• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHUN PERKEBUNAN RAKYAT (PR)

Dalam dokumen Penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian (Halaman 70-82)

PERKEBUNAN MILIK NEGARA (PBN) PERKEBUNAN BESAR SWASTA (PBS) JUMLAH 1996 1.133 1.707 2.058 4.898 1997 1.283 1.587 2.579 5.449 1998 1.345 1.501 3.084 5.930 1999 1.544 1.468 3.439 6.451 2000 1.906 1.461 3.644 7.011 2001 2.798 1.519 4.079 8.396 2002 3.426 1.608 4.588 9.622 2003 3.517 1.750 5.173 10.44 2004 3.745 1.981 6.079 11.80 2005*) 3.873 2.049 6.528 12.45 Pertumbuhan (%/th) 14,63 2,05 13,69 10,92

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2006) Keterangan : *) Sementara

Konsumsi domestik CPO yang merupakan komoditas primer masih belum berkembang. Konsumsi CPO di dalam negeri sebagian besar untuk pangan (80%-85%) dan sisanya

industri oleokimia (15%-20%). Pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,07% per tahun. Laju pertumbuhan konsumsi CPO dunia diproyeksikan mencapai sekitar 5,0% per tahun hingga tahun 2010. Peningkatan yang signifikan terutama akan terjadi pada negara yang sedang berkembang seperti di China, Pakistan, dan juga Indonesia. Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan konsumsi dengan laju sekitar 8% per tahun, sedangkan China, Eropa Barat, dan Pakistan diproyeksikan akan tumbuh dengan laju masing-masing 7,4%, 6,7%, 7,7% per tahun.

Tabel 28. Perkembangan Konsumsi CPO Indonesia Tahun 1996–2005

TAHUN KONSUMSI (JUTA TON) JUMLAH PENDUDUK (JUTA) KONSUMSI/KAPITA (KG) 1996 2,53 198.320 12,76 1997 2,84 201.353 14,10 1998 2,83 204.393 13,85 1999 2,90 206.517 14,04 2000 2,93 205.843 14,23 2001 2,86 208.725 13,70 2002 2,93 212.003 13,82 2003 3,17 215.286 14,72 2004 3,36 217.854 15,42 2005 3,57*) 219.142 16,29 Pertumbuhan (%/tahun) 3,90 1,12 2,75

Sumber: ISTA Mielke GmbH (2005) dan Badan Pusat Statitistik (2006), diolah. Keterangan : *) Sementara

Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional (CIF Rotterdam) sejak tahun 1996 sampai dengan 2005 menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional. Walaupun terdapat pengaruh musim, pembentukan harga CPO internasional yang dilakukan melalui mekanisme pasar bebas dan berpusat di Rotterdam sangat ditentukan oleh penawaran dan permintaan CPO internasional, disamping terkait dengan harga minyak nabati lain (minyak kedele) dan pergerakan harga sebelumnya. Harga CPO di Rotterdam ini menjadi rujukan bagi pembentukan harga di pasar domestik (Jakarta dan Medan), termasuk di bursa komoditas.

Dalam kaitan kebijakan, berbagai kebijakan areal dan produksi telah diterapkan oleh pemerintah. Pola-pola lama yang sudah tidak dilanjutkan lagi diantaranya adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR), dan Perkebunan Besar Nasional (PBN). Pengembangan perkebunan saat ini dilakukan melalui penerapan 5 pola, yaitu (1) pola koperasi usaha perkebunan (Pola KUP), (2) pola patungan koperasi sebagai majoritas pemegang saham

dan investor sebagai minoritas pemegang saham (Pola Pat K-I), (3) pola patungan investor sebagai mayoritas pemegang saham dan koperasi sebagai minoritas pemegang saham (Pola Pat I-K), (4) pola built, operated, and transferred (Pola BOT), dan (5) pola bank tabungan negara (Pola BTN). Pola pengembangan perkebunan ini lebih berdimensi pada penerapan nilai keadilan dan sekaligus pula mengutamakan efisiensi, produktivitas, dan peran serta masyarakat dalam satu paket kebijakan. Indonesia juga telah memiliki Undang-undang khusus tentang perkebunan, yaitu UU No. 18 Tahun 2004 disamping aturan perundang-undangan lainnya.

9.2.4. Komoditas Karet

Areal karet Indonesia terluas di dunia, dengan luas areal mencapai sekitar 3,28 juta hektar pada tahun 2005. Perkebunan karet di Indonesia sebagian besar diusahakan oleh perkebunan karet rakyat (85%), dan sisanya merupakan perkebunan besar swasta dan negara. Perkebunan karet rakyat tersebar di 12 propinsi di Indonesia, namun propinsi utama karet rakyat Indonesia adalah Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara.

Dari sisi produksi, Indonesia merupakan negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand, dengan produksi sekitar 2,27 juta ton pada tahun 2005. Perkebunan karet rakyat memberikan kontribusi produksi sekitar 81% (1,7 juta ton), sementara produksi perkebunan besar negara dan swasta masing-masing mencapai sekitar 197 ribu ton (9%), dan 208 ribu ton (10%).

Pertumbuhan produksi karet alam Indonesia menunjukkan respon sejalan dengan perkembangan harga karet alam dunia. Pada periode tahun 1982–2000 dimana harga karet alam dunia masih relatif rendah, pertumbuhan produksi karet alam Indonesia rata- rata adalah sekitar 3,8% per tahun. Sementara itu pada periode 2000-2005, dimana harga karet alam dunia telah melonjak cukup tinggi, pertumbuhan produksi karet alam Indonesia meningkat tajam sekitar 8,7% per tahun.

Tabel 29. Luas Areal dan Produksi Karet 1999 – 2004

TAHUN LUAS AREAL

(000 HA) PRODUKSI (000 TON) PRODUKTIVITAS (KG/HA/TH) 2000 3.372 1.501 646 2001 3.345 1.607 686 2002 3.318 1.630 696 2003 3.290 1.792 764 2004 3.262 2.066 839 2005 3.279 2.271 842

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

Sebagai negara produsen karet alam terbesar kedua di dunia, Indonesia berpotensi besar untuk menjadi produsen utama dalam dekade mendatang. Hal ini sangat mungkin dicapai karena Indonesia mempunyai potensi sumberdaya yang sangat memadai untuk meningkatkan produksi, baik melalui pengembangan areal baru maupun peningkatan produktivitas dengan meremajakan areal tanaman karet tua dengan menggunakan klon- klon unggul terbaru.

Konsumsi karet alam domestik relatif masih relatif rendah bila dibandingkan dengan negara-negara produsen karet alam dunia lainnya. Pada tahun 2004 konsumsi domestik baru mencapai sekitar 196 ribu ton (sekitar 9,5% dari total produksi), atau meningkat sekitar 25% dari konsumsi tahun 2003. Konsumsi karet alam domestik pada tahun 2005 meningkat menjadi sekitar 217 ribu ton (9,7%), dan pada tahun 2006 diperkirakan menjadi sekitar 242 ribu ton. Secara umum, tingkat pertumbuhan konsumsi karet alam domestik selama enam tahun terakhir (2000–2005) adalah sekitar 9,72%.

Tabel 30. Produksi dan Konsumsi Karet Indonesia, 2000 – 2005

TAHUN PRODUKSI (000 TON) KONSUMSI (000 TON)

2000 1.501 139 (9,26) 2001 1.607 142 (8,84) 2002 1.630 145 (8,89) 2003 1.792 156 (8,70) 2004 2.066 196 (9,49) 2005 2.271 221 (9,73) Pertumbuhan (%/thn) 8,63 9,72 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

Harga karet alam di pasar internasional sangat berfluktuasi. Dalam satu dasawarsa terakhir, harga karet alam pernah mencapai titik terendah pada bulan Nopember 2001, yang mencapai sekitar USD0,46 cent/kg. Menurunnya harga karet alam dunia sejak pertengahan tahun 1997 mendorong ketiga negara produsen utama karet alam dunia yakni Thailand, Indonesia dan Malaysia untuk melakukan kerjasama tripartite dibidang produksi dan pemasaran karet alam. Seiring dengan terbentuknya kerjasama tripartite antara tiga negara produsen karet alam dunia tersebut, harga karet alam di pasaran dunia memperlihatkan kecenderungan yang membaik.

Agar diperoleh percepatan pembangunan agribisnis perkaretan nasional diperlukan dukungan kebijakan sebagai berikut: 1) Penciptaan iklim investasi yang makin kondusif antara lain melalui pemberian kemudahan dalam proses perijinan; pembebasan pajak (tax holiday) selama tanaman atau pabrik belum berproduksi; pemberian rangsangan kepada perajin industri hilir karet untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan mempunyai prospek pasar yang cerah; penciptaan perangkat kepastian hukum dan keamanan baik untuk usaha maupun lahan bagi perkebunan; penghapusan berbagai pungutan dan pemberian keringan beban yang memberatkan pelaku agribisnis karet; menghilangkan hambatan yang mengganggu mekanisme pasar melalui pemerataan pembangunan infrastruktur dan penciptaan regulasi yang kondusif bagi pembangunan perkebunan, misalnya melalui penyederhanaan prosedur/birokrasi dan keringanan pajak; 2) Pengembangan sarana dan prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat transportasi, komunikasi, dan sumber energi (tenaga listrik); 3) Penyediaan dana pengembangan komoditas dengan menghidupkan kembali pungutan dari hasil produksi/ekspor karet yang sangat diperlukan untuk membiayai pengembangan industri hilir, peremajaan, promosi dan peningkatan kapasitas SDM karet serta penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perkaretan.

9.2.5. Komoditas Kakao

Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat selama 20 tahun terakhir khususnya areal perkebunan kakao rakyat. Areal perkebunan kakao berkembang cukup pesat dari 92.797 ha pada tahun 1985 menjadi 992.191 ha pada tahun 2004 atau berkembang lebih dari 10 kali lipat dalam waktu 19 tahun.

Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kakao Indonesia meningkat pesat dari 33.798 ton tahun 1985 menjadi 650 ribu ton tahun 2004 atau meningkat lebih dari 19 kali lipat dalam waktu 19 tahun. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi kakao tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ke tiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Perkebunan kakao Indonesia sebagian besar (89,6%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 5,0% dikelola perkebunan besar negara serta 5,4% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Irian Jaya dan Lampung. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara khususnya di Jawa Timur dan Sumatera Utara.

Konsumsi kakao/cokelat Indonesia relatif masih sangat rendah dan baru bangkit setelah mengalami kemerosotan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Pada tahun 1996/97 dan 1997/98, konsumsi cokelat Indonesia sebesar 12 ribu ton, kemudian turun menjadi 9 ribu ton pada tahun 1998/99 dan 8,4 ribu ton pada tahun 1999/00. Selanjutnya konsumsi cokelat berangsur-angsur naik hingga mencapai 12 ribu ton pada tahun 2003/04. Dengan total konsumsi sebesar 12 ribu ton tersebut berarti konsumsi cokelat per kapita masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah yaitu 0,055 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut sangat jauh dibawah tingkat konsumsi rata- rata kakao dunia yang mencapai 0,565 kg/kapita/tahun.

Tabel 31. Perkembangan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia PRODUKSI (TON) TAHUN PR PBN PBS JUMLAH 1970 487 1.061 190 1.738 1975 801 3.074 46 3.921 1980 1.058 8.410 816 10.284 1985 8.997 20.512 4.289 33.798 1990 97.418 27.016 17.913 142.347 1995 231.992 40.933 31.941 304.866 2000 363.628 34.790 22.724 421.142 2001 476.924 33.905 25.975 536.804 2002 511.379 34.083 25.693 571.155 2003 634.877 32.075 31.864 698.816 2004* 585.955 32.881 32.042 650.878 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

Keterangan: *) data sementara, PR = Perkebunan Rakyat,

PBN= Perkebunan Besar Negara, PBS = Perkebunan Besar Swasta.

Di Indonesia, kakao merupakan salah satu komoditas yang tidak diatur tataniaganya oleh pemerintah, sehingga harga kakao di tingkat petani ditentukan oleh mekanisme pasar dan petani juga bebas menjual hasil panennya. Meskipun demikian, struktur pasar komoditas kakao yang terbentuk cukup bervariasi dari yang bersifat monopsoni sampai bersaing bebas.

Pembentukan harga kakao dunia ditentukan oleh tingkat produksi, konsumsi biji kakao dan posisi stok kakao dunia. Perkembangan harga kakao dunia sangat tergantung pada perkiraan dari masing-masing variabel penentu harga kakao tersebut. Apabila perkiraan produksi konsumsi menunjukkan adanya surplus, maka harga kakao dunia bergerak turun dan sebaliknya harga kakao dunia bergerak naik jika produksi konsumsi diperkirakan mengalami defisit.

Kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas kebun dapat dilakukan melalui rehabilitasi dan intensifikasi serta perluasan areal dengan menggunakan klon unggul. Rehabilitasi kebun dapat dilakukan dengan cara sambung samping ataupun penyulaman kebun dengan bahan tanam klon unggul. Sementara, intensifikasi dilakukan dengan penerapan sistem budidaya sesuai dengan anjuran khususnya pemberian pupuk, pemangkasan bentuk dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman secara terpadu dan menyeluruh.

Selanjutnya, permasalahan rendahnya mutu produksi kakao berkaitan dengan masalah sosial ekonomi petani, insentif harga dan ketersediaan sarana pengolahan ditingkat petani. Untuk mengatasi permasalahan ini, selain perlu adanya bantuan teknis dan pendanaan, juga perlu dukungan kebijakan. Program perbaikan mutu produksi dilakukan dengan penerapan SNI wajib fermentasi biji kakao. Program penerapan SNI wajib dapat dilaksanakan setelah fasilitas pendukungnya terpenuhi. Disamping itu perlu adanya program pendampingan dan mediasi agar pelaku bisinis khususnya pedagang kakao mau memberikan insentif yang wajar bagi petani yang melakukan upaya perbaikan mutu kakao. Upaya perbaikan mutu tersebut perlu diikuti dengan program atau penyusunan rencana kerja untuk meniadakan potongan harga otomatis (automatic detention).

9.2.6. Komoditas Tebu

Secara nasional total areal dan produksi tebu berkembang sangat dinamis mengikuti dinamika berbagai faktor ekonomi, sosial, dan politik. Sejalan dengan kebijakan pergulaan yang bersifat suportif dan stabilisasi (1970–1996), pemerintah berusaha mendorong perkembangan areal dan produksi tebu/gula. Pada tahun 1985 areal tebu sudah mencapai 340.229 ha dan terus meningkat mencapai puncaknya tahun 1996 mencapai 446.533 ha, atau meningkat dengan laju 5,2% per tahun. Produksi juga meningkat secara konsisten dengan laju 2,8% per tahun. Namun produktivitas dalam bentuk rendemen cenderung menurun dengan laju –1,4% per tahun. Produksi gula nasional kembali mencapai puncaknya pada tahun 1994 dengan volume produksi 2,4 juta ton. Pada tahun 2005, produksi meningkat dengan laju 8,5% per tahun.

Konsumsi gula di sisi lain terus meningkat, kecuali pada masa krisis ekonomi yang mengalami penurunan. Secara umum, konsumsi gula meningkat dengan laju 3,4% per tahun selama periode stabilisasi. Ketika krisis ekonomi terjadi, konsumsi menjadi stagnan, bahkan menurun dengan laju –0,2% per tahun pada periode 1997-2002. Setelah perekonomian nasional pulih kembali, konsumsi gula mulai meningkat dengan laju 1,98% per tahun pada periode 2002–2005. Pada tahun 2005 konsumsi mencapai 3,5 juta ton dan konsumsi per kapita pada kisaran 16,0 kg per kapita.

Sebelum liberalisasi industri gula nasional yang dimulai tahun 1997, harga gula di tingkat petani ditentukan oleh pemerintah melalui Bulog yang dikenal sebagai harga provenue. Harga provenue ditetapkan pemerintah dengan mempertimbangkan target harga eceran, inflasi, biaya transpor, dan harga pupuk. Jika inflasi meningkat sebesar 1% maka harga tingkat petani meningkat sekitar 0,84%, jika harga pupuk naik sebesar 1% maka harga tingkat petani juga meningkat sekitar 0,60%. Pada tahun 1998–2002, pemerintah

melepas harga gula petani pada mekanisme pasar bebas yang mengacu pada harga gula di pasar internasional. Selanjutnya pemerintah menerapkan kebijakan tataniaga impor gula pada bulan September 2002 yang mengubah pembentukan harga di tingkat petani seperti harga provenue, disebut harga patokan petani (HPP) yang merupakan harga gula minimum di tingkat petani. HPP tersebut dijamin oleh perusahaan swasta yang bekerja sama dengan kelembagaan petani dan PTPN.

Mekanisme dan perkembangan harga gula eceran pada dasarnya identik dengan yang terjadi pada harga tingkat petani. Sampai dengan tahun 1997 harga eceran tetap di bawah kendali pemerintah sehingga harga eceran pada dasarnya sama dengan harga provenue ditambah dengan biaya pemasaran. Dengan demikian, harga eceran menjadi stabil terkendali dengan laju peningkatan sama dengan harga provenue sekitar 6,6% per tahun. Setelah tahun 1997, pembentukan harga di tingkat eceran lebih banyak ditentukan oleh harga gula impor, walaupun HPP yang ditentukan pemerintah juga mempunyai pengaruh.

Harga gula di pasar internasional cukup fluktuatif. Harga gula yang tinggi terjadi pada awal tahun 1970-an dan tertinggi terjadi pada tahun 1974 yaitu sebesar USD 660/ton. Pada dekade terakhir sebelum 2004, harga gula cenderung menurun dengan laju penurunan sekitar 6,97% per tahun. Penurunan harga yang berkepanjangan ini terutama disebabkan oleh peningkatan stok gula dunia sebagai dampak dari proteksi dan subsidi yang dilakukan beberapa negara. Harga terendah pada dekade terakhir terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar USD 114/ton.

Semenjak tahun 2004, industri gula dunia mulai mengalami titik balik yang ditunjukkan oleh peningkatan harga gula yang dipicu oleh defisit stok gula dunia antara 1–3 juta ton dan harga minyak bumi yang melambung diatas USD 70/barrel. Melambungnya harga minyak bumi tersebut telah mendorong penggunaan tebu sebagai bahan bakar alternatif (etanol), terutama oleh negara Brazil. Pada tahun 2006, harga gula melambung tinggi di atas USD400/ton.

Tabel 32. Luas Areal Tebu dan Produksi Gula Berdasarkan Propinsi AREAL (HA) PRODUKSI (TON) PROPINSI 1980 2005 PANGSA 2005 (%) 1980 2005 PANGSA 2005 (%) Jawa Timur 193.071 179.708 47,0 892.790 1.092.640 48,7 Jawa Tengah 62.309 32.613 8,5 358.529 152.236 6,8 Jawa Barat 21.008 22.726 5,9 68.240 123.110 5,5 DI Yogyakarta 5.550 9.339 2,4 26.028 30.423 1,4 Jawa 281.938 244.386 64,0 1.345.587 1.398.409 62,4 Lampung 12.237 102.848 26,9 38.693 694.192 31,0 Sumatera Selatan 0 12.297 3,2 0 55.637 2,5 Sumatera Utara 453 9.359 2,4 332 40.636 1,8 Sulawesi Selatan 5.244 5.472 1,4 26.314 26.162 1,2 Lainnya 16.045 7.721 2,0 32.674 27.275 1,2 Luar Jawa 33.979 137.697 36,0 98.013 843.902 37,6 Indonesia 315.917 382.083 100,0 1.443.600 2.242.311 100,0 Sumber : Ditjenbun (2005), diolah

Beberapa kebijakan berkaitan dengan komoditas tebu yang dapat dilakukan antara lain kebijakan perdagangan, kebijakan infrastruktur, kebijakan pendanaan dan investasi dalam penyediaan sarana produksi.

9.3. Gambaran Umum Subsektor Perikanan dan Komoditas Unggulannya

Indonesia merupakan negara maritim dengan potensi perikanan yang sangat besar. Sekitar 70% dari luas wilayah adalah lautan, dengan cakupan area mencapai sekitar 5,8 juta km2, yang membuat garis pantai sepanjang 81.000 km dan mengelilingi lebih dari 18.000 pulau. Didukung oleh iklim dan keadaan geografisnya, Indonesia memiliki keanekaragaman dan produktivitas biota laut yang tinggi. Dari berbagai komoditas yang potensinya yang telah berhasil diidentifikasi, diperkirakan perairan Indonesia mampu memproduksi 6,4 juta ton ikan pertahun. Di antara komoditas-komoditas tersebut, banyak di antaranya yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, misalnya tuna, udang, dan rumput laut. Apabila dikelola dengan baik, komoditas-komoditas tersebut mampu menopang peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.

Selama kurun waktu lebih dari 20 tahun terakhir, penawaran maupun permintaan ketiga komoditas tersebut (udang, tuna dan rumput laut) cenderung terus menunjukkan peningkatan. Rata-rata pertumbuhan produksi ketiga komoditas tersebut masing-masing sebesar 3,22%; 2,78%, dan 11,79%. Sementara itu, permintaan ketiga komoditas tersebut mengalami peningkatan masing-masing sebesar 2,10%, 3,02%, dan 10,07%.

Hasil analisis Tabel I-O memperlihatkan bahwa peran ekonomi dari kegiatan usaha komoditas udang, tuna dan rumput laut memiliki keterkaitan (linkages) yang tinggi dengan sektor ekonomi lainnya dalam perekonomian nasional baik secara keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun keterkaitan ke depan (forward linkages). Besaran nilai rata-rata koefisien keterkaitan ke belakang (backward linkages) untuk udang, tuna dan rumput laut adalah masing-masing 1,46, 1,34, dan 1,44. Sementara rata-rata koefisien keterkaitan ke depan (forward linkages) masing-masing mendekati nilai 1.

Ketiga komoditas revitalisasi perikanan tersebut juga memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar dari rata-rata dunia. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) menunjukkan bahwa nilai indeks RCA untuk komoditas udang, tuna dan rumput laut adalah berturut-turut sebesar 2,97; 8,43 dan 29,81). Angka-angka RCA yang kesemuanya lebih besar dari satu menunjukkan bahwa berdasarkan pemetaan daya saing ketiga komoditas unggulan tersebut memiliki keunggulan komparatif yang sangat baik dalam perdagangan internasional.

Hasil-hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah untuk merevitalisasi industri perikanan dengan menempatkan udang, tuna dan rumput laut sebagai komoditas unggulan merupakan hal yang tepat. Hal ini membawa implikasi perlunya dukungan upaya pengembangan investasi usaha budidaya dan penangkapan ketiga komoditas unggulan tersebut termasuk usaha-usaha turunannya seperti usaha di industri pengolahan hasil perikanan maupun perdagangan ekspor komoditas perikanan.

Terlepas dari berbagai potensi di atas, sektor perikanan masih menghadapi beberapa kendala seperti minimnya infrastruktur khusus perikanan seperti pelabuhan, stasiun penyediaan bahan bakar solar, irigasi perikanan.

Selain itu, petani/nelayan seringkali dihadapkan kepada kesulitan untuk menyediakan agunan dalam jumlah tertentu sebagai jaminan kepada pihak perbankan pada saat mengajukan kredit permodalan. Resiko produksi pada bisnis perikanan menyangkut siklus produksi perikanan yang musiman, sehingga hasilnya seringkali tidak dapat diperhitungkan dengan pasti. Hal inilah yang menyebabkan pihak perbankan enggan menyediakan modal bagi perkembangan bisnis di sektor tersebut. Di samping resiko produksi yang tergantung musim terutama hasil perikanan tangkap, juga mengandung resiko harga yang tinggi. Tidak adanya kepastian harga dan sangat berfluktuatif menyebabkan pendapatan nelayan dan petani ikan tidak dapat diperkirakan dengan tepat. Karakteristik resiko pada bisnis perikanan yang demikian dan disertai dengan status ekonomi petani ikan dan nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu secara

ekonomi, membuat mereka sulit untuk memenuhi syarat-syarat perbankan. Untuk mengatasi masalah permodalan tersebut perlu dipertimbangkan bentuk alternatif pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik usaha perikanan.

9.3.1. Komoditas Tuna

Komoditas Tuna (termasuk cakalang) adalah salah satu komoditas unggulan di sektor perikanan. Tingkat produksi Tuna masih sangat mungkin untuk ditingkatkan, terutama di kawasan Timur Indonesia, meskipun pengembangan komoditas ini harus dilakukan dengan selektif karena data menunjukkan bahwa usaha penangkapan sejumlah jenis tuna, khususnya tuna besar telah menunjukkan penurunan.

Potensi ikan pelagis besar (termasuk tuna) secara nasional mencapai 1.165,36 ribu ton. Sumberdaya tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dimasa mendatang bagi kepentingan pembangunan perikanan nasional. Dari 9 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia, semua WPP -selain WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa- sebagian besar masih memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Di WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa, tingkat pemanfatan sudah melebihi potensi yang ada (overfishing). Potensi ikan pelagis besar di WPP Selat Malaka mencapai 27,67 ribu ton sedangkan tingkat produksinya telah mencapai 36,27 ribu ton. Begitu pula halnya yang terjadi di WPP Laut Jawa, produksi ikan pelagis besar mencapai 137,82 ribu ton sedangkan potensinya hanya sekitar 55 ribu ton.

Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil tangkapan tuna, berkembang pula industri pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang merupakan sentra pendaratan tuna seperti Muara Baru-Jakarta, Pelabuhan Ratu–Jawa Barat, Cilacap-Jawa Tengah, Benoa–Bali dan Bitung–Sulawesi Utara. Industri pengolahan dimaksud pada umumnya mengolah tuna menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted); produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin) dan steak (frozen steak); dan produk dalam kaleng (canned tuna).

Konsumsi tuna pada tahun 2006 sebesar 629.782 ton, diproyeksikan meningkat menjadi 694.943 ton pada tahun 2009. Sedangkan ekspor tuna pada tahun 2006 sebesar 113.293 ton, pada tahun 2009 meningkat menjadi 134.673 ton. Dengan demikian, permintaan total tuna pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar 743.460 ton, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 829.616 ton.

Harga domestik tuna di Indonesia, disamping dipengaruhi oleh harga ekspor dan nilai tukar rupiah terhadap USD juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak

yang berdampak mengurangi supply tuna. Hal yang sama juga terjadi pada saat nilai tukar rupiah terhadap USD meningkat, dimana volume ekspor tuna meningkat, dan supply domestik berkurang, untuk kemudian mendorong peningkatan harga domestik. Tabel 33. Proyeksi Produksi Tuna, Cakalang dan Tongkol, Tahun 2005-2009

TAHUN

Dalam dokumen Penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian (Halaman 70-82)

Dokumen terkait