• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Adat Terpencil Baduy

Menurut Adimihardja (2007) komunitas adat sebagai bagian dari masyarakat Indonesia adalah kelompok masyarakat yang terisolasi, baik secara fisik, geografi, maupun sosial budaya. Sebagian besar komunitas ini bertempat tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Pranata sosial dalam komunitas adat ini umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan yang sangat terbatas dan homogen. Kehidupan mereka sehari- hari masih didasarkan pada interaksi tradisional yang bersifat biologis darah dan ikatan tali perkawinan. Abdullah (2004) berpendapat kelompok masyarakat inilah yang dikategorikan sebagai Komunitas Adat yang masih hidup terpencil, keterpencilan itu ada 2 (dua) aspek yaitu secara eksternal: kenapa pihak luar belum atau sulit memberikan akses pelayanan sosial dasar pada mereka. Secara internal: Kenapa mereka belum dan atau sulit mendapatkan akses pelayanan sosial dasar.

Pengertian Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam surat Keputusan Presiden No 111 tahun 1999, adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Berdasarkan pengertian tersebut, maka kelompok masyarakat tertentu dapat dikategorikan sebagai Komunitas Adat Terpencil jika terdapat ciri-ciri umum yang berlaku universal sebagai berikut: (a) Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen.

(b) Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.

(c) Pada umumnya lokasinya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau.

(d) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-sisten. (e) Peralatan teknologinya sederhana, sangat tradisionil

(f) Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi.

(g) Akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik terbatas.

Dengan demikian maka berdasarkan pengertian, dan gambaran ciri-ciri KAT dalam Keppres No. 111 Tahun 1999, Komunitas Adat Terpencil dapat dikelompokkan berdasarkan habitat, dan atau lokalitas sebagai berikut:

(a) Dataran tinggi / pegunungan;

(b) Dataran rendah; Daerah rawa; Daerah aliran sungai (c) Daerah pedalaman; Daerah perbatasan;

(e) Di atas perahu; Pantai dan di pulau-pulau kecil.

Komunitas Adat Terpencil juga dapat dikategorikan orbitasinya sebagai berikut: Kelana, Menetap Sementara, dan Menetap.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa komunitas adat terpencil adalah kelompok masyarakat yang masih terbatas mendapatkan berbagai akses pelayanan dasar sosial yang disebabkan secara geografis sulit dijangkau, dan cenderung sifat masyarakatnya tertutup.

Gambaran Umum dan Sekilas Asal Usul Orang Baduy

Sebutan “Orang Baduy” atau ”Urang Baduy” yang digunakan untuk kelompok masyarakat ini bukan berasal dari mereka sendiri. Penduduk wilayah Banten Selatan yang sudah beragama Islam, biasa menyebut masyarakat yang suka berpindah-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab, dengan sebutan “Baduy”. Orang-orang Belanda seperti Hoevell, Jacobs, Meijer, Penning, Pleyte, Trcht, dan Geise menyebut mereka badoe’i, badoej, badoewi, dan orang kanekes seperti dikemukakan dalam laporan- laporannya. Sekitar tahun 1980-an, ketika KTP (Kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini, hampir tidak ada yang menolak dengan sebutan Orang Baduy. Walaupun, sebutan diri yang biasa mereka gunakan adalah Urang Kanekes, Urang Rawayan, Urang Tangtu (Baduy Dalam) dan Urang panamping (Baduy Luar). Nama “Baduy” mungkin diambil dari nama sungai Cibaduy dan nama gunung Baduy yang kebetulan berada di wilayah Baduy (Garna,1993a:120).

Salah satu tulisan paling awal mengenai komunitas Baduy berasal dari laporan C.L Blume ketika melakukan ekspedisi botani ke daerah tersebut pada tahun 1822, ia menulis:

“…dipangkuan sebuah rangkaian pegunungan, yang menjulang tinggi di Kerajaan Bantam di Jawa Barat... kami mendapatkan beberapa kampong pribumi, yang dengan sengaja bersembunyi dari penglihatan orang-orang luar… Di sebelah Barat dan di Selatan gunung itu… yang tidak dimasuki

oleh ekspedisi Hasanuddin… dalam kegelapan hutan yang lebat, mereka masih dapat memuja para dewa mereka selama berabad-abad…”

Menurut Blume, komunitas Baduy beasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yaitu Pajajaran, yang besembunyi, ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke-17 menyusul bergeloranya ajaran Islam dari Kerajaan Banten. (Garna, 1993b:144).

Kisah yang hampir sama muncul dalam cerita rakyat di daerah Banten. Kisah tersebut menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran tidak dapat membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran saat itu, Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi), beserta punggawa yang setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan dan masuk ke dalam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat pemukiman di sana.(Djuwisno, 1987:1-2)

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1925, menyangkal teori tersebut. Menutur dia, mereka adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b:146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan mereka berasal dari orang-orang pelarian Kerajaan Pajajaran. Manurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) Orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya diwajibkan memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan (wiwitan = asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun di bernama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiska, yaitu raja Sunda ke-13, keturunan Sri Jayabupati, generasi kelima.

Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan ketur unannya, termasuk warga Baduy

mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal- usul orang Baduy tersebut adalah berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya.

Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.

Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000:47-59).

Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh- musuh Pajajaran.

Dalam Pasal 11 Angka 6 Perda Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001, yang dimaksud dengan masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum.

Luas Wilayah, Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan di Baduy

Menurut laporan A.J. Span (1987) dan B van Tricht (1929) dalam Permana (2006:19) pada akhir abad ke-18 wilayah Baduy terbentang mulai dari Kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke pantai selatan. Batas desa seperti yang ada sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.

Sementara itu menurut perkiraan Judhistira K Garna, luas wilayah Baduy meliputi beberapa kecamatan, seperti Muncang, Sajra, Cimarga, Maja, Bojong Manik, dan Leuwidamar. Hal ini didasarkan atas kesamaan kepercayaan Sunda Lama dan pertalian kerabat masyarakat yang menempati daerah-daerah tersebut. Wilayah Baduy terus dipersempit pada masa Kesultanan Banten dalam rangka penyebarluasan agama Islam, Garna, (1993), Permana (2006:19)

Menurut Permana (2006:19) luas wilayah Baduy secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam tata guna lahan, yaitu lahan usaha pertanian, hutan tetap, dan permukiman. Lahan usaha pertanian terbesar dalam penggunaan lahan, yakni mencapai 2,585,29 ha atau 50,67%. Lahan ini terdiri atas lahan yang ditanam / diusahakan 709,04 ha atau 13,90% dan lahan yang tidak ditanam (bera) seluas 1.876,25 ha atau 36,77%. Penggunaan lahan terkecil adalah untuk pemukiman, yang hanya meliputi 24,50 ha atau 0,48%. Adapun sisanya, seluas 2.492 ha atau 48,85%, merupakan hutan tetap sebagai hutan lindung yang tidak boleh digarap untuk dijadikan lahan pertanian.

Dalam dua dekade terakhir, belum ada catatan khusus tentang tata guna lahan, namun dapat dipastikan lahan permukiman bertambah. Menurut catatan Kantor Desa Kanekes tahun 2008, jumlah kampung di Baduy sudah mencapai 57 kampung.

Berdasarkan jenis tanah, umumnya wilayah Baduy tergolong dalam jenis latosol coklat. Sifat tanah latosol ini termasuk ke dalam kelas tekstur liat (clay), tersusun oleh pertikel-pertikel berfraksa liat 56,9%, debu 32,2%, dan pasir 10,9%. Hal ini juga menandakan bahwa jenis tanah yang ada di wilayah Baduy ini peka terhadap erosi, Purnomohadi (1985) (Permana, 2006:18).

Curah hujan rata-rata tahunan selama dasawarsa terakhir umumnya melebihi 3000 mm/tahun hingga 4000 mm/tahun. Curah hujan disini kebih tinggi dibandingkan denga wilayah-wilayah di Leuwidamar lainnya. Menurut metode klasifikasi iklim Koppen, wilayah Baduy termasuk kelas AW, yang berarti ada bulan-bulan kering degan curah hujan < 60 mm dan suhu udara rata-rata bulanan > 18 derajat C. Kelas AW juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara musim hujan dan kemarau. Bulan-bulan kering antara Juni sampai September, sedangkan bulan-bulan lain merupakan bulan basah. Purnomohadi (1985) (Permana, 2006:18).

Sistem Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Baduy

Secara umum, masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni tangtu (pendahulu, cikal bakal, pokok); panamping (pinggir, buangan); dan dangka (rangka, kotor). Tangtu dan pana mping berada di wilayah desa Kanekes, sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Bila dilihat dari tingkat ketaatan pada adat, maka tangtu lebih tinggi dari panamping, dan panamping lebih tinggi dari dangka. Meski demikian, pengelompokan yang sering digunakan adalah tangtu merujuk pada masyarakat Baduy Dalam, sedangkan panamping

dan dangka merujuk pada masyarakat Baduy Luar. Baduy Dalam (disebut juga

Baduy Jero, Urang kajeroan) sebagai pemegang adat yang teguh, memiliki tiga kampung, yaitu (1) Cikeusik, disebut juga Tangtu Pada Ageung, (2) Cibeo, disebut juga Tangtu Parahiyang, dan (3) Cikartawana, disebut juga Tangtu Kujang. Ketiga kampung suci ini disebut juga sebagai telu tangtu (tiga tangtu). Sebutan lain untuk masyarakat tangtu adalah Urang Rawayan. Menurut orang Baduy sebutan itu disebabkan oleh adanya rawayan “jembatan” yang dilalui jika keluar- masuk wilayah tangtu.

Jumlah perkampungan Baduy Luar terdiri dari 55 Kampung dalam Data Penyebaran Penduduk Desa Kanekes Tahun 2008. Bila melihat Perda Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Hak Ulayat Masyarakat Baduy, ada 51 Kampung.

Seluruh Perkampungan Baduy Luar tersebar di sebelah Barat, Timur, dan Utara dari Baduy Dalam. Di sebelah Selatan tidak ada pemukiman/kampung, kecuali Sasaka Domas tempat atau objek pemujaan yang dianggap paling suci bagi Orang Baduy (Danasasmita, 1986; Garna, 1993,Permana,2001).

Tanah tempat masyarakat tangtu berdiam dianggap suci oleh orang Baduy, oleh karenanya wilayah tangtu disebut daerah “Tanah Larangan”, yaitu daerah yang dilindungi dan tidak boleh sembarangan orang masuk dan berbuat sekehendak di wilayah tersebut. Ada beberapa hal yang ditabukan misalnya dilarang menghidupkan peralatan elektronik seperti radio, bertelepon, memotret, dan merekam baik audio maupun visual.

Penamping menurut orang Baduy, berasal dari kata tamping yang berarti kata kerja ‘buang’; jadi penamping berarti ‘pembuangan’. Dengan kata lain, penamping merupakan tempat bagi orang tangtu yang dibuang atau dikeluarkan karena melanggar adat. Pendapat lain mengatakan bahwa penamping berarti pinggir atau daerah pinggiran.

Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yakni sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, setiap desa terdiri atas sejumlah kampung.

Di daerah Baduy, kampung-kampug tersebut terbagi menjadi kampung tangtu, kampung penamping, dan kampung dangka. Kecuali kampung tangtu, terdapat juga RK (Rukun Kampung) yang disebut kokolot lembur. Desa Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah (awalnya disebut Jaro

Warega, dan pada zaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala

desa atau lurah desa lain, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut Puun. Uniknya, bila desa lain dipilih oleh warga, untuk Desa Kanekes yang menunjuk Puun, baru kemudian diajukan kepada Bupati melalui Camat untuk dikukuhkan sebagai kepala Desa.

Secara tradisional pemerintahan pada masyarakat Baduy bercorak kesukuan disebut Kapuunan, dan Puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di

wilayah Baduy ada tiga, masing- masing Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun Cikartawana. Puun-Puun ini merupakan “tritunggal”, karena selain berkuasa di daerah masing- masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan pemerintahan tradisional. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga Puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas berlainan.

Menurut Permana, (2006:34) wewenang Kepuunan Cikeusik menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara (seren tahun, kawalu, seba) dan memutuskan bagi para pelanggar adat. Wewenang Kepuunan Cibeo menyangkut pelayan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk pada urusan administrator tertib wilayah, pelntas batas, dan berhubungan dengan daerah luar. Adapun wewenang Puun Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.

Para Puun dibantu oleh Jaro (pelaksana harian Kapuunan), Girang Seurat (pemangku adat), Baresan (keamanan), dan Ta ngkesan (kepala dukun). Di Baduy Luar tidak ada Puun, pemimpin tertinggi di sini dipegang oleh Jaro (sebagai kepala kampung) beserta pembantu-pembantunya (Garna, 1993, Permana, 2001). Dalam lembaga Kapuunan terdapat beberapa jabatan antara lain: Puun;

Girang Serat; Baresan; Jaro; Palawari; dan Tangkesan. Berikut penjelasan

singkat masing- masing jabatan, sebagaimana dikemukakan Permana (2006:35-37), dan wawancara dengan Ayah Mursid (Wakil Jaro Tangtu) November 2008.

Puun merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. Menurut

pikukuh (peraturan adat), jabatan itu berlangsung turun temurun, kecuali bila ada hal lain yang tidak mungkinkannya. Jabatan puun boleh diwariskan kepada keturunannya atau kerabat dekatnya. Lama jabatan tidak ditentukan, pada dasarnya dinilai berdasarkan ma mpu tidaknya seseorang menjalankan jabatannya. Ada yang menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan mengundurkan diri karena usia tua. Dalam wilayah tangtu, puun selalu berlaku formal, sehingga berlaku “protokol” kapuunan, kecuali bila berada di ladang, ia yang akan berlaku sebagai warga biasa. Oleh karena itu, untuk bertemu puun bukan dalam rangka “dinas”, biasanya dilakukan di saung huma ’pondokan di ladang’. Sehubungan

dengan jabatannya puun harus menempati “rumah dinas”. Lokasi rumah puun berada di daerah sakral, yaitu terletak paling selatan di dalam suatu pemukiman, tidak boleh ada rumah lain di selatan rumah puun.

Girang seurat, atau kadang disebut seurat saja, merupakan jabatan

tertinggi kedua setelah puun. Girang seurat merup akan “sekretaris” puun atau pemangku adat dan juga bertugas mengurus huma serang ‘ladang bersama’ dan

menjadi penghubung serta pembantu utama puun. Setiap orang yang mau

bertemu puun harus melalui girang seurat. Tamu dari luar lebih sering dihadapi girang seurat yang bertindak mewakili puun. Jabatan pembantu puun hanya ada

di tangtu Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di Cikartawana tugas tersebut

dilaksanakan oleh kokolot ‘tetua kampung’.

Baresan adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan

bertanggung jawab dalam bidang ketertiban. Mereka termasuk dalam anggota sidang kapuunan atau semacam majelis yang berangotakan sebelas orang di Cikeusik, sembilan orang di Cibeo, dan lima orang di Cikartawana. Mereka juga dapat menggantikan puun menerima tamu ya ng akan menginap dan dalam berbagai upacara adat.

Jaro, merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kepuunan. Tugas jaro sangat berat karena meliputi segala macam urusan. Ada empat jabatan jaro, yakni jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.

Jaro tangtu bertugas sebagai pengawas pelaksana hukum adat warga

tangtu. Ia bekerjasama dengan girang seurat mendampingi puun dalam kegiatan upacara adat atau menjadi utusan kepala adat ke luar Desa Kanekes.

Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang berada di dalam dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas menyadarkan kembali orang tangtu yang dibuang karena melanggar adat. Jaro dangka berjumlah sembilan orang, yaitu tujuh orang berada di luar Desa, dan dua lainnya berada di desa. Kesembilan jaro dan ditambah dengan tiga orang jaro tangtu disebut dengan jaro duabelas, dikepalai oleh salah seorang diantaranya dan disebut jaro tanggungan duabelas.

Jaro pamarentah bertugas sebagai penghubung antara pemerintahan adat

Desa Kanekes yang berkedudukan di Kaduketug. Dalam tugasnya ia dibantu dengan pangiwa,carik, dan kokolot lembur.

Palawari, merupakan kelompok khusus (semacam panitia tetap) yang

bertugas pembantu, pesuruh, dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat. Mereka mendapat tugas dari tangkesan mengenai hal- hal yang berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan suatu upacara adat. Sewaktu melaksanakan upacara, mereka inilah yang bertugas menyediakan makanan untuk semua petugas, dan warga yang terlibat dalam upacara tersebut.

Tangkesan merupakan “menteri kesehatan” atau dukun kepala dan

sebagai “atasan” dari semua dukun yang ada di baduy. Dialah juru ramal bagi segala aspek kehidupan orang baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi puun. Oleh karena itu, mereka menjabatnya harus cendikia dan menguasai ilmu obat-obtan, dan mantera- mantera, serta memberi restu kepada orang yang ingin menjadi dukun. Sekalipun tangkesan dapat memberi nasehat pada puun dan menjadi tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat dipegang oleh orang Baduy Luar, biasanya keturunan dari tangkesan sebelumnya.

Pada masyarakat Baduy dikenal beberapa istilah untuk menyebut dukun, yaitu paraji ’dukun beranak’, panghulu (dukun khusus mengurus orang meninggal), bengkong jalu (dukun sunat untuk pria), dan bengkong bikang (dukun sunat untuk wanita). Berikut struktur kepemimpinan (pemerintahan tradisionil) dalam komunitas Baduy.

Keterangan :

--- : garis perintah dalam upacara adat ________________ : garis perintah dan konsultasi

Gambar 1. Struktur organisasi Komunitas Adat Baduy Sumber : Permana (2006)

Kepercayaan Orang Baduy

Pada dasarnya kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang. Menurut Bupati Serang P.A.A. Djajadiningrat (1908), berdasarkan keterangan dari kokolot kampung Cikeusik bernama Naseni, orang Baduy bukanlah penganut agama Hindu, Budha, atau pun Islam, melainkan animisme, yakni kepercayaan yang memuja roh atau arwah nenek moyang. Hanya saja dalam kepercayaan tersebut sekarang telah dimasuki oleh unsur-unsur agama Hindu dan juga Islam (Ekadjati, 1995:72).

Sebagian besar upacara keagamaan orang Baduy tidak lepas dari hubungannya dengan padi dan perladangan. Sistem kalender atau penanggalan orang Baduy pun berkaitan erat dengan tata urutan kegiatan mereka. Awal penyiapan lahan ladang, yang dikenal dengan kegiatan narawas dan nyacar, juga merupakan awal masuknya tahun baru orang Baduy, yaitu bulan kapat.

Puun

Jaro Tangtu

Kokolot Adat

Masyarakat Baduy Dalam

Girang Seurat Baresan

Jaro dangka/ jaro 12 Jaro Pamarentahan Pangiwa & Carik Masyarakat Baduy Luar tangkesan Palawari

Awal bulan pertama tiap permulaan tahun dalam istilah orang Baduy sering dikatakan nanggalkeun kidung (awal kemunculan bintang kidang atau bintang waluku). Menurut pengetahuan orang Baduy, awal tahun harus jatuh pada saat matahari sedang berada di belahan bumi utara, yang dalam istilah mereka disebut matapoe geus dengkek ngaler ‘matahari sudah condong ke utara’. Saat itu keadaan tanah sudah “dingin” sehingga sudah siap untuk kegiatan perladangan. Dalam penentuan waktu, orang Baduy juga menggunakan alat bantu yang disebut kolenjer, yakni kalender tradisionil, terbuat dari kulit kayu, berisikan penentuan hari, tanggal, bulan, dan tahun, bahkan juga dilengkapi dengan ramalan-ramalan waktu dan arah yang baik dan buruk (Danasasmita dan Djatisunda, 1986:39).

Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka

Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Objek pemujaan ini pada dasarnya sisa

peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya. Inilah yang dianggap oleh orang Baduy sebagai tempat karuhun, nenek moyang, berkumpul.

Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah “tanpa perubahan apapun”, seperti tertuang dalam buyut titipan karuhun (Garna, 1988:53, 1993:139)sebagai berikut:

Buyut nu dititipkeun ka puun Negara satelung puluh telu Bangsawan sawidak lima Pancer salawe nagara Gunung teu meunang dilebur Lebak teu meunang dirempak Buyut teu meunang dirobah Lojor teu meunang dipotong Pondok teu menang disambung Nu lain kudu di lainkeun Nu ulah kudu diulahkeun Nu enya kudu dienyakeun

Dokumen terkait