lembaga adat disini adalah kepala kampung atau kokolot kampung dan Jaro, juga para agen pembaharu yaitu, petugas kesehatan, kepala keluarga yang memiliki pengetahuan lebih baik karena sering melakukan interaksi dengan dunia luar, bisa juga kepala kampung, dan Jaro.

Forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah daerah, dan dukungan agen pembaharu, serta dorongan yang beasal dari setiap kepala keluarga untuk berubah seperti temuan penelitian motif untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk menambah kebutuhan keluarga, dengan tujuan menambah gairah dan semangat orang Baduy dalam melakukan usaha dan pola produksi. Demikian strategi dalam peningkatkan kebutuhan keluarga KAT Baduy.

Kebijakan lain yang perlu diimplemantasikan salah satunya adalah kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan bidang pertanian yang juga berhubungan dengan bidang pariwisata adalah berupa upaya memasukan upacara “Seba” (persembahan sebagian hasil bumi kepada Bupati dan Gubernur) ke dalam kalender Pariwisata Pemerintah Kabupaten Lebak. Upaya “Seba” menurut budaya dan falsafah KAT Baduy dan Banten Selatan adalah sebaga i sidang istimewa evaluasi hasil pertanian dan rencana pertanian setahun yang akan datang dimana dalam upacara ini Olot atau pun Puun bertindak sebagai pemutus perkara dan semua petani patuh pada putusan yang diambil baik yang berkaitan dengan saat mulai menggarap sawah atau ladang, menebar benih dan memanen. Semua diputuskan “olot” atau pun puun setelah mendengar saran dari para aparat dinas teknis.

Kebijakan penanganan KAT yang diambil adalah dalam upaya pencapaian visi Kabupaten Lebak yakni “Kabupaten Lebak menghasilkan produk pertanian yang optimal dan tersedianya pelayanan dasar yang memadai, serta

peran aktif masyarakat dengan dukungan pemerintahan yang bersih pada tahun 2010.” Untuk itu kebijakan penanganan KAT yang diambil merupakan bagian integral dalam segala kebijakan bidang pembangunan lain seperti bidang hukum,

Dokumen terkait