• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN 1970-1979 1980-1989 1990-1999 2000-2004 1 Jeruk

Dalam dokumen Penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian (Halaman 58-70)

Luas Panen (ha) 35.156 64.494 45.512 49.781 Produktivitas (ton/ha) 5,21 7,06 12,34 22,28 Pertumbuhan (%/thn) 4,77 -3,10 12,50 9,48 2. Pisang

Luas Panen (ha) 253.253 162.873 78.309 81.267 Produktivitas (ton/ha) 7,16 12,83 44,09 53,07 Pertumbuhan (%/thn) 3,22 7,15 10,27 1,30 Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Laju pertumbuhan produksi pisang terus meningkat secara konsisten. Masalah pokok pada aspek produksi pisang ialah sifat produsennya yang dominan, usahatani keluarga dan posisi usahatani pisang sebagai usahatani sampingan saja. Selain itu, tanaman pisang juga amat rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Dengan sifat demikian, tanpa ada upaya khusus, peningkatan produksi pisang diperkirakan akan tetap lambat dan tidak secepat laju peningkatan permintaannya.

Produktivitas komoditas pisang pada periode 2000-2004 mengalami peningkatan sebesar 1,3% per tahun, atau jauh menurun dari sebesar 10,27% per tahun pada 1990-1999.

Harga riil pisang cenderung meningkat konsisten baik di tingkat konsumen maupun di tingkat produsen. Harga pisang di tingkat konsumen meningkat lebih cepat daripada di tingkat produsen yang mengindikasikan peningkatan marjin pemasaran. Kecenderungan harga pisang ditingkat produsen yang semakin stabil dan meningkat secara riil merupakan indikasi prospek pasar yang baik untuk usahatani pisang. Insentif harga tersebut diperkirakan akan berperan signifikan dalam mendorong peningkatan produksi pisang di masa mendatang. Namun demikian, peningkatan harga produsen yang lebih lambat dan lebih stabil dari harga konsumen merupakan indikasi ketidaksempurnaan pemasaran pisang.

9.1.4. Komoditas Unggas (Ayam)

Usaha ternak ayam ras pedaging baru berkembang pada pertengahan 1970-an, tumbuh amat cepat dan kini menjadi tulang punggung subsektor peternakan. Setelah mengalami masa krisis pada periode 1998 – 1999, usaha ternak ayam ras pedaging kini telah pulih total dan tumbuh amat pesat. Usaha ternak ayam ras terutama ditopang oleh sektor swasta baik dari segi inovasi teknologi maupun dari segi modal dan pemasaran. Usahatani dapat berkembang pesat atas kemampuan sendiri dengan fasilitasi terbatas dari pemerintah.

Tabel 24. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Ayam Ras Pedaging

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi (000 ton) 1.079 1.361 1.774 2.396 3.358 Konsumsi (000 ton) 1.150 1.535 2.094 2.918 4.107 Surplus (defisit) (71) (174) (320) (522) (649) Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Harga ayam di tingkat pedagang besar pada lima tahun terakhir cenderung tidak stabil. Ketidakstabilan harga ayam di tingkat konsumen meningkat jauh lebih kecil dari harga di tingkat pedagang besar. Ini mengindikasikan adanya ketidaksempurnaan pasar. Instabilitas harga yang tinggi merupakan resiko pasar yang tidak kondusif bagi perkembangan usaha ternak ayam.

9.1.5. Komoditas Sapi

Produksi daging sapi potong meningkat relatif lebih lambat dibandingkan peningkatan permintaan. Kondisi ini menyebabkan impor daging sapi mengalami peningkatan. Masalah pokok untuk komoditas sapi potong adalah penurunan laju pertumbuhan populasi yang berkelanjutan sejak dekade 1980-an. Bahkan pada periode tahun 2000-an, populasi sapi potong menurun secara absolut.

Usahaternak sapi potong didominasi oleh usahaternak tradisional dan pada umumnya hanya sebagai usaha sampingan. Usahaternak sapi potong cukup menguntungkan secara finansial, namun membutuhkan modal yang cukup besar, sementara peternak tidak memiliki akses terhadap kredit perbankan. Semakin terbatasnya padang penggembalaan juga merupakan kendala utama bagi usaha ternak sapi potong.

Hasil proyeksi menunjukkan bahwa tanpa ada upaya yang dapat meningkatkan produksi secara signifikan, Indonesia akan terus mengalami defisit daging sapi dalam jumlah yang semakin besar dan ketergantungan impor yang semakin tinggi.

Tabel 25. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Sapi

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi (000 ton) 372 380 388 396 405 Konsumsi (000 ton) 513 547 587 633 684 Surplus (defisit) (141) (167) (199) (237) (279) Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Khusus untuk daging sapi, data yang digunakan adalah harga perdagangan besar di tiga propinsi produsen utama, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Harga perdagangan besar di daerah produsen utama dipandang berkorelasi kuat dan oleh karenanya dapat mengindikasikan dinamika dari harga sapi di tingkat produsen (peternak). Harga konsumen diwakili oleh data di Jakarta yang merupakan konsumen utama daging sapi. Jakarta merupakan daerah pemasaran sapi dari berbagai propinsi di Indonesia. Dari data tersebut diperoleh gambaran bahwa terdapat dinamika harga sapi antar wilayah yang mengindikasikan telah terjadi perubahan mendasar dalam pola perdagangan sapi antar pulau. Perubahan pola perdagangan sapi antar pulau tersebut juga telah mendorong persaingan antara pedagang. Hal inilah yang menyebabkan harga sapi di sentra produksi seperti Nusa Tenggara Barat meningkat lebih cepat daripada di Jakarta yang merupakan wilayah pemasaran akhir utama. Perubahan pemasaran sapi tersebut menguntungkan peternak di wilayah sentra produksi. Harga sapi yang stabil dan meningkat secara riil di wilayah sentra produksi seharusnya menjadi insentif yang baik bagi peternak.

9.1.6. Komoditas Kambing-Domba

Permasalahan yang dihadapi oleh usahaternak kambing dan domba serupa dengan permasalahan pada usaha ternak sapi potong. Usahaternak sapi dan domba dilakukan oleh usaha keluarga dan hanya sebagai usaha sampingan. Usahaternak kambing dan domba juga menghadapi permasalahan permodalan. Selain itu, semakin langkanya padang pengembalaan juga menjadi kendala bagi usaha ternak kambing dan domba.

Hingga lima tahun mendatang, produksi daging kambing dan domba masih tetap berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Hasil proyeksi menunjukan, produksi daging kambing dan domba masih di bawah permintaan domestik. Tanpa ada

program yang dapat meningkatkan produksi secara nyata sangat sulit bagi Indonesia dapat menjadi negara pengekspor daging kambing dan domba.

Tabel 26. Produksi dan Konsumsi Domestik Komoditas Daging Kambing/Domba

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi (000 ton) 58 57 56 55 54

Konsumsi (000 ton) 59 60 61 62 64

Surplus (defisit) (000 ton) (1) (3) (5) (7) (10) Sumber : Pusat Studi Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Harga kambing tergolong yang paling stabil diantara semua komoditas ternak. Ini adalah refleksi dari pola pemasaran kambing yang tergolong bebas, berbeda dari komoditas peternakan lainnya yang tersegmentasi dalam kawasan lokal/terbatas (tidak ada perdagangan antar pulau). Selain itu, karena tidak ada impor kambing atau domba sehingga harga domestik tidak dipengaruhi oleh harga dunia. Secara umum, harga yang cenderung stabil dan meningkat secara riil dapat menjadi insentif yang kondusif bagi perkembangan usaha ternak kambing dan domba.

9.1.7. Permasalahan dalam Meningkatkan Kapasitas Produksi

Berdasarkan perkembangan kondisi komoditas sub sektor tabama dan peternakan di atas, hal penting perlu dilakukan di bidang produksi adalah meningkatkan kapasitas produksi.

Untuk meningkatan kapasitas produksi di masa mendatang, terdapat beberapa resiko yang perlu diperhatikan. Faktor resiko pertama adalah berkaitan dengan sumberdaya lahan dan air. Dalam jangka pendek dan panjang Indonesia menghadapi empat ancaman serius yang berkaitan dengan sumberdaya lahan dan air yaitu peningkatan laju konversi baik di Jawa maupun Luar Jawa, rusaknya jaringan irigasi, rusaknya beberapa sistem hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan penguasaan lahan yang sempit. Oleh karena itu, dalam jangka pendek dan panjang diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi tekanan pemanfaatan lahan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan di Jawa melalui pengembangan produksi komoditas yang bernilai tinggi dengan muatan teknologi yang tinggi pula, meningkatkan alokasi fiskal untuk pembangunan jaringan irigasi dan pencetakan sawah baru, perbaikan sistem hidrologi DAS yang rusak, sedangkan untuk mencapai skala ekonomi minimum diperlukan upaya rekayasa kelembagaan kerjasama antar petani.

Faktor resiko kedua adalah kemampuan produksi industri pupuk nasional yang makin menurun karena usia pabrik sudah tua dengan tingkat efisiensi yang rendah sekitar 70

persen. Selain itu, masalah lain adalah kelangkaan pasokan gas sebagai bahan baku terbesar produksi pupuk urea juga menjadi faktor resiko yang menghadang keberhasilan peningkatan produksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya peremajaan industri pupuk nasional.

Faktor resiko ketiga adalah sistem perbenihan nasional. Selain mutu benih nasional belum memenuhi standar mutu yang baik, juga kuantitas benih belum seluruh komoditas berkembang. Mungkin hanya padi dan jagung yang relatif berkembang dan itupun belum memenuhi standar yang diharapkan. Akibat mutu benih nasional yang kurang baik, petani melakukan penangkaran sendiri (contoh petani padi). Kondisi yang demikian dinilai kurang baik dilihat dari aspek kemurnian dan mutu produksi, sehingga akan menghambat peningkatan kapasitas produksi. Oleh karena itu, maka disarankan agar pemerintah membangun sistem perbenihan nasional yang bermutu.

Selain arah pengembangan peningkatan produksi dilakukan melalui intensifikasi juga diupayakan melalui ekstensifiksi dimana potensi lahan pengembangan tersebar di propinsi Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Untuk padi, padi gogo dan jagung masing- masing 12, 5 dan 7 juta hektar; jeruk dan pisang masing-masing 5 dan 13 juta hektar; dan untuk padang pengembalaan 3 juta hektar.

Berdasarkan hasil analisa terhadap subsektor tabama, pembiayaan investasi khususnya untuk infrastruktur (perbaikan dan perluasan irigasi, pembukaan lahan, transportasi desa- kota, riset dan teknologi) merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan kapasitas produksi. Namun karena sifat pembiayaan investasi merupakan pembiayaan jangka panjang, dan sektor pertanian memiliki resiko yang cukup tinggi, sebagian besar investasi dilakukan oleh pemerintah dan hanya sedikit investor yang berminat untuk menyediakan pembiayaan. Sementara itu, kemampuan permodalan juga merupakan faktor penting lainnya untuk meningkatkan produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sumber pembiayaan usahatani berasal dari petani sendiri. Dengan keterbatasan modal yang dimiliki petani, maka pembiayaan usahatani jelas tidak akan memadai. Akses petani terhadap pembiayaan dari perbankan juga terbatas karena usahatani yang dikelola petani walaupun memiliki kelayakan ekonomi yang cukup baik, namun usahatani tersebut dinilai tidak layak dibiayai bank (bankable), sehingga penyerapan kredit perbankan untuk sektor pertanian sangat kecil.

9.1.8. Kebijakan Peningkatan Kapasitas Produksi

Berdasarkan masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan kapasitas produksi dan prospek pasar domestik yang masih terbuka lebar serta lahan untuk pengembangan lebih lanjut masih tersedia, maka disusun pokok-pokok kebijakan antara lain sebagai berikut:

Peningkatan kapasitas produksi industri perberasan nasional tidak cukup dilakukan dengan memberikan dukungan harga gabah, subsidi pupuk, subsidi benih dan subsidi kredit modal kerja. Kebijakan pemerintah harus diorientasikan dari fokus kebijakan harga ke fokus peningkatan kapasitas produksi, yakni: (a) rehabilitasi dan ekstensifikasi infrastruktur irigasi; (b) pembukaan lahan sawah baru; (c) memacu inovasi teknologi, termasuk revitalisasi sistem penelitian dan pengembangan pertanian serta sistem diseminasi inovasi pertanian dengan deregulasi dan penciptaan iklim yang kondusif bagi investor swasta.

Kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan produksi jagung ialah: (a) Stabilisasi harga di tingkat petani; (b) Menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan investasi swasta dalam industri perbenihan dan agrokimia; dan (c) Menjamin praktek persaingan yang sehat dalam bisnis benih, agrokimia dan pemasaran jagung.

Kebijakan pokok yang dapat dilakukan pemerintah untuk mempertahankan pertumbuhan produksi jeruk: (a) Akselerasi peningkatan luas tanam jeruk melalui pengembangan sistem perbenihan penyediaan modal investasi dan dukungan infrastruktur usahatani; (b) Peningkatan efisiensi pemasaran jeruk melalui pengembangan sistem pemasaran berbasis rantai pasok, perbaikan infrastruktur pemasaran dan deregulasi pemasaran; (c) Pengembangan sistem pencegahan serangan hama dan penyakit; (d) Perbaikan kualitas produk; dan (e) Pengembangan industri pengolahan domestik dan memacu ekspor.

Kebijakan yang perlu dilakukan untuk memacu laju pertumbuhan produksi pisang ialah: (a) Membangun sistem pencegahan serangan hama dan penyakit; (b) Pengembangan usahatani pisang komersial dan terspesialisasi; (c) Peningkatan kualitas produk; dan (d) Pengembangan rantai pasok terkelola.

Untuk pengembangan usahaternak ayam ras pedaging, kebijakan pemerintah yang dapat ditempuh adalah: (a) Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (terutama penyakit flu burung); (b) Pengembangan struktur industri perunggasan yang bersaing dan pencegahan praktek persaingan yang tidak sehat; (c) Peningkatan peran usaha peternakan rakyat.

Kebijakan yang disarankan untuk meningkatkan produksi daging sapi potong ialah: (a) Peningkatan populasi sapi potong melalui pengembangan usahaternak intensif dan usaha pembibitan sapi; (b) Pengembangan sistem usaha integrasi sapi dan tanaman; dan (c) Pemetaan sistem pemasaran sapi.

Beberapa kebijakan yang dapat digunakan untuk memacu produksi kambing dan domba : (a) Pengembang usahaternak kambing dan domba skala komersial; (b) Pengembangan sistem integrasi ternak kambing/domba dengan tanaman; (c) Pengembangan sistem perbenihan ternak kambing dan domba.

Berkaitan dengan permodalan, dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi sub sektor tabama dan peternakan terutama dalam jangka panjang, kebutuhan pendanaan tidak terbatas pada kebutuhan permodalan namun juga kebutuhan investasi. Untuk itu, perlu dikembangkan sistem perkreditan pertanian yang dikelola oleh sistem perbankan pertanian yang kuat sehingga akses petani terhadap pembiayaan perbankan dan permodalan meningkat sehingga dapat meningkatkan produksi. Selain itu, perlu juga dipikirkan alternatif pendirian lembaga pembiayaan khusus untuk sektor pertanian, termasuk pembiayaan kepada sub sektor tabama dan peternakan.

9.2. Gambaran Umum Subsektor Perkebunan

Produk-produk perkebunan termasuk minyak kelapa sawit (CPO), karet, kakao, dan gula telah berperan penting dalam perekonomian nasional melalui pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja dan sumber pendapatan, pengurangan kemiskinan, perolehan devisa (kecuali gula), penyediaan bahan baku industri, dan ketahanan pangan (khusus gula dan CPO).

Dalam hal pertumbuhan ekonomi, PDB subsektor perkebunan tumbuh secara konsisten yaitu 4,5% pada 2004, dan diperkirakan tumbuh sebesar 6,19% pada 2006. Dengan

komposisi yang sebagian besar (sekitar 85%) merupakan usaha perkebunan rakyat di pedesaan, sektor perkebunan menampung lebih dari 17,5 juta tenaga kerja yang berarti mempunyai kontribusi terhadap pengurangan kemiskinan dan menjadi sumber pendapatan di pedesaan. Devisa yang dihasilkan dari subsektor perkebunan adalah rata- rata USD4,5 milyar per tahun, bahkan pada 2006 diperkirakan lebih dari USD6 milyar. Minyak goreng dan gula merupakan kebutuhan pokok yang berkaitan dengan inflasi dan ketahanan pangan.

Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan paling konsisten, baik ditinjau dari areal maupun produksi. Secara keseluruhan, areal perkebunan meningkat dengan laju 2,6% per tahun pada periode 1994–2004, dan mencapai lebih dari 16 juta ha pada 2004. Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu), kelapa sawit dan kakao tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya dengan laju pertumbuhan diatas 5% per tahun. Pertumbuhan yang pesat dari kedua komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut.

Sejalan dengan pertumbuhan areal, produksi perkebunan juga meningkat dengan konsisten dengan laju 5,9% per tahun dalam 25 tahun terakhir atau 7,09% pada dekade terakhir. Seperti juga areal, pertumbuhan produksi tercepat dicapai oleh tanaman kakao dengan laju 9,2% per tahun dan kelapa sawit dengan laju peningkatan produksi sekitar 11,4% per tahun. Perkembangan produksi tanaman lainnya berkisar antara 0,5-5%, kecuali tanaman tebu dan teh yang mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi gula disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal seperti penurunan produktivitas dan bias kebijakan pemerintah, maupun pasar gula internasional yang sangat distortif sehingga harga gula terus mengalami penurunan.

Secara umum, laju pertumbuhan konsumsi dalam negeri relatif cepat untuk komoditi CPO, karet, dan kakao dan relatif lambat untuk gula, kopi, dan teh. Karet dan CPO bahkan tumbuh diatas 10% per tahun pada dekade terakhir. Lambatnya laju konsumsi domestik untuk ketiga komoditi adalah indikasi bahwa industri hilir perkebunan belum berkembang karena menyangkut masalah teknologi, hambatan pasar (entry barrier), dukungan kebijakan yang belum optimal, serta jiwa kewirausahaan yang belum berkembang.

Produk tanaman perkebunan umumnya berorientasi ekspor dimana lebih dari 50% produksi, kecuali gula, adalah diekspor. Sebagai contoh, proporsi produksi dari kopi dan karet yang diekspor pada tahun 2004 masing-masing adalah 68,74% dan 96,13%. Kinerja ekspor komoditas perkebunan Indonesia juga tumbuh dengan relatif stabil walau dukungan kebijakan ekspor belum maksimal. Dari segi nilai, ekspor komoditas perkebunan meningkat 6,52% per tahun yang menunjukkan bahwa nilai ekspor berkembang lebih cepat dari volume ekspor. Namun dalam dekade terakhir, fenomena ini berbalik dimana volume berkembang lebih cepat dibandingkan dengan nilai. Hal ini memberi indikasi adanya kecenderungan melemahnya harga komoditas perkebunan primer Indonesia di pasar internasional.

Walaupun impor komoditas primer perkebunan Indonesia terus meningkat, volume dan nilainya relatif masih kecil, kecuali impor gula. Sebagai contoh, impor CPO Indonesia meningkat dengan laju 12,04% per tahun pada dekade terakhir, dengan volume impor adalah sekitar 350 ribu ton pada tahun 1999 atau sekitar 6,15% dari produksi. Secara umum, impor komoditas perkebunan Indonesia relatif masih kecil sehingga belum merupakan pesaing yang signifikan untuk pasar domestik Indonesia.

Seperti kebanyakan komoditas pertanian, harga produk perkebunan primer mengalami fluktuasi yang cukup tajam di pasar internasional. Pada saat ini harga komoditas perkebunan secara umum relatif tinggi seperti karet yang sampai melebihi USD2/kg, demikian juga dengan gula dengan harga USD400/ton. Namun demikian, fluktuasi harga tampaknya sudah menjadi karakter produk primer perkebunan, seperti tercermin dari nilai koefisien keragaman harga tahunan yang cukup tinggi yaitu antara 18% untuk karet sampai dengan 42% untuk teh. Fluktuasi harga ini berkaitan dengan fluktuasi harga di pasar internasional berhubungan dengan faktor siklus biologis tanaman khususnya untuk tanaman keras, iklim, dan kondisi ekonomi (harapan harga).

9.2.1. Peluang Peningkatan Kontribusi dalam Pertumbuhan Ekonomi dan Daya Saing di Pasar Internasional

Subsektor perkebunan memiliki peluang yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Indonesia memiliki potensi untuk melakukan perluasan lahan perkebunan secara signifikan. Hal ini tidak dimiliki oleh negara pesaing, seperti Malaysia dan Thailand. Selain itu, upah tenaga kerja yang relatif lebih murah akan membuat biaya produksi menjadi relatif lebih rendah sehingga produk perkebunan Indonesia mempunyai kecenderungan semakin kompetitif di masa mendatang.

Produk perkebunan Indonesia pada masa mendatang diperkirakan memiliki prospek pasar yang cerah di pasar internasional dengan daya saing yang semakin meningkat. Paling tidak ada tiga faktor fundamental yang melandasi pemikiran tersebut. Faktor pertama adalah keberhasilan Pertemuan World Trade Organization (WTO) Tingkat Menteri di Hongkong pada bulan Desember 2005 yang menyepakati bahwa semua bentuk subsidi ekspor pada sektor pertanian sudah harus dihapuskan paling lambat tahun 2013. Penghapusan subsidi tersebut akan mengurangi kemampuan negara maju untuk mengekspor produk pertanian seperti gula dan minyak nabati. Hal ini akan memperbesar peluang pasar produk CPO Indonesia serta peningkatan produksi gula Indonesia. Faktor kedua adalah negara pesaing, baik negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika, dan negara berkembang seperti Brazil yang secara konsisten menghadapi tekanan untuk melakukan reformasi sektor pertanian dengan mengurangi dukungan harga, subsidi, dan proteksinya secara substansial. Situasi ini akan meningkatkan daya saing produk perkebunan Indonesia sekaligus mengurangi perlakuan yang tidak fair dari negara maju, seperti untuk kasus kakao, kopi dan gula. Faktor fundamental ketiga adalah kenaikan harga bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil (BBM). Kecenderungan kenaikan harga BBM merupakan kecenderungan jangka panjang yang tidak dapat dihindarkan mengingat BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Jika ini benar, biofuel yang menggunakan bahan baku produk pertanian seperti CPO dan tebu, akan terus berkembang. Di samping itu, karet sintetis yang berbahan baku minyak bumi daya saingnya semakin lemah sehingga akan meningkatkan peluang pasar karet alam Indonesia.

Dengan perubahan fundamental tersebut serta dukungan kebijakan pemerintah yang lebih kondusif, subsektor perkebunan diperkirakan akan berkembang secara lebih pesat. Sebagai contoh, Indonesia berpeluang untuk melakukan perluasan areal kelapa sawit sekitar 2 juta ha untuk jangka antara 5-10 tahun ke depan, atau tumbuh antara 7-9% per tahun. Industri gula juga berpeluang tumbuh dengan laju sekitar 6-7% per tahun sampai dengan tahun 2014. Untuk karet, peluang pasar akan semakin terbuka dengan peluang perluasan sekitar 300-500 ribu ha untuk periode 2006-2010 atau sekitar 2-3% per tahun. Untuk produk penyegar seperti kakao dan kopi, peluang peningkatan produksi dan ekspor diperkirakan diatas 3% per tahun.

9.2.2. Permasalahan dalam Peningkatan Produksi Subsektor Perkebunan

Upaya untuk merealisasikan peluang peningkatan produksi dan ekspor perkebunan dengan memanfaatkan kekuatan dan potensi yang dimiliki Indonesia, tampaknya masih banyak menghadapi masalah, baik yang berkaitan dengan pengembangan industri hulu maupun hilir. Beberapa masalah yang perlu mendapat penanganan yang antara lain adalah (i) rendahnya produktivitas hasil dibandingkan produktivitas hasil negara lain; (ii) mutu yang masih rendah/belum sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan pemerintah dan sering tidak konsisten; (iii) ekonomi biaya tinggi; (iv) kebijakan pemerintah yang belum menciptakan iklim usaha yang kondusif; dan (v) hambatan perdagangan (tarif dan non-tarif) dan persaingan tidak sehat di pasar internasional.

Berkaitan dengan rendahnya produktivitas pada industri hulu, terutama disebabkan oleh komposisi tanaman yang masih didominasi tanaman asal biji/bibit tidak unggul/bibit palsu dan sudah berumur tua, dan ketersediaan sarana produksi terutama bibit unggul bermutu dan pupuk yang masih terbatas. Selanjutnya masalah mutu yang rendah dan tidak konsisten disebabkan oleh (i) teknologi pengolahan yang ada belum memberi insentif bagi pelaku usaha terutama petani untuk meningkatkan mutu; (ii) kebijakan pemerintah tentang mutu (SNI) belum mencerminkan adanya sinergisme/koordinasi antar lembaga di sektor pertanian dan industri.

Ekonomi biaya tinggi merupakan masalah lain yang menghambat. Masalah ini berkaitan dengan (i) mahalnya harga input (bibit, pupuk dan obat-obatan); (ii) tingginya beban pelaku usaha termasuk petani dalam menanggung beban bunga pinjaman, pajak, retribusi dan pungutan-pungutan, serta perijinan investasi; (iii) tingginya biaya transpor dari kebun hingga pelabuhan atau ke lokasi industri pengolahan (primer dan hilir).

Sejalan dengan hal diatas, iklim usaha perkebunan juga belum kondusif sebagai akibat dari (i) pelaku usaha masih ragu tentang kepastian/perlindungan hukum dan jaminan keamanan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, jaminan keamanan dari konflik sosial dengan masyarakat lokal soal lahan; (ii) khusus untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit, adanya tekanan yang berkaitan dengan isu lingkungan (iii) ego sektoral dan konflik kepentingan Pusat dan Daerah (iv) inkonsistensi penerapan payung

Dalam dokumen Penyusunan Peta Sektor Ekonomi Pertanian (Halaman 58-70)

Dokumen terkait