• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan irigasi 6.771.826 hektar 341.327 1.178.548 719.173 6.052.653

(0,05%) (17,4%) (10,62) (89,38)

Bendung 11.547 buah 49 - - -

(0,24%)

Waduk 273 buah 14 5 - -

(5,1%) (1,8)

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Usaha tani padi cukup menguntungkan secara finansial serta memiliki keunggulan komparatif. Sistem pemasaran gabah – beras juga cukup efisien, namun dengan marjin pemasaran cenderung meningkat. Hal ini terutama adalah akibat dari peningkatan biaya transportasi dan refleksi dari struktur mata rantai pemasaran yang panjang. Isu kebijakan utama dalam hal pemasaran ialah menjaga stabilitas harga musiman.

Berdasarkan kecenderungan historis, dan bila program revitalisasi industri perberasan nasional tidak efektif, diperkirakan produksi beras akan mengalami pertumbuhan negatif pada periode 2006 – 2010. Produksi beras pada 2006 diperkirakan sebesar 30,6 juta ton dan turun menjadi 27,5 juta ton pada 2010. Dalam kondisi demikian Indonesia akan terpaksa mengimpor beras dalam jumlah yang semakin besar. Hal ini tentu akan berdampak negatif terhadap ketahanan pangan nasional, dan dapat mengganggu kestabilan harga (inflasi) mengingat peranan beras dalam penghitungan inflasi cukup besar (sekitar 5,2%).

Tabel 20. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Luas panen (000 ha) 11.731 11.732 11.600 11.444 11.264 11.059 Produktivitas (kg/ha) 4.587 4.574 4.535 4.467 4.372 4.250 Produksi gabah (000 ton) 53.814 53.063 51.896 56.319 48.352 46.025 Produksi beras* (000 ton) 30.609 30.182 29.518 28.621 27.503 - Total Konsumsi (000 ton) 31.130 31.528 31.935 32.254 32.479

Surplus (Defisit) (000 ton) (521) (1.346) (2.417) (3.633) (4.976)

*) Konversi gabah – beras = 0.632 dan hilang 10%.

Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Pada masa sebelum krisis, harga gabah tumbuh lebih cepat daripada harga beras. Sementara pasca krisis, harga gabah tumbuh lebih lambat dari harga beras. Hal ini menunjukkan ongkos pemasaran beras (termasuk laba pedagang) semakin tinggi. Harga gabah dan beras cenderung stabil pada periode tahun 2000-2004, tidak hanya dibanding masa krisis yang merupakan masa puncak instabilitas, tapi juga dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Harga gabah yang diterima petani jauh lebih tidak stabil daripada harga beras yang dibayar konsumen. Peningkatan pangsa harga konsumen yang diterima oleh petani padi (perbaikan efisiensi pemasaran) dan stabilisasi harga gabah yang diterima petani tersebut merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan produksi padi/beras dan meningkatkan pendapatan petani padi.

9.1.2. Komoditas Jagung

Produksi jagung terus mengalami pertumbuhan tinggi dan akseleratif. Pada periode 2000-2005, komoditas jagung secara rata-rata tumbuh 5,13% pertahun, atau meningkat dibandingkan 3,96% pada 1990-1999. Pertumbuhan produksi yang tinggi tersebut terutama berasal dari pertumbuhan produktivitas sebagai refleksi dari pesatnya inovasi teknologi. Berbeda dengan padi yang mengandalkan lembaga penelitian pemerintah, teknologi jagung terutama ditopang oleh sistem inovasi swasta, tepatnya perusahaan multi–nasional di bidang perbenihan dan agrokimia. Benih jagung hibrida dengan potensi produktivitas yang amat tinggi dan terus meningkat merupakan kunci dan akselerasi pertumbuhan produksi jagung.

Selain di didorong oleh inovasi teknologi, pertumbuhan produksi jagung yang akseleratif tersebut juga disebabkan oleh peningkatan permintaan jagung dalam negeri untuk industri pakan ternak. Industri pakan ternak berkembang pesat karena ditarik oleh pertumbuhan pesat usaha peternakan intensif, utamanya peternakan ayam ras. Permintaan jagung untuk pakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan usaha peternakan intensif. Selain itu, usahatani jagung tidak saja layak secara finansial, tetapi juga kompetitif sehingga jagung juga potensial untuk diekspor.

Masalah pokok sisi penawaran jagung ialah ketidakstabilan produksi, yang terutama berasal dari masalah luas panen. Luas panen tanaman jagung secara rata-rata tumbuh 0,8% pada 2000-2005, atau cenderung menurun dibandingkan 1,60% pada 1990- 1999, namun cenderung meningkat dibandingkan 0,63% pada 1970-1979. Akar penyebab turunnya luas panen jagung adalah berfluktuasinya harga jagung yang diterima petani sehingga pada saat harga jagung menurun, petani melakukan konversi tanahnya untuk komoditas lain . Dengan demikian, stabilisasi harga jagung di tingkat petani merupakan isu kebijakan pokok yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah.

Hasil proyeksi menunjukkan bahwa untuk periode tahun 2006 – 2010, produksi jagung akan terus tumbuh pesat dan akseleratif, melampaui laju peningkatan permintaan, sehingga akan terjadi surplus produksi yang semakin tinggi.

Tabel 21. Proyeksi Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

Luas panen (000 ha) 3.916 4.206 4.498 4.789 5.077 Produktivitas (kg/ha) 3.569 3.692 3.822 3.962 4.112 Produksi (000 ton) 13.978 15.527 17.194 18.978 20.875 Konsumsi (000 ton) 13.510 14.232 15.005 15.756 16.623 Surplus (defisit) (000 ton) 468 1.295 2.189 3.222 4.252 Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Harga jagung di tingkat konsumen meningkat lebih cepat daripada harga jagung di tingkat produsen. Pada tahun 1984-1989 harga gabah lebih tinggi 25% daripada harga jagung, namun pada tahun 2000-2004 selisih harga gabah dengan jagung kurang dari 8%, ini berarti insentif harga untuk usahatani jagung terus meningkat. Inilah salah satu alasan produksi jagung meningkat lebih cepat dalam tiga dekade terakhir. Sejak tahun 2000 harga jagung di tingkat produsen lebih stabil. Di sisi lain, harga jagung di tingkat konsumen semakin tidak stabil. Kecenderungan ini jelas tidak menguntungkan bagi konsumen jagung.

9.1.3. Komoditas Jeruk dan Pisang

Setelah mengalami penurunan produksi pada 1990-an, produksi jeruk meningkat pesat pada tahun 2000-an. Pada 1990-an, produksi jeruk rata-rata sebesar 502 ribu ton, meningkat pesat menjadi 1,2 juta ton pada 2000-an. Walaupun mengalami peningkatan produksi yang cukup signifikan, pengembangan komoditas jeruk masih menghadapi permasalahan yang cukup serius antara lain instabilitas produksi terutama gagal panen akibat serangan hama dan penyakit.

Walaupun lebih rendah dari periode 1990-1999, laju pertumbuhan produktivitas jeruk yang mencapai 9,48%, pada periode 2000-2004 sudah tergolong tinggi, yaitu dengan produktivitas sebesar 22,28 ton per hektar.

Masalah daya saing jeruk tidak terletak pada ongkos produksi tetapi pada mutu yang masih rendah. Selain itu, usahatani jeruk juga membutuhkan modal investasi yang cukup besar sementara pada umumnya petani tidak punya akses terhadap lembaga perbankan.

Hasil proyeksi menunjukkan bahwa berdasarkan data historis peningkatan produksi jeruk lebih cepat dari peningkatan permintaan domestik sehingga Indonesia akan surplus jeruk

dalam jumlah yang terus meningkat. Hal ini dapat pula dipandang sebagai peluang untuk mengembangkan industri pengolahan jeruk dalam negeri dan memacu ekspor jeruk.

Tabel 22. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Jeruk dan Pisang

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010 1. Jeruk Produksi (000 ton) Konsumsi (000 ton) Surplus (defisit) 3.275 2.446 829 4.242 2.622 1.620 5.617 2.825 2.792 7.609 3.056 4.553 10.511 3.306 7.205 2. Pisang Produksi (000 ton) Konsumsi (000 ton) Surplus (defisit) 5.174 5.131 43 5.331 5.264 67 5.492 5.401 91 5.659 5.542 117 5.830 5.686 14 Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Setelah terus menurun selama periode tahun 1984-1999, stabilitas harga jeruk di tingkat produsen meningkat tajam pada periode tahun 2004-2005. Berbeda dengan di tingkat konsumen, stabilitas harga jeruk di tingkat produsen adalah yang terburuk selama dua dekade terakhir. Secara umum dapat dikatakan bahwa harga jeruk di tingkat produsen cenderung makin stabil pada level riil yang rendah. Kecenderungan demikian tentu tidak kondusif bagi upaya pemacuan produksi jeruk di dalam negeri.

Marjin pemasaran jeruk secara riil meningkat secara tajam pada periode 2000-2004, hal ini mengindikasikan semakin menurunnya pangsa harga konsumen yang diterima oleh petani jeruk. Pada tahun 2000, pangsa harga konsumen yang diterima oleh petani jeruk adalah sebesar 90% dan turun menjadi hanya sekitar 74% pada tahun 2004. Faktor lain yang cukup signifikan meningkatkan marjin pemasaran jeruk adalah retribusi daerah, pungutan tidak resmi dan pola perdagangan jeruk antar daerah yang meningkatkan ongkos transportasi.

Tabel 23. Kinerja Komoditas Jeruk dan Pisang

URAIAN 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2004

Dalam dokumen Penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian (Halaman 53-58)

Dokumen terkait