lebih lama akibatnya pasien harus membayar
lebih mahal.
2007 tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lain. Pemerintah, kata Menkes, juga telah menerbitkan Kepmenkes No. : 382 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit. Kedua aturan ini akan dijadikan pijakan hukum untuk menerapkan standardisasi fasilitas kesehatan di RS.
Pemerintah, menurut Menkes, juga telah memasukkan indikator pencegahan dan pengendalian infeksi ke dalam standard pelayanan minimal (SPM) dan bagian dari penilaian akreditasi RS. ”Ini menunjukkan komitmen yang kuat bagi pemerintah agar setiap RS dapat menjalankan program pencegahan dan
pengendalian infeksi RS”, ujar Menkes. Menurut dr. Endang, selama ini penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi di RS dan pelayanan kesehatan lain masih jauh dari harapan. ”Untuk itu, perlu sosialisasi untuk mendapatkan komitmen dari Direktur RS.Menkes minta direktur RS meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas pelayanan kesehatan dalam melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi. Strategi yang digunakan adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dengan metode Standar Precautions/ Kewaspadaan Standar yang
diterapkan pada semua orang (pasien, petugas atau pengunjung) yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan tanpa menghiraukan mereka terinfeksi atau tidak serta kewaspadaan berdasarkan penularan yang diperuntukkan bagi pasien rawat inap dengan menunjukkan gejala, terinfeksi dengan kuman yang bersifat pathogen.
Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi melibatkan semua unsur, mulai dari unsur pimpinan sampai kepada staf.
Peristiwa
No.XXI/DESEMBER/2009Mediakom Peran pimpinan yang diharapkan
adalah menyiapkan sistem, sarana dan prasarana penunjang lainnya, sedangkan peran staf adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sesuai prosedur yang telah ditetapkan, tambah Menkes.
”Salah satu tahap kewaspadaan standar yang efektif dalam pencegahan dan pengendalian infeksi adalah hand hygiene ( kebersihan tangan ) karena kegagalan dalam menjaga
kebersihan tangan adalah penyebab utama infeksi nosokomial dan mengakibatkan penyebaran mikroorganisme multi resisten di fasilitas pelayanan kesehatan”, kata Menkes.”Menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan adalah metode paling mudah dan efektif dalam pencegahan infeksi nosokomial ”, ujar dr. Endang.
Disamping itu, Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya harus mampu memberikan pelayanan yang bermutu, akuntabel dan transaparan kepada masyarakat khususnya jaminan keselamatan pasien (patient safety). Hal itu sejalan dengan Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran untuk memberikan kepastian hukum baik bagi penerima maupun pemberi pelayanan, tambah Menkes. Dirjen Pelayanan Medik Depkes dr. Farid W. Husain mengatakan, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi program cuci tangan saat memasuki ruangan RS dan fasilitas kesehatan lain untuk mencegah infeksi. ” Kita akan dorong semua ruangan di RS ada tempat cuci tangan”, katanya. Program ini, jelas dia, telah lama diterapkan di dunia internasional. Hal itu terbukti berdampak besar dengan berkurangnya infeksi di RS.
“Yang kita giatkan cuci tangan
tidak hanya dokter atau suster, tetapi juga pasien dan keluarga pasien yang menjenguk”, kata Farid. Jika RS tidak mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah, kata Farid, misalnya tidak menyediakan tempat cuci tangan, hal itu akan berpengaruh terhadap nilai akreditasi RS yang bersangkutan. “Patient safety merupakan salah satu point penilaian akreditasi di tiap RS, ujar dr. Farid.
Sementara itu Direktur Utama RS Cipto Mangunkusumo Prof. Dr. Akmal Taher mengungkapkan, strategi yang sudah terbukti paling bermanfaat dalam mengendalikan infeksi di RS adalah melalui peningkatan kemampuan petugas kesehatan. Diantaranya, melalui kewaspadaan standar yang diterapkan pada semua orang, baik petugas, pasien, maupun pengunjung. “ Penelitian membuktikan infeksi nosokomial di RS terjadi akibat kurangnya kepatuhan petugas. Rata-rata kepatuhan petugas untuk mencuci tangan di Indonesia hanya 20%-40%”, ujar Prof. Akmal Taher.
Sebelumnya pada 17 Juli 2007 telah ditandatangani kesepakatan antara Depkes dan WHO tentang pelaksanaan program hand hygiene di berbagai rumah sakit di Indonesia. Sebagai tindak lanjutnya, RSCM menyelenggarakan seminar ini sebagai bagian dari pengendalian infeksi di rumah sakit dan diharapkan didapatkan pengetahuan tentang Program Hand Hygiene sehingga dapat mendorong pihak-pihak terkait untuk mengimplementasikannya sehingga mampu menurunkan infeksi nosokomial, ungkap Dirut RSCM.
Seminar ini diselenggarakan dalam rangka HUT RSCM ke 90. Melalui kegiatan ini diharapkan peserta mendapatkan pengetahuan tentang materi pengendalian penyakit infeksi terutama dalam hal pencegahan penularan melalui program hand hygiene sehingga dapat meningkatkan mutu
pelayanan di rumah sakit yang cost
efficient dan cost benefit”, tambah dr. Akmal. nSmd/Yuli
Peristiwa
Mediakom No.XXI/DESEMBER/2009
K
omitmen yang diberikan pemerintah meliputi beberapa komponen kegiatan seperti: penguatan kapasitas institusi pengelola pada setiap tingkatan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan lokal, peningkatan kesehatan, prilaku higienis dan pelayanan sanitasi serta penyediaan sarana air minum.Dalam program tersebut menekankan aspek keberlanjutan dan kesinambungan (sustainability) serta dampaknya terhadap kesehatan, ekonomi dan produktivitas masyarakat. Pendekatan yang dipakai adalah Tanggap Kebutuhan. Masyarakat sebagai pelaku utama pada setiap proses pelaksanaan kegiatan (mulai dari identifikasi masalah dan analisa situasi, penyusunan rencana kerja, pelaksanaan kegiatan,pemanfaatan,penge lolaan serta monitoring dan evaluasi secara partisipatif ). Dengan stimulans dari pemerintah, masyarakat ke depan
dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri dalam penyediaan air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat. Ada 5 prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan program yaitu:
1. MASYARAKAT sebagai PELAKU UTAMA: masyarakat proaktif menjadi penggagas, perencana, pelaksana, pemilik, pamantau, pengoperasian dan pemeliharaan sarana air bersih dan sanitasi.
2. TANGGAP KEBUTUHAN: responsif terhadap inisiatif dan gagasan-gagasan masyarakat dalam mengatasi permasalahan air bersih melalui usulan tertulis yang disampaikan.
3. PROSES PENILAIAN: tidak semua usulan program masyarakat dilayani, tetapi akan diseleleksi usulan kebutuhan masyarakat sesuai persyaratan dan prioritas.
4. PENDEKATAN HOLISTIK: pengelolaan sumberdaya air dilaksanakan secara efektif, mempertimbangkan aspek