• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhammad Munawir 1112044200016

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

Skripsi ini menjelaskan bahwa pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender yang sedang ramai di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama terutama ulama Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus jender sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun kultural. Kehadiran KH. MA. Sahal Mahfudh dengan pandangan jender yang moderat dan progresif ini menjadi angin segar bagi perjuangan menuju keadilan jender terutama dalam bidang hukum keluarga. Pengaruh besar dan otoritas keilmuan KH. MA. Sahal Mahfudh dalam komunitas NU dan bangsa secara umum menjadikan pandangannya diterima banyak kalangan dengan legitimasi keagamaan yang sangat kuat. Tujuan dari penulisan ini ada beberapa hal: a) mengetahui bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan, b) bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan ditinjau dari perspektif jender, dan c) bagaimana kontribusi pemikiran KH. Sahal Mahfudh tentang jender dalam dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia.

Jenis penelitian ini adalah library research. Data dikumpulkan dengan studi pustaka, baik berupa buku karangan langsung KH. MA. Sahal Mahfudh maupun karangan orang lain yang menulis tentang KH. MA. Sahal Mahfudh. Sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah buku karangan KH. MA. Sahal Mahfudh yaitu Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2010). Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan pendekatan logika induktif yaitu pendekatan yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa: a) Diantara pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan dapat dikaji dari 4 hal, yaitu wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz. Terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon perempuan agar terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Kemudian terkait nafkah, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan jika suami tidak mampu memberikan nafkah, maka istri boleh mengajukan cerai. Selanjutnya terkait hadhanah, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa ibu lebih berhak memelihara anak. dengan pertimbangan kasih sayang ibu dengan anak lebih kuat, lebih sabar dan lembut sehingga lebih sesuai melakukan tugas mengasuh serta merawat anak. Sedangkan terkait nusyuz, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa jika istri melakukan nusyuz maka lebih baik diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif serta menghindari cara kekerasan. b) Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan tersebut terlihat sekali lebih menjunjung tinggi keadilan jender. Hal ini terlihat dari beberapa pendapatnya. Misalnya, terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon perempuan. Begitu juga terkait nafkah, bahwa perempuan dapat meminta cerai jika suami tidak memberi nafkah. Karena, nafkah adalah kewajiban suami. Akan tetapi terkait hadhanah, beliau masih bias jender, karena terlihat tidak adil bagi laki-laki. Padahal tidak sedikit laki-laki lebih sabar dan lembut dari perempuan. Sedangkan mengenai nusyuz, ini jelas adil bagi laki-laki dan perempuan, karena dalam nusyuz komunikasilah yang paling efektif dan dapat menghindari kekerasan. c) Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender telah memberikan kontribusi dalam dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari munculnya para pemikir muda yang pemikirannya seide atau senada dengan KH. MA. Sahal Mahfudh.

Kata Kunci : KH. MA. Sahal Mahfudh, Hukum Keluarga, Jender. Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, SH., M.Ag.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat, nikmat iman dan Islam kepada hambanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menyelesaikan pendidikannya.

Disadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat terbatas, dengan adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, MA., ketua program studi dan

sekretaris program studi Ahwal Syakhshiyah (Hukum Keluarga) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., dosen pembimbing skripsi sekaligus sahabat

diskusi bagi penulis yang sangat bijaksana, sabar dan selalu memberikan semangat kepada penulis. Serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Almarhum KH. MA. Sahal Mahfudh selaku tokoh yang menjadi sumber

utama dalam penulisan skripsi ini.

6. Pimpinan dan staf perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk melakukan studi kepustakaan.

7. Paling istimewa bagi Ayahanda Abdul Ghofur dan Ibunda Zubaedah yang

(7)

8. Sahabat Administrasi Keperdataan Islam (AKI) angkatan 2012, yang tak akan terlupakan oleh penulis, selama empat tahun perjuangan dan kebersamaan pada masa menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Seluruh sahabat prodi hukum keluarga angkatan 2012, yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu namanya, terimakasih atas dukungan dan sumbangan pendapat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

10.Sahabat alumni Yayasan Pendidikan Islam Al-Kenaniyah, seperti Hambali,

Muthi, Qodir, Jilda, Afifah, Arif, Muti, Surismat, Faisal, Fauzi, Surismat, dan Desy. terimakasih sudah memberi dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca umumnya, serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Hanya ucapan terimakasih dan doa

yang dapat penulis berikan, semoga setiap bantuan, do‟a, motivasi yang telah

diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT dan menjadi catatan kebaikan di akhirat kelak. Aamiin.

Jakarta, 10 Januari 2017 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

E. Review Studi Terdahulu ... 8

F. Metodologi Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga ... 14

B. Pendidikan ... 16

(9)

D. Karya-karyanya ... 24

BAB III JENDER DAN DISKURSUS PERNIKAHAN A. Jender dalam Islam ... 25

B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fikih Munakahat ... 30

1. Perwalian ... 30

2. Nafkah ... 37

3. Hadhanah ... 43

4. Nusyuz ... 46

BAB IV PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDH TENTANG ISU-ISU JENDER A. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan ... 53

B. Analisis atas Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan dari Perspektif Jender ... 65

C. Kontribusi Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Jender dalam Dinamisasi Problematika Hukum Keluarga Islam di Indonesia ... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jender sebagai konstruksi sosial kultural tentang sifat yang melekat pada

laki-laki dan perempuan adalah persoalan sosial yang menyita perhatian masyarakat

secara luas.1 Definisi tersebut menjelaskan bahwa jender tidak hanya persoalan

perempuan, tapi juga laki-laki. Relasi laki-laki dan perempuan menjadi kajian utama

jender. Perempuan banyak dikaji dalam isu jender karena perempuan diasumsikan

sebagai kodrat yang membawa ketidakadilan dalam relasinya dengan laki-laki dalam

berbagai bentuk, antara lain: marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, beban

kerja lebih panjang dan lebih banyak, dan sosialisasi ideologi nilai peran jender.2

Perempuan dimitoskan sebagai makhluk yang kurang akal dan agama. Mitos

ini terkait erat dengan budaya patriarkhis yang menempatkan relasi laki-laki dan

perempuan secara hirarkhis. Laki-laki sebagai makhluk superior, sedangkan

perempuan adalah makhluk inferior.3

Lahirnya kaum feminis yang mengusung isu jender bertujuan agar perempuan

memperoleh perlakuan yang adil dalam aspek kehidupan, baik domestik, politik,

1

Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 8.

2

Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 12-13.

3

(11)

sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dari sini lahir teori persamaan kelamin (sexual equality) pada tahun 1895.4 Terciptanya sistem dan struktur masyarakat yang

menghargai keadilan (justice) dan kesetaraan (equality) adalah kepedulian

feminisme.5 Oleh karena itu, kaum feminis menuntut adanya kesetaraan peran

laki-laki dan perempuan di ranah publik.

Lahirnya kaum feminisme tidak lepas dari era pencerahan yang menuntut

kebebasan berekspresi, berserikat, dan beraktualisasi sebagai salah satu komponen

utama hak asasi manusia. Perempuan sama dengan laki-laki untuk mendapatkan

kebebasan tersebut, sehingga tidak boleh ada diskriminasi dan subordinasi. Pada abad

19, feminisme memfokuskan pada agenda transformasi kultural, tapi tetap kritis

terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Transformasi kultural dilakukan untuk

penguatan aspek agama, perkawinan, dan rumah tangga.6

Pada abad 20, feminisme memfokuskan pada agenda politik. Politik menjadi

kekuatan utama untuk melakukan perubahan praktis.7 Pada abad 21, feminisme

memfokuskan pada penghapusan kelas, etnik, ras,dan seksualitas antara laki-laki dan

perempuan.8 Semua bentuk perjuangan feminis bertujuan untuk menciptakan keadilan

dan kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik agar keduanya

bisa saling melengkapi dalam proses transformasi sosial yang berkembang.

4

Abdul Mustakim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogyakarta: Logung Pustaka, tt), h. 83.

5

Abdul Mustakim, Paradigma Tafsir Feminis, h. 86.

6

Josephine Donovan, Feminist Theory, (New York: Continuum International, 2000), h. 17.

7

Josephine Donovan, Feminist Theory, h. 183.

8

(12)

Perjuangan menegakkan keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan

berhadapan dengan dominasi agama dan budaya yang patriarkhis. Patriarkhi adalah

sistem struktur atau praktek sosial yang memberikan kewenangan kepada laki-laki

untuk mendominasi, menekan, dan mengeksploitasi perempuan. Dominasi laki-laki

terhadap perempuan terjadi pada badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya,

dan statusnya dalam keluarga dan masyarakat. Patriarkhi inilah yang melahirkan

norma sosial, hukum, dan moral yang mengunggulkan laki-laki atas perempuan,

sehingga perempuan tersubordinasi dan termarginalkan.9

Banyak sekali isu jender yang digunakan untuk mendobrak patriarkhi, baik

dalam konteks sejarah, ibadah, pernikahan, dan politik, antara lain: asal usul

perempuan, adzan, imam shalat, menjadi khatib, batas „aurat, kepemimpinan

perempuan dalam politik, menjadi wanita karir, waris, saksi, hak memilih pasangan,

poligami, hak reproduksi, aborsi, kekerasan dalam rumah tangga, „iddah, nikah beda

agama, talak, wali nikah, beban ganda, dan TKW (tenaga kerja wanita).10

Pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender

yang sedang ramai di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama

Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus

jender sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun

9

Ahmad Baidowi, Memandang Perempuan, Bagaimana Al-Qur‟an dan Penafsir Modern Menghormati Kaum Hawa?, (Bandung: Marja, 2011), h. 32-33.

10

(13)

kultural. Secara struktural, di birokrasi, adanya Menteri Peranan Wanita adalah

contoh konkret perhatian besar negara dalam pemberdayaan kaum perempuan.11

Secara kultural, lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga

kajian dan penerbitan yang fokus pada kajian keadilan dan kesetaraan jender, seperti

Rahima Jakarta, Woman Crisis Center di Jombang, Jawa Timur, dan Fahmina Institut

Cirebon, gencar mengusung agenda jender.12

Dalam konteks merespons gerakan jender ini, para ulama NU menjadikan

kitab kuning yang berhaluan Aswaja sebagai referensi utama. Forum yang fokus pada

kajian persoalan aktual dalam perspektif kitab kuning adalah bahtsul masa‟il al

-diniyah (mengkaji masalah-masalah agama) yang diselenggarakan oleh Lembaga

Bahtsul Masa‟il (LBM) yang melibatkan para kiai, baik yang menjadi pengasuh

pondok pesantren atau tidak, santri pondok pesantren, akademisi dari kampus, aktivis

lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain.

Menurut Ahmad Zahro, LBM NU tidak lepas dari tradisi pemikiran fikih

mazhabi, yaitu fikih yang mengikuti pendapat salah satu mazhab empat, yakni

Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali. Dalam memecahkan masalah, fikih empat

mazhab ini menjadi acuan utamanya.13

Revitalisasi pandangan jender ulama NU merupakan sebuah hal penting. Hal

ini agar Islam mampu merespons dinamika zaman yang berjalan sangat kencang

11Jamal Ma‟mur Asmani,

Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi Lima Ciri Utama, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 261.

12Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi

Lima Ciri Utama, h. 262.

13

(14)

sehingga dituntut mencari formula yang dinamis dan progresif, tidak terjebak dalam

romantisme historis, tapi mampu memadukan semangat ajaran yang ada dalam kitab

kuning dan spirit global yang meniscayakan kesetaraan gender. Dalam konteks ini,

ada seorang ulama dan aktivis NU yang memegang pemimpin puncak dalam lembaga

kaum sarungan ini yang mempunyai pandangan moderat-progresif dalam merespons

problema perempuan.14

Beliau adalah Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh yang sampai meninggal masih

menjabat sebagai Rais „Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Menurut banyak orang,

begawan fikih sosial ini mempunyai pikiran-pikiran menarik tentang jender yang bisa

dijadikan model pemikiran jender ideal dalam konteks keindonesiaan yang plural.

Tidak hanya itu, Sahal Mahfudh juga memperjuangkan keadilan jender dalam aksi

nyata di masyarakat, sehingga manfaatnya bisa dirasakan umat secara luas.15

Betulkah demikian? Bagaimanakah sesungguhnya Pemikiran KH. MA. Sahal

Mahfudh ini terkait posisi perempuan dan laki-laki dalam keluarga?.

Di sinilah pentingnya mengkaji dinamika pemikiran Sahal Mahfudh untuk

mendapatkan autentisitas pandangan-pandangannya tentang isu-isu jender dalam

hukum keluarga.

14Jamal Ma‟mur Asma

ni, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi Lima Ciri Utama, h. 267.

15Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi

(15)

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis bermaksud

mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul penelitian: “Pemikiran KH. MA.

Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga: Studi Analisis Perspektif Jender”.

B. Identifikasi Masalah

Penelusuran pemikiran Sahal Mahfudh, sebagai kajian dalam tulisan ini,

mengacu tentang konstruksi pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender dalam bidang

hukum perkawinan. Ruang lingkup kajian ini, kemudian akan lebih disistematisir

dalam bentuk analisis dan uraian seputar konstruksi pemikiran Sahal Mahfudh

mengenai jender dalam bidang hukum perkawinan, pokok-pokok pikirannya tentang

sumber dan dalil hukum sebagai kerangka dasar bagi konstruksi pemikiran

hukumnya, aplikasi metode pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender serta

kontribusi pemikirannya dalam dinamika perkembangan hukum keluarga di

Indonesia.

Selanjutnya sesuai dengan kajian tersebut, secara khusus dalam pembahasan

ini penulis lebih berupaya pada penyelidikan pemikiran Sahal Mahfudh mengenai

jender dalam wacana reformulasi hukum keluarga Islam di Indonesia dan pemikiran

kontemporer dalam perumusan dan pengembangan hukum keluarga di Indonesia.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah pokok yang dikaji dan diteliti dalam tulisan ini adalah bagaimana

sesungguhnya pemikiran Sahal Mahfudh tentang jender dalam bidang hukum

(16)

Karena ruang lingkup kajian Hukum Keluarga sangat luas, maka dalam

penelitian ini hanya dibatasi tentang persoalan wali dalam perkawinan, nafkah,

hadhanah dan nusyuz. Keempat kajian tersebut dipilih karena tulisan Sahal Mahfudh

cukup panjang berkenaan hal tersebut.

Untuk menganalisis kajian ini, maka masalah tersebut dirumuskan dengan

perincian sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang Hukum

Perkawinan?

2. Bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang Hukum Perkawinan

ditinjau dari perspektif jender?

3. Bagaimana kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender dalam

dinamisasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan terpenting yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan.

2. Mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan

ditinjau dari perspektif jender.

3. Mengetahui sejauh mana kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang

jender dalam perkembangan hukum keluarga di Indonesia.

E. Review Studi Terdahulu

Review studi terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan

(17)

Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa saja yang telah diteliti dan yang belum

diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian.

1. Abdul Karim, Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Fiqh Perempuan

Kontemporer (Studi Pemikiran Zaitunah Subhan dan Ratna Megawangi), Skripsi, Tahun 2001 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi tersebut menjelaskan

bagaimana Pemikiran Zaitunah Subhan dengan kritik dan kajiannya terhadap salah

satu sumber Hukum fiqh yakni al-Qur‟an dengan berbagai macam corak

penafsirannya, mencoba memberikan pandangannya terhadap pentingnya

reinterpretasi. Zaitunah Subhan hendak membuktikan konsepnya tentang

kesetaraan guna menghilangkan penafsiran al-Qur‟an yang masih bias gender.

Sedang Ratna Megawangi lebih terpengaruh oleh pemikiran sufistik dan

menyajikan hasil penelitian di lapangan.

2. Imamul Muttaqin, Studi Analisis terhadap Pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh

tentang Wali Mujbir, Jurnal Al-Hukama volume 2 No.1, Juni 2012. Jurnal ini membahas bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang wali mujbir?

Kemudian bagaimana metode istinbath hukum KH. MA. Sahal Mahfudh? Serta

bagaimana analisis terhadap pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh mengenai wali

mujbir?. Di dalam penelitian ini, menurut KH. MA. Sahal Mahfudh terkait wali

mujbir ini, bahwa anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan

setara tanpa persetujuannya serta orang tua juga berhak menolak keinginan anak

gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Menurutnya, meminta

(18)

Rasulullah SAW, juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al-khilaf mustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda

adalah lebih disukai. Mengingat perkawinan ini merupakan suatu ibadah, maka

hendaknya dalam melaksanakan perkawinan tidak hanya memerhatikan

kepentingan sepihak semata, namun juga mesti memerhatikan kepentingan semua

pihak yang bersangkutan.

Kedua penelitian di atas ini jelas berbeda dengan penulis lakukan, karena

penulis meneliti Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga:

Studi Analisis Perspektif Jender. Yang mana di dalamnya ingin mengetahui dan

meneliti bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Hukum Keluarga,

kemudian bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh ditinjau dari perspektif

jender, dan bagaimana kontribusi KH. MA. Sahal Mahfudh dalam problematika

perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia.

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat

atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya,

atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak diubah dalam bentuk

simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan

data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan /

diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik / matematik. Karenanya teknik

(19)

upaya mengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis terhadap

dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan tema, objek dan

masalah penelitian.16

2. Sifat Penelitian

Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Deskriptif adalah

metode penyajian data secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami

dan dikumpulkan, sedangkan analisis adalah menguraikan sesuatu dengan tepat

dan terarah. Jadi deskriptif-analisis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan,

mengklarifikasi serta secara objektif data-data yang dikaji kemudian

menganalisisnya.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. M.

Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur terdiri dari:17

1. Data Primer. Data primer dalam penelitian ini adalah buku karya KH. MA.

Sahal Mahfudh yang berjudul Dialog Problematika Umat.

2. Data Sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah yang menuliskan

tentang KH. MA. Sahal Mahfudh seperti buku Mengembangkan Fikih Sosial

KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi Lima Ciri Utama), Epistemologi Fiqh Sosial (Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat), dan Fiqh Sosial

16

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18.

17

(20)

(Masa Depan Fiqh Indonesia). Kemudian buku-buku lain yang ditulis oleh KH.

MA. Sahal Mahfudh seperti: Wajah Baru Fikih Pesantren, Pesantren Mencari

Makna, dan Nuansa Fikih Sosial.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini hanya pada studi dokumen.

Mulai dari buku-buku karya KH. MA. Sahal Mahfudh sampai tulisan orang lain

mengenai KH. MA. Sahal Mahfudh.

5. Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga analisis datanya

menggunakan pendekatan logika induktif yang membangun silogisme pada hal-hal

khusus atau data yang ada pada buku-buku dan bermuara pada

kesimpulan-kesimpulan yang umum. Tahap analisis induktif adalah sebagai berikut: Pertama,

melakukan pengamatan terhadap suatu fenomena sosial, melakukan identifikasi,

revisi, dan pengecekan ulang terhadap data. Kedua, melakukan kategorisasi

terhadap data yang diperoleh. Ketiga, menelusuri dan menjelaskan kategorisasi

yang dibuat. Keempat, menjelaskan hubungan kategorisasi. Kelima, menarik

kesimpulan umum. Keenam, membangun atau menjelaskan suatu teori.18

6. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah

atau pemikiran, maka pendekatan penelitian ini mengggunakan pendekatan

18

(21)

historis, yaitu sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan

objektif dengan mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta

mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan

yang kuat.19

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan ini, merujuk pada penulisan skripsi, tesis, disertasi disertai

denga buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu

(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Jakarta 2012.20

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab.

Bab pertama adalah pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua membahas tentang riwayat hidup KH. MA. Sahal Mahfudh yang

terdiri dari kelahiran, latar belakang keluarga, pendidikan, perjuangan KH. MA. Sahal

Mahfudh dan karya-karyanya.

19

Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet. XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 73.

20

(22)

Bab ketiga landasan teori penelitian yang membahas tentang jender dan

diskursus isu-isu pernikahan. Yang terdiri dari pembahasan mengenai jender dalam

Islam dan isu-isu jender dalam fikih munakahat.

Bab keempat yang merupakan analisa terhadap pemikiran KH. MA. Sahal

Mahfudh tentang isu-isu jender. Bab ini mengupas tentang pemikiran KH. MA. Sahal

Mahfudh dalam bidang perkawinan, analisa atas pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh

dalam bidang perkawinan dan perspektif jender, kemudian kontribusi pemikiran KH.

MA. Sahal Mahfudh dalam dinamisasi perkembangan hukum keluarga Islam di

Indonesia.

Bab kelima adalah penutup yang merupakan kesimpulan dari penelitian ini

(23)

BAB II

BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH

A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Sahal Mahfudh terlahir dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin

Mahfudz bin Abdus Salam al-Hajaini. Lahir di Kajen, Kecamatan Margoyoso,

Kabupaten Pati, pada 16 Februari 1933. Tanggal tersebut memang tidak sama dengan

tanggal yang digunakan dalam Kartu Tanda Penduduk maupun dokumen-dokumen

resmi lainnya. Namun belakangan ditemukan sebuah catatan lama milik ayahandanya

yang menerangkan tanggal lahir Kiai Sahal yang sebenarnya bukanlah tanggal 17

Desember 1937, namun tanggal 16 Februari 1933 M.1

Data terakhir ini belum banyak dipublikasikan karena memang bukti bahwa

Kiai Sahal lahir pada 16 Februari 1933 ini baru ditemukan kurang lebih dua tahun

sebelum beliau wafat.2 Data mengenai tanggal lahir Kiai Sahal memang

berbeda-beda. Umumnya yang digunakan adalah tanggal 17 Desember 1937.3 Yang agak

berbeda adalah data yang tertera dalam buku yang berjudul “Kiai Sahal, Sebuah

1

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), (Pati: PUSAT FISI, 2016), h. 3.

2

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 3.

3

(24)

Biografi”. Dalam buku tersebut tertulis Kiai Sahal lahir pada tanggal 15 Februari

1934.4

Perbedaan mengenai data tanggal lahir ini penting untuk diluruskan, terutama

bagi para peneliti yang bermaksud untuk belajar tentang kehidupan Kiai Sahal

berdasarkan kronik atau urutan waktu, tanggal, maupun usia. Perbedaan data

mengenai tanggal lahir ini pula yang menyebabkan adanya perbedaan keterangan

yang menyatakan bahwa Kiai Sahal ditinggal wafat oleh ayahandanya pada usia 7

tahun, jika merujuk tanggal lahir Kiai Sahal adalah tanggal 17 Desember 1937.

Namun, Kiai Sahal sendiri mengaku bahwa beliau ditinggal wafat oleh ayahandanya

ketika berusia sekitar 11 tahun, dan ini sangat cocok jika merujuk tanggal lahir beliau

adalah 16 Februari 1933.5

Perbedaan tanggal lahir ini kemudian juga berdampak pada pernyataan yang

tidak sama mengenai pada usia berapa Kiai Sahal mulai berkorespondensi dengan

Syekh Yasin al-Fadani, kemudian kapan Kiai Sahal mulai menulis kitab-kitabnya,

hingga usia berapa Kiai Sahal wafat. Mengenai usia wafatnya, misalnya, jika merujuk

pada tanggal lahir yang pertama, 17 Desember 1937, maka Kiai Sahal wafat pada usia

77 tahun. Namun jika merujuk pada data tanggal lahir yang kedua, 16 Februari 1933,

maka Kiai Sahal wafat pada usia 81 tahun.6

4

Mujib Rahman dkk., Kiai Sahal, Sebuah Biografi. (Jakarta: Penerbit KMF Jakarta, Cet. I, 2012), h. 11.

5

Tutik Nurul Janah, Metode Fiqh Sosial, Dari Qauli Menuju Manhaji, (Pati: Staimafa Press, Cet. I, 2005), h. 186. Lihat juga: catatan kaki buku Epistemologi Fiqh Sosial, Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, (Pati: Staimafa Press & Fiqh Sosial Intitute, Cet. I, 2014), h. 90.

6

(25)

Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Kiai Sahal tidak pernah lepas dari

kehidupan pesantren. Beliau lahir dari pasangan Kiai Mahfudz bin Abdus Salam dan

Nyai Badi‟ah. Kiai Mahfudz bin Abdus Salam adalah saudara misan (adik sepupu)

KH. Bisri Sansuri, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, yang wafat pada 25 April

1981. Istri Kiai Sahal sendiri, Hj. Dra. Nafisah, adalah cucu KH. Bisri Sansuri.7

Pada tahun 1969 KH. Sahal Mahfudh menikah dengan Dra. Hj. Nafisah binti

KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang

dan memiliki putra yaitu Abdul Ghofar Rozin.8

B. Pendidikan

Perjalanan intelektual Kiai Sahal adalah sejarah dari pesantren ke pesantren.

Karenanya, jika berbincang mengenai tradisi keagamaan dan model keilmuan seperti

apa yang menjadi latar belakang kehidupan Kiai Sahal, maka jawabannya adalah

tradisi keilmuan dan corak pemikiran pesantren.9

Pesantren yang dimaksud adalah pesantren ala Nahdliyyin yang mendasarkan

pemikiran fiqhnya berdasarkan fiqh empat madzhab dan melandaskan tasawufnya ala

Abu Musa al Asy‟ari dan al-Maturidi. Namun dalam kenyatannya, pesantren di

Indonesia pesantren di Jawa bisa disebut sebagai pengikut fanatik madzhab Syafi‟i.

7

Asrori S. Karni, Abdul Wasik, Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai Sahal, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007), h. 1.

8

Zamakhsari Dhafi, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai), cet. 3 (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 61

9

(26)

Maka dapat disimpulkan bahwa Kiai Sahal tumbuh diantara tradisi keagamaan dan

masyarakat Nahdlatul Ulama.10

Sahal muda menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Islam Mathali‟ul

Falah, beliau melanjutkan pendidikannya di pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa

Timur hingga tahun 1957. Setelah dari Kediri, Kiai Sahal memutuskan untuk

memperdalam ushul fiqh dengan mengaji secara langsung kepada Kiai Zubair di

pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah hingga tahun 1960.11

Selama di Sarang inilah Kiai Sahal banyak melakukan diskusi melalui

surat-menyurat dengan ulama kharismatik asal Padang yang berdomisili di Mekkah.

Karenanya, usai nyantri di Sarang, Rembang, saat berkesempatan menunaikan ibadah

haji, Kiai Sahal bertemu dan berguru secara langsung kepada Syeikh Yasin al-Fadani

di Mekkah untuk pertama kalinya.12

Kesempatan untuk bertemu dan berguru lagi kepada Syeikh Yasin al-Fadani

datang untuk kedua kalinya ketika Kiai Sahal menunaikan ibadah haji untuk kedua

kalinya bersama istri tercinta, Nyai Nafisah. Kesempatan kedua ini merupakan saat

Kiai Sahal dan Nyai Nafisah banyak menerima ijazah secara langsung dari Syeikh

Yasin.13

Meski menghabiskan masa pendidikan dari pesantren ke pesantren, namun

disiplin ilmu yang dikuasai Kiai Sahal cukup beragam. Kiai Sahal dikenal bukan saja

10

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 13-14.

11

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.

12

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.

13

(27)

menguasai keilmuan yang lazim dipelajari di pesantren seperti bahasa Arab, tafsir,

fiqh, hadis, ushul fiqh, tasawwuf, mantiq, balaghah dan lain-lain.14 Namun, lebih dari

itu, Kiai Sahal merupakan ulama yang fasih berbicara diantara kaum intelektual kota

dan para akademisi. Hal ini dikarenakan selain tingkat kecerdasan di atas rata-rata

yang dimilikinya, Kiai Sahal juga merupakan ulama yang tak pernah lelah belajar.

Kiai Sahal selalu bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru yang dirasa

bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Semangat belajar ini

ditunjukkan beliau sejak usia muda yakni dengan berusaha mempelajari Bahasa

Inggris, Bahasa Belanda, Tata Negara, Administrasi dan Filsafat melalui kursus

privat, baik di Kajen, Pati maupun selama mondok di Bendo, Kediri.15

C. Perjuangan KH. MA. Sahal Mahfudh

Proses pembentukan pemikiran Kiai Sahal berangkat dari liku-liku

kehidupannya. Lahir dari keluarga pesantren dan ditinggal wafat oleh ayahnya dan

kemudian disusul oleh ibunya pada saat usianya masih belasan tahun, membuat Kiai

Sahal muda tumbuh sebagai sosok yang cukup perasa. Getir hidup di usia muda

merupakan pelecut semangatnya untuk dapat berbuat semaksimal mungkin yang bisa

dilakukannya.16

Kiai sahal sendiri memang selalu melandaskan pemikiran dan gerakannya

sebagai bagian dari tujuan utamanya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sadar bahwa berorganisasi merupakan salah satu kekuatan utama yang harus

14

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14-15.

15

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 15.

16

(28)

dibangun agar umat menjadi kuat dan berdaya, Kiai Sahal mulai aktif dalam berbagai

organisasi. Baik organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Saat

memulai kiprahnya di Nahdlatul Ulama, saat itu NU sedang menjadi partai politik.

Karenanya Kiai Sahal juga tercatat pernah aktif sebagai pengurus di Partai Nahdlatul

Ulama. Dan itulah satu-satunya waktu dimana Kiai Sahal aktif dalam partai politik.

Sepulang dari nyantri di Sarang, kemudian memutuskan untuk menikah dan

menetap di kampung halamannya, Kajen, Kiai Sahal praktis memulai segala

aktifitasnya sembari mengasuh pesantren yang didirikan oleh orang tuanya. Kiai

Sahal memiliki aktifitas yang beragam. Selain sebagai Pengasuh Pesantren Maslakul

Huda dan Direktur Perguruan Islam Mathali‟ul Falah, beliau juga memimpin

beberapa organisasi dan bergaul dengan tokoh-tokoh muda pada awal 1980-an. Salah

satu tokoh muda kala itu yang cukup akrab dengan Kiai Sahal adalah KH.

Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil „Gus Dur‟ dan KH. Mustofa Bisri

atau yang akrab dipanggil „Gus Mus‟. Bersama Gus Dur yang masih terhitung

sebagai keponakannya sendiri itu, Kiai Sahal mulai banyak bergaul dengan para

aktifis LSM dan pegiat gerakan-gerakan sosial.17

Pada tahun 80-an hingga 90-an ini bisa disebut sebagai masa paling aktif

dalam kehidupan Kiai Sahal. Saat itu Kiai Sahal memasuki usia 50-an, dengan

kondisi kesehatan yang terbilang cukup prima dan dengan semangat pengabdian

masyarakat yang dilakukannya Kiai Sahal mulai aktif menjadi pembicara dalam

berbagai forum ilmiah di Indonesia dan di manca negara. Dalam hal ini Kiai Sahal

17

(29)

banyak menulis mengenai kesehatan keluarga, kependudukan dan kontrasepsi.

Pro-kontra banyak dirasakannya. Bahkan ada pula masa ketika Kiai Sahal dipertanyakan

keberpihakannya karena seolah-olah menjadi corong pemerintah lantaran

keikutsertaannya dalam kampanye yang dilakukannya ini, Kiai Sahal pernah diganjar

penghargaan oleh PBB sebagai tokoh masyarakat yang peduli terhadap isu

kependudukan.18

Pada tahun 80-an hingga 90-an ini juga dapat dikatakan sebagai masa paling

produktif bagi Kiai Sahal. Baik produktif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah

maupun dalam gerakan sosial. Jika sebagian besar kitab-kitab berbahasa Arab ditulis

Kiai Sahal pada masa beliau nyantri di Sarang, pada tahun 80-an sampai 90-an ini

Kiai Sahal lebih banyak menuangkan pemikirannya dalam bentuk karya ilmiah

berbahasa Indonesia. Tulisannya juga mulai tersebar di media lokal maupun nasional.

Pada tahun-tahun tersebut Kiai Sahal telah bertransformasi dari seorang santri yang

lebih banyak menyimak pesan dari gurunya menjadi seorang ulama yang siap

merealisasikan ide-ide fiqh sosial tentang gerakan sosial. Pada fase ketiga inilah, Kiai

Sahal mulai menampakkan kekhasan corak berfikir dan kemudian corak gerakannya.

Oleh karena itu, menelusuri jejak pemikiran fiqh sosial Kiai Sahal juga akan lebih

mudah dari karya-karya beliau yang ditulis pada tahun 80-an sampai 90-an.19

Dengan tetap berkonsultasi dengan pamannya, Kiai Abdullah Salam, yang

senantiasa menjadi pengayom utama Kiai Sahal pasca meninggalkan ayahandanya,

18

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21.

19

(30)

Kiai Sahal mulai mengukuhkan pemikiran dan gerakan sosial yang dilakukannya

dalam tinta sejarah.20

Kiai Sahal sendiri mengakui bahwa baik gerakan di bidang ekonomi,

kesehatan maupun pendidikan yang dilakukannya tidak menemui kesulitan yang

berarti karena gerakan ini menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat secara

umum. Gerakan ekonomi Kiai Sahal dimulai dengan upaya beliau merintis dan

merealisasikan program pengembangan masyarakat yang profesional sebagai upaya

membantu masyarakat sekitar pesantren pada khususnya dan masyarakat lain pada

umumnya. Melalui pesantren yang dipimpinnya, Kiai Sahal membentuk sebuah

lembaga yaitu Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM). Lahirnya

BPPM bermula dari keprihatinan Kiai Sahal pada sulitnya kondisi ekonomi

masyarakat sekitar pesantren.

Pemikiran ekonomi Kiai Sahal bersambut, manakala Lembaga Penelitian

Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Perhimpunan

Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dari Jakarta menawarkan kepada

Kiai Sahal untuk mendirikan sebuah lembaga yang berbasis pengembangan ekonomi

pesantren dan masyarakat. Maka pada tahun 1979 secara resmi dibentuk lembaga

Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) yang kemudian pada tahun

1980 dilembagakan dengan akta notaris Imam Sutarjo, SH. Nomor 2, dan pada tahun

1987 disempurnakan dengan akta notaris nomor 34.21

20

Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 22.

21

(31)

Selain gerakan di bidang ekonomi, Kiai Sahal juga aktif mendorong gerakan

di bidang kesehatan. Demi menunjang pencapaian kehidupan yang sehat dan

pentingnya menjaga kesehatan, maka penting dibentuk sebuah lembaga yang

menangani kesehatan umat.

Dalam usaha memperbaiki kesehatan, terutama gizi keluarga, Kiai Sahal

melihat bahwa akar masalah sebenarnya berhubungan erat dengan masalah ekonomi,

kebudayaan dan agama. Karenanya, Kiai Sahal mengawali gerakan di ranah

kesehatan dengan berinisiatif untuk mendorong santri di madrasah yang dipimpinnya

yakni Perguruan Islam Mathali‟ul Falah (PIM) terlibat dalam kegiatan Taman Gizi

(semacam POSYANDU) untuk ibu dan balita di lingkungan sekitar.

Selain Taman Gizi, Kiai Sahal juga menginisiasi berdirinya Rumah Bersalin

(RB) yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Rumah Sakit Islam Pati. Inisiatif

Kiai Sahal untuk mendirikan RSI Pati ini menunjukkan bahwa persoalan kesehatan

masyarakat merupakan persoalan yang harus ditangani oleh orang yang ahli dalam

bidangnya. Rumah Sakit sebagai institusi yang menaungi para ahli medis dipandang

sangat tepat untuk menyelesaikan kesehatan masyarakat.22

Selain di bidang ekonomi dan kesehatan yang tak kalah penting adalah

dedikasi Kiai Sahal untuk dunia pendidikan. Berangkat dari pesantren yang

diasuhnya, Kiai Sahal berupaya menyelenggarakan sistem pendidikan karakter untuk

menuju terciptanya manusia yang shalih akram. Selain mendidik santri di Pesantren

Maslakul Huda dan di Perguruan Islam Mathali‟ul Falah, Kiai Sahal juga tercatat

22

(32)

menginisiasi berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam Pati (STAIMAFA), yang kini

sudah beralih status menjadi Institut Pesantren Mathali‟ul Falah (IPMAFA) dan

menginisiasi berdirinya INISNU (kini UNISNU). Kiai Sahal berharap pesantren

dengan sistem pendidikannya yang khas mampu mewarnai pendidikan di Indonesia.23

Kiai Sahal mempunyai peran penting dalam organisasi sosial keagamaan

terbesar di dunia yang pernah dipimpinnya selama tiga periode, yakni Nahdlatul

Ulama. Sebelum akhirnya dipercaya menduduki posisi tertinggi dalam organisasi

Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal telah aktif dalam organisasi tersebut semenjak dari level

terbawah. Tercatat beliau pernah menjadi Katib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Pati

sejak tahun 1967-1975. Ketika itu, NU masih menjadi organisasi politik. Beliau juga

tercatat pernah menjadi ketua Rabithah Ma‟ahid Islamiyah Jawa Tengah dan ketua

MUI Jawa Tengah. Aktifitas beliau di NU terus berlanjut hingga Kiai Sahal dipercaya

sebagai Wakil Rais „Am hingga akhirnya Rais „Am Nahdlatul Ulama selama tiga

periode berturut-turut. Yakni pada muktamar NU di Lirboyo pada tahun 1999,

kemudian muktamar NU di Solo pada tahun 2004, dan muktamar NU di Makassar

tahun 2010. Selain sebagai Rais „Am Nahdlatul Ulama, beliau juga dipercaya sebagai

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Bahkan ketika wafat, Kiai Sahal masih dalam

masa menyelesaikan masa bhaktinya di kedua lembaga tersebut.

Kiai Sahal Mahfudh wafat pada hari Jum‟at, tanggal 24 Januari 2014, pukul

01.00 dini hari di kediamannya, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah

23

(33)

D. Karya-karyanya

Terdapat sepuluh kitab yang ditulis Kiai Sahal, diantaranya:

1) Thariqat al-Husnul „alaa Ghayah al-Ushul.

2) Al-Tsamarah al-Hajayniyah.

3) Al-Fawa‟id al-Najibah.

4) Al-Bayan al-Mulamma‟ ‟an Alfdz al-Lumd‟.

5) Intifah al-Wajadayn „inda Munadharah al-„Ulama Hajayn fi Ru‟yah al

-Mabi‟ bi-Zujaj al-„Aynayn.

6) Faid al-Hija „ala Nayl al-Raja.

7) Al-Tarjamah al-Munbalijah „an Qasiidah al-Munfarijah.

8) Al-Murannaq penjelas atas Kitab Sullam al-Munawraq

9) Izalat al-Muttaham penjelas atas Idlah al-Mubham „an Ma‟ani al-Sullam

karya Ahmad Ibn Abd al-Mun‟im al-Damanhuri.

10) Anwar al-Bashair Penjelas atas kitab Al-Asybah wa al-Nadhair karangan

Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti.

Selain kitab-kitab berbahasa Arab, Kiai Sahal juga telah menghasilkan

beberapa buku berbahasa Indonesia, diantaranya:

1) Nuansa Fiqih Sosial.

2) Pesantren Mencari Makna.

3) Wajah Baru Fiqh Pesantren.

4) Dialog Problematika Umat.

(34)

BAB III

JENDER DAN DISKURSUS ISU-ISU PERNIKAHAN

A. Jender dalam Islam

Kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”.1

Dalam Webster‟s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang

tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”.2

Di dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu

konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,

perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat.3

Tetapi oleh beberapa ahli jender keterangan itu mesti ditambah dan

disempurnakan. Wilson yang dikutip Yudhie R.Haryono menulis; jender adalah

sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan kolektif (masyarakat), yang

sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Jadi ada aspek fungsi

yang membedakan antar keduanya, yaitu antara laki-laki dan perempuan.4

Jender adalah perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan yang dititik

beratkan pada perilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh

1

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, Cet. XII, 1983), h. 265.

Helen Tiemey (ed.), Women‟s Studies Encyclopedia, Vol. I, (New York: Green Press, t.th), h. 153.

4

(35)

kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan untuk

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya.

Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan jender adalah sebuah

konstruksi sosial (social construction). Singkat kata, jender adalah interprestasi

budaya terhadap perbedaan jenis kelamin.5

Berbicara jender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat dalam Al-Qur‟an, antara

lain QS. Al-Hujurat, [49]:13, An-Nisaa‟, [4]:1, Al-A‟raf, [7]:189, Az-Zumaar, [39]:6,

Fatir, [35]:11, dan Al-Mu‟min, [40]:67.

Diantaranya dalam Al-Qur‟an surat al-Hujurat (QS, 49: 13)

ْقَلَخ اَّنِإ ُساَّنلا اَهُّ يَأ اَي

ْمُكاَقْ تَأ ِوَّللا َدْنِع ْمُكَمَرْكَأ َّنِإ اوُفَراَعَ تِل َلِئاَبَ قَو اًبوُعُش ْمُكاَنْلَعَجَو ىَثْ نُأَو ٍرَكَذ ْنِم ْمُكاَن

:تارجلحا(.ٌيرِبَخ ٌميِلَع َوَّللا َّنِإ

٣١

)

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara

manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya

antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas

suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas jender terhadap lainnya.

Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama

manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas

5

(36)

menyimpulkan bahwa Al-Qur‟an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki.

Senada dengan Al-Qur‟an, sejumlah hadits Nabi pun menyatakan bahwa

sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki.

Meskipun secara biologis keduanya; laki-laki dan perempuan berbeda

sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur‟an, namun perbedaan jasmaniah itu tidak

sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif terhadap perempuan.

Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan

mengistimewakan laki-laki. Perbedaan biologis jangan menjadi pijakan untuk

menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan laki-laki pada posisi

superordinat. Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan seharusnya menuntun

manusia kepada kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan

dengan bekal perbedaan itu keduanya diharapkan dapat saling membantu, saling

mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, keduanya harus

bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang damai menuju kepada kehidupan

abadi di akhirat nanti.6

Islam secara tegas menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni

dalam posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah SWT. Dari perspektif

penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan

adalah sama, yakni sama-sama dari tanah (saripati tanah), sehingga sangat tidak

beralasan memandang perempuan itu lebih rendah daripada laki-laki. Pernyataan ini

6

(37)

misalnya terdapat dalam QS. Al-Mu‟minun, [23]:12-16; Al-Hajj. [22]:5; dan Shaad,

[38]:71. Sebagaimana al-Qur‟an surat Shaad (QS, 38: 71):

:ص(.ٍينِط ْنِم اًرَشَب ٌقِلاَخ ينِِّإ ِةَكِئ َلََمْلِل َكُّبَر َلاَق ْذِإ

١٣

)

Artinya: “(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". (Shaad, [38] 71).

Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan

ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban

untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta

kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam disebut amar

ma‟ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera

(baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali

diperlakukan tidak setara dengan laki-laki. Kondisi yang timpang ini muncul karena

masyarakat sudah terlalu lama terkungkung oleh nilai-nilai patriarkhi dan nilai-nilai

bias jender dalam melihat relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai

patriarkhi selalu menuntut pengakuan masyarakat atas kekuasaan laki-laki dan segala

sesuatu yang berciri laki-laki. Dalam pandangan patriarkhi, laki-laki dan perempuan

adalah dua jenis makhluk yang berbeda sehingga keduanya perlu dibuatkan segresi

ruang yang ketat; laki-laki menempati ruang publik, sedangkan perempuan cukup di

ruang domestik. Posisi perempuan hanyalah merupakan subordinat dari laki-laki.7

Bukankah Al-Qur‟an sudah menegaskan:

7

(38)

ُوَّنَ يِيْحُنَلَ ف ٌنِمْؤُم َوُىَو ىَثْ نُأ ْوَأ ٍرَكَذ ْنِم اًِلحاَص َلِمَع ْنَم

اوُناَك اَم ِنَسْحَأِب ْمُىَرْجَأ ْمُهَّ نَ يِزْجَنَلَو ًةَبييَط ًةاَيَح

:لحنلا(.َنوُلَمْعَ ي

٧١

)

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl, [16]:97).

Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam, termasuk kepada

kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang mendasari ajaran Islam seperti

perdamaian, pembebasan, dan egalitarianisme termasuk persamaan derajat antara

laki-laki dan perempuan banyak tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur‟an. Kisah-kisah

tentang peran penting kaum perempuan di zaman Nabi Muhammad SAW, seperti Siti

Khadijah, Siti Aisyah, dan lain-lain, telah banyak ditulis. Begitu pula tentang sikap

beliau yang menghormati kaum perempuan dan memperlakukannya sebagai mitra

dalam perjuangan.

Al-Qur‟an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan

sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat

yang sama. Namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi

ajaran tersebut. Banyak faktor seperti lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat,

sistem (termasuk sistem ekonomi dan politik), serta sikap dan perilaku individual

yang menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut.8

8

(39)

B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fiqh Munakahat

Beberapa isu jender dalam bidang Hukum Perkawinan yang akan dibahas

dalam skripsi ini, diantaranya:

1) Perwalian

Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-wali dengan

bentuk jamak awliya yang berarti pencinta, saudara, atau penolong.9 Dalam istilah

lain, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama,

adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa.

Pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang

melakukan janji nikah dengan pengantin pria).10

Perwalian adalah seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap

seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung.

Sedangkan seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta

haknya lantaran ia tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang

lain.11

Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang

bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Akad

nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki-laki yang

dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan

9Louis Ma‟luf, Al Munjid

, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1975), h. 919.

10

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 1007.

11Hammudah Abd. al „Afi,

(40)

oleh walinya.12 Sedangkan Abdurrahman Al-Jaziry mengatakan tentang wali

dalam al-Fiqh „ala Mazhab al-Arba‟ah:

ِونو ُدب ُّحصي لَف ِدْ قعلا ،ةّحص ويلع قفوتي ام :وى حاكنلا فى لىولا

Artinya: “Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah,

maka tidak sah akadnya tanpa adanya (wali)”.13

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa wali dalam

pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai

wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan

tanpa wali dinyatakan tidak sah. Wali yang bersifat umum dan yang bersifat

khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau

negara yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.

Yang berhak menempati kedudukan wali ada dua kelompok, yaitu: wali nasab

atau wali yang berhubungan dengan tali kekeluargaan dengan perempuan yang

akan menikah, dan wali hakim atau orang yang menjadi wali dalam kedudukannya

sebagai hakim atau penguasa.14

Secara urutan, orang yang berhak menjadi wali nikah adalah: ayah, kakek

(bapaknya bapak), saudara laki kandung, saudara laki seayah, anak

laki-laki saudara kandung, anak laki-laki-laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman

12

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 77.

13

Abdurrahman Al Jaziry, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), Juz 4, h. 29.

14

(41)

seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah, keluarga

yang mendapatkan ashabah. Jika tidak ada maka beralih ke wali hakim.15

Eksistensi seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti. Akad

nikah yang tidak dilakukan oleh wali hukumnya tidak sah. Wali ditempatkan

sebagai rukun dalam pernikahan, dan dapat berkedudukan sebagai orang yang

bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang

diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut.

Ayat yang menjelaskan wali nikah adalah sebagai berikut:

ُوَّللا ُمِهِنْغُ ي َءاَرَقُ ف اوُنوُكَي ْنِإ ْمُكِئاَمِإَو ْمُكِداَبِع ْنِم َينِِلحاَّصلاَو ْمُكْنِم ىَماَيَْلْا اوُحِكْنَأَو

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur ayat 32)

Dalam mendudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai

perempuan dalam melakukan akad terdapat beda pendapat di kalangan ulama.

Terhadap mempelai yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan, ulama

sepakat dalam mendudukannya sebagai rukun atau syarat dalam pernikahan.

Alasannya ialah bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad

dengan sendirinya dan oleh karena itu akad tersebut dilakukan oleh walinya.16

15

M. Al-Khin, dkk., Al-Fiqhu al-Manhaji ala Mazhabi al-Imam al-Syafi‟i, Vol. 2., (Damaskus: Dar al-Qolam, 2005), h. 59.

16

(42)

Namun terhadap perempuan yang telah dewasa (baligh) baik ia sudah janda

atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab

Maliki, Syafi‟i, dan Hambali mensyaratkan adanya wali nikah baginya,17

sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak mensyaratkan adanya wali baginya, dan dia

berhak menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali bagi perempuan lain.

Ulama mazhab Hanafi yang membolehkan perempuan sudah baligh dan cakap

hukum untuk melangsungkan pernikahan untuk dirinya dan orang lain

berpedoman kepada Hadis Nabi SAW.18 janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis

dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim)19

Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) yang tidak mengesahkan wali

perempuan berpedoman kepada hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan

tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh

17

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1966), h. 9.

18

Al Kasani, Bada‟i al-Shana‟i, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1982), h. 241-247.

19

(43)

mengawinkan dirinya sendiri. Perempuan yang berzina adalah perempuan yang mengawinkan dirinya sendiri”. (HR. Ibnu Majah).20

Dari kedua pendapat di atas beserta dalil-dalilnya, Hafiz Muhammad Anwar

merajihkan pendapat jumhur ulama yang tidak memperbolehkan seorang

perempuan menjadi wali nikah atas dirinya atau orang lain karena dalil mereka

lebih kuat lagi jelas, dan pendapat mereka lebih membawa kemaslahatan bagi

banyak orang terutama keluarga perempuan, sebab bagaimanapun juga sang calon

suami akan menjadi bagian dari keluarga itu maka seyogyanya dia adalah laki-laki

yang direstui keluarga tersebut, dibuktikan dengan adanya wali nikah. Sedangkan

hadis yang mereka jadikan pedoman di atas bahwa “seorang janda lebih berhak

atas dirinya daripada walinya”. Bermaksud perempuan lebih berhak untuk

menentukan calon pendamping hidupnya, bukan lebih berhak menikahkan

(menjadi wali) dirinya.21

Selama ini ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan

menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya.

Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini menimbulkan

asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa. Pandangan ini

dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak

20

Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, h. 298.

21

(44)

ijbar. Hak ijbar dipahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu

perkawinan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.22

Istilah wali mujbir sudah dikenal dalam perkawinan, yaitu wali nikah yang

mempunyai hak terhadap anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki dalam

batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis

keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk

dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal.23

Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya

jika penting untuk kebaikan putrinya. Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat

sebagai berikut:24 1) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu. 2) Jika

mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan kedudukan putrinya. 3)

Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan. 4) Jika tidak ada

konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki tersebut.

5) Jika putrinya tidak mengikrarkan dia tidak perawan lagi.

Menurut beberapa Ulama Mazhab, wali mujbir dalam daerah perwalian

(wilayah) terhadap anak gadis, khususnya adalah Ayah maka baginya boleh

memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pilihan sang Ayah. Pendapat ini

merupakan pendapat dari Ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah. Berbeda dengan

pendapat lain, Abu Hanifah menyatakan bahwa anak gadis yang telah dewasa

Imamul Muttaqin, Jurnal AL-HUKAMA, Vol. 2, No. 1, Juni 2012, h. 23.

24

(45)

tidak boleh dipaksa untuk menikah. Pendapat ini juga senada dengan pendapat

al-Auza‟i.25

Adapun konsekuensinya, hak untuk menentukan jodoh dan melakukan

perkawinan adalah hak pribadi perempuan itu sendiri sehingga tidak tergantung

atau terpengaruh kepada wali nikah. Jika perkawinan tetap dilakukan juga oleh

wali, yakni yang ijabnya diucapkan oleh wali, tetap dinyatakan sah, tetapi

dipersyaratkan harus mendapatkan persetujuan dari calon mempelai perempuan

yang bersangkutan. Begitu juga dalam persoalan orang-orang yang berhak menjadi

wali. Dengan dibolehkannya perempuan menikahkan dirinya sendiri, maka wajar

jika dibolehkan pula menjadi wali nikah kerabatnya.26

Tentang wali mujbir, penulis cenderung kepada pendapat ulama mazhab

hanafi yang melarang wali menikahkan perempuan yang ada di bawah

perwaliannya kecuali atas izin darinya selama perempuan tersebut sudah dewasa

dan cakap hukum. Artinya, perempuan yang sudah dewasa dan cakap hukum

berhak menentukan calon pendamping hidupnya sendiri sesuai hati nuraninya,

sedangkan peran wali sebagai pemberi pertimbangan dan masukan-masukan

berharga. Karenanya, penulis tidak sepakat atas hak ijbar bagi perempuan dewasa

dan cakap hukum dengan alasan, adanya nash-nash yang mensyaratkan izin

perempuan dan nash-nash yang menyebutkan penolakan Rasulullah SAW terhadap

25

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid Juz II. Dapat dilihat juga Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender, h. 83-88.

26

(46)

pernikahan tanpa izin perempuan. Hadis riwayat Imam Muslim di atas secara tegas

mensyaratkan adanya izin dari anak perempuan dalam pernikahan.

2) Nafkah

Kata ةقفن berasal dari akar kata ق-ف-ن yang memiliki arti sebagai berikut:

„Nafaqa‟ dengan jamak „Anfaq‟ artinya „jalan terowongan atau jalan bawah tanah

yang lancar‟. „Nafaqa‟ dengan bentuk masdar „Nafaqan‟ artinya pasar yang

bersirkulasi aktif atau semarak. „Nafaqa‟ dengan masdar ‘قوفن‟ artinya „hilang,

hancur dan habis‟. Jadi, kata ةقفن yang bentuk jamaknya adalah „Nafakat‟ dan

„Nifak‟secara bahasa mengandung makna „sesuatu yang bersirkulasi karena dibagi

atau diberikan kepada orang dan yang membuat kehidupan orang yang

mendapatkannya tersebut berjalan lancar, lalu karena dibagi atau diberikan maka

nafkah tersebut secara fisik habis atau hilang dari pemiliknya‟. Secara syara‟ dan

istilah ةقفن diartikan sebagai „Maa Yajibu min al-Maal li al-Ta‟min al-Dharuriyyat li al-Baqa‟, yaitu „Sesuatu yang wajib diberikan berupa harta untuk memenuhi

kebutuhan yang diperlukan dalam mempertahankan hidup‟. Dari pengertian ini

terlihat bahwa termasuk di dalam nafkah adalah math‟am (makanan), malbas

(pakaian), dan maskan (tempat tinggal).27

Ulama fikih menyimpulkan kewajiban memberi nafkah terjadi pada tiga

tempat dan sebab; istri dengan sebab perkawinan, kaum kerabat karena sebab

nasab, dan hamba ataupun orang-orang lainnya sebab di bawah penguasaan.

27Muhammad Rowas Qal „aji dan Hamid Sodiq Qanibi, Mu‟jam lughah al-Fuqaha

Referensi

Dokumen terkait

kan bahwa mengingat alkohol kini sudah banyak digunakan untuk berbagai keperluan (seperti medis, obat-obatan, parfum dan sebagai- nya), maka ia cenderung mengambil

14 Dalam penelitian pustaka, teknik triangulasi dimanfaatkan sebagai pengecekan keabsahan data yang peneliti temukan dari sumber data primer yaitu buku Dialog

Mengqiyaskan ini seperti mengqiyaskan dua hal yang berbeda (al- qiyas ma’a al-fariq) seperti yang dikatakan al-Suyuthi, karena partikel masing-masing antara khamer

Atas dasar penafsiran yang bercorak misoginis seperti itu, buku ini ingin mengulas tentang bagaimana pemikiran Etin Anwar dalam memperjuangkan kesetaraan gender,

Alasan tertarik mengambil judul pemikiran Said Aqiel Siradj tentang kesetaraan hak-hak politik perempuan untuk menjadi kepala negara adalah karena pada era modern

Pemikiran Zakiah Daradjat tentang pendidikan moral jika dikaitkan dengan era globalisasi, berupa Pembinaan mental melalui pendidikan agama dan melalui pembinaan moral

i PEMIKIRAN KH AHMAD DAHLAN DALAM GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI ERA KOLONIAL BELANDA TESIS Diajukan Kepada Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri Bengkulu Untuk Memenuhi