i
PERSEPSI KOMUNI TAS ADAT BADUY LUAR TERHADAP
KEBUTUHAN KELUARGA DI KABUPATEN
LEBAK PROVI NSI BANTEN
AHMAD SI HABUDI N
SEKOLAH PASCASARJANA
I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Persepsi Komunitas Adat Baduy Luar terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2009
iii
ABSTRACT
AHMAD SIHABUDIN, The Perception of Ethnic Community of Outer Baduy about the Family Needs in Lebak Regency, Banten Province. Under the supervision of BASITA GINTING SUGIHEN as Advisory Committee Chairman; DJOKO SUSANTO and PANG S. ASNGARI as members of the Committee.
Baduy community is one of the ethnic communities who still adheres to tradition and tends to be reclusive. So, it is called Komunitas Adat Terpencil (Closed Ethnic Community). The objectives of this study are (1) to get the description of the family needs of the Outer Baduy Community, (2) to analyze determinant factors that influence the perception of the Outer Baduy Community about their families’ needs; and (3) To get tentative models of Planned Changes, such as intervention, and things that need to be intervened to raise the standard of living of Outer Baduy Community’s Families. This research is conducted in fifteen kampungs (villages) of Outer Baduy in Lebak Regency using survey method. The findings of the study are (1) Perception of Heads of Families of Outer Baduy Community in the Lower West and Middle West on Families’ needs; physiology, sence of safety, sense of love , and sense of group appreciation is high, but in Kaduketug strip those needs are considered average; (2) The satisfaction of Heads of Outer Baduy Community families in the Lower West and Middle West on Family needs; physiology, sense of safety, sense of love and group appreciation is high, but in Kaduketug’s strip the satisfaction on physiology is high, sense of love and sense of belonging by the group ; (3) the efforts of heads of families in Lower West in cropping, trading, hunting, and working for others and making handycrafts have highly correlated to the perception of heads of families on basic needs, sense of safety, sense of love; (4) the motive to gain knowledge is highly correlated to the perception of heads of families on basic needs, sense of safety, sense of love and sense of belonging to the group ; (5) Social Interactio n through interpersonal communication and the agents of changes is highly correlated to the perception of heads of families on basic needs, sense of safety, sense of love, and sense of belonging to the group ; (6) the value of social culture on work, nature and relationships with other people is highly correlated to the perception of heads of families on basic needs, sense of safety, sense of love, and sense of belonging to the group. To develop strategies and policies to meet the needs of SCC family of Baduy can be created by raising the standard of living by providing a centre of business practice, discussion forum (informative community group), escalation of business facilities, community participation, the support of opinion leaders in Baduy community, private support, and high motive and the awareness to change.
____________________
iv
RINGKASAN
AHMAD SIHABUDIN, Pers epsi Komunitas Adat Baduy Luar
terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Le bak Provinsi Banten. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN sebagai Ketua; DJOKO SUSANTO dan PANG S. ASNGARI sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Masyarakat Baduy adalah salah satu komunitas etnik yang masih memegang tradisi dan cenderung tertutup, atau dala m istilah sekarang Komunitas Adat Terpencil (KAT). Pengertian KAT, adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Komunitas Adat Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan tradisi leluhur, sedangkan Baduy Luar cenderung sudah menerima perubahan, serta nilai- nilai dari luar.
Tujuan penelitian adalah: (1) Memperoleh gambaran persepsi KAT pada kebutuhan keluarga masyarakat Baduy Luar, (2) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarganya; dan (3) Mendapatkan suatu model perubahan terencana, macam intervensi, dan hal- hal yang perlu di intervensi untuk memenuhi kebutuhan keluarga Komunitas Adat Baduy Luar.
Penelitian ini dirancang dengan metode survei, dengan tujuan mendeskripsikan, mengeksplanasi (expalanatory), dan mengeksplorasi serta menjelaskan tujuan, termasuk menjelaskan pengaruh dan hubungan antar peubah lewat pengujian hipotesis.
Penelitian ini dilaksanakan di Pemukiman Komunitas Adat Terpencil Baduy yang berjumlah 58 kampung, yang terdiri dari 3 Kampung termasuk Baduy Dalam yaitu Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana, dan 55 Kampung Baduy Luar sesuai dengan Perda No. 32 Kabupaten Lebak tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Fokus penelitian dilakukan hanya pada Baduy Luar
v
pada kepuasan kebutuhan dasar rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai; (5) Interaksi sosial melalui komunikasi interpersonal dan dengan agen pembaharu berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi pada kepuasan kebutuhan dasar rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai; dan (6) Nilai sosial budaya tentang hakekat kerja, hakekat alam, dan hakekat hubungan dengan sesama berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi pada kepuasan kebutuhan dasar rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai.
Strategi dan kebijakan peningkatan pemenuhan kebutuhan keluarga KAT Baduy dapat diciptakan melalui peningkatan standar kebutuhan keluarga, dengan membuat pusat latihan usaha, forum disksusi (kelompok informasi masyarakat), peningkatan fasilitas usaha, partisipasi masyarakat, dukungan tokoh adat, dukungan swasta, dan motif dan kesadaran ingin berubah yang tinggi.
Kesimpulan yang diperoleh: persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar di jalur Bawah Barat dan Tengah Barat pada kebutuhan keluarga yang dirasakan; fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok adalah tinggi, di jalur Kaduketug pada kebutuhan tersebut adalah sedang; Dan Kepuasan kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar di lokasi Bawah Barat dan Tengah Barat pada kebutuhan keluarga; fisiologi, rasa aman, dicintai dan dimiliki, dan dihargai kelompok adalah tinggi, di lokasi Kadukteug kepuasan pada kebutuhan fisiologi adalah tinggi, rasa aman rendah, dicintai dan dimiliki sedang, dihargai sedang; Usaha-usaha kepala keluarga di jalur Bawah Barat dalam berladang, berjualan, berburu, bekerja pada orang lain, dan membuat kerajinan, Motif, Interaksi sosial, Nilai sosial budaya berhubungan nyata dengan persepsi kepala keluarga pada kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan kebutuhan dihargai yang dirasakannya, dan persepsi terhadap kepuasan kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, dan dihargai.
Agar kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman, dan dicintai dapat ditingkatkan, diperlukan upaya dari Pemda untuk lebih memberikan pengakuan atas eksistensi KAT Baduy. Agen pembaharu supaya ditingkatkan kompetensinya agar mampu berinteraksi sosial lebih berkualitas dengan masyarakat Baduy Luar. Diperlukan pengembangan strategi agar perubahan terencana dapat dilakukan untuk lebih memenuhi kebutuhan keluarga komunitas adat Baduy Luar, yaitu dengan membentuk forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah daerah, dan dukungan agen pembaharu pada usaha dan pola produksi, dan membangkitkan motif atau dorongan untuk berubah.
Kata Kunci : Komunitas Adat Baduy, Persepsi, Kebutuhan Keluarga
vi
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vii
PERSEPSI KOMUNITAS ADAT BADUY LUAR TERHADAP
KEBUTUHAN KELUARGA DI KABUPATEN
LEBAK PROVINSI BANTEN
AHMAD SIHABUDIN
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
viii
Judul Disertasi : Persepsi Komunitas Adat Baduy Luar Terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Nama : Ahmad Sihabudin
NRP : I362060021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua
Prof. Dr. Pang S. Asngari Prof (Ris ). Dr. Djoko Susanto, SKM. Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
ix
PRAKATA
Hanya kata puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala karuniaNya berupa ilmu pengetahuan, sehingga naskah disertasi ini dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan, berkat bimbingan dan
arahan komisi pembimbing Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA, Prof (Ris). Dr.
Ign. Djoko Susanto, SKM, dan Prof. Dr. Pang. S. Asnga ri, yang dengan tulus,
sabar, dan penuh pengertian yang tiada batas dalam membimbing, sejak
penyusunan rencana penelitian sampai dengan penyelesaian disertasi ini, untuk
itu penulis mengucapkan terimakasih dan semoga semua kebaikan dan
keikhlasan Bapak menjadi amal baik, dan Allah SWT membalas dengan
syurgaNya Amin. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS sebagai
Dekan Sekolah Pascasarjana yang telah memberi kesempatan menempuh studi
di IPB. Terimakasih dan hormat saya kepada Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
selaku Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas
Ekologi Manusia, dan Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc selaku Ketua Program Mayor
Ilmu Penyuluhan Pembangunan beserta staf yang telah banyak memberikan
pelayanan administrasi akademik dan kemahasiswaan, dan penulis juga
sampaikan terimakasih kepada seluruh dosen di Program Mayor Ilmu
Penyuluhan Pembangunan yang telah membantu dan memberi kontribusi ilmu
pengetahuan selama penulis belajar. Tak lupa penulis juga mengucapakan
terimakasih kepada Prof. Dr. Iberamsyah, MS, Dr. Ir. Rosmawati Sudibyo, dan
Dr. Udi Rusadi, MS. yang memberi rekomendasi kepada penulis untuk belajar
di Sekolah Pascasarjana IPB.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan
kepada yang terhormat Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta),
Prof. Dr. Ir. Rahman Abdullah, M.Sc. sebagai atasan penulis yang telah banyak
membantu dan mendukung, sehingga penulis tetap semangat dan penuh percaya
diri dalam menyelesaikan studi. Penghargaan yang tinggi juga saya ucapkan
x
Studi, dan staf yang dengan tulus berbagi tugas dengan penulis semoga
ketulusan dan keikhlasan Bapak Ibu dapat ganjaran amal baik dari Allah SWT.
Tak lupa terimakasih kepada saudara Aming, Benbela, Ilham, Herman, yang
telah membantu selama penelitian lapangan, juga pada Ayah Mursid (Jaro
Cibeo / Baduy Dalam) yang banyak membantu memberikan fasilitas akomodasi
dan diskusi tentang komunitas Baduy selama penelitian berlangsung.
Kepada kedua orang tua, Bapak H.M. Ma’sum S. Salim, Ibunda Hj.
Ratnasari yang tercinta, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga atas
segala doa yang selalu Bapak Ibu panjatkan untuk penulis agar tetap sehat, dan
semangat menyelesaikan sekolah.
Sangat khusus kepada Isteri tercinta Dra. Hj. Rahmiati Fattah, serta
anak-anakku: Umar Shalahuddin, M. Miftah Fahmi, dan M. Dylan Ibaidillah
Arrasyidi yang selalu menjadi pendorong luar biasa, dan sumber inspirasi
penulis. Bapak hanya bisa bilang, ”Bapak sangat berterimakasih dan sangat
menyayangi kalian.” Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Abah
dan Ibu mertua H. Abdul Fattah Sulaiman, dan Hj. Nurya ni yang selalu
mendorong penulis dalam penyelesaian studi.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh kawan-kawan
angkatan 2006 Program S2, dan S3, terutama pada Drs. Dirlanuddin, M.Si.
Johanis Kamagi, S.Ip., M.Si., Drs. Oos. M Anwas, M.Si. yang telah memberi
dorongan baik selama proses kuliah maupun saat penulisan disertasi, kalian
adalah sahabat masa suka duka kuliah di PPN yang telah banyak memberi
warna pengetahuan dan pengalaman yang akan penulis terus kenang. Juga pada
Kanda Drs. Dolfi Suawa, M.Pd., adinda Drs. Suparno Jaya, M.Pd, dan Dr. Suaib
Amiruddin, M.Si. yang selalu memberikan dorongan, dan penghiburan.
Sebagai ungkapan syukur izinkan penulis menyampaikan pikukuh
Baduy, ”mipit kudu amit, ngala kudu menta, nyaur kudu diukur, nyabda kudu
diunggang, ulah ngomong segeto-geto, ulah lemek sadaek-daek, ulah maling
xi
haruslah diukur, berkata haruslah dipertimbangkan, jangan berkata
sembarangan, jangan berkata semaunya, jangan mencuri walau kekurangan).
Akhirnya dengan rendah hati dan segala keterbatasan, penulis
sampaikan disertasi ini semoga bermanfaat bagi semua yang membutuhkan.
Segala saran kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk
penyempurnaannya. Semoga Allah SWT selalu memberikan rakhmat, dan
hidayahNya kepada kita semua.
Bogor, Oktober 2009
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Petir, Kabupaten Serang, Banten tanggal 4
Juli 1965 sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara keluarga Bapak H. Moh.
Ma’sum S. Salim dan Ibu Hj. Ratnasari. Menyelesaikan sekolah pada SD
Negeri 4 tahun 1977, SMP Negeri 1 tahun 1981, dan SMA Negeri 1 tahun 1984
di Kota Tangerang d.h. Kabupaten Tangerang.
Meraih gelar Sarjana Komunikasi (S1) Jurusan Ilmu Penerangan di
FIKOM Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta d.h. Sekolah Tinggi
Publisistik tahun 1990. Meraih gelar Magister Sains (S2) tahun 1994, Bidang
Kajian Utama Ilmu Komunikasi pada Program Pascasarjana Univesitas
Padjadjaran Bandung dan berstatus sebagai Dosen Tugas Belajar dari IISIP
Jakarta. Tahun 2006 mendaftar sebagai mahasiswa S3, di Program Studi Ilmu
Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis bekerja sebagai Dosen tetap IISIP Jakarta sejak 1991 s.d. tahun
2002. Pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Penerangan tahun 1996,
Pembantu Dekan Bidang Akademik 1998, dan Dekan Fakultas Ilmu
Komunikasi tahun 2000 s.d. 2002 di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(IISIP) Jakarta. Tahun 2002 mengundurkan diri sebagai Dekan dan Dosen tetap
IISIP Jakarta. Menjadi Dosen luar biasa di FIKOM Universitas Mercubuana,
Universitas Budi Luhur, dan FIKOM IISIP Jakarta sampai dengan tahun 2007.
Sejak tahun 2002 tercatat sebagi Dosen tetap di FISIP Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa (Untirta), dan berstatus sebagai Dosen Pegawai Negeri Sipil
Jabatan Fungsional Lektor Kepala, pangkat saat ini Penata Tingkat I/IIIc, dan
terhitung Desember 2007 mendapat tugas tambahan sebagai Dekan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, di
bebas tugaskan sebagai Dekan FISIP Untirta, 4 Mei 2009.
Karya ilmiah yang dipublikasikan dalam empat tahun terakhir antara
lain; Menulis buku ”Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multi-Dimensi”.
Diterbitkan: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP – Untirta. Serang Tahun
xiii
Tentang Pengaruh Prasangka Sosial Terhadap Efektivita Komunikasi Antar
Kelompok Baduy Luar, Baduy Dalam dan Masyarakat Ciboleger Lebak
Banten)”. Jurnal Komunikasi ”Mediator” Terakreditasi. Vol 1/No.1/2008,
Unisba Bandung. Merupakan bagian dari hasil Penelitian Fundamental Tahun
2007. ”Tantangan Masa Depan Program Studi Ilmu Komunikasi”. Jurnal Ilmu
Komunikasi FISIP Untirta. Vol.1 No.1. Desember 2005. ”Saluran Komunikasi
Dalam Pilkada”. Jurnal Ilmu Komunikasi FISIP Untirta. Vol.2 No.2. Desember.
2006. ”Strategi Pendidikan Dengan Pendekatan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Untuk Komunitas Adat Terasing.” Jurnal Teknodik. No.
20/XI/Teknodik/ April/2007. Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Teknologi
Informasi dan Komunikasi Pendidikan. Dua artikel yang merupakan bagian
disertasi ini telah diterima redaksi dan akan dimuat pada: Jurnal Penyuluhan
Fema IPB untuk artikel berjudul (1) ”Persepsi Komunitas Adat Baduy terhadap
Kebutuhan Keluara di Kabupaten Lebak Provinsi Banten,” dan (2) Pengaruh
Interaksi Sosial Komunitas Adat Baduy Luar terhadap Persepsinya pada
Kebutuhan Keluarga.
Saat ini tengah melakukan penelitian dengan judul “Model Revitalisasi
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Untuk Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembangunan di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten”.
Hibah Bersaing Direktorat DP2M Tahun Anggaran 2008/2009.
Penulis menikah dengan Dra. Hj. Rahmiati Fattah, dan telah dikarunia
tiga orang putra: Umar Shalahuddin, M. Miftah Fahmi, dan M. Dylan Ibaidillah
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Masalah Penelitian ... 3
Tujuan Penelitian ... 6
Kegunaan Penelitian ... 6
Definisi Istilah ... 7
TINJAUAN PUSTAKA ... 9
Komunitas Adat Terpencil Baduy ... 9
Gambaran Umum dan Sekilas Asal Usul Orang Baduy ………… 10
Luas Wilayah, Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan …………. 13
Sistem Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Baduy ……… 14
Kepercayaan Orang Baduy ……… 19
Gejala Perubahan Sosial di Baduy ………. 21
Kebutuhan Hidup Keluarga ……….. 27
Persepsi ……….. 32
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi ……… . 33
Usaha Pemenuhan Kebutuhan Keluarga ……… 36
Motif Memperoleh Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan ……... 37
Interaksi Sosial ……….. 40
Nilai Sosial Budaya ………. 42
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ………. 47
Kerangka Berpikir ………. 47
Hipotesis Peneltian ……… 49
METODE PENELITIAN ……… 50
xv
Lokasi, Objek, dan Waktu Penelitian ……… 50
Populasi dan Sampel Penelitian ………. 50
Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ……… 53
Pengumpulan Data ………. 53
Instrumen Penelitian ……….. 54
Validitas dan Reliabilitas Instrumen ………. 56
Analisis Data ……….. 57
HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 59
Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 59
Geografis ………... 60
Administratif ……… 59
Demografi ………. 62
Deskripsi Karaktersitik Kepala Keluarga KAT Baduy Luar …… 64
Deskripsi Usaha dan Pola Produksi KAT Baduy Luar …………. 66
Deskripsi Motif Untuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga ………… 68
Deskripsi Interaksi Sosial ………... 70
Deskripsi Nilai Sosial Budaya ……… 72
Persepsi Terhadap Kebutuhan Keluarga yang Dirasakan ………. 75
Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan Kebutuhan Keluarga. 77
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan ……… 80
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga ………. 85
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan di Lokasi Bawah Barat ………. 90
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga. di Lokasi Bawah Barat …….. 95
xvi
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap
Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga. di Lokasi Tengah Barat …… 106
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan di Lokasi Kaduketug ………. 110
Hubungan antara Karakteristik Sosial, Usaha, Motif, Interaksi Sosial, dan Nilai Sosial Budaya dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap Kepuasan pada Kebutuhan Keluarga. di Lokasi Kaduketug ….…… 116
Pembahasan Umum ... 120
Strategi Peningkatan Kebutuhan Keluarga KAT Baduy ... 142
KESIMPULAN DAN SARAN ... 147
Kesimpulan ... 147
Saran ... 147
DAFTAR PUSTAKA ... 149
LAMPIRAN ... 155
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Lokasi Penelitian ... 52
2 Kisi-Kisi Penyusunan Instrumen ... 55
3 Penduduk Baduy Tahun 1994Menurut Kelompok Usia ... 63
4 Jumlah Kepala Keluarga KAT Baduy Luar Menurut
Karakteristik Sosial ... 64
5 Jumlah KAT Baduy Luar Seluruh lokasi menurut
Karakteristik Sosial ... 66
6 Jumlah kepala keluarga Baduy Luar menurut
Usaha dan Pola Produksi di masing- masing lokasi ... 67
7 Jumlah kepala keluarga Menurut Usaha dan Pola Produksi ... 68
8 Jumlah kepala keluarga Berdasarkan Jalur Masuk ke Baduy Dalam
menurut Motif dalam memenuhi kebutuhan keluarga ... 69
9 Motif kepala keluarga pada pengetahuan, sikap, dan keterampilan
dalam memenuhi kebutuhan keluarga ... 70
10 Interaksi sosial keluarga berdasarkan Jalur Masuk
ke Baduy Dalam ... 71
11 Interaksi Sosial kepala keluarga dalam memenuhi
Kebutuhan Keluarga ... 72
12 Nilai Sosial Budaya kepala keluarga menurut lokasi jalur masuk ke Baduy Dalam ... 73
13 Nilai Sosial Budaya kepala keluarga keseluruhan Responden ... 74
14 Persepsi kepala keluarga Terhadap Kebutuhan Keluarga yang dirasakan menurut Jalur Masuk ke Baduy Dalam ... 75
15 Jumlah kepala keluarga Seluruh Lokasi Menurut Persepsi yang dirasakan tentang Kebutuhan Keluarga ... 77
16 Persepsi pada Kepuasan Kebutuhan Keluarga Berdasarkan Jalur
xviii
17 Persepsi kepala keluarga terhadap Kepuasan Kebutuhan Keluarga di semua lokasi ... 80
18 Hubungan antara karakteristik sosial, usaha, motif,interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan persepsi kepala keluarga terhadap
kebutuhan keluarga yang dirasakan di semua lokasi ... 81
19 Hubungan Antara karkateristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kk terhadap kepuasan
kebutuhan keluarga di semua lokasi ... 86
20 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap
kebutuhan keluarga yang dirasakan di lokasi Bawah Barat ... 91
21 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap
kepuasan kebutuhan keluarga di lokasi Bawah Barat ... 96
22 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap
kebutuhan keluarga yang dirasakan di Lokasi Tengah Barat ... 101
23 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap
kepuasan kebutuhan keluarga di Lokasi Tengah Barat ... 107
24 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap
kebutuhan keluarga yang dirasakan di Lokasi Kaduketug ... 111
25 Hubungan Antara karakteristik sosial, usaha, motif, interaksi sosial, dan nilai sosial budaya dengan Pesepsi kepala keluarga terhadap
kepuasan kebutuhan keluarga di Lokasi Kaduketug ... 117
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur Organsasi KAT Baduy ... 19
2 Pembentukan Persepsi ... 35
3 Hubungan antar Peubah Penelitian ... 48
4 Peta Wilayah Desa Kanekes ... 60
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Data Penyebaran Penduduk Desa Kanekes Tahun 2008 ... 155
2 Uji Reliabilitas ... 157
3 Hasil Analisis Korelasi ... 158
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bangsa Indonesia terkenal dengan kemajemukannya yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dan hidup bersama dalam negara kesatuan RI dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam keanekaragaman tersebut ada
sekelompok masyarakat / suku bangsa yang secara relatif sudah lebih dahulu
maju. Tetapi ada juga yang belum maju dan malahan tertinggal dengan
masyarakat lainnya. Perubahan sosial dalam masyarakat baik secara vertikal
maupun horizontal juga dapat menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan
pada sekelompok masyarakat tertentu karena lokasi yang terpencil serta sulit
mendapatkan akses pelayanan dari luar.
Bahkan mungkin yang terpenting dari kemajemukan masyarakat dan
kekayaan kebudayaan yang memerlukan perhatian adalah: masih jutaan
anak-anak negeri yang diidentifikasi sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah
pewaris keterbelakangan, ketertinggalan, dan kemiskinan masyarakat Indonesia.
Bahkan masyarakat global melihat KAT dalam perspektif yang sama. Tanpa kita
menyadari, sebenarnya anak-anak negeri dalam KAT yang hidup dalam
kemiskinan selalu melahirkan kemiskinan.
Salah satu masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
rangka pembangunan masyarakat di Indonesia adalah Komunitas Adat Terpencil.
Komunitas ini bermukim di berbagai pelosok wilayah. Data menginformasikan
bahwa KAT terdapat hampir di seluruh wilayah Nusantara, mulai dari Sabang di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hingga Merauke di Provinsi Papua.
Sebagian kecil suku yang tergolong KAT dilihat dari provinsi asal antara lain:
Suku Gayo (NAD), Suku Anak Dalam (Jambi), Suku Dayak Sekadau
(Kalimantan Barat), Suku Dayak Meratus (Kalimantan Selatan), Suku Baduy
(Banten), Suku Tengger (Jawa Timur), Suku Loitas (Nusa Tenggara Timur), dan
Suku Ekagi (Papua).
Menciptakan dan mengembangkan strategi pengembangan masyarakat
yang nyata diperlukan keberanian demi membawa kemajuan memperbaiki
2 sebagaimana lazimnya masyarakat pada umumnya mereka juga menginginkan
perubahan, perubahan dalam kualitas kemanusiaannya. Namun kemampuan
mereka sendiri tidak mendukung atau mustahil untuk melakukan perubahan,
untuk memperbaiki nasib. Harus ada intervensi atau campur tangan pihak lain
dari luar KAT. Adalah jelas warga KAT antara lain ingin menapaki pendidikan
yang lebih baik, memiliki kondisi kesehatan yang lebih sehat, lebih bersih,
sandang pangan yang mencukupi, dan hidup dalam kelembutan tidak dalam
kekerasan kehidupan seperti yang mereka jalani.
Memperhatikan data yang ada, jumlah KAT yang dikategorikan terpencil
di Indonesia dengan persebarannya adalah sebanyak 205.029 KK atau sekitar
1.025.000 jiwa, sedangkan jumlah yang sedang diberdayakan 8.338 KK / lokasi
dan jumlah yang sudah diberdayakan 51.398 KK / lokasi. Visi Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil adalah: kesejahteraan sosial Komunitas Adat
Terpencil yang mandiri di dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan.
KAT yang kini berjumlah sekitar 1,1 juta jiwa bukan jumlah yang sedikit. KAT
masih terisolasi, miskin, dan lemah (Abdullah, 2004).
Dalam Pasal 2 Keppres No. 111/1999 tentang pembinaan kesejahteraan
sosial komunitas adat terpencil diamanatkan sebagai berikut :
”Pembinaan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil bertujuan untuk memberdayakan komunitas adat terpencil dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat.”
Berdasarkan keputusan di atas penelitian ini mencoba mengkaji salah satu
KAT yang ada di Indonesia, yaitu suku Baduy Luar. Secara administratif wilayah
Baduy atau biasa pula disebut wilayah “Rawayan” atau wilayah “Kanekes”
termasuk dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten (dulu masuk wilayah Jawa Barat). Wilayah yang dihuni orang
Baduy berada pada kawasan Pegunungan Kendeng yang sebagian merupakan
hutan lindung.
Masyarakat Baduy adalah salah satu etnik yang dapat dikatakan sebaga i
3 istilah sekarang Komunitas Adat Terpencil sebagai pengganti istilah Masyarakat
Terasing.
Misi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah: Meningkatkan
harkat dan martabat Komunitas Adat Terpencil, meningkatkan kualitas hidup
Komunitas Adat Terpencil, memperkuat pranata dalam jaringan sosial,
mengembangkan sistem kehidupan dan penghidupan yang berlaku pada
Komunitas Adat Terpencil, dan meningkatkan peranserta dan tanggung jawab
sosial masyarakat dalam proses pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.
Sebaga imana dikemukakan oleh Kusdinar (2004), di Kabupaten Lebak,
KAT terdapat di Kecamatan Leuwidamar dan Kecamatan Cibeber. Salah satu
komunitas adat tersebut adalah Suku Baduy yang terdapat di wilayah Desa
Kanekes Kecamatan Leuwidamar. Masyarakat Baduy terdiri dari “Baduy Dalam”
dan “Baduy Luar.” “Baduy Dalam” terdiri dari tiga kampung yaitu kampung
Cikeusik, Kampung Cikertawarna, dan Kampung Cibeo yang masing- masing
dipimpin oleh seorang pimpinan adat atau yang biasa disebut Pu’un. “Baduy
Luar” tersebar di 51 kampung, antara lain: Kadu Ketug, Kadu Keter, Gajeboh,
Kadu Kohak, Cipiit, dan Kadu Jangkung.
Selain di wilayah Baduy, Komunitas Adat Terpencil terdapat pula di
wilayah lain, tepatnya di wilayah Lebak Selatan yaitu di Kecamatan Cibeber
yang terdapat masyarakat yang patuh dan taat pada lembaga “kaolotan” seperti
yang terdapat dalam “kaolotan” Cisungsan, Citorek, Cisitu, Cipanas, dan Bayah.
Masalah Penelitian
Sebagaimana lazimnya masyarakat pada umumnya, komunitas Baduy
juga membutuhkan pengembangan diri, membutuhkan perubahan, dan terutama
dalam hal kebutuhan keluarga baik sandang, pangan, papan, dan kebutuhan
sekunder dan tersier lainnya. Ini terlihat dalam komunitas Baduy Luar yang
sudah terlihat dinamika perubahannya dibandingkan dengan saudaranya Baduy
Dalam yang secara adat masih memegang sangat teguh tradisi leluhur. Baduy
Luar meskipun dianggap oleh orang Baduy Dalam sebagai pelanggar adat, namun
demikian bila diperhatikan tata cara kehidupannya masih memegang tradisi yang
4 Secara umum yang membedakan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar
adalah sebagai berikut:. Baduy Luar relatif sudah mau menerima inovasi dan
modernisasi dari luar sedangkan Baduy Dalam belum dapat menerima hal- hal
yang berbau teknologi dan modernisasi. Meskipun demikian kehidupan secara
sosial dan ekonomi, komunitas Baduy Luar tidak jauh berbeda dengan Baduy
Dalam. Artinya, mereka masih memerlukan pengembangan dan pemberdayaan
dalam berbagai segi kehidupan, sesuai dengan yang diamanatkan Keppres No.
111/1999.
Gejala lain yang tampak pada masyarakat Baduy Luar adalah dalam hal
cara memenuhi kebutuhan keluarga lebih bervariasi selain bertani dan berladang
ada yang membantu mengerjakan lahan orang lain, berjualan, dan membantu
memasarkan hasil- hasil produk baik pertanian dan kerajinan sesama warga Baduy
Luar. Mengingat sifat dan karakter masyarakat ini termasuk yang menutup diri
terhadap hal- hal yang berasal dari luar komunitasnya.
Secara umum dan pada hakikatnya masyarakat manapun membutuhkan
perubahan dalam pengertian perubahan kehidupan yang lebih baik, baik
pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Pengemb angan dan perubahan ini
harus memperha tikan hal- hal yang tidak bertentangan dengan adat istiadat
mereka.
Mengingat potensi alam yang dimiliki komunitas ini cukup banyak,
seperti aspek pertanian, mereka kebanyakan menanam padi padahal dapat juga
menanam sejenis atau berbagai palawija, hasil hutan misalnya madu, bahan baku
untuk membuat gula aren, dan kerajinan tangan berupa tas (jarog). Khusus untuk
kerajinan, pengamatan peneliti, model dan karyanya sudah mulai bervariasi mulai
dari tas khasnya (jarog) sampai tempat handphone sudah mereka buat, tinggal
masalah memasarkan, dan cara mereka menjualnya. Potensi komunitas Baduy
sebenarnya cukup besar untuk dapat hidup lebih baik dari saat ini.
Komunitas Baduy sebagai masyarakat yang taat menjunjung adat dan
nilai- nilai leluhurnya, salah satu tradisinya adalah hasil ladang berupa padi tidak
boleh dijual karena merupakan pantangan bagi seluruh orang Baduy, baik Baduy
Dalam maupun Baduy Luar, maka yang terpenting adalah memberikan informasi
5 dalam lingkungannya, tanpa mengganggu tradisinya. Hal ini dapat dianggap
sebagai kendala, ini juga memerlukan penyelidikan yang lebih mendalam.
Mengacu pada latar belakang masalah yang diuraikan, Komunitas Adat
Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan tradisi leluhur, sedangkan Baduy
Luar cenderung sudah menerima perubahan, serta nilai- nilai dari luar. Berangkat
dari gejala tersebut peneliti memfokuskan penelitian pada komunitas Baduy Luar,
karena mereka meskipun secara adat dianggap orang-orang yang melanggar adat,
tidak loyal pada adat dan tradisi leluhurnya tetapi secara umum kehidupan
mereka relatif sama dengan masyarakat Baduy Dalam. Gejala tersebut menarik
untuk dikaji lebih jauh dan dipertanyakan alasan itu terjadi dan dilakukan oleh
orang-orang Baduy yang sekarang disebut Baduy Luar.
Terdapat beberapa gejala yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu masalah
filosofis sistem nilai yang dianut oleh Komunitas Baduy dan bagaimana mereka
mempersepsi kebutuhan keluarga.
Beberapa hal yang menjadi permasalahan filosofis antara lain adalah:
(1) Kepercayaan dan sistem nilai yang dianut oleh suku Baduy menghambat
proses perubahan yang bisa memajukan taraf kehidupan mereka.
(2) Tradisi yang ada menjadikan mereka tertutup dengan dunia luar.
(3) Kurangnya sumber daya manusia yang mengelola sumber daya alam yang
ada.
Dari sisi pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu dikaji hal- hal
sebagai berikut:
(1) kurangnya upaya dari pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia
masyarakat Baduy agar mereka dapat mengelola potensi alam yang mereka
miliki.
(2) kurang dan tertutupnya akses berbagai informasi yang memudahkan
masyarakat baduy untuk maju, baik dalam bentuk komunikasi interpersonal,
maupun kelompok, dengan memanfaatkan lembaga sosial yang ada.
(3) kurang atau hampir tidak adanya berbagai pelatihan dan pemberdayaan dari
pemerintah bekerja sama dengan masyarakat yang sudah terdidik agar dapat
6 Dari beberapa permasalahan yang ada, ditambah sifat dan hakekat
manusia yang selalu berusaha untuk berubah, dan hakekat manusia yang selalu
berusaha memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan dirinya maupun keluarganya,
maka masalah penelitian yang dipertanyakan adalah:
(1) Bagaimana persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar terhadap
kebutuhan keluarga nya?
(2) Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi kepala keluarga
Komunitas Adat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga nya?
(3) Bagaimana strategi perubahan terencana untuk meningkatkan kesejahteraan
kebutuhan keluarga kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah :
(1) Mengkaji persepsi kepala keluarga Komunitas Adat Baduy Luar terhadap
kebutuhan keluarga.
(2) Mengkaji faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi kepala keluarga
Komunitas Adat Baduy Luar terhadap kebutuhan keluarga nya.
(3) Mengembangkan strategi perubahan terencana untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga Komunitas Adat Baduy Luar.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini merupakan media proses belajar dalam mengaplikasikan
konsep-konsep teori dan model dalam pengembangan komunitas adat terpencil,
yang didasarkan pada teori dan pengamatan (empirik). Kegunaan penelitian ini
sebagai berikut:
(1) Dari segi keilmuan hasil penelitian ini diharapkan sebagai khazanah untuk
memperkaya kajian ilmu penyuluhan pembangunan. Diharapkan adanya
perluasan segi-segi teoritis penyuluhan pembangunan yang dapat menunjang
penelitian sejenis pada masa yang akan datang.
(2) Dari segi terapan, hasil penelitian ini diharapkan berma nfaat untuk menangani
7 Baduy, maupun masyarakat dalam kategori adat terpencil lainnya yang
memiliki karakteristik yang sama.
(3) Sebagai masukan bagi pemerintah Kabupaten Lebak – Banten, dan Direktorat
Bina Masyarakat Terasing, Departemen Sosial RI, dalam menyusun
kebijakan tentang pembangunan komunitas adat terpencil Baduy Luar yang
berorientasi kesejahteraan dan kelestarian adat dan lingkungan.
Definisi Istilah
Definisi dan pengukuran dari peubah yang ada disajikan agar makna
penelitian dapat dipahami secara bersama:
(1) Komunitas Adat Terpencil adalah kelompok sosial budaya yang
bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam
jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik.
(2) Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa
Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang
mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan
masyarakat umum.
(3) Persepsi adalah pengertian dan penafsiran makna informasi yang
diterima peralatan pancaindera, yang diukur dari pemahaman orang
baduy pada kebutuhan hidup keluarga.
(4) Kebutuhan keluarga orang Baduy Luar adalah, kebutuhan fisiolojik,
rasa aman, rasa memiliki dan dimiliki, dan harga diri.
(5) Karakteristik masyarakat Baduy Luar adalah pendapatan rumah
tangga, usia, dan jumlah anggota keluarga.
(6) Motif adalah hal yang mendorong Orang Baduy Luar untuk lebih
memiliki pengetahuan, percaya diri, dan lebih terampil dalam
memenuhi kebutuhan keluarganya.
(7) Usaha dan Pola produksi adalah usaha orang Baduy Luar memenuhi
kebutuhan keluarganya.
(8) Nilai-nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam pikiran
aktivitas masyarakat Baduy Luar mengenai hal-hal yang mereka
8 pedoman dalam berperilaku dalam hidupnya. Penelitian ini
menggunakan konsep yang dikembangkan Clide Kluckon dan F.L
Strodtbeck (Koentjaraningrat, 2004) yaitu tentang:
(a) Hakekat hidup manusia, adalah pandangan masyarakat Baduy,
bahwa hidup suatu ha l yang baik, buruk, atau menerima apa
adanya.
(b) Hakekat karya manusia, adalah pandangan tentang bekerja sebagai
sesuatu yang memberikan kedudukan terhormat dan
menghargainya
(c) Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, adalah
pandangan bahwa masa la lu, masa depan atau waktu sekarang
adalah waktu yang terpenting
(d) Hakekat dari kedudukan manusia dengan alam semesta, adalah
pandangan masyarakat Baduy tentang alam bahwa alam dan
sekitarnya berupa gunung, hutan dan air perlu dihormati, dan
dijaga.
(e) Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya, adalah
pandangan bahwa hubungan dengan sesamanya adalah amat
penting.
(9) Interaksi sosial, adalah interaksi masyarakat Baduy Luar dengan
kelompoknya, masyarakat luar atau wisatawan, aparat pemerintah,
9
TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Adat Terpencil Baduy
Menurut Adimihardja (2007) komunitas adat sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia adalah kelompok masyarakat yang terisolasi, baik secara
fisik, geografi, maupun sosial budaya. Sebagian besar komunitas ini bertempat
tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Pranata sosial dalam komunitas
adat ini umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan yang sangat terbatas dan
homogen. Kehidupan mereka sehari- hari masih didasarkan pada interaksi
tradisional yang bersifat biologis darah dan ikatan tali perkawinan. Abdullah
(2004) berpendapat kelompok masyarakat inilah yang dikategorikan sebagai
Komunitas Adat yang masih hidup terpencil, keterpencilan itu ada 2 (dua) aspek
yaitu secara eksternal: kenapa pihak luar belum atau sulit memberikan akses
pelayanan sosial dasar pada mereka. Secara internal: Kenapa mereka belum dan
atau sulit mendapatkan akses pelayanan sosial dasar.
Pengertian Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam surat Keputusan
Presiden No 111 tahun 1999, adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal
dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik
sosial, ekonomi maupun politik. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
kelompok masyarakat tertentu dapat dikategorikan sebagai Komunitas Adat
Terpencil jika terdapat ciri-ciri umum yang berlaku universal sebagai berikut:
(a) Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen.
(b) Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.
(c) Pada umumnya lokasinya terpencil secara geografis dan relatif sulit
dijangkau.
(d) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-sisten.
(e) Peralatan teknologinya sederhana, sangat tradisionil
(f) Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat
relatif tinggi.
(g) Akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik terbatas.
Dengan demikian maka berdasarkan pengertian, dan gambaran ciri-ciri
KAT dalam Keppres No. 111 Tahun 1999, Komunitas Adat Terpencil dapat
10
(a) Dataran tinggi / pegunungan;
(b) Dataran rendah; Daerah rawa; Daerah aliran sungai
(c) Daerah pedalaman; Daerah perbatasan;
(e) Di atas perahu; Pantai dan di pulau-pulau kecil.
Komunitas Adat Terpencil juga dapat dikategorikan orbitasinya sebagai
berikut: Kelana, Menetap Sementara, dan Menetap.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa komunitas adat terpencil
adalah kelompok masyarakat yang masih terbatas mendapatkan berbagai akses
pelayanan dasar sosial yang disebabkan secara geografis sulit dijangkau, dan
cenderung sifat masyarakatnya tertutup.
Gambaran Umum dan Sekilas Asal Usul Orang Baduy
Sebutan “Orang Baduy” atau ”Urang Baduy” yang digunakan untuk
kelompok masyarakat ini bukan berasal dari mereka sendiri. Penduduk wilayah
Banten Selatan yang sudah beragama Islam, biasa menyebut masyarakat yang
suka berpindah-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab, dengan sebutan
“Baduy”. Orang-orang Belanda seperti Hoevell, Jacobs, Meijer, Penning, Pleyte,
Trcht, dan Geise menyebut mereka badoe’i, badoej, badoewi, dan orang kanekes
seperti dikemukakan dalam laporan- laporannya. Sekitar tahun 1980-an, ketika
KTP (Kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini, hampir tidak ada yang
menolak dengan sebutan Orang Baduy. Walaupun, sebutan diri yang biasa
mereka gunakan adalah Urang Kanekes, Urang Rawayan, Urang Tangtu (Baduy
Dalam) dan Urang panamping (Baduy Luar). Nama “Baduy” mungkin diambil
dari nama sungai Cibaduy dan nama gunung Baduy yang kebetulan berada di
wilayah Baduy (Garna,1993a:120).
Salah satu tulisan paling awal mengenai komunitas Baduy berasal dari
laporan C.L Blume ketika melakukan ekspedisi botani ke daerah tersebut pada
tahun 1822, ia menulis:
11
oleh ekspedisi Hasanuddin… dalam kegelapan hutan yang lebat, mereka masih dapat memuja para dewa mereka selama berabad-abad…”
Menurut Blume, komunitas Baduy beasal dari Kerajaan Sunda Kuno,
yaitu Pajajaran, yang besembunyi, ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad
ke-17 menyusul bergeloranya ajaran Islam dari Kerajaan Banten. (Garna,
1993b:144).
Kisah yang hampir sama muncul dalam cerita rakyat di daerah Banten.
Kisah tersebut menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran
tidak dapat membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran
saat itu, Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi), beserta punggawa yang
setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan dan masuk ke dalam hutan belantara.
Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat pemukiman di
sana.(Djuwisno, 1987:1-2)
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada
tahun 1925, menyangkal teori tersebut. Menutur dia, mereka adalah penduduk
asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar
(Garna, 1993b:146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan mereka
berasal dari orang-orang pelarian Kerajaan Pajajaran. Manurut Danasasmita dan
Djatisunda (1986:4-5) Orang Baduy merupakan penduduk setempat yang
dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya
diwajibkan memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek
moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan (wiwitan =
asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun di bernama
Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah
Rakeyan Darmasiska, yaitu raja Sunda ke-13, keturunan Sri Jayabupati, generasi
kelima.
Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang
akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh
dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula
dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut
12
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal- usul orang Baduy tersebut adalah berbeda dengan
pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan
Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal
keberadaannya.
Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim
disebut sebagai Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam
ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting
dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang).
Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat
dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai
perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di
wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang
khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng
tersebut (Adimihardja, 2000:47-59).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa
yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin
adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh- musuh
Pajajaran.
Dalam Pasal 11 Angka 6 Perda Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001,
yang dimaksud dengan masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat
tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang
mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat
13
Luas Wilayah, Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan di Baduy
Menurut laporan A.J. Span (1987) dan B van Tricht (1929) dalam
Permana (2006:19) pada akhir abad ke-18 wilayah Baduy terbentang mulai dari
Kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke pantai selatan. Batas desa seperti
yang ada sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan
pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Sementara itu menurut perkiraan Judhistira K Garna, luas wilayah Baduy
meliputi beberapa kecamatan, seperti Muncang, Sajra, Cimarga, Maja, Bojong
Manik, dan Leuwidamar. Hal ini didasarkan atas kesamaan kepercayaan Sunda
Lama dan pertalian kerabat masyarakat yang menempati daerah-daerah tersebut.
Wilayah Baduy terus dipersempit pada masa Kesultanan Banten dalam rangka
penyebarluasan agama Islam, Garna, (1993), Permana (2006:19)
Menurut Permana (2006:19) luas wilayah Baduy secara umum dapat
dibagi menjadi tiga macam tata guna lahan, yaitu lahan usaha pertanian, hutan
tetap, dan permukiman. Lahan usaha pertanian terbesar dalam penggunaan lahan,
yakni mencapai 2,585,29 ha atau 50,67%. Lahan ini terdiri atas lahan yang
ditanam / diusahakan 709,04 ha atau 13,90% dan lahan yang tidak ditanam (bera)
seluas 1.876,25 ha atau 36,77%. Penggunaan lahan terkecil adalah untuk
pemukiman, yang hanya meliputi 24,50 ha atau 0,48%. Adapun sisanya, seluas
2.492 ha atau 48,85%, merupakan hutan tetap sebagai hutan lindung yang tidak
boleh digarap untuk dijadikan lahan pertanian.
Dalam dua dekade terakhir, belum ada catatan khusus tentang tata guna
lahan, namun dapat dipastikan lahan permukiman bertambah. Menurut catatan
Kantor Desa Kanekes tahun 2008, jumlah kampung di Baduy sudah mencapai 57
kampung.
Berdasarkan jenis tanah, umumnya wilayah Baduy tergolong dalam jenis
latosol coklat. Sifat tanah latosol ini termasuk ke dalam kelas tekstur liat (clay),
tersusun oleh pertikel-pertikel berfraksa liat 56,9%, debu 32,2%, dan pasir
10,9%. Hal ini juga menandakan bahwa jenis tanah yang ada di wilayah Baduy
14
Curah hujan rata-rata tahunan selama dasawarsa terakhir umumnya
melebihi 3000 mm/tahun hingga 4000 mm/tahun. Curah hujan disini kebih tinggi
dibandingkan denga wilayah-wilayah di Leuwidamar lainnya. Menurut metode
klasifikasi iklim Koppen, wilayah Baduy termasuk kelas AW, yang berarti ada
bulan-bulan kering degan curah hujan < 60 mm dan suhu udara rata-rata bulanan
> 18 derajat C. Kelas AW juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara musim
hujan dan kemarau. Bulan-bulan kering antara Juni sampai September, sedangkan
bulan-bulan lain merupakan bulan basah. Purnomohadi (1985) (Permana,
2006:18).
Sistem Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Baduy
Secara umum, masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni
tangtu (pendahulu, cikal bakal, pokok); panamping (pinggir, buangan); dan
dangka (rangka, kotor). Tangtu dan pana mping berada di wilayah desa Kanekes,
sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Bila dilihat dari tingkat
ketaatan pada adat, maka tangtu lebih tinggi dari panamping, dan panamping
lebih tinggi dari dangka. Meski demikian, pengelompokan yang sering digunakan
adalah tangtu merujuk pada masyarakat Baduy Dalam, sedangkan panamping
dan dangka merujuk pada masyarakat Baduy Luar. Baduy Dalam (disebut juga
Baduy Jero, Urang kajeroan) sebagai pemegang adat yang teguh, memiliki tiga
kampung, yaitu (1) Cikeusik, disebut juga Tangtu Pada Ageung, (2) Cibeo,
disebut juga Tangtu Parahiyang, dan (3) Cikartawana, disebut juga Tangtu
Kujang. Ketiga kampung suci ini disebut juga sebagai telu tangtu (tiga tangtu).
Sebutan lain untuk masyarakat tangtu adalah Urang Rawayan. Menurut orang
Baduy sebutan itu disebabkan oleh adanya rawayan “jembatan” yang dilalui jika
keluar- masuk wilayah tangtu.
Jumlah perkampungan Baduy Luar terdiri dari 55 Kampung dalam Data
Penyebaran Penduduk Desa Kanekes Tahun 2008. Bila melihat Perda Kabupaten
Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Hak Ulayat Masyarakat Baduy, ada 51
15
Seluruh Perkampungan Baduy Luar tersebar di sebelah Barat, Timur, dan
Utara dari Baduy Dalam. Di sebelah Selatan tidak ada pemukiman/kampung,
kecuali Sasaka Domas tempat atau objek pemujaan yang dianggap paling suci
bagi Orang Baduy (Danasasmita, 1986; Garna, 1993,Permana,2001).
Tanah tempat masyarakat tangtu berdiam dianggap suci oleh orang
Baduy, oleh karenanya wilayah tangtu disebut daerah “Tanah Larangan”, yaitu
daerah yang dilindungi dan tidak boleh sembarangan orang masuk dan berbuat
sekehendak di wilayah tersebut. Ada beberapa hal yang ditabukan misalnya
dilarang menghidupkan peralatan elektronik seperti radio, bertelepon, memotret,
dan merekam baik audio maupun visual.
Penamping menurut orang Baduy, berasal dari kata tamping yang berarti
kata kerja ‘buang’; jadi penamping berarti ‘pembuangan’. Dengan kata lain,
penamping merupakan tempat bagi orang tangtu yang dibuang atau dikeluarkan
karena melanggar adat. Pendapat lain mengatakan bahwa penamping berarti
pinggir atau daerah pinggiran.
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yakni sistem
nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy
termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, setiap desa
terdiri atas sejumlah kampung.
Di daerah Baduy, kampung-kampug tersebut terbagi menjadi kampung
tangtu, kampung penamping, dan kampung dangka. Kecuali kampung tangtu,
terdapat juga RK (Rukun Kampung) yang disebut kokolot lembur. Desa Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah (awalnya disebut Jaro
Warega, dan pada zaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala
desa atau lurah desa lain, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat
yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut Puun.
Uniknya, bila desa lain dipilih oleh warga, untuk Desa Kanekes yang menunjuk
Puun, baru kemudian diajukan kepada Bupati melalui Camat untuk dikukuhkan
sebagai kepala Desa.
16
wilayah Baduy ada tiga, masing- masing Puun Cikeusik, Puun Cibeo, dan Puun
Cikartawana. Puun-Puun ini merupakan “tritunggal”, karena selain berkuasa di
daerah masing- masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan
pemerintahan tradisional. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga
Puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas berlainan.
Menurut Permana, (2006:34) wewenang Kepuunan Cikeusik menyangkut
urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan
upacara-upacara (seren tahun, kawalu, seba) dan memutuskan bagi para
pelanggar adat. Wewenang Kepuunan Cibeo menyangkut pelayan kepada warga
dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk pada urusan administrator tertib wilayah,
pelntas batas, dan berhubungan dengan daerah luar. Adapun wewenang Puun
Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan,
atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor
permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.
Para Puun dibantu oleh Jaro (pelaksana harian Kapuunan), Girang Seurat
(pemangku adat), Baresan (keamanan), dan Ta ngkesan (kepala dukun). Di Baduy
Luar tidak ada Puun, pemimpin tertinggi di sini dipegang oleh Jaro (sebagai
kepala kampung) beserta pembantu-pembantunya (Garna, 1993, Permana, 2001).
Dalam lembaga Kapuunan terdapat beberapa jabatan antara lain: Puun;
Girang Serat; Baresan; Jaro; Palawari; dan Tangkesan. Berikut penjelasan
singkat masing- masing jabatan, sebagaimana dikemukakan Permana
(2006:35-37), dan wawancara dengan Ayah Mursid (Wakil Jaro Tangtu) November 2008.
Puun merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. Menurut
pikukuh (peraturan adat), jabatan itu berlangsung turun temurun, kecuali bila ada
hal lain yang tidak mungkinkannya. Jabatan puun boleh diwariskan kepada
keturunannya atau kerabat dekatnya. Lama jabatan tidak ditentukan, pada
dasarnya dinilai berdasarkan ma mpu tidaknya seseorang menjalankan jabatannya.
Ada yang menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan mengundurkan diri
karena usia tua. Dalam wilayah tangtu, puun selalu berlaku formal, sehingga
berlaku “protokol” kapuunan, kecuali bila berada di ladang, ia yang akan berlaku
sebagai warga biasa. Oleh karena itu, untuk bertemu puun bukan dalam rangka
17
dengan jabatannya puun harus menempati “rumah dinas”. Lokasi rumah puun
berada di daerah sakral, yaitu terletak paling selatan di dalam suatu pemukiman,
tidak boleh ada rumah lain di selatan rumah puun.
Girang seurat, atau kadang disebut seurat saja, merupakan jabatan
tertinggi kedua setelah puun. Girang seurat merup akan “sekretaris” puun atau
pemangku adat dan juga bertugas mengurus huma serang ‘ladang bersama’ dan
menjadi penghubung serta pembantu utama puun. Setiap orang yang mau
bertemu puun harus melalui girang seurat. Tamu dari luar lebih sering dihadapi
girang seurat yang bertindak mewakili puun. Jabatan pembantu puun hanya ada
di tangtu Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di Cikartawana tugas tersebut
dilaksanakan oleh kokolot ‘tetua kampung’.
Baresan adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan
bertanggung jawab dalam bidang ketertiban. Mereka termasuk dalam anggota
sidang kapuunan atau semacam majelis yang berangotakan sebelas orang di
Cikeusik, sembilan orang di Cibeo, dan lima orang di Cikartawana. Mereka juga
dapat menggantikan puun menerima tamu ya ng akan menginap dan dalam
berbagai upacara adat.
Jaro, merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kepuunan. Tugas
jaro sangat berat karena meliputi segala macam urusan. Ada empat jabatan jaro,
yakni jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu bertugas sebagai pengawas pelaksana hukum adat warga
tangtu. Ia bekerjasama dengan girang seurat mendampingi puun dalam kegiatan
upacara adat atau menjadi utusan kepala adat ke luar Desa Kanekes.
Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan
leluhur yang berada di dalam dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas
menyadarkan kembali orang tangtu yang dibuang karena melanggar adat. Jaro
dangka berjumlah sembilan orang, yaitu tujuh orang berada di luar Desa, dan dua
lainnya berada di desa. Kesembilan jaro dan ditambah dengan tiga orang jaro
tangtu disebut dengan jaro duabelas, dikepalai oleh salah seorang diantaranya dan
disebut jaro tanggungan duabelas.
Jaro pamarentah bertugas sebagai penghubung antara pemerintahan adat
18
Desa Kanekes yang berkedudukan di Kaduketug. Dalam tugasnya ia dibantu
dengan pangiwa,carik, dan kokolot lembur.
Palawari, merupakan kelompok khusus (semacam panitia tetap) yang
bertugas pembantu, pesuruh, dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat.
Mereka mendapat tugas dari tangkesan mengenai hal- hal yang berkaitan dengan
persiapan dan pelaksanaan suatu upacara adat. Sewaktu melaksanakan upacara,
mereka inilah yang bertugas menyediakan makanan untuk semua petugas, dan
warga yang terlibat dalam upacara tersebut.
Tangkesan merupakan “menteri kesehatan” atau dukun kepala dan
sebagai “atasan” dari semua dukun yang ada di baduy. Dialah juru ramal bagi
segala aspek kehidupan orang baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang
pantas menjadi puun. Oleh karena itu, mereka menjabatnya harus cendikia dan
menguasai ilmu obat-obtan, dan mantera- mantera, serta memberi restu kepada
orang yang ingin menjadi dukun. Sekalipun tangkesan dapat memberi nasehat
pada puun dan menjadi tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat dipegang
oleh orang Baduy Luar, biasanya keturunan dari tangkesan sebelumnya.
Pada masyarakat Baduy dikenal beberapa istilah untuk menyebut dukun,
yaitu paraji ’dukun beranak’, panghulu (dukun khusus mengurus orang
meninggal), bengkong jalu (dukun sunat untuk pria), dan bengkong bikang
(dukun sunat untuk wanita). Berikut struktur kepemimpinan (pemerintahan
19
Keterangan :
--- : garis perintah dalam upacara adat ________________ : garis perintah dan konsultasi
Gambar 1. Struktur organisasi Komunitas Adat Baduy Sumber : Permana (2006)
Kepercayaan Orang Baduy
Pada dasarnya kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh
nenek moyang. Menurut Bupati Serang P.A.A. Djajadiningrat (1908),
berdasarkan keterangan dari kokolot kampung Cikeusik bernama Naseni, orang
Baduy bukanlah penganut agama Hindu, Budha, atau pun Islam, melainkan
animisme, yakni kepercayaan yang memuja roh atau arwah nenek moyang.
Hanya saja dalam kepercayaan tersebut sekarang telah dimasuki oleh
unsur-unsur agama Hindu dan juga Islam (Ekadjati, 1995:72).
Sebagian besar upacara keagamaan orang Baduy tidak lepas dari
hubungannya dengan padi dan perladangan. Sistem kalender atau penanggalan
orang Baduy pun berkaitan erat dengan tata urutan kegiatan mereka. Awal
penyiapan lahan ladang, yang dikenal dengan kegiatan narawas dan nyacar, juga
merupakan awal masuknya tahun baru orang Baduy, yaitu bulan kapat.
Puun
Jaro Tangtu
Kokolot Adat
Masyarakat Baduy Dalam
Girang Seurat Baresan
Jaro dangka/ jaro 12
Jaro Pamarentahan
Pangiwa & Carik
Masyarakat Baduy Luar tangkesan
20
Awal bulan pertama tiap permulaan tahun dalam istilah orang Baduy
sering dikatakan nanggalkeun kidung (awal kemunculan bintang kidang atau
bintang waluku). Menurut pengetahuan orang Baduy, awal tahun harus jatuh
pada saat matahari sedang berada di belahan bumi utara, yang dalam istilah
mereka disebut matapoe geus dengkek ngaler ‘matahari sudah condong ke utara’.
Saat itu keadaan tanah sudah “dingin” sehingga sudah siap untuk kegiatan
perladangan. Dalam penentuan waktu, orang Baduy juga menggunakan alat bantu
yang disebut kolenjer, yakni kalender tradisionil, terbuat dari kulit kayu,
berisikan penentuan hari, tanggal, bulan, dan tahun, bahkan juga dilengkapi
dengan ramalan-ramalan waktu dan arah yang baik dan buruk (Danasasmita dan
Djatisunda, 1986:39).
Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka
Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Objek pemujaan ini pada dasarnya sisa
peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan
sejumlah menhir dan arca di atasnya. Inilah yang dianggap oleh orang Baduy
sebagai tempat karuhun, nenek moyang, berkumpul.
Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy
adalah “tanpa perubahan apapun”, seperti tertuang dalam buyut titipan karuhun
(Garna, 1988:53, 1993:139)sebagai berikut:
Buyut nu dititipkeun ka puun Negara satelung puluh telu Bangsawan sawidak lima Pancer salawe nagara Gunung teu meunang dilebur Lebak teu meunang dirempak Buyut teu meunang dirobah Lojor teu meunang dipotong Pondok teu menang disambung Nu lain kudu di lainkeun Nu ulah kudu diulahkeun Nu enya kudu dienyakeun
(buyut yang dititipkan kepada puun
negara tigapuluhtiga sungai enampuluhlima pusat duapuluhlima negara gunung tak boleh dihancur lembah tak boleh dirusak larangan tak boleh dilanggar buyut tak boleh diubah panjang tak boleh dipotong pendek tak boleh disambung yang bukan harus ditiadakan yang lain harus dipandang lain yang benar harus dibenarkan.
Istilah buyut di sini mengandung pengertian semacam tabu atau
pantangan. Menurut orang Baduy buyut sesungguhnya berarti segala sesuatu
yang melanggar pikukuh, terbagi atas buyut adam tunggal dan buyut nahun.
21
kecuali) yang berlaku untuk orang tangtu, sedangkan buyut nahun merupakan
tabu berdasarkan hal- hal pokok saja dan berlaku untuk orang penamping atau
dangka. Contoh, tabu bagi orang tangtu mengolah pertanian menjadi sawah dan
menanam tanaman tertentu seperti kopi dan cengkeh; namun orang penamping
dan dangka, walaupun tabu pertanian bersawah diikuti, juga menanam kopi dan
cengkeh.
Konsep penting lain dari kepercayaan orang Baduy adalah karuhun dan
pikukuh adalah generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di
Sasaka Domas, yaitu tempat suci di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun
dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya, menengok keturunannya
melalui jalan hutan kampung (leuweung lembur), Para puun, menurut keyakinan
ini, bukan hanya pemimpin tertinggi melainkan merupakan keturunan karuhun
yang langsung mewakili mereka di dunia.
Dalam kaitan dengan konsep karuhun, ada konsep guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun makhluk-makhluk halus yang jahat. Adapun wangtua adalah roh atau penjelmaan roh ibu bapak yang sudah meninggal dunia (Garna, 1993a:140, 1994:15). Pikukuh, merupakan aturan dalam sunda wiwitan yang tidak terlepas dari ketentuan untuk (1) ngabaratakeun ’melakukan tapa terhadap inti jagat dan dunia’, (2) ngareremokeun ’menghormati dengan menjodohkan dewi padi yang disebut sanghyang asri’, dan (3) mengekalkan pikukuh dengan melaksanakan semua ketentuan yang ada (Garna, 1994:15).
Gejala Perubahan Sosial di Baduy
Tidaklah mudah untuk menggambarkan secara selintas tentang perubahan
sosial di Indonesia; mungkin lebih baik membahas tentang perubahan sosial
secara makro yang lebih berupa potret kelompok masyarakat. Kelompok yang
seringkali disebut ”masyarakat terpencil” dikategorikan sebagai masyarakat yang
tertinggal oleh proses perubahan sosial, atau yang relatif terbelakang
kehidupannya. Kelompok ini biasanya diangap tidak maju, alam pikirannya
bersahaya dan kuat memegang tradisi, bahkan diangap tak termasuk kelompok