• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III JENDER DAN DISKURSUS PERNIKAHAN

B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fikih Munakahat

4. Nusyuz

Kata nusyuz adalah turunan dari akar kata na-sya-za yang memiliki arti

Irtikâb‟ atau “Irtifâ bada ittido‘”dan „irtifaʻ min makânibi‟ yaitu „mengangkatkan kembali‟ (dari tempat atau keadaannya yang pertama) dan „Intihâd‟ yaitu melegakan nafas dan membagi secara adil‟.

42

Dari surat an-Nisa‟ 34, fuqaha menemukan istilah nusyûz al-mar‟ah atau

nusyuz perempuan yang diartikan “pembangkangan istri dan keburukan kelakuannya pada suami”. Ada juga yang mengartikan “perbuatan isteri

meninggalkan rumah tanpa alasan yang dapat dibenarkan menurut syara‟ yang

akibat dari perbuatan ini seorang isteri tidak berhak mendapat nafkah”.43

Dalam al-Qur‟an turunan kata na-sya-za terdapat pada empat tempat; al-

Baqarah 259, surat al-Mujadalah 11, an-Nisa‟ 34 dan 128. Dalam surat yang

pertama artinya mengangkatkan kembali, dengan maksud menyusun kembali tulang-tulang burung yang telah dihancurkan menjadi kerangka Dalam surat kedua artinya mengangkatkan diri, dengan maksud menyegerakan dan melaksanakan

suruhan kebaikan yang diminta, namun ada juga yang mengartikan „bernafas lega atau berlapang dada‟ yaitu tidak berkeluh kesah; Surat yang ketiga ayat 34 artinya

mengangkat ketaatan, maksudnya membangkang; dan ayat 128 mengangkatkan

kebaikan yaitu perilaku suami yang menekan isteri, menyakiti, dan sebagainya.44

Al-Qur‟an tidak secara tegas menyebutkan bahwa isteri yang nusyuz tidak berhak mendapat nafkah. Para fuqaha menarik kesimpulan ini melalui pemahaman kompensasi hak dan kewajiban antara suami isteri. Dengan mengacu kepada surat an-Nisa‟ ayat 34, fuqaha menetapkan bahwa ketaatan isteri adalah wajib dan merupakan hak suami sebab kalau ketaatan isteri tidak menjadi hak suami maka kepemimpinan suami yang diisyaratkan dalam ayat ini tidak akan terlaksana. Hak

43Muhammad Rowas Qal „aji dan Hamid Sodiq Qanibi, Mu‟jam lughah al-Fuqaha‟

, h. 480.

44

Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma‟tsur, Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1990), Vol. 1, h. 588; vol.6, h. 345; vol.3, h. 277 dan 411.

suami atas ketaatan istrinya ini lebih tegas lagi diterangkan dalam ayat yang memberikan wewenang kepada suami untuk menghukum istrinya dalam rangka

memperbaiki kelakuan istri (ta‟dib), yaitu mengembalikan ketaatannya kepada

suami.45 Selanjutnya, fuqaha menetapkan bahwa nafkah adalah hak istri sebagai

balasan kewajiban taatnya kepada suami. Jadi, meninggalkan atau melepaskan kewajiban taat oleh isteri kepada suami disimpulkan mengakibatkan gugurnya hak (nafkah) istri dari suaminya.

Walaupun para ulama sepakat bahwa nusyuz menghilangkan hak nafkah istri tetapi mereka berbeda pendapat tentang pengertian dan batasan perilaku nusyuz (tidak taat) yang menyebabkan hilangnya hak nafkah tersebut. Perbedaan ini timbul atas dasar perbedaan pandangan tentang aspek perkawinan yang menimbulkan kewajiban nafkah.

a) Hanafiah: yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah adalah beradanya

wanita tersebut di rumah suaminya. Persoalan ranjang dan wathi‟ tidak ada hubungannya dengan kewajiban nafkah. Karenanya, walaupun istri mengunci

dirinya di kamar dan tidak bersedia dicampuri sekalipun tanpa dasar syara‟

yang benar selama dia tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, istri

tersebut masih dipandang patuh (muthi‟ah) dan tidak menggugurkan haknya

atas nafkah. Pendapat ini membedakan diri dari seluruh pendapat mazhab lainnya. Oleh karena itu, menurut Hanafi dan juga Imamiyah serta satu

45Abi Bakr Ahmad ibn „Ali al

golongan dari hanabilah, istri yang sakit, nafkahnya tidak gugur, sedangkan

menurut Maliki gugur.46

b) Mazhab selain Hanafi semuanya berpendapat sama bahwa walaupun istri tidak

keluar rumah tetapi jika dia tidak memberikan kemungkinan suami untuk

menggaulinya dan berkhalwat dengannya tanpa ada alasan yang logis serta

dibenarkan oleh syara‟, maka istri tersebut dipandang nusyuz dan tidak berhak

atas nafkah.47

c) Ulama Syafi‟iyyah bahkan lebih mengkhususkan bahwa walaupun istri masih

bersedia digauli dan berkhalwat dengan suami kalau dia bersikap enggan dan

tidak menawarkan dirinya seraya mengatakan dengan tegas, “Aku menyerahkan

diriku kepadamu”, istri tersebut belum cukup dianggap patuh.48

Imam Nawawi

menerangkan lebih spesifik bahwa yang dikatakan nusyuz adalah dengan

menolak suami berhubungan tanpa ada „uzur dari pihak suami ataupun dari

pihak istri. Begitu juga, bila istri keluar dari rumah yang disuruh tempatin oleh suami tanpa izinnya serta bukan untuk kepentingan suami. Termasuk dalam hal ini keluar rumah untuk ibadah haji wajib dan juga ziarah kepada orang tua, umrah, puasa sunnah, dan amal ibadah lainnya. Jadi, tindakan istri yang dilakukan tanpa mengantongi izin suami akan dikategorikan sebagai tindakan

nusyuz, dan konsekuensinya tidak berhak mendapakan hak nafkah dan mut‟ah.

46

Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 101-102.

47

Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 101-102.

48

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 59; Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al- Mazahib al-Khamsah, h. 101-102.

Hal ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi yang menjadikan keluar rumah sebagai kriteria fundamental dalam menilai nusyuz seorang istri. Adapun menurut Imamiyah dan Hambali kepergian seorang istri untuk menunaikan ibadah wajib walaupun tanpa izin suami tidak menyebabkan nusyuz dan tidak

menggugurkan hak nafkahnya.49

Dalam fiqh dinyatakan bahwa apabila terjadi nusyuz, tindakan pertama yang

boleh diambil oleh suami adalah menasihati istri dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga. Apabila tindakan pertama ini tidak membawa hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisah tempat tidurnya. Apabila dengan tindakan kedua istri tetap

melakukan aksi nusyuz, suami boleh melakukan tindakan ketiga, yaitu memisah

tidurnya dan boleh memukulnya.50

Tindakan demikian menurut kalangan ulama fiqih bisa dilakukan setiap kali

suami menduga kalau istri sedang nusyuz. Dalam suatu kutipan kitab fiqih klasik

dinyatakan:

زوشنلا لاإ تبأ نإف اهظعو ةأرلمازوشن فاخاذإو

طقسيو ابهرضو اىروجى ويلع تماقأ نإف اىرجى

شنلاب

زو

اهتقفنو اهمسق

.

Artinya: “Apabila dikhawatirkan seorang istri akan berbuat nusyuz, nasihatilah;

ketika dinasihati membantah dan masih tetap nusyuz, pisahlah tempat tidurnya; dan

49

Yahya Ibn Syarif an-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa „Umdat al-Muftin fi Fiqh Mazhab al- Imam al-Syafi‟i, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1996), h. 154.

50

Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 183.

apabila masih saja melakukan nusyuz, pisah dan pukullah, dengan nusyuz ini hak mendapat giliran apabila dia dipoligami hak mendapatkan nafkah menjadi gugur.51

Apabila kita lihat pernyataan kitab tersebut, baru pada taraf menduga saja,

seorang suami sudah boleh mengklaim bahwa istrinya melakukan nusyuz. Jelas,

posisi istri dalam hal ini rentan sekali. Istri tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, apalagi koreksi, terhadap tindakan suaminya sebab setiap bentuk koreksi sehalus apa pun bisa diklaim oleh suaminya sebagai tindakan

pembangkangan (nusyuz). Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat

leluasa untuk menentukan apakah tindakan istri sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz

atau tidak.52

Menurut Syafiq Hasyim, dalam merekonsturuksikan konsep nusyuz, fiqih kita

selama ini tidak adil. Fiqih tampak hanya mempertimbangkan kepentingan laki-laki sehingga kedudukan perempuan dalam menegosiasikan hal ini sangat lemah. Untuk

itu, dalam memahami persoalan nusyuz, kita harus mempertimbangkan hal-hal

sebagai berikut: pertama, prinsip keadilan. Kita yakin Al-Qur‟an selalu dalam posisi

yang adil dalam mengemukakan persoalan, artinya ketika istri melakukan nusyuz,

harus dilihat apa sebabnya. Jadi, yang dimaksud dengan prinsip keadilan dalam

melihat nusyuz adalah prinsip ketika istri nusyuz tidak hanya dipahami pada sisi

ketidaktaatan istri, tetapi harus dipahami secara menyeluruh, misalnya, bagaimana perlakuan suami terhadap istrinya, apakah hak-hak istri sudah dipenuhi suami atau

51Abu Syuja‟, al-Ghayah wa al-Taqrib

, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, t.th), h. 32.

52

Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, h. 184.

belum. Kedua, prinsip mu‟asyarahbi al-ma‟ruf. Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip umum dari keseluruhan tata hubungan suami istri, baik istri maupun suami, masing-masing harus saling mempergauli secara baik. Apabila prinsip ini benar-benar

dilaksanakan, kecil kemungkinan akan terjadi nusyuz.53 Oleh karena itu, tidaklah

diperkenankan memukul istri yang nusyuz sebelum mengetahui sebab terlebih dahulu.

Dari penjelasan di atas, maka ketentuan nusyuz tersebut dilihat dari perspektif

jender semestinya seorang suami harus meneliti terlebih dahulu mengapa terjadi

nusyuz. Apakah tindakan nusyuz istri itu memang semata-mata dilakukan karena istri mempunyai niat membangkang kepada suami, atau disebabkan karena istri ingin mengambil haknya yang tidak diberikan oleh suami? Semua ini harus melihat secara

jernih agar tidak mudah menjatuhkan tuduhan nusyuz kepada istri. Oleh karena itu,

tidak semestinya suami langsung mengategorikan istri nusyuz tanpa adanya

penulusuran lebih lanjut mengenai pembangkangan istrinya tersebut. Karena, terkadang suami langsung menjustifikasi perlakuan negatif yang dilakukan istrinya,

tanpa adanya penjelasan terlebih dahulu dari istrinya tersebut.

53

Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, h. 187.

Dalam dokumen Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang (Halaman 55-62)

Dokumen terkait